Pada tanggal 17 Ramadhon tiap-tiap tahun umat Islam Indonesia memperingati Hari Nuzulul Qur’an. Mengenai riwayat Nuzulul-Qur’an, hanya umat Islam Indonesia sendiri yang selama ini memelihara kebiasaan memperingatinya. Dan kebiasaan ini dimulai sejak tahun 1926.
Di kota Jakarta misalnya peringatan Nuzulul-Qur’an itu diselenggarakan dalam tahun 1926 oleh prakarsa Jong Islamieten Bond (JIB), suatu persatuan pemuda Islam, para pelajar dan mahasiswa Islam Indonesia, di gedung Gang Kenari dengan pembicara almarhum H.A. Salim bekas Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.
Apakah memperingati Nuzulul-Qur’an itu bukan bid’ah? Sebab memperingati Nuzulul-Qur’an itu tidak ada dalam zaman Nabi Muhammad saw. sendiri, pun tidak pula ada dalam zaman Khulafaur-Rosyidin.
“Man sanna fil Islaami sunnatan falahuu ajruhuu wa ajruman ‘amila bila”, yang artinya: “Barang siapa mengadakan suatu acara yang baik dalam Islam, dia dikanuniai pahala dan pahala orang yang memakainya” (Hadits).
Dengan Hadits tersebut peringatan hari Nuzulul-Qur’an adalah suatu cara kebiasaan yang baik sekali, yang membangkitkan perhatian umum, khususnya umat Islam pada pimpinan Al-Qur’an untuk mengembalikan kebahagiaan dan kejayaannya.
Sebagaimana kita maklum, Qur’an Suci diturunkan pertama kali dalam bulan Ramadhon, pada suatu malam yang dikenal dengan Lailatul-Qadar. Adapun ayat-ayat yang diturunkan pertama kali di malam Lailatul-Qadar, ialah lima ayat pertama dari Surat Al-‘Alaq (Surat 96).
Dalam sebuah Hadits, Siti ‘Aisyah menceritakan turunnya ayat-ayat yang pertama ini sebagai berikut:
“Mula-mula Wahyu yang diterima oleh Rasulullah saw. berupa impian yang baik. Beliau selalu mendapat impian yang terang benderang bagaikan sinar terang di waktu pagi. Lalu beliau suka sekali pergi menyendiri di Gua Hira’, dan di sana beliau bersamadi kepada Tuhan sampai beberapa malam lamanya sebelum pulang ke rumah untuk mengambil bekal guna keperluan tersebut. Lalu beliau kembali kepada Siti Khodijah, dan mengambil bekal untuk menyendiri lagi.
Sampai pada suatu hari datanglah Kebenaran kepada beliau, sedang beliau berada di Gua Hiro’. Pada waktu itu datanglah malaikat Jibril dan berkata kepada beliau: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku bukanlah orang yang dapat membaca.”
Selanjutnya Nabi Suci berkata: “Lalu malaikat jibril memelukku begitu erat hingga aku merasa sesak karenanya. Lalu ia melepaskanku sambil berkata: “Bacalah!” Aku menjawab: “Aku bukanlah orang yang dapat membaca.” Lalu untuk yang ketiga kalinya, ia memelukku kuat-kuat; lalu ia melepaskan aku sambil berkata: “Bacalah dengan nama Tuhan Dikau yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan dikau adalah yang paling Murah hati. Yang mengajarkan dengan pena. Yang mengajarkan kepada manusia apa yang ia tak tahu.”
Lalu dengan ini Rasulullah pulang dengan gemetar hatinya. Kemudian beliau datang kepada Siti Khadijah dan berkata: “Selimutilah aku! Selimutilah aku! Lalu Khadijah menyelimuti beliau, sampai ketakutan beliau hilang. Lalu beliau menceritakan kepada Khadijah apa yang telah terjadi, dan beliau berkata, “Aku sangat mengkhawatirkan diriku”. Siti Khadijah menjawab: “Sama sekali tidak. Demi Allah, Allah tak akan menghinakan engkau, karena engkau adalah onang yang mengeratkan hubungan keluarga, dan meringankan beban kaum lemah, dan mencari uang untuk kaum miskin, dan menghormati tamu, dan menolong orang yang dalam kesusahan.” (HR Bukhari).
