Banyak cara dan sarana untuk menyelamatkan keluarga, baik keselamatan di dunia maupun di akhirat kelak. Salah satu cara adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan sarana penting dalam proses pembentukan manusia seutuhnya. Melalui pendidikan, potensi-potensi manusia dapat dikembangkan dan diaktualisasikan sehingga manusia mampu menjadikan diri dan lingkungannya menjadi lebih sejahtera dan lebih baik, atau dengan kata lain menjadi manusia yang mulia.
Tujuan pendidikan untuk memuliakan manusia dapat tercapai apabila proses pendidikan yang berlangsung dapat memfasilitasi pengembangan potensi manusia sebagai makhluk biososiopsikoreligius. Dengan demikian, lembaga pendidikan bertugas untuk mengembangkan kecerdasan intelektual, sosial, emosional, praktikal,serta moral dan spiritual.
Dalam perjalanan proses pendidikan yang berlangsung di Indonesia, tampak adanya kesenjangan dalam memfasilitasi pengembangan potensi-potensi tersebut, sehingga menimbulkan disharmoni yang justru mengancam kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Semakin tingginya angka kemiskinan, kriminalitas, kekerasan, dan kerusakan alam merupakan indikasi belum tercapainya tujuan pendidikan kita.
Menurut Azra (2002) pendidikan nasional dalam berbagai jenjang, khususnya jenjang menengah dan tinggi “telah gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik.
Selanjutnya dikemukakan analisis beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar krisis mentalitas dan moral di lingkungan pendidikan nasional, diantaranya adalah:
- Pertama, arah pendidikan telah kehilangan objektivitasnya, lembaga pendidikan tidak lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral;
- Kedua, proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan lembaga pendidikan;
- Ketiga, proses pendidikan sangat membelenggu peserta didik dan guru/dosen;
- Keempat, beban kurikulum terlalu berat dan hampir sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif belaka;
- Kelima, materi pendidikan yang dapat menumbuhkan rasa afeksi umumnya disampaikan dalam bentuk verbalisme dengan rote-memorizing;
- keenam, pada saat yang sama peserta didik dihadapkan kepada nilai-nilai yang sering bertentangan;
- Dan ketujuh, para peserta didik mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik.
Masalah-masalah tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain sehingga upaya mengatasinya tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi diperlukan reformasi pendidikan nasional. Reformasi tersebut salah satunya adalah memberikan pendidikan karakter bagi masyarakat.
Karakter adalah sifat-sifat mental, moral atau akhlak yang kuat dan khas, yang membuat pemilik sifat-sifat tersebut berbeda dengan yang lain. Membangun karakter adalah proses mengukir jiwa, sehingga terbentuk jiwa yang unik, menarik dan lain daripada yang lain. Karakter tidak dapat dikembangkan dalam kemudahan dan ketenangan. Hanya melalui pengalaman cobaan dan penderitaan jiwa dapat dikuatkan.
Pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hayat melalui pengalaman sehari-hari. Pendidikan karakter dapat dilaksanakan baik melalui pendidikan formal di sekolah, informal dalam keluarga, dan non formal dalam masyarkat. Integrasi dan sinergi Tri Pusat Pendidikan inilah yang diharapkan mampu mewujudkan keberhasilan pendidikan karakter bagi masyarakat kita.
Pendidikan Karakter dalam Keluarga
Anak adalah pusat pendidikan dan pembelajaran dalam keluarga. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anak hendaknya berorientasi pada kebutuhan anak sebagai makhluk biopsikososialreligius serta menggunakan cara-cara yang sesuai dengan perkembangan anak, baik perkembangan fisik-biologisnya, perkembangan psikisnya, perkembangan sosial serta perkembangan religiusitasnya.
Dalam perkembangannya, anak-anak, khususnya yang telah mencapai usia remaja, telah mempunyai sikap tertentu, pengetahuan tertentu, dan ketrampilan tertentu. Remaja bukan seperti gelas kosong yang dengan mudah dapat diisikan sesuatu. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang berbeda dalam pendidikan bagi remaja.
