Alhamdulillah, pada tanggal 22-24 Desember 2013 lalu, keluarga besar GAI bersama guru/karyawan PIRI telah menyelenggarakan Pengajian Tahunan (Jalsah Salanah). Pengajian yang berlangsung selama tiga hari dua malam, sejak Ahad sore hingga selasa siang itu diselenggarakan di Sekretariat PB GAI, Kompleks Yayasan PIRI Baciro, Yogyakarta.
Sedianya, Panitia Jalsah menghendaki untuk mengundang Kyai Kanjeng dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) selaku pimpinannya. Meski telah melakukan dua kali pertemuan dengan pihak manajemen, namun kehadiran Kyai Kanjeng dalam forum jalsah tidak dapat terlaksana, karena padatnya acara yang harus mereka hadiri di berbagai kota di Indonesia. Kendati demikian, kegiatan Jalsah akhir tahun lalu tidak kalah meriah dengan kehadiran beberapa tokoh dan akademisi, yang berkenan bersilaturahmi dan berbagi wawasan pengetahuan mereka di hadapan peserta Jalsah.
Peserta jalsah yang hadir diperkirakan sekitar 500-an orang, dari anak-anak hingga kaum pinisepuh. Warga GAI dari berbagai daerah mulai berdatangan sejak Ahad pagi. Selain dari Yogyakarta sendiri, peserta jalsah berasal dari berbagai cabang GAI, yakni Jakarta, Kediri, Blitar, Madiun, Surakarta, Magelang, Wonosobo, Purbalingga, Banyumas, Jakarta, dan Sumatera.
Sementara itu, GAI cabang Bandung tidak satupun yang dapat hadir, antara lain karena sebagian tengah menderita sakit. Sebelumnya, Bapak Ishak Hanafiah, Ketua GAI Cabang Bandung, memberitakan perihal ketidakhadirannya kepada panitia jalsah. Ketua Umum PB GAI, Bapak Fathurrahman Ahmadi, juga berhalangan hadir karena alasan sakit. Demikian halnya juga dengan Bapak Nanang RI Iskandar, Ketua Majelis Wali Amanah GAI, yang saat itu berhalangan hadir karena alasan yang sama.
Ahad, 23 Desember 2013
Bakda shalat ‘ashar berjamaah, seremoni pembukaan jalsah dilaksanakan secara sederhana di serambi Masjid Darussalam. Bapak Purwiyadi, selaku Ketua Panitia, memberikan sambutan hangat dan apresiasi atas kehadiran para peserta dalam pengajian dan silaturahmi yang diselenggarakan setiap tahun itu. Sambutan berikutnya disampaikan oleh sesepuh GAI, Bapak Dr. Soekasno Warnodirjo (GAI Kudus). Sebagai anggota Majelis Amanah, beliau didaulat oleh panitia untuk sekaligus juga membuka secara resmi pelaksana-an jalsah, karena hingga sore hari itu para Ketua PB GAI belum hadir. Kemudian acara pembukaan diakhiri dengan do’a yang dipimpin oleh Bapak K.H. S. Ali Yasir.
Selepas ‘Isya, diselenggarakan pengajian umum dengan menghadirkan Bapak K.H. Abdul Muhaimin, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede. Beliau adalah tokoh Nahdlatul ‘Ulama yang cukup populer, khususnya di Yogyakarta. Beliau adalah juga koordinator Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), yang bergerak di bidang aktivitas dialog lintas iman. Acara pengajian umum dimeriahkan oleh lantunan shalawat dan tabuhan rebana yang dibawakan oleh Grup Hadrah El-Ma. Grup ini adalah bentukan dari para santri Pondok Pesantren Al-Mahalli, Wonokromo, yang didirikan oleh almarhum Kyai Mujab Mahalli. (Klik di sini untuk melihat video ceramah K.H. Abdul Muhaimin)
Senin, 23 Desember 2013
Selepas shalat tahajud yang dilanjutkan dengan shalat Subuh berjamaah, jamaah pengajian mendapat siraman ruhani yang disampaikan oleh dua mubaligh, yakni Bapak Usman Gumanti (GAI Kediri) dan Bapak Drs. Sardiman (GAI Banyumas). Bapak Usman Gumanti antara lain menyampaikan perihal pentingnya umat manusia, termasuk warga GAI, untuk mengupayakan perdamaian dan cinta kasih di antara sesama. Karena, kedamaian adalah syarat mutlak bagi kebahagiaan manusia. Serenta itu, Bapak Sardiman menyampaikan perlunya warga GAI menghayati kembali ajaran-ajaran Islam yang telah ditajdid oleh Mujaddid Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.
Pukul 08.00 wib, dilaksanakan seminar bertajuk “GAI dan Tantangan Problematika Keberagamaan di Indonesia”. Dalam kesempatan tersebut, hadir tiga orang akademisi yang pernah melakukan penelitian tentang Ahmadiyah di Indonesia. Mereka adalah Dr. Ahmad Nadjib Burhani, M.Si., Ph.D (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Prof. Dr. H. Iskandar Zulkarnain (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Dr. H. Nawari Ismail (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
Sekretaris PB GAI, Bapak Mulyono, dalam sambutannya menyatakan bahwa konflik keagamaan yang beberapa tahun belakangan semakin bergolak di Indonesia, menimbul-kan keprihatinan bagi segenap anak bangsa, termasuk warga GAI di dalamnya. Salah satu contoh adalah banyaknya kasus konflik yang melibatkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Qadian). Meskipun secara faktual konflik itu tidak ada kaitannya dengan GAI, tetapi harus diakui bahwa hal iu secara tidak langsung telah ikut juga mempengaruhi mentalitas dan aktivitas warga GAI. Untuk itulah, PB GAI sengaja mengundang para narasumber ahli, yang diharapkan dapat memberi sumbang saran mengenai posisi dan peran GAI dalam upaya resolusi konflik tersebut. Perspektif mereka menjadi penting dan signifikan bagi GAI, karena pasti bukan atas dasar opini atau anggapan semata, melainkan didasarkan pada produk ilmiah yang telah mereka lakukan secara mendalam melalui penelitian mereka.
Dalam pengantarnya, Ibu Anis Farikhatin, selaku moderator, menyebutkan setidak-nya ada tiga macam hal yang dihadapi GAI dalam konflik keagamaan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan Ahmadiyah, yakni stigmatisasi, diskriminasi dan generalisasi. Tiga hal itu melahirkan beragam fenomena sikap dan perilaku yang terjadi di tengah warga GAI. Sebagian orang mengidap kekhawatiran yang berlebih, sebagian lagi kehilangan kepercayaan diri, bahkan ada pula yang sampai tahap apriori. Tetapi tidak sedikit pula warga GAI yang semakin teguh imannya dan semakin menguatkan semangat perjuangan syiar Islam menurut keyakinannya.
Pembicara pertama dalam seminar adalah Dr. Ahmad Nadjib Burhani. Beliau telah hadir sejak Ahad sore dan mengikuti kegiatan jalsah hingga senin sore. Dalam paparannya antara lain beliau menyampaikan mengenai peran signifikan Ahmadiyah Lahore dalam reformasi pemikiran Islam di Indonesia pada masa-masa sebelum dan sesudah kemerdeka-an. Pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, setidaknya ada dua unsur penting yang besar pengaruhnya dalam peta perkembangan revivalisme Islam di Indonesia. Kedua unsur itu adalah produk pemikiran para intelektual berpendidikan barat (dutch-educated-scholars) dan produk pemikiran para intelektual berpendidikan timur tengah (arab-educated-scholars).
Pemikiran rasional yang menjadi corak khas berbagai literatur yang diproduksi oleh Ahmadiyah Lahore berbanding lurus dengan modernisme yang berkembang di kalangan intekeltual berpendidikan barat. Karena itu, literatur-literatur itu amat besar pengaruhnya bagi banyak tokoh revolusi muslim kala itu, seperti Cokroaminoto, Agus Salim, Soekarno, dsb, yang memang besar dalam tradisi pendidikan barat. Literatur Ahmadiyah Lahore mereka gunakan untuk membangun keyakinan dan kepercayaan diri di kalangan intelektual muslim dalam rangka menghadang banjir bandang misionarisme kristen dan invasi ateisme-materialisme barat yang direpresentasikan oleh kolonial belanda masa itu.
