Artikel

Perlunya Pembaruan Sistem dan Pemberdayaan Ekonomi di Tubuh Gerakan Ahmadiyah

Tampaknya ada benarnya, apabila di tahun 2008 ini akan ada titik balik Gerakan Ahmadiyah. Tepat di usia 100 tahun pasca wafatnya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagaimana kasyaf yang diterima oleh salah satu anggota Ahmadiyah Lahore, yang disampaikan kepada Amir AAIIL pada waktu Jalsah tahunan di Suriname beberapa tahun lalu.

Sebabnya, keadaan dunia dan umat saat ini sama persis ketika HMGA diperintah oleh Allah SWT untuk mendirikan Gerakan Ahmadiyah. Pada waktu itu, kekuasaan imperialisme beserta kapitalismenya tengah berada pada puncaknya, dengan dukungan kekuatan Dajjal, Yakjuj dan Makjuj, di berbagai penjuru dunia, termasuk Nusantara.

Kita tentu ingat, siapa yang pertama kali datang sebagai penjajah di negeri kita yang tercinta ini. Mereka bukanlah penguasa, bukan juga pemerintah atau negara, tetapi hanya sebuah kongsi dagang yang bertujuan mencari bahan baku dan tenaga murah untuk ekspansi negara mereka, yang kita kenal dengan nama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Keadaan tersebut kini telah terulang kembali, dan justru lebih mengerikan. Sebabnya, imperialisme dan kapitalisme kini telah dilegalkan oleh hampir seluruh bangsa di dunia dengan program Neoliberalisme dan Pasar Bebas.

 

SISTEM EKONOMI KAPITALIS

Ajaran atau paham kapitalisme sebenarnya diilhami dan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran bangsa Eropa yang bersumber pada Kitab Kejadian 1:26-28 tentang sistem hidup kapitalistik. Sistem kapitalisme yang merupakan seni peradaban modern kaum materialis Eropa menyebabkan semakin dipusatkannya kekayaan pada segelintir orang dan menimbulkan bertambah besarnya jumlah rakyat yang miskin.

Dalam sistem kapitalisme, kekuasaan politik hanya mengekor saja kepada kekayaan. Demikian halnya dengan segala kebijakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkan suatu negara dengan mudah dapat menyatakan perang ataupun damai atas permintaan kaum kapitalis, seperti apa yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Irak, Afganistan, dan lain-lain.

Sebagian besar anak negeri ini juga tidak sadar bahwa bangsa ini pernah mengalami masa suram, ketika kapitalisme di Indonesia bersandar pada kuasa yang keji, yang mewujud dalam kepemerintahan militeris dan birokrasi negara yang korup.

Ekspansi ekonomi kapitalis adalah wajah lama dari imperialisme yang dulu pernah kita hadapi dan kita lawan. Ekonomi kapitalistik yang kita terapkan saat ini telah membuang nilai kemanusiaan dalam sampah kehidupan. Di bidang ekonomi, gagasan tentang kesejahteraan kian kabur untuk diraih. Ekonomi kapitalistik yang diusung telah menjauhkan bangsa ini dari kesejahteraan dan keadilan.

Kebijakan neoliberalisme, yang dimulai tahun 1989 ,di bawah duet Thatcher-Reagan, setidaknya mengusung empat program kebiakan: penghapusan subsidi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi keuangan, dan privatisasi.

Di bawah kebijakan tersebut ternyata dunia tidak mengalami pertumbuhan ekonomi, tetapi justru sering tidak stabil, lebih banyak spekulasi, peningkatan hutang luar negeri dan pertukaran-perdagangan yang tidak setara. Sering terjadi krisis keuangan, sementara kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan antara negara utara (yang makmur) dengan negara selatan (yang miskin) semakin lebar.