Pendidikan bagi remaja hendaknya mengacu pada prinsip pendidikan orang dewasa. Lindeman (dalam Knowles,2005) menggambarkan karakteristik pembelajar dewasa sebagai berikut:
- orang dewasa termotivasi untuk belajar bila terkait dengan kebutuhan dan interes pribadinya;
- orientasi orang dewasa untuk belajar adalah berpusat pada kehidupan;
- pengalaman merupakan sumber belajar yang kaya bagi pembelajar dewasa;
- orang dewasa memiliki kebutuhan mendalam untuk mengarahkan diri sendiri;, dan
- perbedaan antar individu meningkat dengan bertambahnya usia.
Berdasar karakteristik tersebut maka pendidikan orang dewasa akan menjadi efektif dalam arti menghasilkan perubahan perilaku, apabila isi dan cara pendidikannya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakannya atau dengan kata lain materi dan metodenya berorientasi atau berpusat pada pembelajar (learner centered).
Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa pembelajaran berpusat peserta didik menggunakan fokus ganda yaitu individu pembelajar dan pembelajaran, selanjutnya dengan berdasar pada kedua fokus tersebut akan memberikan informasi dan dorongan dalam pengambilan keputusan dalam proses pendidikan.
Penjabaran dari definisi yang telah dikemukakan tersebut, selanjutnya dinyatakan ada lima faktor yang penting diperhatikan dalam prinsip psikologis pembelajaran berpusat pada anak, yaitu:
- faktor metakognitif dan kognitif yang menggambarkan bagaimana anak berpikir dan mengingat, serta penggambaran faktor-faktor yang terlibat dalam proses pembentukan makna informasi dan pengalaman;
- faktor afektif yang menggambarkan bagaimana keyakinan, emosi, dan motivasi mempengaruhi cara seseorang menerima situasi pembelajaran, seberapa banyak orang belajar, dan usaha yang mereka lakukan untuk mengikuti pembelajaran.Kondisi emosi seseorang, keyakinannya tentang kompetensi pribadinya, harapannya terhadap kesuksesan, minat pribadi, dan tujuan belajar, semua itu mempengaruhi bagaimana motivasi anak untuk belajar;
- faktor perkembangan yang menggambarkan bahwa kondisi fisik, intelektual, dan emosional dipengaruhi oleh faktor genetik yang unik dan faktor lingkungan;
- faktor pribadi dan sosial yang menggambarkan bagaimana orang lain berperan dalam proses pembelajaran dan cara-cara orang belajar dalam kelompok. Prinsip ini mencerminkan bahwa dalam interaksi sosial, orang akan saling belajar dan dapat saling menolong melalui saling berbagi perspektif individual;
- faktor perbedaan individual yang menggambarkan bagaimana latar belakang individu yang unik dan kapasitas masing-masing berpengaruh dalam pembelajaran. Prinsip ini membantu menjelaskan mengapa individu mempelajari sesuatu yang berbeda, waktu yang berbeda, dan dengan cara-cara yang berbeda pula.
Pembelajaran berpusat pada anak mendasarkan pada filosofi konstruktivisme, bahwa pengetahuan harus dibangun dan dikembangkan oleh pembelajar. Dalam pengembangan lingkungan pembelajaran maka karakteristik konstruktivisme meliputi hal-hal sebagai berikut:
- institusi pendidikan menciptakan lingkungan nyata untuk pembelajaran yang relevan;
- pembelajaran difokuskan pada pendekatan realistik untuk pemecahan masalah nyata;
- dosen/guru berfungsi sebagai instruktur, pelatih, dan penganalisis strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah;
- penekanan pembelajaran pada karakteristik konseptual, menyediakan berbagai macam contoh atau perspektif isi pembelajaran;
- sasaran dan tujuan pembelajaran harus disesuaikan dengan keadaan, bukannya ditetapkan begitu saja;
- evaluasi harus dikontrol secara internal sebagai alat analisis diri;
- institusi menyediakan instrument dan lingkungan untuk membantu para peserta didik menginterpretasikan berbagai perspektif yang ada di dunia ini; dan
- pembelajaran harus sepenuhnya dikendalikan secara internal dan dimediasi oleh pembelajar.
Berdasarkan perspektif konstruktivisme tersebut maka dapat dinyatakan bahwa pembelajaran merupakan individual discovery. Pada hakekatnya semua anak memiliki gagasan/pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa/gejala lingkungan di sekitarnya.
Sebagaimana dinyatakan oleh John Dewey (dalam Afiatin, 2005) bahwa pembelajaran sejati lebih berdasar pada penjelajahan yang terbimbing dengan pendampingan daripada sekedar transmisi pengetahuan. Pembelajaran memberikan kesempatan dan pengalaman dalam proses pencarian informasi, menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan bagi kehidupan pembelajar sendiri.
Kegiatan pembelajaran dimulai dari “apa yang diketahui anak”. Dosen/guru/orang tua tidak dapat mengindoktrinasi gagasannya supaya anak mengganti gagasan yang telah dimiliki. Arsitek pengubah gagasan anak adalah anak sendiri dan dosen/guru/orang tua berperan sebagai fasilitator dan penyedia kondisi supaya proses belajar dapat berlangsung.
Melalui pembelajaran yang berpusat pada anak yang mendasarkan pada filosofi kontruktivisme ini maka fungsi dosen/guru/orang tua berubah dari pengajar menjadi mitra pembelajaran (fasilitator).
Menurut Knowles, dkk (2005) perubahan peran dari pengajar (teacher) menjadi fasilitator pembelajaran memerlukan sejumlah ketrampilan yang berbeda. Sebagai pengajar berfungsi sebagai perencana dan penyampai isi materi pengetahuan sehingga sangat diperlukan ketrampilan presentasi.
Sementara sebagai fasilitator berfungsi sebagai perancang dan pengelola memerlukan ketrampilan dalam membangun hubungan baik, mampu melakukan pengukuran kebutuhan, melibatkan anak dalam perencanaan, menghubungkan anak dengan sumber-sumber belajar, dan memunculkan inisiatif anak.
Fasilitator (Dosen/Guru/Orang tua) pada pembelajaran berpusat pada anak perlu memiliki karakteristik dan bekerja berdasar asumsi bahwa semua anak memiliki potensi untuk belajar. Dalam upaya memaksimalkan pembelajaran, fasilitator perlu membantu para peserta didik agar mereka merasa nyaman mendiskusikan perasaan dan keyakinan mereka.
Memperhatikan dan peduli terhadap kebutuhan sosial, emosional, dan fisik anak merupakan hal yang sangat penting dimunculkan dalam pembelajaran. Fasilitator perlu membantu anak memahami bagaimana keyakinan mereka terhadap diri mereka sendiri mempengaruhi pembelajaran. Ketika fasilitator merasa rileks dan nyaman dengan diri mereka sendiri, maka mereka memiliki akses untuk mencapai kebijaksanaan alamiah untuk mengatasi berbagai kesulitan dalam proses pembelajaran.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator pembelajaran, diperlukan pengetahuan dan ketrampilan untuk memfasilitasi pembelajaran dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan suasana pembelajaran yang nyaman, aktif, dan inovatif serta mendorong pembelajar yang aktif, partisipatif, kritis, kreatif, bertanggung jawab, bermanfaat dan sukses.
Fasilitator adalah pribadi yang berkarakter sehingga ia akan mampu memberikan teladan, mampu memberikan motivasi dan semangat belajar, serta mampu mendorong dan menguatkan anak untuk terus menerus meningkatkan kualitas diri.
Pada hakekatnya seorang fasilitator adalah pembelajar sejati (life long learner) karena dalam proses pembelajaran, seorang fasilitator juga mengalami proses belajar. Seorang fasilitator akan dapat menjadi teladan yang baik dan efektif apabila ia telah memiliki apa yang akan diteladankan. Pada hakekatnya kita hanya dapat memberikan apa yang sudah kita miliki, bukan apa yang kita inginkan.
Peran fasilitator seperti yang telah dikemukakan di atas sangat sesuai denga apa yang telah diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa seorang pendidik adalah juga seorang pemimpin. Dalam melaksanakan kepemimpinannya, pendidik harus menerapkan Patrap Triloka: Ing ngarso sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut Wuri Handayani, yang berarti bahwa, seorang pemimpin ketika ia di depan memberikan teladan, di tengah membangkitkan semangat dan motivasi, dan ketika di belakang dapat mendorong dan menguatkan.