Wahyu yang pertama-tama diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhanmad saw. adalah lima ayat pertama dari Surat Al-‘Alaq. Surat ini dinamakan Al-‘Alaq (segumpal darah), karena dalam ayat kedua diuraikan bahwa manusia itu diciptakan oleh Allah dari segumpal darah, yang mengandung isyarat, bahwa sebagaimana manusia yang indah bentuknya itu terjadi dari asal mula yang hina.
Demikian pula Nabi Muhammad saw. mengangkat manusia dari derajat yang hina ke tingkat kemuliaan yang paling tinggi, baik akhlak maupun ruhaninya.
Bangsa Arab adalah bangsa UMMI, bangsa yang tak dapat membaca dan menulis, kecuali hanya sebagian kecil saja. Dan Nabi Suci sendiri tak dapat membaca dan menulis. Namun demikian, Wahyu pertama yang beliau terima dari Allah adalah suatu perintah supaya membaca. Perintah supaya membaca itu diulang dalam ayat 3 dengan tambahan kalimat, “Allah itu Yang paling Murah hati,” sekedar untuk menunjukkan bahwa hanya dengan jalan membaca dan menulis, manusia dapat mencapai derajat yang mulia. Sedangkan ayat 4 menerangkan, bahwa ilmu itu diperoleh dengan jalan menggunakan pena.
“Dengan nama Tuhan dikau” dalam ayat 1 artinya “dengan pertolongan Tuhan dikau.” Digunakan kata Rabb (Yang memelihara menuju kesempurnaan) adalah untuk menunjukkan, bahwa wahyu yang dianugerahkan kepada Nabi Suci, adalah untuk membuat beliau, dan membuat seluruh umat manusia dengan perantaraan beliau, menjadi sempurna.
Peristiwa yang menyangkut turunnya wahyu pertama ini diuraikan dalam beberapa Hadits sahih, dan dari Hadits-hadits ini terang sekali bahwa jawaban Nabi Suci yang pertama kali kepada Malaikat yang mengemban wahyu ini ialah, bahwa beliau tak dapat membaca (Bukhari 1:1).
Disebutkannya pena (ayat 4) dalam wahyu yang diturunkan pertama kali kepada Nabi Suci Muhammad saw. adalah penting sekali. Ini tidak saja berarti “bantuan yang ampuh untuk mempropagandakan ilmu tentang Keesaan Ilahi”, yang harus diketemukan oleh Nabi Suci .dalam PENA, melainkan berarti pula bahwa pena harus digunakan untuk menjaga keselamatan wahyu yang dianugerahkan kepada beliau.
Adalah suatu kenyataan bahwa pena mempunyai peranan penting, baik dalam hal mempropagandakan Islam, maupun dalam melindungi Qur’an terhadap segala macam kerusakan. Tulisan dan pena disebutkan berulang-ulang dalam Qur’an, terutama sekali sehubungan dengan wahyu yang diberikan kepada Nabi Suci.
Ini menarik perhatian sekali, mengingat bahwa digunakannya tulisan bukan saja merupakan sesuatu yang baru di jazirah Arab, nelainkan pula bahwa Nabi Suci sendiri tak kenal membaca dan menulis.
Kapan Al-Qur’an oleh Allah diturunkan kepada Nabi Suci?
Qur’an Suci bersabda “Bulan Ramadhon ialah yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an selagai pimpinan bagi manusia dan tanda bukti yang terang tentang pimpinan dan pemisah” (Al-Baqarah 2:185). Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Kami, menurunkan itu pada malam yang diberkahi” (Ad-Dukhan 44:3).
Diturunkan Qur’an pada “malam yang diberkahi” mempunyai arti yang sangat dalam. Malam artinya kegelapan. Oleh karena itu berarti zaman kebodohan, tatkala ilmu sejati lenyap dari dunia. Datangnya seorang Nabi selalu didahului oleh kegelapan semacam itu. Dan pada waktu datangnya Nabi Muhammad saw., kegelapan semacam itu merajalela di semua negara di dunia.
Malam turunnya wahyu disebut malam yang diberkahi, karena dengan wahyu itu dunia menerima perwujudan Nur Ilahi yang paling besar. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkan itu pada dalam nan agung. … Malam nan agung itu lebih baik daripada seribu bulan” ((Al-Qadar 97:1, 3).
Turunnya wahyu pertama pada malam nan agung, malam nan megah, malam nan besar, atau Lailatul-Qadar, yang dijadikan nama Surat ini, mengandung maksud bahwa wahyu yang paling mulia di antara semua wahyu, kini diturunkan di dunia, dan bahwa keagungan wahyu ini dan keagungan orang yang menerimanya, pasti akan ditegakkan di dunia.
Seribu bulan dalam ayat 3 Surat Al-Qadar dapat dibandingkan dengan waktu yang lama sekali. Jika dihitung, 1000 bulan itu sama dengan 83 tahun, jadi hanya tinggal 17 tahun lagi untuk menggenapkannya menjadi satu abad. Ada sebuah Hadits yang menerangkan, bahwa pada permulaan tiap-tiap abad, akan datang seorang mujaddid di kalangan kaum Muslimin.
Lailatul-Qadar sebagai malam turunnya anugerah ruhani yang amat besar, dapat diartikan pula sebagai waktu yang selama waktu itu Nabi Suci bekerja seorang diri, tepatnya, selama dua puluh tiga tahun. Demikian pula waktu yang selama waktu itu seorang Mujaddid melaksanakan tugasnya, ini adalah waktu yang lebih banyak diturunkan anugerah ruhani daripada waktu selebihnya dari abad itu.
Lailatul-Qadar atau Malam Nan Agung
Allah SWT telah menjelaskan dalam surat 97 (Al-Qadar) sesuatu Undang-undang, kapan dan bilamana Kitab Suci atau seorang Nabi diutus ke dunia. Menurut bunyi Undang-undang itu, apabila kegelapan mencekam batin manusia dan membuat mereka begitu tersesat dan merosot akhlak mereka, hingga iman dan amal mereka, budi dan akhlak mereka, kebiasaan dan watak mereka, menjadi busuk dan kotor, dan kecintaan kepada Allah SWT lenyap sama sekali, maka di saat itu, yakni di saat kegelapan mencapai puncaknya, Allah Yang Maha-murah mempertontonkan kasih sayang-Nya. Ia menunjukkan jalan dan cara untuk memperbaiki dan mengembalikan keadaan manusia yang buruk menjadi baik.
Sehubungan dengan Undang-undang besar ini, Allah berfirman sebagai berikut: “Kami menurunkan Qur’an di malam yang gelap gulita, tatkala ini amat dibutuhkan untuk kebaikan dan pedoman bagi manusia, untuk menunjukkan jalan yang benar, dan meletakkan batas-batas Hukum dan Agama”.
Memang cahaya yang cemerlang amat dibutuhkan untuk mengenyahkan kegelapan yang suram yang melanda seluruh dunia. Dan Allah swt. berkenan menurunkan cahaya itu berupa Qur’an Suci yang melenyapkan dan menghalaukan segala keragu-raguan dan kegelapan dan menyinarkan cahaya terang.
Hendaklah difahami sedalam-dalamnya bahwa Lailatul-Qadar yang ghaib adalah tak bertentangan sama sekali dengan Lailatul-Qadar biasa yang dikenal oleh umum. “Tata tertib adalah Undang-undang Allah yang ranor satu,” dan apa saja yang dikerjakan oleh Allah dikerjakan dengan tata tertib yang sempurna. Dan untuk kepentingan ruhaninya, Ia beri bentuk kelahiran yang Ia anggap tepat dan sesuai.
Oleh karena arti ruhani Lailatul-Qadar ialah saat gelap gulita tatkala rahmat dan berkah Tuhan diturunkan di dunia untuk pedoman, dan mengembalikan keadaan manusia yang buruk menjadi baik, maka sesuai dengan ini, Allah swt. Menentukan suatu malam, yang menggambarkan bagian terakhir abad gelap yang di dalamnya kebobrokan dan kebejatan akhlak mencapai puncaknya.
Melihat dunia yang meraba-raba dalam kegelapan, maka di malam itu, Allah berkenan menurunkan Wahyu dan Hikmah-Nya kepada Nabi Suci. Oleh karena itu, malam ini disebut Lailatul-Qadar yang lebih baik dari seribu bulan, karena di malam ini, Qur’an Suci yang cahayanya dapat menghalau dan melenyapkan kegelapan ruhani, diturunkan.
Menurut pikiran yang sehat, terang pula bahwa beribadah kepada Allah yang dilakukan di zaman yang gelap dan mengerikan, ini layak mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya. Orang yang suci dan tekun beribadah di abad yang gelap, mereka lebih layak menerima barokah dan ganjaran Tuhan. Karena di zaman yang penuh percobaan, tatkala keduniawian dan kekotoran menguasai dunia, dan para pembela kebenaran terancam oleh cahaya kematian, maka tempat dan kedudukan orang-orang tulus itu ditentukan menurut penglihatan Tuhan.
Pada waktu jiwa manusia mati dan jatuh sebagai korban kecintaan kepada dunia yang kotor dan jahat, dan ditiup oleh angin samun yang mematikan, dan penyembahan kepada Allah lenyap sama sekali, dan jalan Ketulusan dan Kebenaran tertutup sama sekali, sehingga orang menjadi terpencil tanpa kawan, di saat yang mengerikan inilah iman yang kuat dan kesetiaan yang teguh kepada Allah, dan pemutusan dari segala ikatan keluarga dan kawan, dan tak gentar menghadapi segala ancaman dan bahaya kematian, sungguh-sungguh merupakan perbuatan luhur, yang hanya dapat dilakukan oleh para Nabi dan para Utusan, yang mendapat cucuran kenikmatan Tuhan dan tarikan kecintaan Tuhan.
Sungguh, keteguhan, ketabahan, kesabaran dan pengabdian di saat yang gelap seperti itu benar-benar tinggi derajatnya, yang tak diperoleh di waktu lain.
Pengalaman Khawaja Kamaludin di Malam Lailatul-Qadar
Malam Lailatul-Qadar ditandai dengan kedamaian (salam), yang dituangkan dalam hati orang-orang tulus berupa ketenteraman, yang memungkinkan mereka menerima kenikmatan Tuhan. Lailatul-Qadar itu bukan dongeng, melainkan suatu kenyataan. Khawaja Kamaludin menceritakan pengalamannya di malam Lailatul-Qadar sebagai berikut:
“Waktunya antara tengah malam dan sebelum fajar. Di saat itu, aku sedang sholat. Tiba-tiba timbul perasaan yang aneh dalam hati, seakan-akan malam yang mengelilingiku, nampak diselubungi dengan pakaian kesucian. Keinginan-keinginan rendahku hilang sama sekali. Aku menangis di hadapan Tuhan. Dalam keadaan demikian itu, aku merasa lenyap di dalam Tuhan (fana’fillaah). Aku merasa ditekan oleh sebuah beban yang tak dapat dilukiskan, dan aku berada dalam keadaan yang amat menyenangkan.
Aku tak ingat lagi apakah aku sedang sujud ataukah duduk, karena aku benar-benar dalam semadi. Dari mulutku mengalir puji-pujian dan do’a dan aku merasakan keharuan yang membasahiku.
Dalam keadaan demikan, cairan yang dingin dan manis terasa dalam mulutku. Dadaku terasa lega, dan badanku terasa segar. Sekalipun tak ada orang di sampingku, tapi aku merasa dikuasai oleh keyakinan bahwa Tuhan berada di hadapanku. Ia membisikkan kepadaku supaya berdo’a kepada-Nya, dan do’a itu akan diijabahi.”