Artikel

Kriteria Pemimpin Ideal Bagi Suatu Negeri

red check mark over black box

Dewasa ini, sangat banyak yang bisa menjadi seorang penguasa, tetapi sangat sedikit yang bisa menjadi seorang pemimpin. Apa bedanya?

Watak penguasa selalu ingin dihidupi banyak orang, tapi tak dapat menghidupi banyak orang lain. Mereka ingin dicukupi, tetapi selalu membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi orang lain.

Pola hidup mereka selalu bergelimang kemewahan dunia. Kekuasaan dijadikannya sarana untuk menunjang pemuasan hawa nafsunya semata. Pemaksaan kehendak menjadi sepak terjang dalam hidupnya sehari-hari, apalagi kalau sedang berkuasa.

Metode dan sistemnya adalah “tujuan menghalalkan cara”, sebagaimana ajaran Machiavelli (het doel helige de medellen). Akibatnya kerusakan terjadi di mana saja dan di bidang apa saja.

Kerusakan dari suatu negara atau bangsa itu pasti dimulai dari rusaknya para pembesarnya. Mereka durhaka dan menipu rakyatnya. Mereka mengabaikan kehidupan rohani, mempermainkan agama, bahkan menjadikannya sebagai dalil untuk menipu, menindas dan mengukuhkan kedzalimannya.

Allah telah memberi peringatan dalam Al-Quran sebagai berikut:

“Dan demikianlah, Kami jadikan di dalam tiap-tiap negeri, para pembesar yang durhaka, yang melakukan tipu daya di dalam negeri itu. Tetapi sungguh, mereka tiada menipu, kecuali diri mereka sendiri, tanpa mereka sadari.” (QS Al-An’am 6:123)

“Orang-orang yang menjadikan agama mereka untuk senda gurau dan permainan semata, mereka telah tertipu oleh kehidupan dunia. Maka pada hari ini Kami melupakan mereka, sebagaimana mereka melupakan pertemuan hari ini, sebab mereka mendustakan ayat-ayat Kami.” (QS Al-A’raf 7:51)

“Dan apabila Kami hendak menghancurkan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami meluluh lantakkannya (negeri itu). (QS 17:16)

Dari tiga ayat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kerusakan, kehancuran suatu negara telah menjadi suatu keharusan, apabila unsur-unsur yang melatarbelakanginya telah terpenuhi, antara lain:

  1. Para pembesar dari negara itu durhaka dan menipu rakyatnya
  2. Mereka menggunakan agama sebagai permainan
  3. Mereka terbelenggu dengan kemewahan dunia
  4. Mereka hidup bersuka ria melebihi batas

Manakala keadaan seperti di atas telah terjadi, maka nafsu manusia telah tak terkendalikan. Akibatnya, perang dunia tidak dapat dihindarkan, permukaan bumi pasti akan diratakan.

Kita telah pasti juga mengetahui dengan jelas dalil Qur’an yang menyatakan bahwa kebobrokan dunia di daratan dan lautan adalah akibat perbuatan tangan manusia. Allah berfirman, “Telah terbukti nyata kebobrokan di bumi (daratan) dan lautan, akibat perbuatan tangan manusia. Dia membuat mereka merasakan sebagian akibat apa yang mereka kerjakan, agar mereka mau kembali.” (QS Ar-Rum 30:41)

Secara lughawi (lahiriah), daratan dan lautan tidak ada yang rusak dan dirusak, bahkan dibangun oleh Allah dengan teknologi yang amat canggih (efferit). Semua perbaikan pembangunan untuk memenuhi hawa nafsu manusia. Bila tak memuaskan nafsunya, maka akan hancur dengan sendirinya.

Secara majazi, istilah barri (daratan) merujuk pada umat tak beragama (laa diniyyah). Mereka rusak karena memang tak memiliki pedoman wahyu dari Tuhan. Adapun istilah bahri (lautan), merujuk pada umat beragama (diniyah) yang mengenal wahyu Allah. Mereka juga menjadi rusak, karena mengubah wahyu Allah menurut kehendaknya sendiri: kadang-kadang hanya untuk membenarkan perbuatannya, tidak berbuat menurut kebenaran wahyu Ilahi.

Kalau kedua jenis umat ini, yakni “umat diniyah dan umat la diniyah” sebagaimana disebut di atas, telah sama-sama mengalami kerusakan, maka sudah selayaknya dunia ini menantikan pimpinan sejati (leader) atau Imam pada zaman-nya. Sebab, pemimpin atau Imam Zaman inilah yang mengetahui garis-garis besar program zamannya.

Imam atau pemimpin (leader) dalam khazanah Islam, bukanlah penguasa yang hanya bisa memerintah orang lain, tetapi adalah manusia yang dapat menjadi panutan, tauladan dan bimbingan serta arah tujuan hidup yang sempurna.

Dia adalah manusia pilihan Allah SWT, yang terbebas dari noda-noda kehidupan dunia, yang berhak menjadi Imamnya kaum bertaqwa (muttaqin), karena dia sendiri adalah orang yang bertaqwa.

