ArtikelKlipingPerguruan Islam Republik Indonesia

Perjuangan PIRI Dalam Mengemban Amanat GAI

Oleh: Muhdi Djauhar*** | Disampaikan dalam Jalsah Salanah GAI Tahun 1982 di Yogyakarta.

Melalui judul makalah ini, ada dua hal yang semestinya dipertanyakan. Pertama, apa yang diamanatkan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) kepada Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI)? Kedua, bagaimana perjuangan Yayasan PIRI dalam mengemban amanat dari GAI itu?

Yang pertama menyangkut masalah ide, masalah cita-cita. Jelasnya: mengenai sesuatu yang akan dicapai. Sedangkan yang kedua menyangkut cara pencapaian dari apa yang dicita-citakan itu.

Marilah kita semua, baik para tokoh PIRI: Guru, Karyawan, sampai pada yang belum tahu mengenai PIRI, menyatukan pengertian lebih dahulu, bahwa Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) sejak didirikan pada September 1947 sampai sekarang, tetap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia.

PIRI adalah bagian dari GAI. PIRI adalah salah satu alatnya GAI. Alat untuk apa? Yaitu alat untuk menyampaikan kebenaran Islam dan alat untuk mempertahankan Islam!

Dengan demikian tegas bahwa PIRI yang berupa lembaga pendidikan agama itu bukan alat GAI untuk mencari keuntungan materi, bukan tempat menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi.

Dengan begitu, tepat kalau saya katakan bahwa PIRI dengan segala yang dimiliki, dengan segala yang menjadi kewenangannya, adalah realisasi dari jihad fii sabiilillaah.

***

Beberapa puluh tahun yang lalu, oleh sebab adanya perubahan ketatanegaraan dari zaman penjajahan ke zaman kemerdekaan, maka GAI merasa perlu untuk menyesuaikan taktik dakwahnya. Dari yang sejak berdirinya tidak pernah memikirkan berdakwah melalui sekolah, menjadi berkeinginan menambah alat dakwah lewat sekolah-sekolah.

Maka dalam Muktamar di Purwokerto pada bulan Mei 1947, GAI memutuskan mendirikan Badan Pendidikan yang disebut PIRI, yang kemudian direalisir di Yogyakarta pada tanggal 1 September 1947.

Beberapa tahun kemudian, yaitu dalam Muktamar di Yogyakarta pada Desember 1958 diputuskan bahwa PIRI tidak lagi menjadi atau merupakan bagian dari GAI, dan menyerahkan tugas penyelesaian PIRI menjadi Badan Hukum berbentuk Yayasan kepada Almarhum Bapak R. Ng. H. M. Djojosoegito dalam kedudukannya sebagai pendiri.

Tetapi, mohon kalimat saya berikut ini diperhatikan sungguh-sungguh, bahwa meskipun Yayasan PIRI dalam kedudukannya yang baru sebagai Yayasan yang terpisah dari GAI, tetapi tidak pernah terlintas di dalam fikiran dan tidak pernah terungkapkan dalam bentuk ucapan bahwa PIRI bukanlah bagian dari GAI, atau bahwa PIRI adalah sesuatu yang lain dari GAI.

Saya ingatkan! Jangan ada dua masalah yang tidak boleh kita lupakan: yaitu masalah ideologi dan masalah organisasi.

Mengenai organisasi, bisa saja kita berpisah menjadi beberapa bagian. Namun yang menyangkut masalah ideologi, siapa yang bisa memecah-mecah. GAI dan PIRI tetap satu!

PIRI sejak semula didirikan sampai sekarang dan seterusnya adalah merupakan alat pendidik dalam mengamalkan petunjuk-petunjuk dari sumbernya yang paling sempurna, yang tercantum dalam Qur’an dan Sunnah Nabi, yang kemurniannya telah dijamin oleh Tuhan, salah satu caranya ialah lewat para Mujaddid, dengan maksud untuk menegakkan kedaulatan Ilahi sehingga tercapai keadaan jiwa yang salam, dalam proses evaluasi dan evolusi Ilahi.

Yayasan PIRI sampai saat ini dan sampai kapan pun tidak pernah dan tidak akan pernah berganti atau bergeming sesenti pun dari dasar dan tujuan di atas itu, yang telah ditetapkan sejak berdirinya!

***

Pernah ada suara-suara yang dilontarkan ke tubuh Yayasan PIRI bahwa PIRI tidak lagi mengemban misi GAI. Nampaknya kegiatan yang dilakukan oleh PIRI lebih menjurus ke hal-hal yang bersifat materi atau duniawi.

Sudah barang tentu lontaran kata-kata semacam itu ada yang betul-betul bersifat “pangeman”, suatu tegoran yang membangun. Tetapi ada pula yang dengan tujuan mencari popularitas pribadi dengan jalan menjelek-jelekkan orang lain.

Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa usaha perbaikan itu hanya bisa dicapai dengan permohonan kepada Tuhan, dengan tindakan yang kongkrit, dengan pengorbanan, dan akhirnya pasrah kepada Tuhan.

Hal ini tak bisa kita lakukan hanya dengan banyak mencela, memaki-maki tanpa perbuatan yang nyata. Saya kemukakan di sini bahwa saya tidak menolak kemungkinan adanya kekurangan dan ketidakbenaran di tubuh Yayasan PIRI. Tetapi itu ‘kan hanya oknumnya.

Inilah yang menjadi tugas berat bagi PIRI untuk terus menerus berusaha membenahi diri, mengadakan konsolidasi ke dalam, baik mengenai organisasinya, para pelakunya, dan aturan-aturan permainannya.

Hal semacam inilah yang setiap tahun menjadi masalah besar dalam rapat tahunan antara Pengurus Yayasan PIRi dengan Badan Pemangku Azas Yayasan PIRI.

Telah diakui oleh Badan Pemangku Azas Yayasan PIRI bahwa kenyataannya PIRI menghadapi kesulitan besar mengenai para tenaga pelaksana. Perlu diadakan penggarapan yang telaten melalui sistem pendekatan dan persyaratan berjangka, bukan dengan sistem hantam kromo dan orat-aritan. Yang terakhir ini jelas bukan cara yang diajarkan oleh Islam!

Ibarat bertani, PIRI itu merupakan tanah garapan bagi GAI. Untuk bisa menggarap sawah dan ladang tersebut dibutuhkan orang yang memiliki ilmu dan keterampilan yang relevan dengan bidang garapannya.

Yayasan PIRI sebenarnya sangat mengharapkan orang-orang Ahmadi yang memiliki persyaratan tersebut di atas berbondong-bondong ikut ber-leladi kepada Tuhan lewat Yayasan PIRI. Namun kenyataannya, di antara mereka banyak yang gagal karena tidak terpenuhinya persyaratan. Bahkan ada juga yang segan, karena di PIRI itu lebih banyak dituntut pengorbanan.

Inilah kesulitan besar yang dihadapi oleh Yayasan PIRI, sehingga karenanya banyak para tenaga pelaksana yang bukan pengikut sejati dari Mujaddid, tetapi sekedar pelaksana yang sanggup bekerja tekun tetapi jiwanya sepi, tidak bergelora.

Jadi jelasnya, di samping sukses-sukses yang sudah dicapai oleh Yayasan PIRI, yang membuat orang lain angkat topi, khususnya di bidang sarana fisik dan sedikit sarana spiritual; di samping juga makin kebalnya kepercayaan kepada Yayasan PIRI, baik dari fihak luar negeri, pemerintah dan masyarakat; di samping sukses dan tersebarnya ajaran Mujaddid ke seluruh pelosok Indonesia lewat beribu-ribu siswa yang pernah belajar di Sekolah PIRI; di samping PIRI ini juga merupakan penopang yang kuat bagi tegak berdirinya dan berkiprahnya GAI, secara tulus ikhlas saya akui bahwa di sana-sini masih banyak kekurangan-kekurangan yang masih harus dibenahi.

***

Kembali kepada pokok persoalan bahwa yang diamanatkan oleh GAI kepada Yayasan PIRI, sebagaimana saya sebutkan di depan, adalah “Menegakkan Kedaulatan Ilahi,” agar setiap orang Indonesia mencapai keadaan jiwa dan kehidupan batin yang disebut salam (damai). (Lihat Anggaran Dasar PIRI Pasal 4).

Kalau boleh saya sebutkan secara lengkap, amanat GAI kepada Yayasan PIRI adalah “suatu tugas menyiarkan dan mempertahankan Islam” dengan menggunakan tiga dasar, satu tujuan, dan beberapa cara pencapaiannya.

Apakah yang tiga dasar itu? Pertama, Al-Qur’an. Yaitu Kitab suci terakhir dan sempuna yang menjadi petunjuk dan azas hidup manusia.

Kedua, Sunnah Nabi. Dengan keyakinan bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir, sesudah beliau tak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Dan keyakinan bahwa beliau adalah contoh terbaik bagi manusia.

Ketiga, pengakuan bahwa sewafat Nabi Suci Muhammad saw. akan datang para Mujaddid, antara lain Mujaddid Abad ke 14 Hirjiyah, yakni Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, bergelar Al-Masih wal-Mahdi yang dijanjikan.

Apakah tujuan yang satu itu? Ialah menegakkan kedaulatan Allah, agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa atau kehidupan batin yang disebut salam.

Dan Yayasan PIRI, secara konsekwen, mengemban amanat dari GAI ini.

***

Sekarang kita sampai pada masalah Perjuangan Yayasan PIRI.

Ada dua kegiatan penyebaran Islam dan pembelaan Islam oleh dua organisasi yang mempunyai dasar atau azas yang sama dan tujuan yang sama pula. Hanya pada cara pencapaiannya nampak agak berbeda, meskipun sebetulnya sama pula, yaitu kegiatan GAI dan PIRI.

Itu sebabnya maka sebagian orang mengatakan bahwa PIRI itu GAI dan GAI itu PIRI.

Di Yogyakarta, misalnya. Setiap orang mendengar Ahmadiyah-nya Bapak Ahmad Muhammad, Ahmadiyah-nya Bapak Soewindo, dsb., orang lalu mengatakan “Ooh, itu PIRI yang di Baciro”. Sebaliknya, kalau seseorang diberi tahu bahwa kita bekerja di PIRi atau kita ini siswa PIRI, maka orang lalu mengatakan, “Ooh, PIRI yang Ahmadiyah itu!”.

Kalau orang luar saja sudah begitu anggapannya, maka kena apa kita masih ada yang ragu-ragu untuk mengatakan dan sekaligus mengakui bahwa PIRI dan GAI itu satu?!

Biar tulisan dalam Anggaran Dasar mengatakan “terpisah”, tetapi saya tandaskan bahwa yang terpisah itu hanya organisasinya saja. Semata-mata untuk memudahkan tugas GAI yang sudah berat itu, maka PIRI tidak ditangani langsung oleh GAI, tetapi dipersilahkan berdiri sendiri sebagai organisasi otonom.

Memang catatan sejarah membuktikan bahwa pernah ada saat-saat tertentu di mana GAI dan PIRI tidak saling “mengaruhkan”. Tetapi alhamdulillah, dimulai sejak Muktamar GAI di Purwokerto pada tahun 1973, antara PIRI dan GAI telah bergandengan erat, bersatu tekad dan semangat, hendak mencapai kemenangan Islam dengan menyebarluaskan ajaran Mujaddid.

Kekompakan antara GAI dan PIRI, lebih-lebih lagi kekompakan dan rasa kemanunggalan antara para Pengurus PB GAI dan Pengurus Yayasan PIRI, terjalin begitu kuat, indah dan manis.

Mana buktinya bahwa PIRI dan GAI itu satu? Apakah pengertian “satu” itu hanya suatu ucapan dalam pengakuan saja, atau terwujud dalam kenyataan?

Banyak yang dapat saya tunjukkan, dan kiranya memang perlu untuk diketahui, antara lain:

Pertama-tama, sebagai tindak lanjut dari keputusan Muktamar GAI di Yogyakarta tahun 1979, di antaranya diputuskan bahwa GAI harus tampil keluar dengan menunjukkan dadanya, dan menggiatkan 3-M: Muballigh, Markas dan Mass Media. Maka menyambut putusan itu, di Kompleks PIRI Baciro berjajar-jajaranlah papan-papan nama PIRI dan GAI, baik PB-nya, Cabang-nya, maupun percetakannya.

Kedua, pada saat ini kantor PB GAI, Kantor GAI Cabang dan Percetakan Darkuti, dan tempat tinggal beberapa Mubaligh GAI, telah bersatu atap dengan Yayasan PIRI Yogyakarta di Kompleks Baciro.

Ketiga, hampir secara bergantian dan terus menerus, penyelenggaraan Jalsah dan Muktamar GAI menggunakan kompleks PIRI, baik yang di Yogyakarta maupun di Purwokerto seperti sekarang ini.

Keempat, penyelenggaraan pendidikan mubaligh dan kursus-kursus mubaligh selalu ditangani bersama-sama antara GAI dan Yayasan PIRI.

Kelima, banyak dari Mubaligh GAI yang ditampung dan diberi tugas sebagai Guru Agama Tetap Yayasan PIRI. Bahkan ada tiga mubaligh GAI yang secara khusus diperbantukan kepada Yayasan PIRI.

Keenam, partisipasi Yayasan PIRI dalam pencetakan Qur’an Jarwa Indonesia cukup besar, dan insya Allah dalam rencana cetak ulang Qur’an Jarwa Indonesia yang sekarang dalam proses rundingan.

Ketujuh, kerja sama dalam usaha penerbitan buku-buku agama antara Darul Kutubil Islamiyah (DKI) dan Yayasan PIRI berjalan dengan baik.

Kedelapan, saat ini baru baru dirintis agar rumah Jalan Kesehatan di Jakarta milik GAI bisa dipakai bersama antara Perwakilan Yayasan PIRI di Jakarta dengan GAI Jakarta.

Kesembilan, mari kita lihat dan kita hitung yang datang ke Jalsah sekarang ini! Lebih dari 125 orang berasal dari Yayasan PIRI. Mereka itu adalah para Pengurus Yayasan, Kepala-Kepala sekolah, Wakil Kepala sekolah, Kepala TU, dan semua Guru Agama pada 17 sekolah Yayasan PIRI.

***

Apakah usaha yang dilakukan oleh Yayasan PIRI guna mencapai tujuan?

Kalau GAI dalam usahanya mencapai tujuan menggunakan lima langkah atau kegiatan sebagaimana disebutkan dalam Fathi Islam, maka Yayasan PIRI berusaha mencapai tujuan dengan mendirikan sekolah-sekolah.

Sewaktu PIRI berdiri dan mulai membuka sekolah, sungguh PIRI tidak punya apa-apa. Yang dimiliki oleh PIRI hanyalah beberapa orang pendiri PIRI yang memiliki keberanian luar biasa, rasa pengabdian yang tinggi, kepercayaan sepenuhnya atas pertolongan Allah, serta kejujuran dan kemauan untuk berkorban.

Kalau ditinjau dari awal berdirinya dengan modal nol, dan kenyataan Yayasan PIRI sekarang sebagaimana yang kita saksikan di Yogyakarta dan Purwokerto, maka sudah seharusnya kalau kita semua memanjatkan puji syukur yang setinggi-tingginya ke hadirat Allah Yang Maha Murah dan Maha Asih.

Kalau PB GAI mempunyai cabang-cabang di berbagai tempat sejumlah kurang lebih 17 cabang, maka Yayasan PIRI mempunyai satu cabang dan 17 sekolah dengan rincian di Yogyakarta 14 sekolah, di Purwokerto 2 sekolah, dan di Lampung 1 sekolah.

Ke 17 sekolah tersebut terdiri dari 7 buah SMP, 1 buah TK, 1 buah SD, 1 buah SPG, 3 buah STM, 1 buah SKKA, 1 buah SMEA, 2 buah SMA.

Adapun mengenai jumlah siswa, guru dan pegawai tercatat sbb: Siswa sejumlah 6.143 orang, Guru sejumlah 381 orang, dan Pegawai sebanyak 93 orang.

Untuk mencukupi kebutuhan ruangan, sebagaimana diatur oleh Pemerintah, maka dibutuhkan ruang kelas sebanyak 154 buah, ruang Kepala Sekolah, Guru, TU, Perpustakaan dan Laboratorium sebanyak 85 buah. Jumlah totalnya 239 buah.

Kekurangan ruangan dan alat-alat pelajaran, keduanya merupakan tantangan yang cukup berat. Tetapi bukan yang maha berat, karena keduanya hanya masih bersifat kebutuhan lahir.

Bagi Yayasan PIRI, tantangan yang maha berat justru masalah pendidikan agamanya, yang sekaligus mencakup tenaga, sarana dan metodenya.

Coba bayangkan: siswa sejumlah 6.143 orang itu seharusnya tersedia minimal 39 orang guru agama. Tetapi pada saat ini guru agama yang sudah bisa disediakan oleh Yayasan PIRI atas kerja sama dengan GAI baru sejumlah 21 orang.

Sebetulnya berdasarkan ketentuan yang ada, semua guru di Yayasan PIRI dengan tidak memandang bidang studi yang dipegangnya, harus mampu dan sanggup mengajarkan agama lewat bidang studinya masing-masing. Namun nyatanya hasil yang bisa diharapkan lewat cara ini tidak menggembirakan.

Satu-satunya tumpuan harapan kita hanya kepada Guru Agama. Oleh karena disamping jumlah yang cukup, juga dituntut adanya guru-guru agama yang qualified, maka usaha penambahan kebutuhan guru agama ditempuh dengan jalan seleksi yang ketat dan masa pendidikan selama satu tahun.

