“Publikasi (tulisan-tulisan) khususnya dari Ahmadiyah Lahore telah mempunyai peranan yang penting dalam penelaahan Islam di Indonesia. Oleh karena kepopuleran atau terkenalnya publikasi-publikasi itulah yang telah mempengaruhi dan masih terus mempengaruhi cara berfikir religius di antara para Muslimin Indonesia. …
Keanggotaan Ahmadiyah Lahore sampai sekarang sangat sedikit jumlahnya, tetapi fakta ini bertentangan dengan atau tak dapat menunjukkan betapa pentingnya Ahmadiyah Lahore, yang paling baik dapat dievaluasi sebagai suatu aliran pemikiran daripada suatu organisasi” (Margaret Blood).
Kedatangan Muballigh Ahmadiyah Lahore
Pada tahun 1924 beberapa bulan setelah K.H. Ahmad Dahlan wafat, tiba di Yogyakarta dua orang Muballigh dari Gerakan Ahmadiyah Lahore, yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig.
Rencana semula, kedua Muballigh ini akan menuju ke negeri Cina, akan tetapi sesampainya di Singapura mendengar berita bahwa penyiaran agama Kristen di pulau Jawa memperoleh sukses besar, sehingga beliau mengubah rencananya tidak ke negeri Cina, melainkan ke pulau Jawa. Perubahan rencana ini disetujui oleh Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore (Shadr Anjuman Ahmadiyah Isha’ati Islam Lahore).
Setibanya di Yogyakarta, beliau disambut oleh Pengurus Besar Muhammadiyah dengan penuh kegembiraan. Dalam Konggres Muhammadiyah tahun 1924, Maulana Ahmad dalam bahasa Arab, disusul oleh pidato Mirza Wali Ahmad Baig dalam bahasa Inggris yang mendapat sambutan hangat dari hadirin.
Kini tampak ada ruh baru yang ditiupkan ke dalam Gerakan Islam di Indonesia. Majalah “Bintang Islam” dan harian “Cahaya Timur” berkali-kali memberikan ulasan tentang ruh baru dalam Gerakan Islam ini. Maka tidak heran bahwa beberapa bulan sesudah itu, Muhamadiyah mengirim beberapa pemuda supaya belajar di Lahore, antara lain Jumhan, putera K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah yang kemudian menjadi Muballigh di Bangkok sampai akhir hayatnya.
Sayang sekali bahwa Maulana Ahmad tidak lama tinggal di Yogyakarta, karena terganggu kesehatannya. Kini Mirza Wali Ahmad Baig bekerja seorang diri untuk meneruskan misinya meniupkan ruh baru dalam ajaran Islam.
Oleh karena Mirza Wali Ahmad Baig hanya pandai bahawa Inggris, maka hanya golongan intelektual saja yang mengerumuni beliau. Sedangkan golongan ulama kurang erat hubungannya. Seandainya Maulana Ahmad masih berada di Indonesia, niscaya golongan ulama mendapat pembinaan secukupnya, karena mereka masing-masing mengerti bahasa Arab.
Kekurang-mampuan Mirza Wali Ahmad dalam bahasa Arab, menyebabkan golongan ulama sukar menyelami iktikad baik beliau, sehingga seringkali timbul kesalahpahaman. Padahal golongan ulama inilah yang menduduki pimpinan Muhammadiyah.
Kesalahpahaman menjadi semakin besar setelah beberapa anggota Pengurus Besar Muhammadiyah, Djoyosugito dan Muhammad Husni, banyak belajar dari Mirza Wali Ahmad Baig. Lebih-lebih setelah banyak guru HIS Muhammadiyah dan beberapa murid Kweekschool Muhammadiyah mengerumuni Mirza Wali Ahmad, kesalahpahaman meningkat menjadi ketegangan.
Dari guru HIS Muhammadiyah antara lain: Sudewo, Muhammad Kusban, Sunarto dan Usman. Dari murid-murid Kweekschool Muhammadiyah antara lain: Muhammad Irshad dan Mufti Syarif.
Sebaliknya, golongan intelektual, setelah menerima ajaran Mirza Wali Ahmad merasa memperoleh hidup baru dan menyedari bahwa ajaran ini harus disiarkan seluas-luasnya. Maka dari itu mereka mulai menerjemahkan buku-buku bahasa Inggris yang kecil-kecil ke dalam bahasa Belanda, antara lain De leerstellingen van den Islam, Het Geheim van het Bestaan, Islam de Religie van het Menschdom, Het Nut van God, De Gebrote van Jesus dan Mirza Ghulam Ahmad de Man yang semuanya diterjemahkan oleh Sudewo.
Di samping itu didirikan pula Jong Islamieten Bond (JIB) oleh R. Syamsurijal (Raden Syarn) pada tanggal 1 Januari 1925 yang mendapat dukungan para pemuda yang berpendidikan Barat. Selain menjadi anggota Muhammadiyah, para guru Muhammadiyah juga masuk sebagai anggota JIB.
Sudewo, seorang Wakil Ketua Pengurus JIB, banyak mengisi majalah JIB yang bernama Het Licht dengan ajaran Mujaddid yang diterima dari Mirza Wali Ahmad Baig. Ajaran ini banyak disukai oleh para anggota JIB.
Mengingat banyaknya kaum intelektual Indonesia di luar JIB yang sekalipun mereka mengaku Islam, namun bersikap meremehkan agama Islam, golongan intelektual yang menerima ajaran Mujaddid ini merasa wajib menyadarkan mereka akan kelirunya sikap mereka yang disebabkan karena mereka tak tahu akan keindahan Islam. Maka dari itu di Yogyakarta didirikan organisasi Muslim Broederschap di bawah asuhan Bapak Djoyosugito dan Muhammad Husni yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Sekretaris Jendral Pengurus Besar Muhammadiyah. Adapun anggota lainnya ialah: Sutopo, Mustopo, Syamsurijal, Supratolo, Kayat, Sudewo, Muhammad Kusban dan sebagainya.
Muslim Broederschap menerbitkan majalah berbahasa Belanda, bernama Correspondentie Blad. Majalah ini memuat artikel-artikel yang 100% bersumber pada ajaran Mujaddid. Kejadian ini sangat tidak disenangi oleh Pengurus Besar Muhammadiyah dari golongan ulama. Sudah barang tentu yang dijadikan kambing hitam ialah Mirza Wali Ahmad Baig.
Sementara itu, Djoyosugito pindah menjadi guru Kweekschool Negeri di Purwokerto, di sekitar tahun 1926. Sebelum pindah, beliau bertanya kepada Mirza Wali Ahmad Baig apakah ia bermaksud mendirikan Gerakan Ahmadiyah di Indonesia? Oleh beliau ditegaskan bahwa kedatangannya di Indonesia tidak untuk mendirikan Gerakan Ahmadiyah Lahore, melainkan untuk membantu umat Islam Indonesia dalam membela perkara Islam dari serangan musuh.
Berdirinya Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI)
Dalam tahun 1927 tiba di tanah Jawa, Abdul Alim Assidiqi dari India yang mempropagandakan anti Ahmadiyah. Di antara tempat yang dikunjungi ialah Yogyakarta. Oleh Pengurus Besar Muhammadiyah khusus diselenggarakan rapat umum untuk menyambut kedatangan Abdul Alim tersebut.
Sudah barang tentu yang dipropagandakan hanya memburuk-burukkan Gerakan Ahmadiyah. Pemuda Muhammad Irshad mengajukan pertanyaan yang amat bijaksana sebagai berikut: “Apakah tuan tidak malu kepada Allah memburuk-burukkan orang vang sekarang telah berhasil menyiarkan Islam di Eropa, membersihkan dari serangan lawan dan menerbitkan beratus-ratus buku, yang meniupkan ruh baru dalam Islam, sehingga Islam tampak indah dan cemerlang. Sekarang buku apakah yang telah tuan terbitkan untuk membela perkara Islam?”
Oleh karena Abdul Alim belum pernah menulis buku, maka dia hanya menjawab, bahwa tidak lama lagi dia akan menulis sebuah buku, setelah jadi, akan dikirimkan satu copy kepada pemuda Muhammad Irshad. Akan tetapi sampai Bapak Muhammad Irshad wafat pada tanggal 18 Agustus 1970 buku yang dijanjikan itu tidak kunjung tiba.
Rupa-rupanya propaganda anti Ahmadiyah itu memperoleh “sukses” besar. Sejak saat itu, suara anti Ahmadiyah mulai dipidatokan di mana-mana dan dimuat di surat-surat kabar. Semakin lama semakin memuncak serangan terhadap Ahmadiyah dan Pendirinya. Bahkan kadang-kadang sampai keliwat batas.
Sebagai klimaksnya Pengurus Besar Muhammadiyah mengirimkan Maklumat ke seluruh cabangnya yang isinya antara lain “melarang mengajarkan ilmu dan paham Ahmadiyah di lingkungan Muhammadiyah.” Maklumat yang keliwat batas ini bertanggal 5 Juli 1928 No. 294.
Dengan keluarnya Maklumat ini, maka tiap-tiap orang yang setuju dengan ajaran Mujaddid harus menentukan pilihan: keluar dari Muhammadiyah atau membuang ajaran Ahmadiyah. Pilihan belum lagi dijatuhkan, tiba-tiba rumah Bapak Muhammad Husni yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Sekretaris Jendral Pengurus Besar Muhammadiyah, didatangi oleh salah seorang anggota Muhammadiyah dan diambillah semua arsip sekretariat Pengurus Besar Muhammadiyah.
Mirza Wali Ahmad Baig dan para muridnya tidak luput dari ejekan dan cemoohan yang dilancarkan tanpa mengingat batas-batas kesopanan. Pendek kata, sikap lapang dada yang selalu dipertontonkan oleh kaum Muslimin zaman permulaan sekarang hanya tinggal kenangan sejarah saja. Sabda Nabi Suci bahwa perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat, saat itu tak dihiraukan lagi. Bahkan tidak jarang, orang yang menerima paham Ahmadiyah dikatakan kafir.