Adapun tanda dan sifat hidup pemimpin sejati atau imam zaman itu dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Kemurnian (mukhlisin), ditandai dengan bersih agamanya dan lurus pengabdiannya (QS Al-Bayyinah 98:5). Kemurnian di sini meliputi aspek-aspek yang fundamental, yaitu:

  • Murni dalam akidah/tauhid (khaliishan fil ‘aqiidah)
  • Murni dalam syariat/ibadah (khaliishan fisy-syari’ah)
  • Murni dalam jalan yang ditempuh (khaliisan fith-thariiqah)
  • Murni dalam perbuatan/amaliah (khaliisan fil ‘amaliyah)
  • Murni dalam pekerjaan (khaliisan fil-‘amaaliyah)
  • Murni dalam akhlaq/budi pekerti (khaliisan fil-khalqiyyah)
  • Murni dalam tabiat/tradisi (khaliisan fisy-syaakilah)
  • Murni dalam pelaksanaan hukum (khaliisan fil hukmiyyah)

Kedua, Keteladanan (QS Al-Ahzab 33:21). Seorang pemimpin adalah seorang contoh hidup yang mulia bagi umatnya, secara riil dapat dilihat dan diikuti jejak langkahnya, baik pikiran, perkataan maupun perbuatannya.

Ketiga, Kebenaran (QS Ali Imran 3:60). Seorang pemimpin tidak ragu-ragu dalam kebenaran yang dibawanya. Karena kebenaran hakiki adalah dari Tuhannya. Kebenaran pasti menang. Bila benar telah datang, yang batil pasti lenyap. Apabila batil (kepalsuan) masih merajalela, maka pertanda bahwa kebenaran belum terwujud. Allah SWT dalam al-Quran menyatakan, “Dan katakanlah: telah datang kebenaran dan lenyaplah kepalsuan. Sungguh kepalsuan itu pasti lenyap.” (QS Al-Isra 17:81)

Keempat, Keadilan dan Kejujuran (QS An-Nahl 16:90). Seorang pemimpin harus adil dan jujur (ihsan). Sifat adil dan jujur tidak dapat dipisahkan, bagaikan dua belah sisi dalam sau lembar mata uang.

Adil dan jujur tidak memandang kedekatan golongan atau kerabat, tetapi melihat obyek permasalahan. Seorang pencuri dari anak sendiri, sama nilainya dengan pencuri dari bangsa lain. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Muhammad saw., “Bila Fatimah mencuri, akan kupotong tangannya.” (Al-Hadits)

Allah memberi peringatan dalam al-Quran, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri, atau terhadap kedua orangtuamu atau kerabatmu. Bila dia kaya atau miskin, maka Allah lebih berhak atas mereka berdua. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, agar kamu tak menyimpang. Dan jika kamu memutar balik atau berpaling (dari kebenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Waspada terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS An-Nisa 4:135)

Kelima, Kemanfaatan (QS Al-Anbiya 21:107). Seorang pemimpin hidupnya harus selalu bermanfaat bagi umat manusia, bahkan untuk alam semesta. Sebaik-baik manusia adalah dinilai dari seberapa kemanfaatannya bagi manusia (khairun-naas ‘anfauhum lin-naas).

Al-Quran memberi gambaran tentang kebenaran dan kepalsuan bagaikan air dan buih. Air bermanfaat, buih akan lenyap karena tak ada manfaatnya. Dalam surat Ar-Ra’du ayat 17, ditegaskan, “Maka adapun buih akan lenyap dengan sia-sia. Adapun apa yang berguna bagi manusia, akan berdiri teguh di muka bumi. Demikian Allah membuat perumpamaan.” (QS Ar-Ra’d 13:17).

Mereka yang mengaku sebagai pemimpin, kalau ternyata tidak membawa manfaat bagi masyarakat, pasti akan lenyap. Karena tidak memiliki akan yang kokoh, maka robohlah dengan sendirinya, dan akan berfungsi sebagai kayu bakar saja.

Keenam, Kebijaksanaan (QS An-Nahl 16:125). Pemimpin yang bijaksana sajalah yang dapat membawa masyarakat ke jalan kebenaran. Walaupun seorang pemimpin memiliki otoritas (kewenangan), namun dalam menjalankan kepemimpinannya harus bijak, dengan nasehat yang baik untuk menumbuhkan nalar pemikiran yang sehat, konstruktif, produktif dan aktif.

Penolakan gagasan, ide atau rencana yang kurang baik atau mungkin salah, harus dilakukan dengan cara yang lebih baik (bil hikmah). Dengan demikian tidak membuat manusia lain kecewa dan mendendam. Pemimpin yang banyak membuat tekanan, tidak tahan lama, karena tidak dicintai rakyat.

Ketujuh, Keamanahan (QS Al-Mu’minun 23:8). Seorang pemimpin adalah pemegang amanah (kepercayaan), bukan pemilik warisan nenek moyang. Pada waktu menerima amanah (tugas) pasti mengucapkan sumpah dan janji.

