Tujuan pokok dibangkitkannya seorang nabi ialah untuk menghidupkan iman kepada Allah yang Maha Hidup dalam batin manusia. Untuk mencapai tujuan itu, para nabi menggunakan berbagai macam cara, antara lain dengan cara menyampaikan nubuat.
Nubuat, secara harfiah artinya kabar ghaib, adalah kabar yang diterima para nabi dari hadirat Allah Ta’ala tentang suatu peristiwa atau keadaan, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Nubuat disampaikan oleh Allah Ta’ala kepada para nabi dengan tujuan untuk menghidupkan dan memberikan semangat iman kepada para pengikutnya. Oleh karena itu, berkaitan dengan hal ini, seorang nabi biasa juga disebut Basyîr (pengemban kabar baik) dan Nadzîr (pemberi peringatan).
Demikian halnya juga dengan Nabi Suci. Beliau menerima berbagai nubuat yang berisi antara lain kabar kemenangan kaum mukmin maupun kehancuran kaum kafir. Qur’an Suci, firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Suci, juga banyak mengandung nubuat. Selain dalam Qur’an Suci, nubuat-nubuat yang diterima Nabi Suci juga terdapat dalam Hadits.
Nubuat yang diterima Nabi Suci semuanya pasti terpenuhi, baik pada zamannya, pada zaman sesudahnya, maupun pada zaman akhir ini. Terpenuhinya nubuat itu adalah untuk meng-hidupkan iman kepada Allah Yang Maha-hidup dan membuktikan kebenaran Qur’an Suci dan Nabi Suci.
Nubuat Nabi Suci yang terpenuhi pada masa hidup beliau, antara lain Binasanya Abu Lahab, Hancurnya kaum Quraisy, dan Takluknya kota Mekah.
Binasanya Abu Lahab
Nubuat mengenai kebinasaan Abu Lahab, diabadikan dalam Quran Suci surat Al-Lahab sebagai berikut:
“Dua tangan Abu Lahab akan binasa, dan ia sendiri juga akan binasa. Hartanya dan apa yang ia usahakan tak akan ada gunanya baginya. Ia akan terbakar dalam api yang menimbulkan nyala. Dan istrinya pembawa fitnah. Di lehernya adalah jerat dari tali yang dipintal.” (111:1-5)
Surat ini diwahyukan kepada Nabi Suci pada zaman Mekah permulaan, sekitar tahun 610 M. Pada periode Mekah, Nabi Suci menyiarkan Islam secara diam-diam, dan hanya ditujukan kepada kaum kerabat dan sahabat karibnya saja. Tak lama kemudian barulah Nabi Suci mendapat perintah Allah untuk berdakwah secara terang-terangan (15:94). Turunnya wahyu ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa pada saat Nabi Suci berdakwah secara terang-terangan di Mekah.
Suatu ketika, Nabi Suci mengumpulkan sanak keluarga dan penduduk Mekah di Gunung Shafa. Setelah mereka berkumpul, Nabi Suci berseru: “Apakah saudara-saudara pernah menyaksikan saya berkata dusta?” Mereka menjawab: “Tidak!” Lalu Nabi Suci bertanya lagi: “Sekiranya aku berkata bahwa di belakang gunung ini telah siap pasukan yang akan menyerang kita semua, percayakah saudara-saudara sekalian?” Mereka menjawab: “Ya, kami percaya, sebab kami tidak pernah mendengar engkau berdusta!”
Kemudian Nabi Suci bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah Utusan Allah kepada kalian semua khususnya dan kepada sekalian manusia pada umumnya. Aku memberi peringatan kepada kamu tentang datangnya siksaan yang pedih.” Saat itulah Abdul ‘Uzza menyela, “Celakalah engkau! Hanya untuk inikah engkau mengumpulkan kami?” Dari peristiwa itulah, kemudian Nabi Suci mendapat wahyu Surat Al-Lahab.
Abu Lahab adalah nama kunyah atau nama julukan dari Abdul ‘Uzza bin Abdul Muthalib, yang amat keras memusuhi Nabi Suci. Ke mana saja Nabi Suci berdakwah, ia selalu mengikuti beliau dan berkata kepada orang-orang yang ditemuinya bahwa Muhammad adalah salah satu anggota keluarganya yang gila. Dalam surat Al-Lahab diterangkan bahwa ia akan binasa dan usahanya memerangi Islam juga akan sia-sia. Bahkan istrinya, Umu Jamil, yang selalu membantunya dalam memusuhi Nabi Suci, mati mengenaskan pada tujuh hari setelah mendengar berita tentang kekalahan kaum Quraisy dalam Perang Badar (624 M). Peristiwa ini terjadi kira-kira tiga belas tahun setelah turunnya surat Al-Lahab.
Dr. Basharat Ahmad, dalam kitab tafsirnya Anwarul-Qur’an, menyatakan bahwa Surat Al-Lahab banyak mengandung kalam ibarat, misalnya:
- Abu Lahab artinya bapaknya nyala api, sehingga dapat diartikan bukan hanya Abdul ‘Uzza, melainkan pula siapa saja yang memusuhi Islam.
- Kedua tangan, secara metaforis adalah kekuatan. Abu Lahab, dalam upayanya melenyapkan Islam, menggunakan dua cara, yaitu berusaha melenyapkan jamaah dan misi sucinya dan memburuk-burukkan Islam dan pembawanya, yakni Nabi Suci Muhamad saw.
- Harta dan upayanya akan sia-sia, tak ada gunanya, bukan hanya dialami oleh Abdul Uzza dan istrinya, Umu Jamil, melainkan pula oleh para penentang Islam masa kini.
- Istrinya “pembawa kayu bakar”, secara metaforis berarti “penyebar fitnah” untuk menghancurkan Islam. “Di lehernya adalah jerat dari tali yang dipintal”, secara metaforis adalah “tali intrik” atau ideologi dan sistem yang mereka ciptakan, yang kesudahannya menjerat diri mereka sendiri.
Oleh karena itu, dari keterangan tersebut dapat dimaknai bahwa nubuat “kehancuran Abu Lahab” itu tentu tidak hanya berlaku bagi “Abu Lahab” yang hidup pada zaman Nabi Suci saw. saja, melainkan pula terjadi pada banyak “Abu Lahab” di masa-masa sesudahnya, hingga akhir zaman.
Hancurnya kaum Quraisy
Mengenai kehancuran kaum Quraisy, Allah SWT. berfirman dalam Qur’an Suci surat Al-Qamar sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya peringatan telah datang kepada kaum Firaun. Mereka mendustakan semua tanda bukti Kami, maka Kami timpakan kepada mereka siksaan yang maha keras dan maha kuasa. Apakah orang-orang kafir di antara kamu mempunyai kebebasan (tersebut) dalam kitab? Atau apakah mereka berkata: Kami adalah pasukan gabungan untuk saling menolong. Pasukan gabungan akan segera dikalahkan dengan lari tunggang langgang berbalik punggung. Tidak! Malahan saat itu amat mengerikan dan amat pahit. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa itu dalam kesesatan dan kemalangan. Pada tatkala hari mereka ditarik ke Neraka di atas wajah mereka: Rasakanlah sentuhan Neraka”. (QS 54:41-48)
Wahyu yang mengandung nubuat tersebut diterima dan diumumkan oleh Nabi Suci pada zaman Mekah permulaan, sekitar tahun 614 M, pada waktu kaum kafir sedang jaya dan kaum muslimin dalam keadaan tak berdaya dan dikejar-kejar. Wahyu ini memberikan kekuatan iman kepada kaum muslimin, berupa keyakinan bahwa nubuat tersebut pasti akan terpenuhi. Dan nubuat ini akhirnya terpenuhi dengan kemenang-an kaum muslimin dalam Perang Badar, yang juga disebut sebagai Yaumul-furqân (Hari Pemisah).
Meskipun Nabi Suci telah hijrah ke Madinah, kaum Quraisy masih tetap memusuhi Islam dan bertekad untuk menghancurkannya. Pada tahun kedua Hijriah (624 M), mereka mengirimkan pasukan pilihan dalam jumlah besar, di bawah pimpinan Abu Jahal, untuk menghancurkan Islam. Pada saat itu, Nabi Suci menerima wahyu yang berisi izin dari Allah Ta’ala untuk meng-angkat senjata untuk membela diri:
“Perang diizinkan kepada orang-orang yang diperangi, karena mereka dianiaya. Dan sesungguhnya Allah itu kuasa untuk menolong mereka” (QS Al-Hajj 22:39)
Sesudah turunnya ayat tersebut, Nabi Suci segera mengum-pulkan pasukan. Seluruhnya berjumlah 313 orang, termasuk beberapa orang yang masih belia dan lanjut usia. Mereka maju ke medan perang, melawan pasukan Quraisy yang berjumlah lebih dari seribu orang, lengkap dengan persenjataannya. Melihat kenyataan ini, Nabi Suci sendiri merasa cemas, maka beliau masuk kemah dan berdoa kepada Ilahi:
“Duhai Allah, aku bermohon kepada Engkau sesuai dengan janji dan kesanggupan Engkau. Wahai Tuhan, jika demikian kehendak Engkau (kaum Muslimin kalah), niscaya Engkau tak akan disembah setelah hari ini”.
