Sentuhan Rohani

Penderitaan sebagai Jalan Kemuliaan

Tanda orang bertakwa adalah ia senantiasa berperang melawan ketidaksabaran. Sebab, jika tak sabar, ia bisa jatuh dalam cengkeraman setan. Tanda lainnya adalah istiqomah.

Untuk mencapai kesuksesan, manusia harus mengenal Allah, bersikap istiqomah, serta tidak takut dengan musibah, penderitaan dan ujian yang menimpanya. Manusia seperti itu akan mencapai keadaan bisa berwawan sabda dengan Allah, seperti layaknya para nabi.

Sungguh lucu! Banyak orang di dunia ini yang ingin bisa sampai di langit hanya dengan sekali tarikan napas. Sungguh keliru juga jika dikatakan bahwa dengan pergi ke tempat seorang waliyullah, ratusan orang akan serta merta juga menjadi waliyullah. Apakah mereka tak melihat keadaan kehidupan para nabi?

Allah Ta’ala berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja karena mereka berkata, kami beriman, dan mereka tak akan diuji?” (Al-‘Ankabut, 29:2).

Bagaimana manusia bisa menjadi waliyullah, bila dia belum diuji dan belum mengalami cobaan?

Allah Ta’ala mempunyai kebiasaan (sunnah), bila Ia hendak meninggalkan suatu keluarga lama, maka ia akan mengambil keluarga lain. Seperti halnya ketika ia meninggalkan Bani Israil, lalu kemudian mengambil Bani Ismail, karena Bani Israil telah terjebak dalam kesenangan dan kemewahan, serta melupakan Allah.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami mempergilirkan hari-hari di antara manusia.” (Ali Imran, 3:140).

Suatu ketika, Bayazid Bastami (Abu Yazid al-Bustami) sedang berceramah dalam sebuah majelis. Di majelis itu, hadir juga anak seorang Syaikh, yang memiliki silsilah keluarga yang terhormat.

Dalam hati si anak syaikh itu, terdapat rasa dengki kepada Bayazid. Ia berpikir bahwa Bayazid hanyalah seorang laki-laki dari keluarga biasa, yang tak memiliki kemampuan luar biasa, sehingga orang-orang tertarik kepada Bayazid dan tidak kepadanya.

Allah pun menunjukkan isi hati si anak Syekh itu kepada Bayazid. Maka, di tengah ceramahnya, Bayazid pun lantas menyampaikan sebuah kisah.

Suatu malam, dalam suatu majelis di suatu tempat, menyalalah sebuah lentera. Di dalamnya terdapat minyak tanah bercampur air. Lantas, terjadilah percakapan antara minyak tanah dan air.

Air mengatakan pada minyak tanah, “Engkau kotor. Meski begitu, engkau berada di atasku. Sedangkan aku, yang bersih ini, yang digunakan untuk membersihkan sesuatu, berada di bawah. Apa sebabnya?”

Minyak tanah berkata, “Sebab begitu banyak kesulitan dan penderitaan yang telah aku tanggung dan aku alami. Karena itulah aku bisa berada di atas dan memperoleh kemuliaan. Dulu, ketika aku masih tersembunyi di kedalaman bumi, aku begitu hina dan tak punya arti apa-apa. Kemudian atas kehendak Allah, tetiba aku diangkat dan menjadi bernilai tinggi. Aku mengalami berbagai kesulitan. Aku ditarik dari dalam bumi, dipisahkan dari air dan kotoran, lalu diangkut ke pabrik pengolahan. Setelah melalui penyulingan, sebagian hasilnya adalah aku, minyak tanah. Setelah mengalami penderitaan-penderitaan itu, tidak pantaskah aku memperoleh derajat yang tinggi dan kemuliaan?

Kisah Bayazid ini adalah kalam ibarat, bahwa seseorang bisa mencapai derajat waliyullah, sesudah dia mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan.

Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kau mengira bahwa engkau akan masuk surga, padahal belum pernah engkau mengalami apa yang dialami oleh orang-orang yang sudah lalu sebelum engkau. Kesengsaraan dan malapetaka telah menimpa mereka, dan mereka diguncangkan sehebat-hebatnya, sampai-sampai rasul dan orang yang beriman yang menyertainya berkata: Kapankah datang pertolongan Allah? Oh, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (Al-Baqarah, 2:214).

Jadi, anggapan bahwa hanya dengan berkunjung ke seorang waliyullah, tanpa ada perjuangan dan penyucian jiwa, seseorang bisa tiba-tiba termasuk golongan mereka, itu adalah anggapan yang terlalu mentah.

Allah meridhai mereka yang mengalami penderitaan seperti apa yang dialami para nabi. Allah akan selalu memasukkan hamba-Nya dalam percobaan, sebelum kemudian Ia berkenan meridhainya.

 

Sentuhan Rohani oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad
Disarikan dari Manzur Ilahi/Malfuzat Ahmadiyyah, jld. 2, hlm. 35-36.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »