Sentuhan Rohani

Mengapa harus Taubat?

Manusia pada dasarnya lemah. Sementara itu, banyak sekali beban hukum Allah Ta’ala yang diletakkan di pundaknya. Karena itu, sudah pada fitrahnya juga bila ia gagal dalam melaksanakan dan mematuhi sebagian hukum Allah. Sebab, nafsu amarah kadangkala mengalahkannya juga.

Karena sifat fitriah itu, maka ia memiliki hak untuk bertaubat dan beristighfar manakala ia terpeleset dalam perbuatan salah dan dosa. Dan melalui kasih-Nya, Allah akan menyelamatkan manusia yang bertaubat dan beristighfar, dari kebinasaan.

Allah adalah Maha penerima taubat (At-Tawwaab) dan Maha pengampun dosa (Al-Ghafuur). Andai Allah tak menerima taubat manusia, maka tentu beban hukum-Nya yang banyak sekali itu tidak akan pernah diberikan-Nya kepada manusia.

Taubat berarti pernyataan seseorang untuk meninggalkan kejahatan, dan penegasan bahwa sesudah itu ia tidak akan pernah melakukannya lagi, meski ia diancam dilempar ke dalam api sekali pun.

Manakala manusia bertaubat dengan hati tulus dan tekad yang kuat, maka Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih akan mengampuni dosanya dan membatalkan hukuman atau siksaannya.

Salah satu sifat utama Allah adalah suka menerima taubat dan menyelamatkan manusia dari kebinasaan. Andai manusia tak mau bertaubat dan tak punya harapan taubatnya diterima, maka ia tentu tak akan berhenti dari berbuat dosa.

Agama Kristen juga mengakui konsepsi pertobatan semacam ini, dengan syarat yang menyatakan taubat seorang Kristiani.

Sementara dalam Islam, taubat tidak mempersyaratkan agama tertentu. Dengan mengikuti agama masing-masing, taubat seseorang bisa diterima. Dosa yang tersisa hanyalah dosa orang yang mengingkari Kitab Allah dan UtusanNya.

Manusia tidak mungkin bisa memperoleh keselamatan hanya dengan mengandalkan perbuatannya semata. Tetapi, keselamatan itu diperoleh atas kemurahan Allah, yang menerima taubatnya. Dengan karunia-Nya, Allah memberi seseorang kekuatan untuk taubat, sehingga dia terlindung dari dosa.

Sadarilah, ketika manusia menolak untuk bertaubat dan menerima pengampunan, pada hakikatnya ia tengah menutup pintu kemajuannya sendiri.

Sungguh, manusia tidak akan menjadi sempurna dengan sendirinya. Ia disempurnakan oleh Tuhannya. Sebagaimana juga halnya sesudah dilahirkan, barulah secara bertahap manusia dapat memperluas pengetahuannya. Ia tidak lahir dalam keadaan sudah menjadi orang terpelajar.

Saat manusia dilahirkan, dan memperoleh kecerdasan, keadaan akhlaknya sangat rendah. Karena itu, jika seseorang memperhatikan keadaan anak-anak, dia akan paham bahwa kebanyakan anak mempunyai sifat serakah dan iri hati. Saat ada pertengkaran sedikit saja, mereka cenderung saling memukul.

Mereka sering berbohong, menunjukkan kebiasaan melecehkan dan mencaci anak-anak lain. Beberapa anak memiliki kebiasaan mencuri, bergosip, dengki dan kikir.

Kemudian saat mereka memasuki masa muda, semangat jiwa muda mereka bergolak. Seiring dengan itu nafsu amarah menunggangi mereka. Seringkali sifat jahat mereka, yang jelas tergolong perbuatan dosa, mengemuka. Umumnya manusia melalui dan mengalami kehidupan semacam itu.

Manusia yang beruntung adalah dia yang keluar dari banjir bandang kehidupan fitriahnya, lalu kembali kepada Tuhannya dalam pertaubatan sejati, berpaling dari hal-hal yang tak layak dilakukan dan menyucikan pakaian fitriahnya.

Inilah umumnya riwayat hidup yang dialami oleh umat manusia. Jadi, seandainya Allah tak menerima taubat, berarti tidak ada keinginan Allah untuk menyelamatkan manusia.

 

(Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Chasma-i Ma’rifat, hlm. 181-184).

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here