Secara riil, dampak dari kebijakan kapitalistik tersebut bisa kita rasakan dalam tiga bentuk. Pertama, Kesenjangan sosial yang sangat tajam. Pada saat ini lebih dari 100 negara pendapatan perkapita lebih rendah daripada 15 tahun yang lalu. 1,6 Milyar orang hidup sangat mengenaskan ketimbang awal tahun 1980-an. Lebih dari 820 juta orang menderita kekurangan gizi, yang 790 juta hidup di dunia ketiga.

Diperkirakan 507 juta orang yang hidup di selatan sekarang ini tidak dapat merayakan hari ulang tahun ke – 40 (mati). Dua dari lima anak menderita gangguan pertumbuhan, satu dari tiga anak kekurangan berat badan. Dua juta anak-anak terpaksa terjerumus dalam pelacuran. 130 juta anak-anak tidak memiliki akses pendidikan dasar. Dan 250 juta anak dibawah umur 15 tahun terpaksa harus bekerja.

Sedangkan di Indonesia, jumlah negara miskin lebih dari 35 juta jiwa (menurut versi dan standar yuang dibuat pemerintah) dengan pendapatan perhari di bawah US$1. Jumlah tersebut akan lebih besar jika kita menggunakan standar Bank Dunia dengan rata–rata pendapatan perhari US$ 2. Dari 37 sampai 38 juta penduduk miskin di Indonesia, 60% diantaranya petani. Sejak munculnya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 kebanyakan sektor pertanian disita untuk keperluan industri. Bahkan Bank Dunia mengusulkan adanya land administration project . Data ini akan dijadikan dasar bagi pembentukan pasar tanah untuk memudahkan investor masuk.

Kedua, Beban hutang negara miskin. Jumlah hutang luar negeri bangsa-bangsa berkembang sudah tidak normal lagi, telah mencapai 2,5 Triliun Dollar. Negara-negara berkembang tersebut menggunakan 30% sampai 40% dari total pengeluaran untuk membayar hutang luar negeri.

Hutang eksternal merupakan salah satu hambatan terbesar dalam pembangunan dan merupakan salah satu hambatan terbesar dalam pembangunan dan merupakan bom yang pada saat krisis ekonomi setiap saat bisa meledakkan pondasi ekonomi dunia. Beban hutang Indonesia terdiri dari hutang eksternal (luar negeri) mencapai 1.000 Triliyun dan hutang dalam negeri mencapai 300 Triliyun.

Anggaran belanja kita pada tahun 2006 adalah mencapai 689,59 Triliyun. Dari nilai tersebut total anggaran pengeluaran yang paling besar adalah sebesar 38,8% untuk membayar bunga hutang. Sedangkan yang paling kecil adalah untuk subsidi sebesar 10,2 %. Padahal jumlah penerimaan negara dari factor pajak yang diandalkan untuk menutup anggaran tersebut dibawah target yang jumlahnya kurang dari 28 triliyun.

Akbatnya pemerintah kembali mengandalkan sumber -sumber pembiayaan défisit yang tidak poluler yakni mencari hutang luar negeri, penerbitan obligasi, hinggá menjual saham-saham BUMN dan seluruhnya bukan tergolong penerimaan karena menjadi beban yang harus dibayar di kemudian hari.

Maka benar seperti yang disampaikan Ahmad Syafi’i Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, “Memang kondisi pemerintah sangat kacau karena terbelit hutang yang terlalu besar, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk mengangkat kepala”.

Keadaan ini sebenarnya juga telah dinubuatkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadistnya “Akan tiba saatnya bagi manusia yang tak seorang pun dapat hidup tanpa menelan riba. Dan sekiranya ada yang dapat menjauhkan diri dari riba, ia toh akan terkena debunya juga.” (Sunan Abu Daud 22 : 3).

Ketiga, Privatisasi dan kerusakan alam. Siapapun yang sudah berkuasa di negeri ini, privatisasi BUMN menjadi agenda utama di setiap tahunnya, tidak hanya terbatas pada sektor ekonomi di bidang pertambangan seperti pengelolaan Blok Cepu oleh EXXON Mobil, PT Newmont, Freeport dll tetapi juga telah merambah sektor jasa telekomunikasi, transportasi, bahkan sampai sektor pertanian baik itu pupuk, sumber daya air, dan alih fungsi lahan untuk kepentingan industri.