Kontribusi Ahmadiyah dalam kebangkitan Islam di Indonesia terus berlangsung hingga era pasca kemerdekaan. Tetapi sayangnya, semangat itu tampak tidak terwariskan dengan baik pada generasi sekarang ini. Pemikiran Ahmadiyah yang dulu sangat ber-pengaruh dan digandrungi oleh banyak kalangan intelektual kala itu, kini tak lagi tampak di permukaan. Justru, Ahmadiyah kini terjebak dalam ortodoksi karena kehabisan energi untuk melakukan pembelaan diri atas berbagai serangan dan tuduhan yang dilemparkan kepadanya.
Selanjutnya, Dr. Nawari Ismail berpendapat bahwa konflik horisontal dengan latar belakang inter atau antar agama di Indonesia terjadi karena merosotnya nilai dan budaya toleransi. Di samping itu, menguatnya politik identitas yang melahirkan sikap eksklusif dan komu-nalistik menjadi faktor yang tak bisa diabaikan. Belum lagi, ketidakpahaman masyarakat akan kentalnya kepentingan politik yang menjadi biang dari setiap persoalan yang timbul. Media sosial dalam hal ini berperan sangat penting dalam membentuk opi-ni atau persepsi masyarakat. Isu eklusifitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan ber-bagai persoalan yang melingkupinya, misalnya, dalam pemberitaan seringkali terbiaskan atau terpantulkan pada Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).
Karena itu, GAI harus terus melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir gene-ralisasi stereotip, dan membangun citra positif. GAI perlu mengutamakan upaya mem-bangun relasi positif dengan Kementerian Agama, sebab ada celah penting dari regulasi Kementerian Agama dan lembaga pemerintah yang lain dengan tidak dimasukkannya GAI sebagai subyek sasaran dalam SKB 3 Menteri. GAI juga perlu melakukan wacana dan sosialisasi informasi mengenai perbedaan profil dan paham keagamaan GAI dan JAI, baik kepada masyarakat Islam maupun kepada pejabat negara khususnya pemerin-tah lokal maupun pusat.
Dalam kaitannya dengan upaya membangun relasi positif dengan berbagai pihak, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh GAI, yaitu: (1) tidak mengembang-kan kantong komunitas, (2) meningkatkan insklusivitas dalam relasi keseharian seperti kegiatan ibadah, perkawinan lintas paham, pertemanan, (3) perlu dipertimbangkan untuk mendorong anggotanya terus meningkatkan relasi dengan kelompok/oganisasi yang berorientasi kepada pengembangan hobi, bisnis, bahkan partai politik yang anggotanya berbeda paham agama, (4) mengembangkan jejaring dan kemitraan dengan kekuatan sipil yang berfokus kepada hukum dan HAM, termasuk juga dengan elite budaya-politik. (5) Perlu dipertimbangkan kejelasan afiliasi politik Gerakan Ahmadiyah.
Menurut Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, sebagai pembicara terakhir, Ahmadiyah Lahore tanpa Djojosugito tidak ada. Oleh karena itu, meletakkan sejarah permulaan Ahmadiyah Lahore padanya adalah sebuah keniscayaan. Lewat pertemuan Wali Ahmad Baig dan semangat Djojosugito untuk membebaskan umat Islam dari penetrasi Kristen, ia mendirikan Ahmadiah Centrum Lahore. Walaupun di lain pihak, ia terdesak di Muham-madiyah, setelah delapan tahun menjadi pengurus di sana.
Beliau juga menyatakan bahwa meskipun tidak bisa disamakan dan nyata benar perbedaan antara GAI dengan JAI, tetapi permasalahan yang menimpa JAI akan tetap berimbas pada GAI. Alasannya antara lain karena belum banyak yang mengerti dengan benar perbedaan keduanya. Di samping itu, juga disebabkan karena rentetan sejarah antara GAI dan JAI tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Karena itu, menurut beliau GAI harus terus melakukan berbagai upaya untuk menepis stigma itu, antara lain dengan meminimalisir penggunaan istilah-istilah yang dianggap kontroversial di kalangan umat.