Selesai berdoa, Nabi Suci membaca ayat dalam surat Al-Qamar di atas dan maju ke medan perang. Perang diawali dengan pertarungan antar komandan pasukan. Tiga komandan Quraisy, yakni Utbah bin Rabi’ah, Syaibah dan Walid, maju ke depan dan menantang. Tantangan ini disambut oleh komandan pasukan Islam, yaitu Ali bin Abi Thalib, Hamzah dan Ubaidah. Pertarungan dimenangkan oleh ketiga komandan pasukan Islam. Karena kekalahan ketiga komandan itu, Kaum Quraisy marah. Mereka serentak menyerbu kaum muslimin dengan dasyat. Dengan gigih kaum muslimin bertahan dan akhirnya memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Hampir semua pemimpin Quraisy tewas dalam peperangan, termasuk Abu Jahal.
Perang Badar ini sungguh-sungguh membuktikan bahwa Islam dilindungi Allah, karena setiap bentuk kelemahan kaum muslimin diimbangi dengan keunggulan pada kaum Quraisy, yaitu:
- Jumlah pasukan Islam hanya sekitar 313 orang, sementara pasukan Quraisy berjumlah lebih dari seribu orang.
- Pasukan Islam terdiri dari orang-orang yang tak terlatih, dan pada dasarnya tidak suka berperang. Sebaliknya pasukan Quraisy terdiri dari tenaga pilihan dan terlatih untuk perang.
- Posisi kaum muslimin pada saat perang berlangsung kurang menguntungkan, karena berada di areal padang pasir. Sementara posisi kaum Quraisy lebih menguntungkan, karena berada di dataran tanah kering dan keras.
- Kaum muslimin maju ke medan tempur dengan perut kosong, karena sedang melakukan puasa Ramadhan. Sebaliknya, pasukan Quraisy maju ke medan tempur dengan perut kenyang, karena mereka tak puasa.
- Persenjataan kaum muslimin serba terbatas, dan hanya mengendarai 70 ekor unta dan 2 ekor kuda. Sedangkan persenjataan kaum Quraisy sangat lengkap, dengan dilengkapi 100 prajurit berkuda dan 700 onta.
Kekalahan kaum Quraisy dalam Perang Badar merupakan kehinaan besar bagi penduduk Mekah, sehingga para pemimpin Mekah melarang keluarga yang ditinggal menangisi mereka yang mati dalam pertempuran. Mereka pun bertekad untuk menebus kekalahannya. Setahun kemudian (626 M), Abu Sofyan memim-pin pasukan yang berjumlah lebih dari 3000 orang, di antaranya 200 prajurit berkuda dan 700 prajurit berbaju besi. Kaum perempuan diikutsertakan untuk membangkitkan semangat pasukan Quraisy.
Pertempuran antara kedua pasukan terjadi di perbukitan Uhud, sehingga di kemudian hari perang ini dikenal sebagai Perang Uhud. Peperangan ini juga dimenangkan oleh kaum Muslimin. Meskipun mereka menderita kerugian besar, bahkan Nabi Suci sendiri menderita luka berat, kaum Muslimin tetap menguasai medan perang dan berhasil mendesak pasukan Qurasiy sampai di Hamra’al-Asad, 8 mil dari Madinah.
Dalam tahun kelima Hijriah (627 M), kaum Quraisy berhasil menghimpun kekuatan dari berbagai kabilah Arab di sekitar Mekah, seperti: Ghatfan, Bani Salim, Bani Asad, Bani Murrah, Bani Asja’ dan Kabilah Yahudi Bani Nadlir. Terkumpullah jumlah pasukan Quraisy lebih dari 24.000 orang. Peperangan ini disebut Perang Ahzâb (Perang Sekutu). Disebut pula Perang Khandaq (Perang Parit), karena kaum muslimin mempertahankan diri dengan membuat parit yang mengelilingi Kota Madinah.
Ketika pasukan kafir berhasil menggempur parit, banyak pasukan Islam yang berputus asa, dan banyak yang bersikap munafik dengan meninggalkan medan pertempuran. Mereka antara lain dari kaum Yahudi Bani Khuraizhah, yang telah mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Peristiwa ini diabadikan dalam surat Al-Ahzab.
Tetapi orang-orang mukmin meyakini peristiwa dahsyat itu sebagai terpenuhinya janji Ilahi (QS 38:11-12), yang diwahyukan kepada Nabi Suci setelah nubuat kemenangan Islam dalam perang Badar (QS 54:41-48). Kekalahan kaum Quraisy dalam perang Ahzab itu membuat mereka tak berdaya dan sadar bahwa Islam dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. Namun demikian mereka tetap keras kepala menolak dan menentang Islam.
Takluknya kota Mekah
Nubuat Nabi Suci tentang takluknya kota Mekah, yang diwahyukan oleh Allah SWT, diabadikan dalam Qur’an Suci:
“Sesungguhnya Allah telah memenuhi impian Rasul-Nya dengan benar. Sesungguhnya kamu akan memasuki Masjid Suci, insya Allah, dengan aman, sambil mencukur dan memotong pendek rambutmu, tanpa merasa takut. Tetapi Ia mengetahui apa yang kamu tidak tahu, maka Ia mengatur kemenangan yang dekat sebelum itu.” (QS 48:27)
Ayat yang diwahyukan dalam tahun 628 M tersebut menjelaskan bahwa Nabi Suci bermimpi akan memasuki Masjid Suci (Masjidil Haram) dengan aman. Tetapi sebelum itu Allah berjanji akan memberi “kemenangan yang dekat” kepada Nabi Suci. Dalam mimpi, Nabi Suci melihat beliau sendiri dan para sahabat menunaikan ibadah haji.
Karena yakin akan kebenaran impian ini, dalam tahun ke-6 Hijriah, Nabi Suci diiringi kurang lebih 1500 sahabat berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Untuk meyakinkan kaum Quraisy bahwa tujuan mereka ke Mekah adalah hanya untuk beribadah, para sahabat dilarang membawa senjata, kecuali pedang yang disarungkan, yang menjadi bagian dari pakaian sehari-hari bangsa Arab pada saat itu.
Setibanya di Hudaibiyah, Nabi Suci menerima laporan bahwa kaum Quraisy akan menyerang rombongan kaum muslimin. Nabi Suci mengutus Utsman untuk berunding dan menjelaskan maksud kedatangan mereka. Perundingan Utsman dengan para pemimpin Quraisy berlangsung lama, bahkan tersiar kabar jika Utsman dibunuh. Nabi Suci pun kemudian meneguhkan niat untuk masuk Mekah meski harus melalui pertempuran. Seluruh sahabat bangkit dan menyatakan sumpah setia mereka untuk menyertai Nabi Suci. Sumpah setia itu dikenal dengan sebutan Bai’atur-Ridlwan (sumpah yang menyenangkan) atau Bai’atusy-Syajarah, (sumpah di bawah pohon).
Mendengar kabar tersebut, kaum Quraisy pun bergeming. Mereka lantas mengutus Suhail bin Amr Amiri untuk mengadakan perundingan damai. Setelah melalui perundingan alot, lahirlah perjanjian damai antara kedua belah pihak, yang berlaku untuk waktu 10 tahun. Perjanjian itu disebut Perjanjian Damai Hudai-biyah, yang isinya adalah:
- Kaum muslimin tak diizinkan ziarah ke Mekah pada tahun itu.
- Kaum muslimin diizinkan ziarah ke Mekah pada tahun berikutnya, tetapi tak boleh lebih dari tiga hari.
- Kaum muslimin wajib mengembalikan orang Mekah yang masuk Islam sesudah perjanjian itu ditandatangani.
- Kaum Quraisy tidak wajib mengembalikan orang Islam yang kembali ke Mekah.
- Kabilah-kabilah Arab bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak mana pun yang mereka sukai.
Pasal-pasal dalam perjanjian tersebut membuat banyak kaum muslimin marah dan merasa terhina. Tetapi Nabi Suci sendiri menerima perjanjian itu dengan suka hati, karena meyakini adanya kemenangan sejati yang menanti sesudah perjanjian itu terjadi. Keyakinan Nabi Suci itu dikuatkan dengan turunnya wahyu Allah saat beliau kembali ke Madinah:
“Sesungguhnya Kami telah memberi kemenangan kepada engkau dengan kemenangan yang terang. Agar Allah melindungi engkau dari kekurangan-kekurangan engkau yang sudah terjadi dan yang akan terjadi, dan (agar) Ia menyempurnakan nikmat-Nya kepada engkau, dan (agar) Ia memimpin engkau pada jalan yang benar. Ia menolong engkau dengan pertolongan yang perkasa.” (QS 48:1-3).
Suasana damai pasca perjanjian itu sungguh menguntungkan Islam, karena siar dakwah berjalan pesat. Keadaan itu dimanfaat-kan dengan sangat baik oleh Nabi Suci. Para da’i dan mubaligh pun dikerahkan untuk berdakwah ke berbagai tempat. Pada awal tahun 628 M, Nabi Suci mengirimkan surat dakwah kepada berbagai kerajaan di sekitar Tanah Arab. Para raja yang disurati antara lain Heraklius (Raja Romawi di Syria), Muqauqis (Raja Mesir), Khasru (Kaisar Persia), Najasi atau Negus (Raja Habsyi), Mundzir Taimi (Amir Bahrain), dan sebagainya.
Akan tetapi, keadaan damai itu hanya berlangsung selama satu setengah tahun saja, karena kaum Quraisy melanggar per-janjian. Pada suatu malam, kaum Quraisy bersama kabilah Bani Bakar menyerang kabilah Khuza’ah yang telah bersahabat dengan kaum Muslimin. Kaum Khuza’ah mengirimkan delegasi kepada Nabi Suci untuk memohon keadilan. Sesudah gagal melakukan berbagai perundingan, terjadilah pecah perang kembali antara dua pasukan. Perang yang terjadi antara lain adalah Perang Khaibar, yang terjadi di bulan Muharram tahun 7 Hijriah (629 M). Inilah yang dimaksud dengan “kemenangan yang dekat sebelum itu” dalam penutup QS 48:27.
Akhirnya, pada tahun kedelapan hijrah (630 M), Nabi Suci mengerahkan kurang lebih 10.000 orang pasukan memasuki Mekah. Nabi Suci dan para sahabat masuk kota Mekah dengan aman, karena kaum Quraisy telah menyerah tanpa syarat. Nabi Suci dan para sahabat langsung menuju Ka’bah. Setelah melakukan thawaf, Nabi Suci membersihkan Ka’bah dari tumpukan patung dan berhala. Setiap menghancurkan berhala, Nabi Suci membaca ayat: “Kebenaran telah datang dan kepalsuan telah lenyap” (17:81). Peristiwa besar ini terjadi pada tahun kedelapan hijrah (630 M).
Dengan hati bimbang dan khawatir, kaum Quraisy menanti keputusan Nabi Suci atas nasib mereka. Akan tetapi, Nabi Suci menyerukan sesuatu yang mencengangkan mereka: “Wahai kaum Quraisy, pulanglah ke rumahmu masing-masing! Kamu semuanya bebas dan merdeka! Pada hari ini lenyaplah segala celaan atas dirimu!” Pengampunan agung ini membuka hati nurani mereka yang selama 20 tahun lebih tertutup rapat. Mereka berbondong-bondong masuk Islam. Nabi Suci duduk di atas bukit Shafa menerima bai’at mereka dalam ukhuwah Islamiyah, bahwa “mereka tak akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berdusta, berzina atau membunuh anak kecil, tidak akan berkata jelek tentang wanita dan tetap setia kepada Nabi Suci.”
Inilah peristiwa besar yang dinubuatkan dalam QS 48:27 di atas, yang di kemudian hari dikenal sebagai Futuhul-Makkah. Selain sebagai penggenapan dari ru’ya Nabi Suci dalam QS 48:27, peristiwa ini juga telah dinubuatkan oleh Nabi Musa dalam Taurat (Ulangan 33:2).
Ditulis ulang dari Buku Tarikh Islam, Pendidikan Agama Islam untuk SMA/SMK kelas 1, Yayasan PIRI, Cetakan tahun 2014
Comment here