Edisi KemerdekaanTokoh

Ngabehi Djojosoegito, Sekretaris Muhammadiyah Pendiri Ahmadiyah

Ngabehi Djojosoegito, sekretaris Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah masuk pimpinan persyarikatan ini tahun 1918 hingga 1928. Dia intelektual pribumi lulusan pendidikan Belanda.

Lahir di Boyolali,16 April 1889 dan wafat 21 Juni 1966. Anak pertama Kiai Raden Nganten Mangunharso, naib di Sawit, Boyolali. Dari silsilahnya merupakan keponakan Nyai Napikah, istri KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU.

Ngabehi Djojosoegito menjabat sebagai sekretaris I menggantikan posisi Haji Fachrodin. Jabatan Sekretaris II dipegang oleh Moh. Hoesni, juga seorang intelektual progresif. Djojosoegito menguasai bahasa Belanda dan Inggris.

Dia menjabat posisi sekretaris pada masa KH Ahmad Dahlan antara 1918-1922. Di masa kepemimpinan HB Muhammadiyah beralih kepada KH Ibrahim, dia juga memegang jabatan sekretaris antara tahun 1923-1928.

Dalam Kongres Muhammadiyah ke-18 tahun 1929 di Surakarta, namanya tidak tercantum dalam daftar Hoofdbestuur Muhammadiyah. Juga nama Moh. Hoesni hilang. Hasil Kongres terjadi perubahan struktur Hoofdbestuur Muhammadiyah. Masuk nama H. Hasjim sebegai sekretaris I dan M. Junus Anies sebagai sekretaris II.

Menurut Mu’arif, peminat sejarah lulusan UIN Yogyakarta, perombakan struktur HB Muhammadiyah itu terkait kedatangan mubaligh Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Beg. Dia berceramah tentang Islam versi Ahmadiyah di rumah R. Soetopo. Dia juga diberi kesempatan mengisi pengajian di Masjid Perempuan Muhammadiyah di Kauman pada 28 Maret 1924.

Ceramah Ahmad Beg ternyata memengaruhi beberapa aktivis Muhammadiyah yang berhaluan modern. Di antara aktivis Muhammadiyah yang terpengaruh adalah Ngabehi Djojosoegito dan Moh. Hoesni.

Tahun 1925, Haji Fachrodin mewawancarai Ahmad Beg seputar paham keagamaan Ahmadiyah. Tulisan wawancara ini dimuat di majalah Suara Muhammadiyah. Dalam wawancara itu, Ahmad Beg dikritik seputar kenabian Ghulam Ahmad.

Ngabehi Djojosoegito dan Moh. Hoesni tetap mengikuti semangat gerakan ini. Kemudian mendirikan Jemaah Ahmadiyah di Yogya. Namanya kemudian berubah menjadi Haji Minhadjoerrahman Djojosoegito.

Kongres 1924

Menurut catatan sejarah Ahmadiyah Indonesia, tahun 1924 menjelang Kongres, HB Muhammadiyah menerima kunjungan dua mubaligh Ahmadiyah Lahore bernama Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Beg. Keduanya mampir ke Yogya dalam perjalanan ke Cina setelah mendengar di Jawa gerakan Kristenisasi oleh Belanda sangat gencar.

Saat Kongres Muhammadiyah, 28 Maret-1 April 1924, keduanya diberi waktu memberi sambutan. Maulana Ahmad pidato dalam bahasa Arab, sedangkan Mirza Wali Ahmad Beg dalam bahasa Inggris.

Majalah Bintang Islam dan Harian Cahaya Timur menyebut pidato kedua mubaligh itu sebagai ruh baru yang ditiupkan dalam Gerakan Islam di Indonesia.

Benar saja usai Kongres muncul ghirah para intelektual muda. Beberapa pemuda dikirim kuliah ke Lahore. Para mahasiswa itu seperti Chaffie, Machdoem, Jundab (putra dari H. Moekhtar), Moehammad Sabitoen (putra H. Abdul Wahab, Wonosobo), Maksum (putra H. Hamid), dan Jumhan atau Irfan Dahlan, putra KH Ahmad Dahlan.

Di Yogya, kalangan intelektual seperti guru-guru HIS Muhammadiyah suka diskusi dengan Mirza Wali Ahmad Beg dan membentuk kelompok studi. Begitu juga siswa Kweekschool Muhammadiyah.

Djojosoegito dan Hoesni mendirikan perkumpulan Moeslim Broederschap anggotanya kebanyakan murid-murid Kweekschool. Ahmad Beg dijadikan penasihat organisasi.

Ahmadiyah ini yang memulai terjemah al-Quran dalam bahasa selain Arab. Pemimpinnya Maulana Muhammad Ali menyusun terjemah bahasa Inggris The Holy Quran. Di zaman itu menerjemahkan al-Quran masih tabu. Orang Eropa mengenal Islam dan Quran dari terjemahan Inggris ini.

HOS Tjokroaminoto menerjemahkan The Holy Quran itu ke dalam bahasa Melayu dan dikenalkan dalam Kongres Islam di Yogyakarta, 26-29 Januari 1928.

Dalam Kongres Muhammadiyah ke-17, tanggal 12-20 Februari 1928, Sekretaris HB Muhammadiyah Joenoes Anis menyatakan, Muhammadiyah menolak al-Quran terjemahan HOS Tjokroaminoto yang berasal dari bahasa Inggris itu. Pertimbangannya, Tjokroaminoto tak menguasai bahasa Arab dan tafsir Quran.

Maklumat Kesetiaan

Tahun 1927, berkunjung mubaligh dari India bernama Abdul Alim Ash-Shidiqi ke  Yogyakarta. HB Muhammadiyah menerimanya dalam sebuah pengajian. Isi pengajiannya anti-Ahmadiyah. Sejak itu hubungan pimpinan HB Muhammadiyah dengan kelompok studi Islam memburuk.

Tanggal 5 Juli 1928, HB Muhammadiyah menerbitkan Maklumat No. 294. Isinya menyatakan, ilmu dan paham Ahmadiyah dilarang diajarkan di lingkungan Muhammadiyah.

Maklumat ini menegaskan anggota Muhammadiyah yang tetap menganut paham Ahmadiyah untuk menentukan pilihan dengan pernyataan keluar dari Muhammadiyah atau membuang ajaran Ahmadiyah.

Tidak lama sesudah terbitnya Maklumat itu, Moehammad Hoesni diberhentikan sebagai Sekretaris I HB Muhammadiyah. Begitu pula Djojosoegito yang merangkap sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Purwokerto juga diberhentikan.

Tanggal 10 Desember 1928, Djojosoegito mengadakan pertemuan anggota kelompok studi di Yogyakarta yang masih mengikuti Ahmadiyah. Pertemuan ini menghasilkan keputusan mendirikan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia.

Para pendiri pertama organisasi ini tercatat Moehammad Irsyad, Moehammad Sabiteon, R Ngabehi Minhadjurrahman Djojosegito, Mirza Wali Ahmad Baig, Moehammad Hoesni, Moehammad Kafi, Hardjosoebroto, Idris L. Latjuba, KH Sya’rani, KH Abdoerrahman Pliken, dan R Soepratolo.

Ketua Pedoman Besar dijabat oleh R. Ngabehi Minhadjoerahman Djojoseogito, Wakil Ketua dijabat oleh KH Sya’rani, Sekretaris Moehammad Hoesni. (*)

Penulis/Editor Sugeng Purwanto

Retrieved from : pwmu.co

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »