Artikel

Muslim Menghadapi Surutnya Spiritualisme

Membaca TOR Jalsah Salanah GAI tahun 2021 ini, terdapat beberapa hal pokok yang selalu menggetarkan hati saya sejak pertama kalinya saya belajar tentang Islam dan nilai-nilai kehidupan dari orang tua saya, kakek nenek saya, saudara-saudara saya baik langusng maupun tidak langsung, sampai dengan ketika saya belajar tentang perkembangan nilai, budaya, dan ideologi sepanjang kehidupan saya di perguruan tinggi.

Dengan tema antara spiritualisme dan materialisme, terdapat beberapa hal pokok dalam TOR tersebut yang penting untuk menjadi dasar pemikiran saya, yaitu:

  • “Bahwa spiritualisme Islam mampu menumbangkan arogansi materialisme dan berjaya paling tidak selama tiga generasi permulaannya, hingga dinyatakan oleh Nabi Suci sebagai generasi terbaik, atau khaira ummah (3:110). Inilah masa yang orang Ahmadiyah sering menyebut sebagai zaman kemenangan Islam pertama.”
  • “Bahwa Islam ditaqdirkan sebagai agama yang menang atas semua agama, secara eksplisit dinyatakan oleh Qur’an di tiga tempat, yakni 9:33; 61:9, dan 48:28. Tetapi di 32:5-6 diisyaraatkan bahwa setelah mengalami masa kejayaan, Islam kemudian akan mengalami kemunduran dalam jangka waktu seribu tahun.”
  • Bahwa “Islam telah kehilangan spiritualitasnya, atau dalam bahasa Hadits “iman terbang ke bintang Tsuraya” Kondisi seperti ini telah dinubuatkan oleh Nabi Suci jauh sebelum hal itu terjadi, bahwa umat beliau akan sampai kepada suatu masa yang “Islam tinggal namanya, Qur’an tinggal tulisannya, masjid-masjid makmur tapi sunyi dari petunjuk.”
  • “Bahwa Qur’an memiliki kekuatan yang dahsyat, paling tidak dinyatakan secara eksplisit di dua tempat, 13:31 dan 59:21.”

Sebenarnya pertentangan antara spiritualisme dan materialisme sudah dibicarakan orang bahkan sebelum masehi. Spiritualisme dan materialisme ditempatkan dalam oposisi biner seperti dunia dan akhirat, laki-laki dan perempuan, jahat dan baik, surga dan neraka, idealis dan pragmatis dlsb. Penyair Yunani Theocritus di abad ketiga sebelum masehi, misalnya, telah hadir dengan   gagasannya tentang pastoralisme, yang menyuarakan kehidupan pastoral yang ideal, esensi kehidupan yang berlawanan dengan materialisme.

Jutaan gagasan yang sama yang menempatkan paradox surga dan neraka terus bergulir dari tahun ke tahun, dari abad ke abad sampai sekarang. Hal ini dapat dimaknai bahwa pertentangan antara duniawi yang dikonstruksi oleh kehidupan materialisme dan surgawi yang dibangun dengan nilai-nilai spiritual akan terus bergulir dan relevan untuk terus dibicarakan karena tantangan selalu berubah.

Inilah hakikat dari eksistensi suatu gerakan rohani, seperti GAI yang membangun nilai-nilai ke-Islam-an masyarakat.

Meskipun materialisme juga telah hadir beribu-ribu tahun yang lalu, diskusi kita tentang materialisme yang berkontribusi terhadap mengeringnya spiritualisme sekarang ini lebih saya arahkan pada perkembangan konsumerisme, yang mulai marak seiring dengan perkembangan teknologi yang memberi ruang untuk semakin berkembangnya materialisme sejak tahun 1930an, suatu masa ketika segala sesuatu yang idealis terlihat seperti utopia yang sulit untuk dapat diwujudkan.

Hal-hal yang bersifat “akhirat, idealis, dan nilai” berubah bentuk menjadi hal-hal yang “duniawi, pragmatis, dan ideologis”. Budaya konsumerisme merubah ukuran kebenaran nilai-nilai adiluhung. Nilai baik dan buruk suatu ajaran tidak dilihat dari kebenaran ajaran tersebut. Kepopuleran suatu nilai menjadi indikator kebenaran nilai tersebut.

Dunia digital sekarang ini mengubah kehidupan manusia secara drastis. Kehidupan keseharian kita pun berubah. Berbagai pihak merespon dengan berbagai cara. Ada yang meresponnya dengan suka cita, dan tidak sedikit yang meresponnya dengan berduka.

Nubuat Nabi Suci Muhammad SAW bahwa “Islam tinggal namanya, Qur’an tinggal tulisannya, masjid-masjid makmur tapi sunyi dari petunjuk …” atau singkatnya “Islam telah kehilangan spiritualitasnya” menjadi terlihat nyata. Nilai-nilai kebenaran yang diajarkan yang melekat menjadi buram karena pemakluman-pemakluman perkembangan jaman. Nilai menjadi relatif karena menghadapi tantangan relatifisme budaya yang menawarkan kesejajaran nilai karena semua beranggapan bahwa semua nilai tergantung pada kesepakatan sosialnya.

Keadaan ini terlihat baik-baik saja, akan tetapi sebenarnya terjadi erosi otoritas nilai karena penerimaan atau pembolehan dan pembiaran pola kepribadian dan perilaku yang sebelumnya tidak diterima masyarakat. Meningkatnya komoditisasi kehidupan sosial, meningkatnya iklan dan publikasi yang mempromosikan sensasi seakan menunjukkan bahwa manusia berharga apabila dipertontonkan.

Perkembangan spiritualitas terlihat mengikuti uang. Kebenaran atau kemurnian suatu ajaran menjadi kabur karena pembenaran-pembenaran, rasionalisasi, penyesuaian-penyesuaian yang tidak kita sadari menggerogoti kebenaran ajaran itu sendiri.

Arus kebudayaan materialisme ini akan diciptakan secara terus menerus, meskipun seleksi ulang, revisi, dan mempertanyakan kembali masih tetap terjadi. Akulturasi terus berproses sejalan dengan berkembangnya masyarakat.

Di satu sisi, individu dalam masyarakat harus berupaya untuk beradaptasi dan melakukan proses seleksi terhadap segala kebudayaan yang baru dan di lain sisi hasil kebudayaan ini menunjang proses keberlangsungan individu dalam masyarakat (Noerhadi, 2013).

Hal inilah menjadi tantangan kita sebagai anggota GAI. Kita dituntut untuk terus menerus melakukan upaya dan olah pikir sehingga kecenderungan yang jauh dari nilai-nilai Islam akan dapat diperbaiki. Karena kalau tidak, kita akan menghadapi kehidupan yang pada saatnya kita sulit memperbaikinya.

Ketika teknologi digital menjadi semakin canggih, pemakaian HP, PC, online WWW yang semakin tinggi direspon masyarakat dengan berbagai cara. Pemikiran, perdebatan, dan argumentasi tentang apa dan bagaimana merespon dunia baru terjadi hingga sekarang. Perdebatan dari sebuah perkembangan yang menyoal dunia tanpa batas dalam ruang dan waktu karena perkembangan internet ini menimbulkan berbagai reaksi dari dunia akademik sampai dunia rumah tangga.

Berbagai pemikiran kemudian marak di berbagai disiplin sampai sekarang dalam perspektif besar globalisasi, yang merupakan proses berkelanjutan yang multicivilizational dan proses yang didorong karena kekuatan teknologi dan menimbulkan konflik di antara berbagai tradisi, budaya, agama, sosial dan kepentingan dari berbagai bangsa. (Rossi, 2007: 27); atau menurut Held & McGrew sebagai “meluasnya, mendalamnya, dan mempercepatnya keterhubungan didunia dalam berbagai aspek kehidupan sosial, from the cultural to the criminal, the financial to the spiritual” (Held & McGrew, 2000: 2).

Ketika keterhubungan tersebut sudah sampai kepada keterhubungan emosional yang melibatkan semua aspek kehidupan, maka akan berubah pula bagaimana orang bersikap dan berperilaku yang akhirnya membentuk suatu tradisi baru dan budaya baru yang mengikuti perubahan tersebut.

Urry (2003) melihat proses perubahan sosial dan budaya seperti cairan yang mengalir kemana-mana dengan cepat unpredictable and uncontrollable, tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dibendung. Jadi, ketika keterhubungan antar orang tidak terbatas dalam ruang dan waktu, ketika arus globalisasi yang dibawa teknologi komunikasi begitu deras, suatu nilai, ideologi, budaya dan tatanan sosialpun mempunyai variable yang sangat luas. Keadaan inilah yang sering diacu sebagai faktor pendorong melemahnya spiritualitas tidak hanya bagi umat Islam tetapi juga umat dari agama-agama lain di dunia.

Melemahnya spiritualitas? Dapat saja dikatakan seperti itu. Pertanyaan yang muncul adalah: akankah kita menjadi apatis dalam menggerakkan roda gerakan spiritualitas seperti GAI ini? Bukankah kita sebagai warga GAI berkewajiban untuk tidak larut pada elegi kehidupan yang seperti ini. Untuk itu saya menawarkan untuk melihat elegi kehidupan spiritualitas ini dengan pemikiran yang dapat menjadi dasar akan adanya peluang bagi kita untuk tidak terjebak dalam ratapan yang tidak berujung akan melemahnya spiritualisme sekarang ini.

Perdebatan tentang keadaan dunia tanpa batas ini muncul dalam berbagai wacana lebih dari tiga puluh tahun yang memunculkan banyak konsep, istilah dan pemikiran. Urry menyebutnya dengan dematerialisasi jarak dan orang (Urry, 2007:151), sedangkan Giddens (1990) menyebut kehidupan sosial sekarang ini sebagai raksasa yang tidak terkendali, atau ahli lain yang menyebutnya dengan “internet galaxy” (Castells, 2001).

Salah satu dari konsekuensi adanya keterhuhungan ini adalah bahwa seseorang atau komunitas tidak berinteraksi hanya dengan komunitasnya sendiri. Mereka terlibat dalam keseharian mereka dengan komunitas yang mungkin sangat berbeda dengan komunitasnya, yang menurut Bergesen atau Robertson bahwa interaksi tidaklah hanya sekedar interaksi biasa tetapi interaksi yang membangun dunianya, sebuah bangunan yang membangun sejarahnya sendiri.

Kebebasan mengakses dunia virtual ini membawa setiap orang mempunyai peluang yang sama dalam mengekspresikan dirinya. Hal inilah yang saya kira menjadi faktor pendorong rusaknya konfigurasi yang terbangun selama ini. Perubahan konfigurasi antara kaum yang mendominasi dan yang didominasi, antara kulit putih dan berwarna, Kristen dan Islam, Barat dan TImur, negara maju dan negara dunia ketiga.

Bila melihat fenomena yang ada sekarang ini, kita lihat bahwa internet, terutama dalam sosial media, parameter baik dan buruk tidak dikonstruksi dari kebenarannya melainkan dari seberapa banyak orang yang terpengaruh. Kualitas dikalahkah oleh kuantitas karena algoritma menjadi ukuran.

Perubahan dalam konstruksi yang selama ini dibangun ini sebenarnya telah dinubuatkan oleh Rasulullah SAW. Dalam Hadits diriwayatkan bahwa Rasullullah SAW. bersabda,

“Sesungguhnya di depan Dajjal ada tahun-tahun banyak tipuan—dimana saat itu—orang orang jujur didustakan, pembohong dibenarkan, orang yang amanah dianggap khianat, orang khianat dianggap amanah dan di sana berbicaralah Ruwaibidhoh. Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam ditanya, apa itu Ruwaibidhoh? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang bodoh (tetapi) berbicara mengenai urusan orang banyak/umum” (Hadits dari riwayat Ibnu Majah dan Abu Hurairah dalam Kitab Fathul Bari, juz 13:84).

Juga dalam hadis lain disebutkan “apabila perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat (HR l-Bukhari dari Abu Harairah).

Dari kedua hadits tersebut, kita tahu bahwa Rasullah SAW telah menubuatkan bahwa kelak akan datang masa ketika orang-orang bodoh yang lebih banyak berbicara. Ketika dia berbicara mengenai ilmu, orang bodoh akan selalu ingin terlihat pintar sehingga ia akan berbicara, meskipun dia tidak paham maknanya.

Dunia internet yang di satu pihak memandaikan kita dengan berbagai informasi, ternyata juga membodohkan kita, karena kebenaran bukan lagi kebenaran. Sesuatu yang mungkin tidak baik akan dianggap baik bila yang berbicara adalah influencer, misalnya. Berapa jumlah pengikut akan menentukan kebenarannya. Inilah yang pada dasarnya menunjukkan indikator kebodohan.

Allah SWT telah memberi jalan kita seperti yang tertulis: “Bertanyalah kepada ahli zikir (berilmu) jika kamu tak mengetahui” (QS. An-Nahl:43). Hal ini berarti suatu kebenaran haruslah dari yang benar bukan dari seberapa banyak orang yang mengikutinya.

“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS. Al-Baqarah:11-12).

Wahyu yang pertama kali diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW adalah iqra, yang secara umum diartikan sebagai perintah untuk membaca. Menurut Quraish Shihab, kata Iqra mempunyai arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “membaca”, yang merupakan persamaan kata dari iqra, berarti melihat serta mamahami isi dari apa yang tertulis.

Dari kedua defenisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa iqra dapat berarti membaca, menganalisis, mendalami, merenungkan, menyampaikan, meneliti menelaah, memaknai. Dalam pengertian ini, maka perintah membaca dalam surat al-Alaq mempunyai makna bawa dengan membaca manusia akan memperolah ilmu pengetahuan.

Belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan inilah yang harus terus menerus kita upayakan agar kita tidak terseret pada gelombang yang menghanyutkan spiritualisme kita. Dengan kata lain, hal ini juga bermakna bahwa kebenaran tidaklah relatif.

Ilmu pengetahuan kita selamanya tidaklah komplit, kita selalu berada dalam suatu proses mencari ilmu pengetahuan selama hidup kita. Rasionalitas kita, proses berpikir kita hanya satu dari banyaknya jalan yang membimbing kita dalam memahami dunia ini.

Sebagai Muslim, kita semua meyakini bawa semua ilmu pengetahuan adalah dari Allah SWT dan sumber kebenaran adalah Qur’an suci dan Hadits. Hal inilah yang harus selalu menjadi pedoman kita sebagai orang Islam, akan tidak adanya kebenaran yang relatif, dan semua kebenaran adalah kebenaran Allah.

Akan tetapi, internet seperti dua permukaan mata uang yang berbeda. Disamping keburukan yang telah dipaparkan di atas, Internet memberi peluang tidak hanya kecepatan mengakses informasi, jumlah informasi, tetapi yang terpenting di sini adalah juga memberikan demokratisasi atau kebebasan dalam “syiar”.

Setiap orang dapat mempublikasikan gagasannya dalam web. Atau dengan kata lain, kita dapat membuat dampak yang besar terhadap masyarakat. Atau kita, sebagai warga GAI, dapat menempatkan diri dalam zona yang aman dan nyaman. Hal inilah yang saya kira bahwa kita tidak dapat lagi merasa “tidak aman”.

Kita mempunyai kekuatan, ajaran yang indah dalam Qur’an Suci, ajaran teladan yang cantik dari Nabi Muhammad SAW, telaah yang hebat dan misi yang cerdas dan manis dari Hazrat Ghulam Ahmad. Terjemahan yang indah dari Minhajurrahman Djojosugito dapat dengan bebas kita sebar luaskan.

Kalau Foucault (1981:93) berargumentasi bahwa “kuasa” [Power] ada dimana-mana, lokal, dan tidak stabil, maka kita semua dapat mengais kuasa tersebut. Kita sudah mempunyai “isi” dan mempunyai cara, tinggal kita harus secara cerdas menggunakan peluang tersebut.

Kita sekarang berada di dalam suatu dunia yang eksistensi individunya dibentuk dari kemampuannya dalam mentransformasikan dirinya sendiri. Ini yang saya sebut sebagai peluang bagi kita.

Jadi tidaklah begitu mengherankan bila Huntington (1996) dengan pemikirannya yang berpengaruh di dunia “The Clash of Civilizations”, misalnya, memprediksi menurunnya dominasi Barat dan kemunculan dua kekuatan paradaban, yaitu Islam dan masyarakat Asia.

 

Oleh Prof. Dr. Hj. Ida Rochani Adi, S.U. | Disampaikan dalam Jalsah Salanah GAI, Desember 2021

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here