***

Apa yang dilakukan oleh Yayasan PIRI dengan sekian banyak sekolahnya, siswanya, dan gedung-gedung yang dimilikinya?

Di bawah ini saya sampaikan beberapa contoh kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan PIRI dalam rangka mengemban amanat GAI itu.

  1. Agar Yayasan PIRI tidak akan pernah menyimpang dari azasnya, maka dalam tubuh Yayasan PIRI ada sebuah badan yang disebut BPA atau Badan Pemangku Azas Yayasan PIRI. Semua anggota BPA itu menurut Anggaran Dasar Yayasan PIRI Pasal 10 dan 11 harus orang Ahmadi senior, yang pengangkatannya disetujui oleh PB GAI.
  2. Seluruh anggota pengurus Yayasan dan seluruh Kepala Sekolah adalah seorang Ahmadi yang sudah berbai’at, dan tampak bukti-bukti usahanya di dalam memenuhi bai’atnya itu.
  3. Pelajaran agama yang diberikan di seluruh sekolah Yayasan PIRI adalah agama yang sesuai dengan sumbernya yang agung, sebagaimana diajarkan oleh Mujaddid adab ke 14 Hijriyah.
  4. Yayasan PIRI tidak meminta guru agama kepada Departemen Agama, karena PIRI menghendaki agar yang mengajar agama di seluruh sekolah-sekolah Yayasan PIRI adalah para pengikut setia Mujaddid abad ke 14 Hijriyah.
  5. Kalau GAI dengan para muballighnya pada waktu-waktu tertentu mengadakan tabligh dan dakwah di pengajian-pengajian, masjid-masjid atau pertemuan-pertemuan lain, maka Yayasan PIRI dengan para guru agamanya setiap hari mengadakan tabligh dan dakwah di kelas-kelas kepada sekian ribu siswa. Hasilnya sudah barang tentu lebih baik daripada tabligh di pengajian-pengajian. Karena kalau di sekolah, maka antara guru agama dan siswa terdapat ikatan yang lebih formal.
  6. Telah bermacam-macam buku pelajaran agama yang diterbitkan oleh Yayasan PIRI guna mencukupi kebutuhan penyebaran Islam lewat para remaja putra dan putri.
  7. PIRI mencita-citakan agar di semua kompleks sekolah PIRI ada tempat tinggal khusus untuk satu atau dua orang muballigh GAI (guru agama) yang akan bertanggung jawab atas pembinaan agama di kompleks tersebut.
  8. Lalu dari “9 bukti satunya PIRI dan GAI” sebagaimana saya kemukakan di depan, cukup kiranya memberi keyakinan kepada siapa saja, bahwa PIRI benar-benar konsekswen mengemban amanat yang dibebankan oleh Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia.

Sekiranya sudah jelas uraian mengenai perjuangan Yayasan PIRI dalam mengemban amanat GAI. Maka di akhir pidato ini, ada tiga hal yang ingin saya sampaikan:

Pertema, kita semua wajib berterima kasih kepada siapa saja yang pernah terlibat dan masih berkecimpung dalam kegiatan Yayasan PIRI sesuai dengan tingkat pengabdian dan pengorbanannya, terutama para pendiri.

Kedua, sebagai pengikut Mujaddid, marilah kita selalu berpegang teguh pada sifat jamali. Mari kita giat bekerja dan saling mengingatkan dengan cara Islam. Semoga kita dijauhkan dari sikap sombong, ingin benarnya sendiri, apalagi kesukaan men-dajjal-dajjal-kan dan memunafikkan teman sesama Ahmadi.

Ketiga, galang kekompakkan dan perbanyak mawas diri serta memohon ampunan dan pertolongan Tuhan.

Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya bagi kita semua. Amin.[]

*** Drs. Muhdi Djauhar adalah Wakil Ketua Yayasan PIRI pada periode terakhir kepemimpinan Ibu Koestirin Djojosoegito hingga wafatnya (antara 1980-1990). Sebelumnya, pernah juga menjabat sebagai Kepala SMP PIRI 2 Yogyakarta (sekarang SMP PIRI 2 Nitikan) selama beberapa periode.

Beliau adalah lulusan Kursus Mubaligh yang diselenggarakan oleh PB GAI pada tahun 1979. Kemudian pernah menjabat sebagai Wakil Ketua GAI Cabang Yogyakarta antara 1974-1978, mendampingi Dr. Ahmad Muhammad Djojosoegito sebagai Ketua Cabang GAI Yogyakarta pada masanya.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here