“Niat dalam hati kita supaya murid-murid PIRI jadi jago-jago kita (Ahmadiyah — red.). Tapi kami tidak memaksa. Cuma, yang bisa saya anjurkan kepada anak didik PIRI, jadilah jago-jago Islam yang baik. Mau ikut Ahmadiyah, NU, Muhammadiyah, terserah,” (Koestirin Djojosoegito, Ketua Yayasan PIRI dalam wawancara dengan Majalah Tempo)
Oleh: Basyarat Asgor Ali | AMAI Yogyakarta
Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) adalah amal usaha GAI di bidang pendidikan. Resmi menjadi sebuah Yayasan pada tahun 1959 dengan terbitnya AD/ART dengan akte notaris No. 3 tanggal 03 Februari 1959.
Tahun 1947, Indonesia masih dalam suasana perang gerilya, baik perang dengan Tentara Belanda, maupun dengan para pemberontak yang tidak setuju dengan Pancasila sebagai Dasar Negara. Pada tahun ini, tepatnya Mei 1947, GAI mengadakan muktamar di Purwokerto. Dalam Muktamar ini antara lain diputuskan dua hal penting: pertama, menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia; kedua, menambah langkah dan tugas GAI dalam menyiarkan dan mempertahankan Islam dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah.
Minhadjurrahman Djojoseogito, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Cabang Yogyakarta, menyambut baik keputusan muktamar dengan segera membentuk panitia persiapan pendirian sekolah di Yogyakarta. Keputusan ini diambil dengan alasan bahwa saat itu Yogyakarta tengah menjadi Pusat Pemerintah RI, di samping banyak pengungsi yang datang ke Yogyakarta dari berbagai daerah yang diduduki Tentara Agresi Belanda.
Pada 1 September 1947, didirikanlah lembaga Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI), yang diketuai oleh Alimurni Partokoesoemo, dan beranggotakan Supratolo, Surono Citrosancoko, dan Ibu Kustirin Djojosoegito. Tanggal inilah yang di kemudian hari diperingati sebagai Hari jadi PIRI.
Sekolah pertama yang didirikan adalah SMP PIRI, yang penyelenggaraannya dilangsungkan setiap sore di SMP Negeri I Terban Taman. Pada bulan berikutnya, Oktober, didirikan pula SMA PIRI A, SMA PIRI B, dan SGB PIRI yang diselenggarakan sore hari, meminjam tempat di SMA Negeri VI Terban. Tahun 1948, berdiri SGA dan SMA Pendidikan yang juga diselenggarakan sore hari berlokasi di SKP Negeri Lampuyangan.
Akhir tahun 1948, tepatnya 19 Desember 1948, Yogyakarta diserbu dan diduduki Tentara Belanda. Lembaga Pendidikan PIRI pun dibekukan. Sementara itu, guru dan siswa PIRI menjadi tentara rakyat dan tentara pelajar, bergabung bersama tentara nasional indonesia memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI.
Baru pada tahun 1949, tepatnya 1 Maret 1949, Yogyakarta berhasil direbut kembali oleh gerilyawan. Perang pasca kemerdekaan pun berakhir. Indonesia diakui dunia internasional sebagai negara yang berdaulat. Setelah Yogyakarta kondusif, maka sekolah-sekolah PIRI mulai dibuka kembali.
Tanggal 19 Juni 1949, PIRI membuka kembali sekolah-sekolahnya. Selain sekolah yang lama, PIRI juga membuka sekolah baru, diantaranya adalah tambahan SMP, SKP, SGA dan SMA. Pada tanggal 1 Agustus 1950 dibuka SGB dan SMP PIRI di ndalem Mangkukusuman, Pugeran, Yogyakarta. Dan untuk pertama kalinya, siswa PIRI dapat masuk pagi hari. Tanggal 1 November 1950, SMA PIRI pindah dari jalan Pakem ke jalan Serayu 4 berlokasi di SMP Negeri V Yogyakarta.
Di tahun-tahun berikutnya, PIRI berkembang keluar kota Yogyakarta. Pada tahun 1952, GAI cabang Purwokerto mendirikan SGB PIRI yang diketuai oleh R. Soemardi Soemodiardjo. SGB PIRI diselenggarakan sore hari, bertempat di SGB Puteri Negeri Purwokerto. Namun, sekolah PIRI di Purwokerto mengalami pasang surut dan berganti-ganti. SGB hanya berlangsung selama satu tahun (1952-1953), kemudian berganti menjadi SMP, SMA, dan STM, dan kemudian saat sekarang ini berkembang menjadi SMK PIRI Kesatrian, yang berlokasi di Jalan Kesatrian, Purwokerto. Di Madiun juga berdiri SGB PIRI sejak tahun 1953, lalu berdiri SMP PIRI Madiun tahun 1957, dan STM PIRI Madiun pada tahun 1967. Sayang sekali, sekolah-sekolah PIRI di Madiun tidak bisa bertahan lama.
Pada tahun 1953, sekolah PIRI dipusatkan di tanah sewa seluas 1,5 hektar di kawasan Baciro. Di sini didirikan Masjid PIRI dan Pondok PIRI, dengan Kepala Pondok Minhadjurrahman Djojosoegito. Pada perkembangan berikutnya, kompleks Baciro berkembang menjadi kompleks pusat Yayasan dan Sekolah-sekolah PIRI sampai dengan sekarang.
Tanggal 25-28 Desember 1958, Muktamar GAI melahirkan dua keputusan penting. Pertama, GAI memandang perlu merubah status PIRI menjadi organisasi otonom, di luar struktur organisasi GAI. Kedua, membentuk badan penerbitan yang menangani usaha-usaha syiar Islam GAI dalam bidang penerbitan buku, majalah, brosur, dan lain-lain.
Tugas penyelesaian PIRI menjadi badan hukum berbentuk Yayasan diserahkan kepada R. NG. H. Minhadjoerrahman Djojosoegito dalam kedudukannya sebagai pendiri. Dan Ibu Kustirin Djojosoegito ditunjuk sebagai Ketua Yayasan PIRI yang pertama. Pada tahun 1959, PIRI menerbitkan AD/ART dengan akte notaris No. 3 tanggal 03 Februari 1959. Dengan demikian, PIRI mempunyai kebebasan penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sekalipun dalam hal pemeliharaan ruhani, PIRI tetap bersumber kepada GAI.
Sampai dengan saat sekarang ini, PIRI telah berkembang dan memiliki lembaga pendidikan dari Pendidikan TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Di Yogyakarta terdapat di beberapa lokasi, yakni Baciro, Nitikan, Pugeran, Ngaglik, dan Gedongkuning. Di Purwokerto terdapat SMK PIRI Ksatrian berlokasi di Jalan Kesatrian. Di Lampung terdapat SMP dan SMA PIRI berlokasi di Desa Margodadi, dan juga SMEA PIRI di Simpang Sumsel.[]
* lihat juga artikel terkait dan buku terkait
Comment here