Dalam buku Bible Concordance, Cruden menyatakan bahwa umat manusia hanya menjalankan puasa pada waktu berkabung, duka cita, dan kemalangan. Pernyataan ini dilatari oleh banyak fakta, bahwa di kalangan kaum Yahudi pada umumnya, puasa dijalankan sebagai tanda berkabung dan duka cita.
Dalam Kitab Kejadian Lama, misalnya, Nabi Dawud diceritakan menjalankan puasa tujuh hari tatkala putranya yang masih kecil sakit (Sam II, 12: 16). Lalu, hari penebusan dosa, oleh Musa ditetapkan sebagai hari puasa (Im 16:29), agar supaya orang-orang merendahkan hatinya, sehingga para pendeta berkenan memberikan tebusan dosa dan menyucikan mereka. Ada pula puasa beberapa hari yang menjadi populer setelah terjadinya Hari Pembuangan Orang Yahudi, sebagai peringatan atas kejadian-kejadian yang menyedihkan tatkala Kerajaan Yudea dihancurkan (En. Br.). Antara lain, ada empat hari puasa yang dijalankan secara teratur, “untuk memperingati permulaan dikepungnya Kota Yerusalem, ditaklukkannya kota itu, dihancurkannya Kanisah, dan dibunuhnya Gedaliah” (En. Br.)
Jadi, puasa dalam agama Yahudi seakan sudah menjadi tradisi untuk memperingati kesusahan atau peristiwa yang menyedihkan. Hanya puasa Nabi Musa sebanyak 40 hari, yang dilakukan tidak untuk memperingati duka cita, melainkan sebagai persiapan untuk menerima wahyu. Puasa ini kemudian diteladani oleh Nabi ‘Isa.
Agama Kristen pun tak mengetengahkan pengertian baru tentang puasa. Sabda Yesus Kristus bahwa para murid beliau akan kerap menjalankan puasa setelah beliau mangkat, ini hanya memperkuat pengertian kaum Yahudi tentang puasa yang dihubungkan dengan duka cita dan berkabung.
Pengertian dasar tentang keharusan orang untuk secara sukarela menjalankan penderitaan dalam bentuk puasa pada waktu terjadi kemalangan dan dukacita, adalah untuk meredakan murka Tuhan dan untuk memohon kasih-sayangNya. Agaknya, pengertian inilah yang lama-kelamaan berkembang menjadi pengertian bahwa puasa adalah perbuatan untuk menebus dosa. Karena, orang beranggapan bahwa kemalangan dan malapetaka itu disebabkan karena dosa. Dengan demikian, puasa menjadi ekspresi lahiriah dari batin yang tengah menjalani pertobatan.
***
Dalam Islamlah puasa berkembang dalam arti yang baru dan luhur. Islam menolak mentah-mentah pengertian puasa yang dimaksudkan untuk meredakan murka Tuhan, atau memohon kasih sayang Tuhan dengan menjalankan penderitaan secara sukarela. Sebagai gantinya, Islam mengetengahkan syariat puasa yang harus dijalankan secara teratur dan terus menerus, sebagai sarana untuk mengembangkan daya batin manusia, seperti halnya shalat, tanpa memandang keadaan orang-seorang atau bangsa, apakah dalam keadaan senang atau susah. Walaupun Qur’an Suci menguraikan tentang puasa yang dijalankan sebagai tebusan (fidyah), tetapi itu dalam konteks sebagai alternatif dari perbuatan kedermawanan, yaitu memberi makan kepada kaum miskin atau memerdekakan budak belian.
Hal ini nampak jelas dengan diubahnya bentuk dan motif puasa, yaitu dengan dibuatnya puasa menjadi aturan yang permanen. Dengan begitu, pelaksanaan puasa tidak ada lagi hubungannya dengan soal penderitaan, kesusahan, kemalangan dan perbuatan dosa. Aturan puasa di bulan Ramadan, misalnya, dimaksud untuk melatih disiplin tingkat tinggi bagi jasmani, akhlak dan rohani.
Dalam Qur’an Suci dijelaskan, bahwa tujuan puasa yang sejati ialah untuk menjaga diri dari kejahatan (tattaqun). Kata tattaqun berasal dari kata ittaqa, artinya menjaga sesuatu dari yang membahayakan dan bisa melukainya, atau menjaga diri dari yang dikhawatirkan akan berakibat buruk pada dirinya (R). Akan tetapi selain arti tersebut, kata ittaqa digunakan oleh Qur’an Suci dalam arti menetapi kewajiban, seperti tersebut dalam QS 4:1, yang menyebut kata arham (ikatan keluarga) sebagai objek dari kata ittaqu. Demikian pula kata ittaqullah, dimana Allah dijadikan objek bagi kata ittaqu. Kata ittaqa dalam hal ini artinya adalah menetapi kewajiban.
Dalam Qur’an, orang yang bertaqwa (muttaqin) identik dengan orang yang telah mencapai derajat rohani yang amat tinggi (45:19, 3:75; 9:4-7, 7:128; 11:49: 28:83, 38:49, dll). Karena tujuan puasa adalah untuk menjadi orang muttaqi (2:183), maka dapat diambil kesimpulan bahwa perintah Qur’an menjalankan puasa itu bertujuan agar orang dapat mencapai derajat rohani yang tinggi.[]
[Sumber: Islamologi (Dinul Islam), Maulana Muhammad Ali, Darul Kutubil Islamiyah, 2007]
Comment here