Betapa sedihnya Bapak Djoyosugito yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Purwokerto setelah menerima Maklumat tersebut. Beliau diberhentikan dan dipecat dari Muhammadiyah, karena selalu mengajarkan paham Ahmadiyah. Maka dari itu beliau memerlukan datang di Yogyakarta untuk membicarakan masalah serius ini dengan Bapak Muhammad Husni dan kawan-kawan.
Setelah dipertimbangkan masak-masak, terdapatlah kesepakatan untuk membentuk wadah baru di luar Muhammadiyah. Wadah baru ini diberi nama Gerakan Ahmadiyah Indonesia (centrum Lahore), disingkat GAI (yang dalam tahun 1973 dinamakan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, singkatannya tetap GAI).
Di antara anggota yang beat pertama kali ialah: Muhammad Irshad, Muhammad Sabit, R. Ng. Djoyosugito, Muhammad Husni, Muhammad Kafi, Hardjosubroto, Idris L. Latjuba, K.H. Sya’rani, K.H. Abdurrahman Pliken dan R. Supratolo. Sekalipun Sudewo sudah banyak menerbitkan terjemahan buku-buku kecil dan sudah mulai menerjemahkan The Holy Qur’an dan banyak pula menulis dalam majalah Het Licht dan Correspondentie Blad, namun beliau baru menyatakan beatnya setelah didatangi sendiri oleh Bapak Muhammad Husni dan Mirza Wali Ahmad Baig.
Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia didirikan pada tanggal 10 Desember 1928. Permohonan pengakuan sebagai Badan Hukum diajukan pada tanggal 28 September 1929, dan diakui sebagai Badan Hukum (Rechtspersoon) dengan putusan Pemerintah atau Gouvernements Besluit tanggal 4 April 1930 No. Ix. (Extra bijvoegsel Jav. Courant 22 April 1930 No. 32).
Dengan surat Departemen Agama R.I. tanggal 21 Februari 1966 No. 1-1/3/1/368/66, GA1 sudah terdaftar pada Departemen Agama pada tanggal 27 Desember 1963 No. 18/11. Demikian pula GAI telah terdaftar dalam Berita Negara R.I. yang diumumkan pada tanggal 28 November 1986 No. 95 Lampiran No. 35.
Pada waktu pembentukan, susunan Pedoman Besar sebagai berikut: Ketua Bapak Djoyosugito, Wakil Ketua Bapak K.H. Sya’rani, Bapak Muhammad Husni sebagai Sekretaris-Bendahara dan Sudewo sebagai Sekretaris II. Sebagai Mas-media diterbitkan Risalah Ahmadiyah Indonesia, yang diterbitkan mulai tahun 1929.
Cabang-cabang segera dibentuk, yaitu: Purwokerto diketuai oleh Kiai Ma’ruf, Purbalingga diketuai oleh K. H.A. Sya’rani, Pliken diketuai oleh K.H.A. Abdurrahman, Surakarta diketuai oleh Muhammad Kusban dan Yogyakarta diketuai oleh R. Supratolo. Konggres pertama diselenggarakan di Purwokerto pada tanggal 25-26 Juni 1929.
Pada akhir Juni 1929 Bapak Djoyosugito pindah ke Malang sebagai guru Mulo di sana. Pada bulan Januari/Februari 1930 Bapak Muhammad Husni pindah ke Bandung, Bapak Sudewo pindah ke Sukabumi dan Bapak Muhammad Usman pindah ke Madiun. Kepindahan beliau-beliau itu disusul dengan berdirinya cabang GAI di tempat-tempat itu.
Akan tetapi yang paling beruntung ialah cabang Purwokerto karena bertepatan dengan pindahnya Bapak Muhammad Husni ke Bandung, Mirza Wali Ahmad Baig pindah ke Purwokerto. Di tempat inilah banyak digembleng kader Ahmadiyah.
Sekalipun mengalami banyak rintangan, biji Ahmadiyah ini tumbuh terus, berkat ketekunan para pengasuhnya, dan terutama sekali berkat pertolongan Ilahi. Penerbitan buku semakin bertambah. Kini diterbitkan buku: Muhammad de ProfeetDe Bronnen van het Christendom, De Roep van den Islam dan De Islamitische Instelling van het Gebed.
Konggres atau Muktamar ke-2, ke-3 dan ke-4 terus diselenggarakan di Purwokerto, masing-masing pada tahun 1931, 1932 dan 1933. Banyak keputusan yang penting-penting, akan tetapi yang paling penting ialah segera diterbitkannya Quran Suci terjemahan bahasa Belanda yang sudah selesai dikerjakan oleh Bapak Sudewo.
Untuk melaksanakan keputusan ini, pada akhir tahun 1933 di Jakarta dibentuk Qur’an Fonds, yang anggotanya antara lain terdiri dari: Muhammad Husni, Pringgonoto, Abdulrajab, Ahmad Wongsosewoyo, Bintoro, Surono, R.A.A. Wiranatakusumah dan sebagainya.
Abdulrajab bertindak sebagai Ketua Hoofd-Comite Qur’an Fonds. Setelah Hofd-Comite diresmikan oleh Ketua Pedoman Besar GAI, segera diadakan pengumuman melalui surat kabar. Di tiap-tiap cabang GAI dibentuk Sub-Comite Qur’an Fonds yang membantu menyiarkan prospectus dan mencari pesanan.
Bapak Sudewo yang ditugaskan menyiapkan copynya, terpaksa mengambil cuti besar dengan mengorbankan gaji bulanannya sebagai Pegawai Pemerintah sampai habis masa cutinya. Untuk membantu Bapak Sudewo, Bapak Mirza Wali Ahmad Baig terpaksa pindah dari Purwokerto ke Jakarta.
Di bawah cucuran air mata, semua anggota Comite bekerja dengan tekun dan disiplin. Tiap-tiap hari menangis, karena suka dan duka. Suka, karena diberi kesempatan mengerjakan tugas suci sekalipun harus mengorbankan harta, waktu dan segala kesenangan duniawi. Duka, karena banyak orang bodoh yang tidak bangga melihat Alquran diterjemahkan ke dalam bahasa asing oleh putera Islam Indonesia, tetapi malah memperkuat barisan musuh ikut menyerang habis-habisan terhadap pengarang Tafsir dan penerjemahnya sampai dengan Ahmadiyah.
Serangan itu tidak saja dilancarkan dengan lisan, melainkan pula dengan tulisan. Surat kabar “ADIL” No. 105 tanggal 8 Februari 1934 memuat serangan yang bersifat demagogis yang antara lain berbunyi sebagai berikut: “Quran bahasa Belanda itu semata-mata menjerumuskan kepada kesesatan anak cucu dijerumuskan ke jahannam; tafsir beracun bagi umat Islam”.
Qur’an Fonds dan Ahmadiyah tak melayani kritik murah seperti tersebut di atas dan menyerahkan persoalan itu ke hadapan Tuhan Yang Maha Bijaksana. Sebaliknya, Comite Qur’an Fonds terus bekerja tanpa mengenal lelah, sambil berdoa kepada Allah semoga usaha penerbitan Tafsir Alquran ke dalam bahasa Belanda diberkahi dan diridloi oleh-Nya.
Akhirnya, tibalah saat yang dinanti-nantikan. Pada bulan Maret 1935, selesailah pencetakan Tafsir Quran Suci bahasa Belanda. Alhamdulillah. Yang tak senang boleh terus marah, akan tetapi Tafsir itu lakunya laris sekali seperti pisang goreng.
Akan tetapi berita gembira tersebut segera disusul dengan berita prihatin. Bapak Mirza Wali Ahmad Baig sebagai pengasuh Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia sejak mulai dalam kandungan hingga mencapai prestasi yang gemilang, minta diri untuk pulang ke negeri leluhurnya, India (sekarang Pakistan). Di dalam suasana hening dan haru beliau mengucapkan kata perpisahan di dalam Muktamar GA1 yang diselenggarakan di Solo pada tanggal 25 Juni 1935, tepat empat bulan sesudah terbitnya Tafsir Quran Suci bahasa Belanda. Segenap warga GAI tidak dapat melupakan jasa beliau selama bertempat tinggal di Indonesia.
Akan tetapi berhubung banyaknya persoalan yang harus diselesaikan, keberangkatan beliau ke Pakistan baru dapat dilaksanakan pada bulan November 1937 dengan meninggalkan surat pamit sebagai berikut:
Batavia C (Jakarta), 25 Oktober 1937
Bismillaahir-rahmaanir-rahiim
Nahmaduhuu wa nushallii ‘alaa rasuulihil-kariim
Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Dengan ini saya kabarkan kepada tuan-tuan Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia (centrum Lahore), bahwa saya telah ambil keputusan akan pulang ke India dengan segera. Adapun berangkat saya insyaallah di akhir bulan November.
Saya ingin berjumpa dengan tuan-tuan seorang-seorang untuk mengucapkan selamat berpisah, akan tetapi sayang waktu sudah amat sempitnya. Mudah-mudahan surat ini tuan-tuan anggap seperti pengganti saya.
Empatbelas tahun kita bekerja bersama-sama melayani Islam, agama Allah dan Rasul-Nya. Empatbelas tahun kita sudah sama susah, berbahagia sama berbahagia. Dalam waktu selama itu tidaklah terhitung banyaknya pertolongan dan bantuan tuan-tuan kepada diri saya, demikian juga dari cabang-cabang dan saudara-saudara lid (anggota) lain. Untuk itu dengan ini saya ucapkan terima kasih diperbanyak.