Sumpah ditunjukkan kepada Allah, sedang janji kepada manusia. Ingkar janji berarti melanggar sumpahnya. Ini berarti manusia telah berbuat kejam terhadap dirinya, mengkhianati hati dan jiwanya sendiri. Terjadilah kekacauan dalam batinnya, hidupnya tidak akan tenang, gelisah, akhirnya terjadilah stres dalam jiwanya.

Banyak pemimpin yang stres, karena melanggar sumpah dan janjinya. Biasanya ia selalu memperkaya diri sendiri, melupakan nasib umatnya, dan pembohong dan penipu.

Kedelapan, Kesabaran (QS Al-Ashr 103:3). Seorang pemimpin memang harus memberi nasehat kepada umat dan berpesan untuk tetap dalam kebenaran (al-haq). Untuk menganjurkan, mengajak dan menjalankan kebenaran dibutuhkan sifat mulia, yaitu kesabaran. Tanpa kesabaran, kebenaran akan kandas. Emosi, nafsu rendah, tak dapat bersatu dengan kesabaran. Kunci dari Al-Falah (kemenangan) adalah sabar.

Allah memberi garis dalam al-Quran sebagai berikut: “Hai orang yang beriman, bersabarlah dan tingkatkanlah kesabaran, dan kuatkanlah serta berbaktilah kepada Allah, agar supaya kamu mendapat kejayaan.” (QS Ali Imran 3:200).

Untuk pelaksanaan sabar, manusia diperintah agar mencontoh kehidupan para Utusan Allah, para Nabi, Ulul Azmi, dimana para Rasul dalam menegakkan kebenaran penuh bala’, derita dan penganiayaan. Penjelasan Al-Quran sebagai berikut, “Maka bersabarlah seperti sabarnya orang yang teguh hatinya dari para Utusan (Rasul), dan janganlah engkau minta segera turun (adzab) bagi mereka.” (QS Al-Ahqaf 46:35).

Rasulullah Muhammad saw. telah memberi peringatan, tentang siapa saja orang yang mendapat ujian, cobaan (bala) yang paling berat sebagai berikut: “Dari Sa’ad, Nabi Muhammad saw. bersabda: Manusia yang mendapat ujian (cobaan) paling berat adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang mengikutinya. Maka yang mengikutinya itu diuji berdasar tingkat agamanya. Apabila dalam agamanya kuat, maka berat juga ujiannya.” (HR Bukhari).

Kesembilan, Ketawakalan (QS Ath-Thalaq 65:3). Tawakal artinya bersandar atau bergantung. Seorang pemimpin harus bersandar kepada Allah. Bila bergantung kepada yang lain selain Allah, dia akan kecewa. Siapa pun selain Allah adalah lemah dan menipu. Kekuatan massa, pendukung, fisik dan power politik adalah fatamorgana, bagaikan buih di waktu hujan. Kekuatan hakiki adalah kebenaran. Karena kebenaran itu dari Allah, maka kalau berjalan dalam kebenaran untuk kebenaran, karena kebenaran, maka akan dijamin oleh Allah, dengan dijaga oleh ribuan malaikat Allah.

Kesepuluh, Ketaatan (QS Al-Ahzab 33:71). Seorang pemimpin harus mencapai tingkat loyalitas (ketaatan) yang tinggi dan mutlak yaitu kepada Allah dan UtusanNya. Ini berarti hanya patuh kepada hukum, aturan, undang-undang yang dibuat dan disepakati bersama, tanpa memandang untung dan rugi bagi pribadinya.

Ketaatan kepada manusia hanya dalam kebaikan, bukan dalam kemaksiatan dan kejahatan. Sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad saw., “Tak ada ketaatan di dalam maksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya di dalam kebaikan.” (HR Muslim).

Setelah kita melihat tanda-tanda kepribadian seorang pemimpin, maka kita perlu melihat program hidup dan kerjanya sehari-hari, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. Meratakan kesejahteraan umat (‘amru bi shadaaqatin, memerintah untuk bersedekah), artinya mengentaskan kemiskinan dan mengangkat penderitaan rakyat.
  2. Meratakan keadilan (kebaikan) dan memberantas kejahatan (amar ma’ruf nahi munkar)
  3. Meratakan kedamaian umum (aw ishlaahu baynan-naas), atau membuat perdamaian antara manusia (QS An-Nisa 4:144 dan QS Ali Imran 3:104)

Tiga program tersebut merupakan program jangka pendek, untuk menuju tercapainya program jangka panjang, yaitu “menuju masyarakat tauhid”, yang berwujud “dunia yang suci, penuh pengampunan dari Allah Rabbul ‘Alamin” (QS Saba 34:15).

Dan akhirnya, marilah kita berdoa, “Tuhan kami, berikanlah kepada kami istri dan anak cucu yang menyejukkan pandangan kami. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al-Furqan 25:74).[]

Penulis: K.H Sayyid Ahmad Yazid Burhani
Penyunting: Asgor Ali

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »