Saya ingin bercerita sedikit tentang masjid tua ini. Umurnya konon sudah mendekati satu abad, alias seratus tahun. Cat-cat dinding bangunan terlihat mengelupas. Suasana sekitar sunyi senyap, seperti tidak ada kehidupan. Saya melihat hanya beberapa gelintir orang saja yang lau lalang di jalan. Memang, masjid ini berada di sebuah gang kecil. Tidak seperti masjid besar lainnya yang rata-rata berada di pinggir jalan raya. Dan, biasanya eye-catching banget.
Ceritanya, akhir-akhir ini, setiap hari Sabtu kami menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa masjid yang ada di Berlin. Tentu, waktu yang tepat adalah ketika waktu Dzuhur. Sekaligus agar bisa merasakan sholat berjama’ah.
Suasana terasa berbeda. Karena ini pengalaman baru saya masuk masjid, dan sholat berjama’ah dengan pemeluk Ahmadiyah. Ya, kami bertiga. Hanya bertiga, Mudatsir (sang imam), suami dan saya. Terlebih dahulu, Mudatsir, begitu dia memperkenalkan diri, menawarkan kami tempat untuk berwudlu. Kemudian kami sholat berjama’ah seperti biasa. Tidak ada yang beda. Sujud-nya sama, rukuk, begitu pula jumlah raka’at. Tapi tentu saja, kami tidak tau rangkaian bacaan sholat yang di baca Mudatsir.
Tempat sholat kami kebetulan nampak jelas sekali dari jalan. Sesekali, saya melihat beberapa orang memperhatikan kami sholat. Keki juga seh, alias ga khusyu’. Menariknya, masjid Ahmadiyah Lahore ini tidak ada pembatas antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja, tentu, barisan laki-laki berada di depan, dan perempuan di belakang. Hal ini tidak saya temukan selama saya berkeliling ke masjid-masjid Turki. Biasanya laki-laki perempuan berada di ruangan yang berbeda.
Mudatsir mulai bercerita panjang lebar tentang sejarah, bangunan serta reaksi masyarakat sekitar tentang masjid ini. Rupanya, dia bukanlah imam resmi yang dikirim dari pihak pimpinan pusat Ahmadiyah Lahore untuk Berlin. Dia bertugas di Denhag. Kebetulan, karena sang imam lagi cuti jadi dia diutus untuk menggantikan selama beberapa minggu.
Ahmadiyah memang bisa dikatakan sebagai organisasi keagamaan yang sudah well established. Hubungan para penganutnya juga dikenal sangat erat sekali. Selain itu, komunitas Ahmadiyah juga disebut-sebut sebagai komunitas muslim pertama yang mulai berdiri dan berkembang di Eropa atau di negara-negara Barat lainnya.
Kaderisasi para imam juga dilakukan dengan sangat rapi. Biasanya, pemuda-pemuda yang telah menjalankan tugas studi agama baik di Timur Tengah atau di tempat lain, akan diberikan pelatihan bahasa asing secara intensif. Masjid Ahmadiyah Lahore di luar negara Pakistan jumlahnya tak kalah banyak. Imam-imam khusus akan didatangkan langsung dari Lahore. Setiap imam mendapat tugas untuk menghidupi masjid, dan juga sekaligus menjadi duta ‘wajah’ Ahmadiyah di Negara setempat.
Sembari berbincang, saya mengamati gaya arsitektur masjid ini yang sepertinya kental akan nuansa India dan Maghrib. Ternyata memang benar, gaya masjid ini dirancang dengan perpaduan antara Taj Mahal dan Masjid Agung Cordoba. Perancang masjid ini adalah K.A. Hermann, sang arsitek ternama Berlin saat itu. Ketika terjadi Perang Dunia II, mayoritas bangunan masjid ini tidak banyak mengalami kehancuran, hanya saja menara setinggi 27 meter mengalami kerusakan parah. Dan, kedua menara yang ada sekarang merupakan bangunan baru yang dibangun tahun 1999-2000.
Di dalam masjid ini saya juga melihat berbagai versi terjemahan Al-Qur’an yang terlihat rapi di belakang tempat sholat. Dari bahasa Jerman, Turki, Arab sampai Rusia. Mudatsir berkisah, pihak Ahmadiyah Lahore seringkali dimintai untuk mengalihbahasakan ke berbagai bahasa. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya pun sampai ratusan eksemplar. Jika mereka tidak mempunyai biaya, maka pihak Ahmadiyah Lahore ini akan memberikan secara cuma-cuma.
Cerita menarik yang kami dengar dari Mudatsir adalah tentang seorang Yahudi yang pernah diundang untuk mengisi acara keagamaan yang digelar di masjid ini. Tak hanya sekali, namun berkali-kali. Namanya, Hugo Marcus, seorang muallaf yang dikenal paling leading di antara muslim Jerman lainnya ketika itu. Sebelum menjadi muslim, ia merupakan penganut Yahudi yang mendalami studi Islam. Dia merupakan pakar dalam kajian Islamic Studies saat itu. Makamnya pun, konon, berada berdekatan dengan masjid ini. Tidak jauh, hanya beberapa ratus meter saja.
***
Untuk kesekian kalinya, pertemuan saya dengan ‘yang lain’, yaitu mereka yang seringkali dianggap sebagai bukan bagian dari umat muslim oleh beberapa kalangan, toh menurut saya justru sebaliknya.
Dari masjid ini saya justru belajar tentang keterbukaan. Kebaikan menerima dan melayani jama’ah lintas aliran dan kepercayaan. Saya ingat ketika Mudatsir bercerita panjang lebar tentang sholat Jum’at yang biasanya jama’ah paling banyak justru orang-orang Arab dan Turki. Tentu, mereka ini bukanlah penganut Ahmadiyah Lahore. Juga, perempuan-perempuan Muslim yang terlihat beberapa kali mengikuti sholat Jum’at.
Dari masjid ini pula, saya belajar tentang betapa solidnya hubungan sesama penganut Ahmadiyah, juga sistem kepengurusan yang saya kira cukup baik. Kami, bahkan sempat berfikir, andai saja, organisasi masyarakat Indonesia semisal NU atau Muhammadiyah, yang mempunyai akar kuat di tanah air dan memiliki pengikut yang jumlahnya ribuan, mulai berpikir untuk go international. Tentu ini adalah hal baik. Paling tidak, untuk meramaikan corak keberagamaan, sekaligus sebagai alternatif bagi umat muslim di dunia yang masih sibuk mencari role model ber-Islam secara santun dan ramah. Namun, hal ini, tentu, dan mungkin saja bisa terjadi asalkan organisasi masyarakat tersebut tidak melulu disibukkan dengan isu-isu politik tanah air (?)
——————
Kreator : Maria Fauzi
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Pengembaraan ke Sebuah Masjid Tua Ahmadiyah di Berlin”
Comment here