Di sisi itu, dalam waktu empatbelas tahun itu, tidak sedikit pula kesalahan dan kekeliruan saya. Saya seorang manusia belaka. Untuk itu besar harapan saya sudi kiranya sekalian saudara-saudara memaafkan dengan tulus ikhlas.
Akhirnya saya berdoa hubaya-hubaya kita sekalian dianugerahi Allah Subhaanahuu wa ta’aalaa dengan lahir dan batin tetap bekerja dan berusaha di jalan Allah, karena Allah. Amin.
Adapun tentang perpisahan tuan-tuan sekalian dengan saya, mudah-mudahan jauh di mata dekat di hati.
Wassalam,
Mirza Wali Ahmad Baig
Sementara itu GAI terus melebarkan sayapnya. Kini GAI mempunyai 466 anggota, tersebar di duabelas cabang: Purwokerto, Purbalingga, Pliken, Wonosobo, Magelang, Yogyakarta, Solo, Madiun, Malang, Cirebon, Bandung dan Jakarta. Pada bulan Desember 1938 GAI berhasil menerbitkan terjemahan bahasa Belanda De Religie van den Islam karya Maulana Muhammad Ali, M.A., LL. B. yang cukup tebal dan bermutu, yang diterjemahkan pula oleh Bapak Sudewo.
Selain itu GAI berhasil membentuk Comite Holland Mission (HIM) yang mencita-citakan pengiriman Muballigh ke negeri Belanda untuk menyiarkan Islam di sana. Comite HIM telah menempuh persiapan secara teliti, yang selain persiapan berupa buku-buku bahasa Belanda, juga sumber pembiayan yang cukup untuk membiayai seorang Muballigh di negeri Belanda. Akan tetapi sayang, pada akhir tahun 1939 pecah Perang Dunia II yang menyebabkan rencana pemberangkatan Muballigh ke negeri Belanda terpaksa ditunda.
Akibat menyerahnya Belanda kepada Jepang, maka selama tiga setengah tahun Indonesia berada dalam kekuasaan Bala tentara Dai Nippon. Atas perintah Pemerintah Jepang, seluruh kegiatan GAI dibekukan. Selama itu hanya menerjemahkan buku-buku saja yang dapat dikerjakan, antara lain Quran Suci jarwa Jawi yang dikerjakan oleh Bapak Djoyosugito dan Mufti Syarif.
GAI membela, mempertahankan dan mengisi Kemerdekaan Republik Indonesia
Alhamdulillah, pada bulan Agustus 1945 berakhirlah Perang Dunia II dengan kemenangan di pihak sekutu. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik ini, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Akan tetapi konsekuensinya, bangsa Indonesia tidak boleh tidak harus mengorbankan segala-galanya dan mempertaruhkan nyawanya, guna membela Kemerdekaan Indonesia dari serangan imperialis Belanda dan sekutunya yang berusaha mati-matian hendak menancapkan kembali kekuasaannya di Indonesia.
Semua anggota GAI ikut aktif dalam barisan pertahanan Negara Republik Indonesia. Hal ini diputuskan dalam Muktamar GAI di Purwokerto yang antara lain diputuskan pula bahwa Gerakan Ahmadiyah Indonesia dapat menerima dan memperjuangkan Pancasila sebagai asas Negara yang pada saat itu sampai Pemilu tahun 1955 arus yang menghendaki Islam sebagai asas Negara masih sangat kuat.
Alhamdulillah, pada akhir tahun 1949 berakhirlah Perang Kemerdekaan, yang segera disusul dengan pengakuan Kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh dunia internasional. Bapak Djoyosugito dan sahabatnya mulai memikirkan lagi jalannya roda Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Sudah lama beliau mencita-citakan pembentukan kader dengan sistem pondok pesantren. Cita-cita ini telah dicetuskan dalam Muktamar 1947 di Purwokerto itu.
Untuk melaksanakan cita-cita tersebut, Muktamar memutuskan berdirinya Perguruan Islam yang diasuh oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Kebetulan kota Yogyakarta yang waktu itu menjadi Pusat Pemerintahan R.I., banyak terdapat pengungsi dari daerah-daerah yang diduduki Belanda, sehingga tidak sukar mencari tenaga guru dan murid. Oleh sebab itu, sekaligus dapat dibentuk SMP, SGB dan SGA. Pengurus Perguruan Islam segera dibentuk dengan Bapak Ali Murni sebagai Ketua, dan Bapak Supratolo, S. Citrosancoko dan Ibu Djoyosugito sebagai anggota.
Lembaga perguruan ini dinamakan Perguruan Islam Republik Indonesia, disingkat PIRI. PIRI baru berjalan beberapa bulan lamanya, tiba-tiba pada tanggal 19 Desember 1948 kota Yogyakarta diserbu dan diduduki tentara Belanda. Sudah barang tentu PIRI terpaksa dibekukan. Akan tetapi setelah berakhirnya Perang Kemerdekaan, PIRI mulai diaktifkan kembali. Dana segera dikumpulkan untuk mendirikan Pondok PIR1 dan akhirnya terjelmalah Pondok PIRI Baciro sekarang ini.
Untuk membina para Guru dan karyawan serta murid PIRI Bapak Djoyosugito giat memberikan pengajaran Agama. Sampai beberapa tahun lamanya, hanya kegiatan ini sajalah yang menonjol. Kegiatan lainnya hampir tidak ada. Cabang-cabang GAI hampir mati semuanya. Para anggotanya tidak mengerjakan kegiatan GAI, melainkan kegiatan di luar GAI. Sebagian besar menjalankan politik: Masyumi, NU, PN1, bahkan ada pula yang masuk PKI.
Sebagai ilustrasi di bawah ini dikutipkan pidato Bapak Soedewo dalam Muktamar GAI tahun 1957:
“Sejak pengakuan Kedaulatan Negara R.I., GAI dalam menunaikan kewajiban pokoknya yaitu menegakkan Kedaulatan Ilahi, kalaupun tak dapat dikatakan mati, kian lama kian mendekati matinya juga. Keadaan ini berulangkali dilaporkan oleh Pengurus Cabang dengan nada yang mineur, seperti misalnya “cabang tidak bergerak”, tidak aktif, diam saja, tidur, merana, seperti kerakap di atas batu, mati enggan hidup tak mau, dsb.
GAI yang dahulu mempunyai majalah “Assalam”, “Muslim”, “Risalah Ahmadiyah” dan “Wasita Islam”, kini tidak dapat menerbitkan satu majalah pun. Buku kecil yang dahulu pernah berpuluh-puluh diterbitkan kini tak ada satupun yang diterbitkan. Hanya Quran Suci jarwa Jawi saja yang sekarang sedang dicetak di negeri Belanda, yang insyaallah akan terbit pada bulan Februari 1958.
GAI yang dahulunya dapat menerbitkan berpuluh-puluh buku sampai dengan penerbitan De Heilige Qur’an, dalam jangka waktu 7 tahun kini sesudah 17 tahun GAI baru akan menerbitkan Quran Suci jarwa Jawi saja.
Dengan demikian beranikah kita berkata, bahwa GAI setia pada sumpahnya kepada Tuhan? Apalagi selama ini, iklim dan suasana di kalangan GAI, tidak memungkinkan bekerja dengan kesatuan dan kebulatan tekad. Perhatian dan hasrat kita bercerai-berai. Semangat dakwah Islam yang dahulu pernah menggelora, kini sudah padam. Akibatnya, beratus-ratus buku terbitan Lahore dan London, tak dapat diterjemahkan dan diterbitkan.
Maka jelaslah bahwa selama ini GAI menderita kemunduran terus-menerus. Proses kemunduran dipercepat dengan masuknya paham materialistis dan komunistis. Maka dari itu semangat menjunjung Agama melebihi dunia, diganti dengan semangat menjunjung dunia saja.
Sudah barang tentu hasrat berdakwah Islam, bukan mundur lagi melainkan mendekati liang kuburnya” (Safinatu Nuh, November 1957).
Oleh karena asas dan tujuan PKI itu bertentangan dengan asas dan tujuan GAI, maka GAI melarang anggotanya masuk PKI. Salah seorang tokoh GAI, Mohammad Sabitun, diperingatkan supaya keluar dari PKI. Akan tetapi peringatan ini tidak dihiraukan olehnya. Maka dari itu dengan surat Keputusan Pedoman Besar GAI tanggal 17 Oktober 1957, beliau terpaksa dikeluarkan dari GAI.
Tujuan semula PIRI itu dimaksud untuk membentuk kader GAI dengan sistem Pondok. Akan tetapi pelaksanaannya berujud sekolah-sekolah bersubsidi. Oleh sebab itu, GAI memandang perlu merobah status PIRI, tidak lagi sebagai bagian dari GAI, melainkan berstatus otonomi dengan bentuk yayasan. Sebagai Ketua Yayasan PIRI diangkat Ibu H. Djoyosugito. Dengan demikian PIRI mempunyai kebebasan penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sekalipun dalam hal pemeliharaan ruhani PIRI tetap bersumber pada GAI. Ternyata tindakan ini adalah yang paling bijaksana.
Dengan tekun dan ulet, Pengurus Yayasan, terutama Ibu Djoyosugito, membina pertumbuhan PIRI, supaya jangan sampai menyimpang dari tujuan semula. Guru-gurunya diberi aplikasi ajaran agama, agar mereka dapat menjiwai para muridnya dengan suasana agama. Apalagi sekarang banyak guru PIRI yang beat mengikuti Gerakan Mujaddid.
Dalam Muktamar GAI tahun 1958, antara lain diputuskan bahwa GAI memandang perlu membentuk Badan Penerbitan yang dinamakan Darul Kutubil Islamiah, disingkat DKI. Badan ini ditugaskan untuk mengurus hal ikhwal tentang penerbitan, baik besar maupun kecil. Badan ini diasuh oleh Bapak H.M. Bachrun.
Sebagai langkah pertama, Badan ini mengurus penerbitan Quran Suci jarwa Jawi, disingkat QDD. Semula, QDD ini dicetak di negeri Belanda. Akan tetapi berhubung keluarnya peraturan Pemerintah tentang sistem BE, semua pembayaran dengan valuta asing harus mendapat izin lebih dahulu dari Pemerintah.
Oleh karena permohonan untuk mendapatkan devisa guna membiayai pencetakan 5.000 exemplar QDD di negeri Belanda ditolak oleh Pemerintah, maka kontrak antara GAI dan Percetakan di negeri Belanda terpaksa dibatalkan. Padahal selama ini GAI telah banyak mengeluarkan biaya yang diambil dari simpanan Bapak Sudewo sebanyak 40.000 guldens, yang sebenarnya diperuntukkan bagi biaya putra-putranya yang belajar di negeri Belanda.
Dengan gagalnya pencetakan di negeri Belanda, QDD diusahakan pencetakan di Indonesia, yakni di Percetakan Gita Karya Jakarta. Pencetakan yang direncanakan selesai dalam dua tahun ternyata mengalami penundaan sampai 7 tahun lamanya. Kelambatan ini menjadi beban material yang tidak sedikit. Padahal hasilnya tidak memuaskan.
Meskipun demikian, terbitnya QDD merupakan rahmat Tuhan yang besar sekali. Karena dengan terbitnya QDD, cabang-cabang GA1 mendapat siraman ruhani yang melimpah, setelah sekian lamanya menderita kekeringan. Kini cabang-cabang tampak hidup kembali. Tidak saja QDD dipelajari di antara keluarga GAI sendiri, melainkan disampaikan dan disiarkan seluas-luasnya.
Bahkan daerah yang semula tak ada cabang GAI berkat siraman QDD, kini berdiri sebuah cabang yang besar di bawah asuhan Bapak S.W. Burhanul Arifin. Cabang yang baru saja berdiri pada tahun 1963, kini mempunyai anggota 193 orang, bahkan mempunyai calon anggota sebanyak 800 orang.
Cabang-cabang lama juga banyak menghasilkan anggota baru. Semua ini berkat terbitnya QDD. Tidak sia-sialah pengorbanan yang diberikan oleh Bapak Djoyosugito, Ibu Djoyosugito, M. Mufti Syarif, Ahmad Wongsosewoyo, Muhammad Singgih, Sudewo, Abdul-rajab, Supratolo, H.M. Bachrun dan lain-lain.
Setelah itu, DKI juga menerbitkan buku-buku kecil: Rahasia Hidup, Fathi Islam, Ekonomi Islam, Isam dan Ilmu Pengetahuan, Islam and Socialism, Islam is Modern, Islam the Religion of Humanity, Women in Islam, dan yang sedang dicetak ialah Dajjal, Ya’juj wa Ma’juj. Bapak R. Kaelan dan Sudewo telah selesai menterjemahkan buku The Religion of Islam karya Maulana Muhammad Ali, dan kini sedang diusahakan pencetakannya. Demikian pula Bapak Muhammad Kusban telah menerjemahkan Teks Alquran ke dalam bahasa Indonesia yang kemudian dijadikan bahan pokok bagi Tafsir Quran Suci bahasa Indonesia yang sedang dikerjakan oleh Pedoman Besar GAI di bawah asuhan Bapak H.M. Bachrun. Bapak R.E. Kusnadi sudah menyiapkan buku pelajaran bahasa Arab.
Sebagai puncaknya telah dicetak kembali di negeri Belanda, Tafsir Quran Suci bahasa Belanda terjemahan Bapak Sudewo yang diusahakan oleh warga Ahmadiyah Suriname di bawah asuhan Maulvi Alhajj B. Djaggoe, yang pernah berkunjung ke Indonesia. Dengan terbitnya Tafsir ini, banyak membantu kelancaran dakwah Islam di Eropa.
Pada tahun 1959 GAI merayakan Hari Ulang Tahunnya yang ke-30 dan Muktamar yang mendapat perhatian cukup besar dan mengharukan. Dalam Muktamar ini Bapak Djoyosugito mengucapkan pidatonya yang terakhir, karena sesudah ini sampai akhir hayatnya, pada tanggal 21 Juni 1966, beliau tak dapat berpidato lagi.
Pada tahun 1960, Bapak Muhammad Irshad berangkat ke Lahore, sebagai utusan resmi dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Sepulangnya dari Lahore, beliau banyak membawa oleh-oleh ruhani yang amat berguna bagi pertumbuhan dan kemajuan GAI. Empat tahun kemudian, beliau berangkat lagi ke Lahore sebagai Utusan GAI untuk menghadiri Golden Jubile Gerakan Ahmadiyah Lahore. Kali ini membawa pulang semangat baru yang menjiwai gerak langkah GAI yang tampak kian menanjak.
Daerah Bandung dan Bogor yang sudah lama tidak mendapat siraman ruhani setelah mendapat siraman ruhani periodik dari Bapak Muhammad Irshad, tampak hidup dan diharapkan akan tumbuh cabang baru di sana. Selain itu, banyak murid Sunday Morning Class asuhan Bapak Muhammad Irshad yang berbeat mengikuti Gerakan Mujaddid .
Setelah Bapak Djoyosugito wafat, GAI dipimpin oleh Bapak H. M. Bachrun. Di bawah asuhan beliau pembentukan kader yang diharapkan sebagai calon pengganti para pengasuh GAI yang kian lanjut usianya semakin digalakkan.
Jalsah tahun 1971 di Jakarta antara lain memutuskan perlunya mendatangkan Muballigh dari Lahore yang akan ditempatkan di Yogyakarta. Masjid dan pondok dibenahi. Perumahan Muballigh disediakan. Karena sesuatu hal, Muballigh dari Lahore tak kunjung tiba. Tetapi kaderisasi jalan terus.
Pada tahun 1974 penataran Guru-guru Agama PIRI diselenggarakan. Setahun kemudian pendidikan Muballigh dibuka, mendidik 16 putra-putri Ahmadi dari berbagai cabang. Dua di antara mereka, yaitu M. Iskandar dan M. Sardiman dikirim ke Lahore. Setelah dua tahun mereka belajar di Lahore pulang ke tanah air dengan membawa semangat baru yang mendorong GAI semakin maju.
Di bawah asuhan Bapak H.M. Bachrun GAI mampu menerbitkan buku-buku yang amat bermanfaat dan bernilai tinggi, antara lain Inti Sari Qur’an Suci dan Keesaan Ilahi karya Bapak Sudewo, dan dua buku besar yaitu Islamologi (Diinul Islaam) terbit tahun 1977 dan Qur’an Suci jarwa Indonesia.
Pada tahun 1979 GAI merayakan Hari Ulang Tahun ke-50 (Gulden Jubilee) dan Muktamar yang mendapat sambutan amat meriah, tapi mengharukan. Meriah karena banyak cabang-cabang yang hadir. Mengharukan karena terbitnya Quran Suci jarwa Indonesia yang menyemarakkan Muktamar tersebut tanpa disaksikan oleh Penterjemahnya, Bapak H.M. Bachrun yang telah berpulang ke rahmatullah beberapa bulan sebelumnya (wafat tanggal 6 Mei 1979).
Padahal beliau masih sempat memberikan Kata Sambutan Peringatan 50 tahun (Golden Jubilee) GAI untuk Buku Kenang-kenangan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia.
Dalam Muktamar ini Prof. dr. H. Ahmad Muhammad Djoyosugito terpilih sebagai Ketua Umum Pedoman Besar GAI. Di bawah pimpinan beliau kaderisasi lebih digiatkan. Dalam tahun 1980 GAI mengirimkan dua orang Muballigh lagi ke Lahore, yaitu Drs. Yatimin AS dan Suyud Ahmad Syurayuda. Setelah tiga tahun mereka menimba ilmu di Lahore kembali ke tanah air dengan membawa oleh-oleh ruhani yang sangat berguna bagi Gerakan dan semangat baru untuk berjuang membela dan menyiarkan Islam serta menyebarluaskan Ahmadiyah yang telah bertekad keluar sarang.
Tekad ini yang mendorong GAI lebih giat lagi menulis buku-buku dan brosur-brosur. Buku-buku pendidikan Agama diterbitkan oleh Yayasan PIRI misalnya: At-Tajdiid fil Islaam, Aqidah Islam, fiqih Islam, Mengenal Nabi Muhammad saw. melalui Nubuat, Pendidikan Akhlak (untuk SMTA), Pengantar Pembaharuan dalam Islam, Mengikuti Jejak Orang-orang Tulus, Ilmu Fiqih dan Ilmu Aqaid (untuk SMP), semuanya disusun oleh S. Ali Yasir, dan Paket Brosur yang diterbitkan oleh Pedoman Besar GAI Bagian Tabligh dan Tarbiyah sebanyak lima seri.
Transkripsi dan Transliterasi huruf Arab ke huruf Latin juga telah disusun. Dengan Transkripsi dan Transliterasi baru inilah GAI membela dan menyiarkan Islam dengan tulisan sehingga Ahmadiyah Lahore dikenal dan mempengaruhi para pemikir Muslim Indonesia sebagaimana diungkapkan oleh seorang sarjana dari Australia dalam tesisnya tentang Ahmadiyah, Margaret Blood, seperti termaktub dalam kutipan di permulaan tulisan ini.[]
Sumber: Buku “100 Tahun Ahmadiyah, 60 Tahun Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia: Sejarah Singkat Perkembangan dan Sumbangannya terhadap Pembelaan dan Penyiaran Islam,” Media Komunikasi No. 02/1989, diterbitkan oleh Bagian Tabligh dan Tarbiyah PB GAI.