Dalam melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran, seorang fasilitator harus kreatif dan bijaksana dalam memilih metode pembelajaran yang akan diterapkannya. Pembelajaran berpusat pada anak yang mendasarkan pada teori adult learning juga menggunakan pendekatan belajar pengalaman (experiential learning) untuk memfasilitas proses pembelajaran.
Belajar Pengalaman dalam Keluarga
Salah satu metode pembelajaran yang efektif untuk pembelajaran dalam keluarga adalah metode belajar pengalaman (experiential learning). Menurut Lunandi (1993) metode pembelajaran dengan eksperiensial (dengan jalan mengalami), juga dikenal sebagai “pendekatan laboratories” memiliki manfaat sangat besar dalam pendidikan orang dewasa yang bertujuan meningkatkan ketrampilan dalam hubungan antar manusia, perubahan perilaku, dan kerja sama dalam organisasi.
Belajar dari pengalaman buatan ini dianggap efektif apabila peserta didik menjalani proses menurut lingkaran yang disebut The Experiential Learning Cycle. Proses belajar yang didasarkan atas pengalaman terjadi menurut suatu pola yang bermula dari sebuah pengalaman, lalu berlanjut pada perenungan dan analisa mengenai makna pengalaman itu dan mengenai kelanjutannya.
Dalam experiential learning, pengalaman diciptakan dalam suatu situasi belajar. Melalui pengalaman ini akan memberi orang pelajaran dan bahwa belajar dari pengalaman atau arti suatu pengalaman bergantung dari pengolahan oleh orang yang mengalami itu sendiri. Melalui proses pembelajaran yang difasiltasi oleh fasilitator pembelajaran yang profesional , orang itu akan menemukan sendiri pelajaran yang dapat ditarik dari pengalamannya .
Afiatin (2001) menyatakan bahwa model belajar pengalaman (experiential learning) memungkinkan individu memperoleh informasi yang melibatkan asosiasi berbagai indra, mengandung konteks emosional, asosiasi yang intens serta menggunakan modalitas belajar yang kaya, yaitu secara visual, auditorial, dan kinestetik. Melalui model ini individu dapat belajar secara utuh, yaitu melibatkan aspek kognisi, afeksi, dan konasi.
Model belajar pengalaman ini perlu dipertimbangkan sebagai model pembelajran non-tradisional. Hal ini mengingat kenyataan yang ada saat ini bahwa pembelajaran diasosikan dengan konsep sekolah, di ruang kelas, dosen/guru memberikan informasi dengan ceramah saja. Pembelajaran menjadi bersifat didaktis (bersifat instruktif, bergantung pada guru/dosen, mencapai target kurikulum yang telah ditetapkan), sehingga kesempatan individu untuk berkembang sesuai dengan potensi masing-masing kurang dapat teraktualisasi.
Melalui model belajar pengalaman individu dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya karena model belajar pengalaman bersifat aktif, self-directed, dan meliputi aspek kognisi, afeksi, dan konasi. Melalui model belajar pengalaman, selain dapat meningkatkan kualitas memori, juga tepat untuk mengajarkan suatu ketrampilan, misalnya mengajarkan ketrampilan untuk mendengarkan dengan penuh empati, ketrampilan konseling, ketrampilan menggunakan komputer, ketrampiulan menyelesaikan masalah secara efektif, dsb.
Belajar pengalaman dalam keluarga dapat diterapkan bagi semua anggota keluarga melalui kehidupan sehari-hari. Misalnya untuk memberikan kemampuan berdisiplin dan bertanggung jawab, anggota keluarga dapat memilih sendiri pekerjaan rumah tangga yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut anggota keluarga memonitor sendiri pelaksanaannya serta mendapatkan umpan balik dari anggota keluarga yang lain. Misalnya, kakak memilih untuk tugas menyiram pot bunga maka ibu, bapak, dan adik dapat memberikan umpan balik atas kinerja kakak. Demikian juga untuk penanaman kebiasaan baik, misalnya: kejujuran, kerja keras, suka menolong, dilakukan melalui keteladan nyata dan umpan balik bersama seluruh anggota keluarga.
Peran orang tua dalam pendidikan karakter adalah sebagai fasilitator. Orang tua bertugas merancang, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi hasil pendidikan karakter bagi seluruh anggota keluarga secara berkesinbambungan. Dalam proses merancang melibatkan perencanaan materi yang akan diajarkan dan ditanamkan, metode, dan settingnya. Materi pendidikan karakter meliputi pengetahuan dan nilai-nilai, baik nilai agama, sosial, dan keluarga.
Melalui metode belajar pengalaman, materi pengetahuan dan nilai-nilai dilaksanakan dan diintegrasikan dalam kehidupan seharai-hari. Misalnya tentang pengetahuan dan nilai “Pola Hidup Sehat”, orang tua dapat mengajarkan dengan cara memberikan informasi dan contoh baik tentang: makan sehat, yaitu dengan pola makan dengan gizi seimbang, aktivitas sehat, istirahat cukup, pikiran sehat, pengelolaan emosi secara sehat, aktivitas sosial sehat, pengelolaan waktu efektif-efisien dengan kegiatan produktif dan bermanfaat, peka terhadap lingkungan dan mampu menyesuaikan diri dengan baik, dan berkehidupan beragama dengan baik. Orang tua mampu menciptakan suasana kehidupan keluarga yang harmonis, penuh rasa aman dan nyaman sehingga semua anggota keluarga dapat bertumbuh dan berkembang bersama.
Pendidikan Karakter dalam Keluarga
Pendidikan karakter merupakan upaya integratif dan komprehensif yang bertujuan membentuk dan mengembangkan potensi kemanusiaan sehingga menghasilkan generasi yang kompeten dan berwatak (berakhlak) mulia. Upaya ini harus melibatkan semua pihak, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama tidak ada harmonisasi dan kesinambungan antara ketiga lingkungan tersebut.
Usaha pembentukan dan pendidikan karakter melalui lembaga keluarga dapat dilakukan setidaknya melalui pendekatan: modelling, prizing (memberi penghargaan), cherising (menumbuhsuburkan) nilai-nilai yang baik dan discouraging (mengecam) dan mencegah berlakunya nilai-nilai yang buruk, membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.
Dengan demikian perlu adanya reorientasi dalam proses pendidikan dalam keluarga baik dalam segi isi/muatan dan pendekatan sehingga proses pendidikan tidak hanya bersifat verbalism ,misalnya pemberian nasehat saja, tetapi juga disertai keteladanan, kebersamaan dan berorientasi pada terciptanya akhlak mulia untuk semua anggota keluarga.
Pendidikan karakter dalam keluarga merupakan amanah bagi kita semua. Pemahaman tentang hakekat pendidikan keluarga yang islami serta penerapanya dalam kehidupan sehari-hari merupakan wujud tanggung jawab kita sebagai umat Islam. Kontribusi nyata kita dalam mewujudkan generasi muslim yang berkualitas sangat diharapkan. Semoga kita senantiasa memperoleh ridlo dan bimbingan dari Allah SWT serta terus menerus berikhtiar di jalan yang DiridloiNya untuk dapat mewujudkan generasi penerus, muslim sejati. Amiin.[]
Penulis : Tina Afiatin Yatimin | Ketua Badan Urusan Pemuda PB GAI
DAFTAR PUSTAKA
Afiatin,T. 2001. Belajar Pengalaman untuk Meningkatkan Memori. Anima, Indonesian Psychological Journal, Vol. 17, No. 1, 26 – 35.
Azra,A. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Knowles,M.S; Holton, E.F; & Swanson, R.A. 2005. The Adult Learner. The DefinitiveClassic in Adult Education and Human Resource Development. Sixth Edition. Amsterdam: Elsevier Butterworth Heinceman.
Combs,B.L & Whisler,J.S.1997. The Learner-Centered Classroom and School. Strategies for Increasing Student Motivation and Achievement. San Francisco,California: Jossey-Bass A Wiley Company.
Comment here