Bahkan yang lebih brutal lagi adalah sektor pendidikan dan kesehatan, yang nyata-nyata merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Di sektor pendidikan, terjadi komersialisasi di berbagai jenjang. Ini merupakan fakta kejam dan diskriminatif. Pendidikan bukan mengantarkan seorang peserta didik pada pencerahan melainkan pada proses seleksi kelas. Hanya mereka yang mampu yang dapat menikmati pendidikan berkualitas. Padahal pendidikan adalah akses sebagai bekal, alat, dan angkutan kelompok miskin dalam merubah nasib.

Di bidang kesehatan, setiap tahun kita ditimpa berbagai penyakit dan tak dapat dituntaskan. Puskesmas sebagai penyangga kesehatan masyarakat juga terjebak oleh komersialisasi. Kita tidak mempunyai pengendalian peredaran dan harga obat sehingga melambung. Tingkat harapan hidup yang rendah, tingginya angka kematian ibu hamil, kualitas kesehatan reproduksi perempuan yang sangat memprihatinkan. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan tingkat perolehan laba yang mampu diraup oleh beberapa perusahaan farmasi di Indonesia.

Kerusakan alam adalah dosa terbesar akbat dari sistem kapitalis ini, pencemaran yang dilakukan oleh PT Newmont Minahasa, PT Freeport dll adalah contohnya.

 

SISTEM EKONOMI SOSIALIS

Sistem sosialis bersumber pada profetik Yesaya tentang Kerajaan Damai. Dengan runtuhnya Uni Soviet bukan berarti paham ekonomi tersebut runtuh. Dengan semakin mencengkeramnya kekuatan ekonomi kapitalis dengan ciri materialis telah menjadikan tumbuh suburnya paham sosialis di berbagai negara di kawasan Amerika Latin yang dipelopori oleh Hugo Chaves (Venezuela), Evo Morales (Bolovia), Fidel Castro (Cuba), dan bahkan juga Mahmoud Ahmadinejad.

Mereka adalah pemimpin yang gila dan antusias dalam menolong rakyatnya. Ada yang memotong langsung gaji diri dan kabinetnya yang begitu besar seperti yang dilakukan oleh Evo Morales, Ini bisa kita bandingkan dengan negeri kita yang setiap tahun gaji dewan dan pejabat naik dengan kelewat batas.

Pada saat bangsa Latin melakukan nasionalisasi, justru bangsa kita tambah girang menjual aset-aset ekonomi nasional. Di waktu presiden Iran membangun perumahan untuk rakyat miskin, kita antusias melakukan penggusuran atas nama kebersihan kota. Di kala presiden Argentina mengangkat menteri yang khusus memburu mantan presiden yang kejam dan korup, kita justru mempunyai jaksa agung yang menghadiahi ampunan kepada kepala negara tersebut.

Kita rajin membuat berbagai macam aturan perubahan hukum karena ini merupakan proyek bagi pejabat dan dewan, dan mereka di negara nun jauh disana rajin melakukan praktik perubahan sosial yang nyata dan menyentuh. Hugo Chaves mempunyai kebijakan untuk kesehatan dengan meminta satu dokter bertanggung jawab penuh atas kesehatan beberapa keluarga miskin. Fidel Castro dan Ahmadinejad menetapkan pendidikan gratis bagi penduduknya dll.

Mereka di jaman dan kondisi yang sama dengan kita, mereka berkuasa di tengah encaman invasi militer seperti Iran, Cuba dan lainnya. Mereka hidup di jaman dimana gerak modal dan produksi yang tak dapat dikendalikan. Mereka hidup di tengah kucuran dana demokrasi yang digelontorkan secara rutin oleh lembaga donor dan barisan intelektual yang menyerukan liberalisasi.

Mereka bukan tidak menghadapi kesulitan dengan kondisi dan situasi yang tidak stabil baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi mereka tidak mengenal kalah. Resiko untuk memakmurkan rakyat harus ditanggung karena mereka telah mengamalkan apa yang telah diserukan oleh Nelson Mandela ”Pemimpin itu seperti gembala, dia berada di belakang kawanan, membiarkan yang paling lincah bergerak di depan diikuti domba-domba yang lain, yang tidak menyadari bahwa mereka dipantau dari belakang.

Menurut Maulana Muhammad Ali, sistem ekonomi sosialis ini tadak dapat bertahan antara 5 sampai 10 tahun karena setidaknya dua alasan. Pertama, sistem ekonomi sosialis sangat ditentukan oleh seorang pemimpin yang tidak menjamin kelangsungan sistem tersebut di kemudian hari. Sewaktu-waktu pimpinan dapat berubah disebabkan sesuatu dan lain hal misalnya kematian. Alasan kedua, gerak modal dan produksi dalam sistem ekonomi sosialis tidak dapat dikendalikan.

 

PERAN AGAMA TERHADAP KEBANGKITAN EKONOMI DUNIA

Dari fenomena di atas, yang menjadi pertanyaan kita adalah ”Dimanakah peran agama terhadap kebangkitan ekonomi dunia?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah, namun kita dapat menemukan dan menelusuri dari berbagai karya di jamannya.

Dalam konteks ini, kita dapat menemukan tiga kelompok bangsa menurut letak geografis dan agama yang dianutnya:

Pertama, Bangsa Eropa dengan agama Kristennya. Banyak ahli ilmu sosial berpandangan bahwa protestanisme adalah pangkal pola kehidupan modern atau kemajuan yang dicapai dunia saat ini. Salah satunya adalah teori Max Weber tentang Etika Protestan. Tetapi teori tersebut dibantah oleh para ahli yang lain, seperti Arnold Toyernbee, seorang sejarawan terkemuka saat ini. Toyernbee mengatakan “Modernisasi telah dimulai pada akhir abad 15 Masehi ketika orang barat berterimakasih tidak kepada Tuhan, tetapi kepada dirinya sendiri, karena ia telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan (Antroposentrisme).”

Kedua, Bangsa dari negara-negara di Asia Barat. Negara-negara Asia yang termasuk NIC’s (Newly Industrializing Countries), yakni Korea, Taiwan, Hongkong, Cina, dan Jepang, menjadi sebuah negara maju berkat ajaran atau etika Konghutcu. Etika Konghucu memang relevan, bahkan mendukung bagi usaha-usaha modernisasi dan pembangunan bangsa-bangsa industrial. Analisa tersebut disampaikan oleh Tu Wei Ming.

Ketiga, Bangsa dari Negara-negara Muslim. Dibanding dua agama monotheis lainnya, yakni Yahudi dan Kristen, Islam adalah yang terdekat dengan modernitas, demikian menurut Ernest Bellner. Hal itu disebabkan karena, masih menurut Bellner, ajaran Islam mengandung nilai universalisme skripturalis (kitab suci bukan monopoli kelas tertentu dalam hirarki keagamaan), egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kependetaan), partisipatori demokratis (meluaskan partisipasi dalam masyarakat), dan akhirnya mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan sosial.

Hal senada desampaikan oleh R.N. Bellah, Clifford Geertz dan Peter Grand. Mereka mengatakan keberhasilan Jepang dengan agama Tokhugawa-nya, gejala ini mirip dengan orang-orang di Asia Timur dan Mesir, yaitu gejala kewirausahaan (entrepreneurship) dengan bebas dan kreatif.

 

PRINSIP -PRINSIP EKONOMI AHMADIYAH LAHORE

Maulana Muhammad Ali menolak dengan keras sistem ekonomi kapitalis, karena adanya kecenderungan kekayaan hanya terpusat pada kaum kapitalis besar, tidak adanya pemerataan kekayaan, dan hak-hak buruh yang tidak dihargai. Tetapi MMA tidak begitu saja juga menerima paham sosialis, karena kecenderungannya untuk membagi kekayaan secara pukul rata antara yang malas dan yang rajin.

Islam memberikan jaminan kepada para pekerja akan upah pekerjaannya, yang besar kecilnya disesuaikan dengan prestasi kerjanya. Islam menetapkan pula pembagian bagi kaum miskin yang diambil dari harta kaum kaya.

Jadi di satu pihak, Islam menjamin sepenuhnya hak milik kekayaan orang per orang, dan tidak membatasi berapa besar kekayaan yang dimiliki dan digunakan oleh seseorang (QS 4:20). Hal ini sangat bertentangan dengan paham sosialis yang tidak mengakui adanya hak milik.

Tetapi di lain pihak, Islam memiliki aturan untuk menyamaratakan keadaan dengan mengambil sebagian kekayaan kaum kaya untuk dibagikan kepada kaum miskin sesuai peraturan zakat yang dipungut setiap tahun 1/40 dari harta milik kaum kaya.

Sistem perekonomian yang selaras dengan ajaran Islam menurut MMA adalah koperasi, termasuk di dalamnya adalah sistem perbankan. Pembentukan bank koperasi ini adalah untuk kepentingan kaum miskin dan buruh. Yang menjadi persero di dalam bank ini adalah para penyimpan sendiri, yang juga sebagai peminjam, sedangkan bunga pinjaman yang dibayarkan kepada bank itu sebagai iuran dan akhirnya bunga itu untuk kepentingan si peminjam itu sendiri.

Konsep ekonomi yang sederhana tersebut untuk konteks saat ini harus disesuaikan lagi dengan dorongan pasar bebas (Global Market Driven Forces). Terdapat tiga faktor yang mendorong ekonomi perdagangan internasional yaitu internasionalisasi komoditi, transnasionalisasi modal, dan globalisasi informasi.

Ketiga faktor tersebut akan menjadi penghubung lembaga koperasi dengan paradigma Networked Economy (Ekonomi Jaringan) yang mempersyaratkan beberapa kondisi, antara lain:

  • Ekonomi jaringan yang menghubungkan sentra-sentra inovasi, produksi, dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jaringan pasar domestik diantara sentra dan pelaku usaha masyarakat.
  • Suatu jaringan yang diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga-lembaga bisnis internasional, dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik.
  • Jaringan tersebut menerapkan sistem open consumer society cooperatives (koperasi masyarakat konsumen terbuka), dimana para konsumen adalah sekaligus pemilik dari berbagai usaha dan layanan yang dinikmatinya, sehingga terjadi suatu siklus kinerja usaha yang paling efisien karena pembeli adalah juga pemilik sebagaimana iklan di banyak negara yang menganut sistem kesejahteraan sosial masyarakat (welfare state) dengan motto ”belanja kebutuhan sehari-hari di toko milik sendiri”.
  • Ekonomi jaringan ini harus didukung oleh jaringan telekomunikasi, jaringan pembiayaan, jaringan usaha dan perdagangan, jaringan advokasi usaha, jaringan saling-ajar, serta jaringan sumberdaya lainnya seperti hasil riset dan teknologi, berbagai inovasi baru, informasi pasar, kebijaksanaan dan intelegen usha, yang adil dan merata bagi setiap warga negara, agar tidak terjadi diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu yang disudutkan sebagai beban poembangunan seperti yang terjadi selama Orde Baru.

Pada akhirnya ekonomi jaringan adalah suatu perekonomian yang menghimpun para pelaku ekonomi, baik itu produsen, konsumen, service provider, equipment provider, cargo dsb di dalam jaringan yang terhubung baik secara elektronik maupun melalui berbagai forum yang aktif dan dinamis.[]

  • Penulis : Mas Tatok Sutarta | Angkatan Muda Ahmadiyah Indonesia (AMAI) Cabang Yogyakarta
  • Naskah Ceramah disampaikan dalam Jalsah Salanah GAI di Yogyakarta, Desember 2006

 

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here