Di sisi lain, GAI memiliki PIRI sebagai wadah yang paling efektif untuk menyebar-luaskan ide-ide keagamaannya dan meminimalisir kesalahpahaman yang terjadi di ma-syarakat. Pada kenyataannya, menurut beliau, PIRI adalah satu-satunya lembaga yang cukup eksis sebagai representasi GAI.
Seminar diakhiri dengan penyampaian tanggapan oleh Bapak Muslich Zainal Asikin, selaku Ketua PB GAI. Antara lain beliau menyampaikan bahwa bukan tidak mungkin GAI melakukan penyesuaian-penyesuian tertentu yang dianggap “mudharat” di kalangan umat. Istilah “Jalsah Salanah” yang digantikan dengan “Pengajian Tahunan”, menurut beliau, adalah salah satu contoh penyesuaian yang wajar terjadi di GAI.
Seminar berakhir dengan dikumandangkannya adzan Dzuhur di Masid Darussalam PIRI. Para pembicara pun bergabung dalam jamaah shalat Dzuhur bersama peserta jalsah lainnya.
Bakda shalat dzuhur, Muslimat GAI menyelenggarakan forum pengajian khusus untuk kaum wanita. Disamping itu, mereka juga menggelar bazar pasar murah yang menjual berbagai produk sembako dan pakaian murah meriah. Sementara itu, PB GAI mengadakan rapat dengan pengurus cabang. Dalam rapat tersebut, antara lain dibahas mengenai kelanjutan rencana program kaderisasi yang telah dimusyawarahkan dalam rapat pleno pada September 2013 yang lalu. Dalam rapat disepakati agar program tersebut bisa dimulai pada tahun ajaran 2014/2015, berapapun jumlah peserta yang ikut serta. Lokasi pondok untuk sementara bertempat di Rumah Cendana (rumah dinas Yayasan PIRI yang terletak di jalan Cendana, Yogyakarta).
Bakda Ashar, peserta pengajian menyimak siraman ruhani yang disampaikan oleh Bapak Sawiroji (GAI Purbalingga). Sementara selepas Maghrib, siraman ruhani disampai-kan oleh Bapak Imam Suwardi (GAI Purbalingga). Selepas Isya, diselenggarakan dialog yang dipandu oleh Bapak Mulyono dan nara sumber Bapak Ali Yasir. Kemudian dilak-sanakan pengumpulan dana spontanitas hingga sekitar pukul 11 malam.
Selasa, 24 Desember 2013
Bakda shalat Tahajjud dan shalat Subuh berjamaah, Bapak Bambang Darmaputra (GAI Jakarta) menyampaikan siraman ruhani. Sekitar pukul 08.00 wib, diselenggarakan upacara baiat. Dalam kesempatan tersebut, Bapak Ali Yasir, mewakili PB GAI, membaiat satu anggota baru dari Jakarta, yaitu Sdr Ibnu Ghulam Tufail, putra bungsu dari almarhum Bapak Suyud Ahmad Syurayuda. Alhamdulillah, bertambah lagi seorang laskar samawi dalam organisasi GAI. Mudah-mudahan dapat berjuang bersama yang lain dalam upaya pembelaan dan penyiaran Islam.
Acara dilanjutkan dengan Upacara Penutupan Jalsah. Bapak Purwiyadi, dalam sambutannya selaku Ketua Panitia, menyampaikan rasa haru atas kesetiaan para peserta yang bersedia mengikuti seluruh prosesi jalsah dari awal hingga akhir. Berikutnya disampai-kan kesan-pesan dari peserta jalsah, yang diwakili oleh Bapak Joko (GAI Magelang) dan Ibu Siti Khoiriyah (GAI Blitar). Keduanya berharap supaya kegiatan jalsah semacam ini dapat terus dilestarikan, sebagai upaya memupuk silaturahmi dan menambah kekuatan iman warga GAI. Jalsah secara resmi ditutup oleh Bapak Mulyono, mewakili PB GAI, sesudah menyampaikan pesan dan nasihat bagi segenap warga GAI.
Selepas shalat dzuhur berjamaah, para peserta mulai berbenah dan mempersiapkan kepulangan mereka ke daerah masing-masing. Semoga kita dapat berjumpa kembali pada Jalsah Salanah tahun 2014. [Reporter: Basyarat Asgor Ali]
Comment here