Tokoh

Mirza Wali Ahmad Baig

Keterangan Foto: Tuan Mirza Wali Ahmad Baig, Muballigh dari Lahore, beserta santri-santrinya di Purwokerto tahun 1935. Dari kiri ke kanan: Soetjipto, Abdurrahman, Abdullah Affandi, Surayan, Wislam.

 

Bapak Mirza adalah orang yang taat kepada Ahmadiyah Anjuman Ishaati Islam. Sangat tertib dalam menegakkan shalat lima waktu, ajeg menjalankan shalat tahajjud dan banyak melakukan shalat sunnat.

Beliau pernah bercerita bahwa pada suatu hari beliau kehabisan uang. Kiriman uang dari Lahore  belum datang. Dengan apa belanja harian harus dibayar. Meminjam uang kepada orang lain tidak mungkin. Beliau lalu berdiri dan shalat sunnat dua rakaat, memohon dengan sungguh-sungguh pertolongan Ilahi.

Belum habis mengucapkan salam, pintu diketok. Siapakah datang pada waktu pagi hari itu? Setelah pintu dibuka, ternyata yang datang itu Professor Ir. Schoemacker, Guru Besar THS Bandung. Dia datang untuk membeli Quran Suci bahasa Inggris. Demikianlah Bapak Mirza mendapat uang karena kemurahan Tuhan. Konon kabarnya, sang Profesor ini kemudian masuk Islam.

Ketika datang di Indonesia, Bapak Mirza tidak tahu bahasa daerah, baik bahasa Indonesia ataupun lainnya. Dengan belajar keras dan teratur, dalam waktu enam bulan sudah bisa omong-omong dengan bahasa Indonesia, malahan sudah dapat berpidato pula. Beliau mahir dalam bahasa Inggris, Sansekerta, Persia dan Urdu.

Tugas beliau di Indonesia membela dan menyiarkan Islam, yaitu Islam seperti yang diajarkan oleh Nabi Suci pada zamannya. Membela Islam dnegan melawan pengaruh pengikut-pengikut Dajjal dan Yajuj wa Majuj seperti materialisme, imperialisme, theosofi dll. Beliau tidak bermaksud untuk mendirikan cabang Anjuman.

Di Yogyakarta beliau bertempat tinggal di Kauman, di tengah-tengah masyarakat Muhammadiyah. Tugas Bapak Mirza tidak ringan dan dapat dimengerti. Dalam menunaikan tugas itu beliau menemui banyak kesukaran dan tantangan. Segera perlawanan datang dari mereka yang berpaham kolot (ortodoks), yang sama sekali tidak bisa mengerti dan menerima beliau karena mental budak dan sempit pandangannya. Dua sifat yang di abad ini minta banyak korban dan menimbulkan banyak kesukaran.

Cahaya yang dibawa oleh Bapak Mirza sangat terang dan menyilaukan mata mereka, sehingga tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Caci maki dan tuduhan yang tidak pada tempatnya dilemparkan kepada beliau dan pengikut-pengikut beliau. Orang-orang lain yang ikut-ikutan terjun dalam kampanye itu. Dengan murah mereka memberi titel kafir dan menuduh beliau mengajarkan theosofi, dll.

Enam tahun Bapak Mirza bermukim di Yogya. Di samping mengasuh dan membimbing Muslim Broederschap, beliau pergi ke kota-kota sekeliling, pergi menemui tua dan muda, memberi pelajaran di sekolah MULO, AMS, HKS dan MOSVIA, dan sekaligus sangat berjasa kepada Jong Islamieten Bond.

Di Yogya beliau pun tidak tinggal diam. Banyak murid-murid berdatangan dari Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, yang belajar kepada beliau, bukan hanya belajar agama melainkan juga mata pelajaran yang ada hubungannya dengan pengetahuan umum. Sebagai hadiah dari pelajaran yang serba gratis itu, Bapak Mirza tahu bahwa murid-murid beliau kembali dengan puas hati dan masing-masing kembali ke kampung halaman mereka sebagai Muslim-missionaris.

Pengorbanan yang besar harus beliau berikan, dan untuk itu semua, beliau hidup secara sederhana sekali. Kedatangan beliau di Indonesia adalah rahmat Tuhan yang besar sekali, yang menyelamatkan Islam dari penggerogotan yang tak henti-hentinya dengan lambat, namun pasti.

Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia berhutang budi kepada Bapak Mirza, yang membimbing tokoh-tokoh utama GAI dan ikut mengasuh dan memelihara GAI sejak dalam bentuk embrio hingga mencapai hasil yang gemilang. Tidak kecil pula pengorbanan Bapak Mirza selama beliau bermukim di Yogyakarta, Purwokerto dan Jakarta.

Perlu kiranya diketahui bahwa beliau adalah diakui oleh pribadi Presiden Pertama Indonesia, Bung Karno, sebagai guru rohaninya. Pengakuan ini dinyatakan pada waktu Bung Karno beranjang sana ke India di Karachi. Di sana beliau secara khusus minta agar dicarikan Bapak Mirza Wali Ahmad Baig. Setelah dihadapkan, maka secara yang mengherankan masyarakat, tanpa melewati protokol, beliau bersembah sujud kepada Bapak Mirza dengan mengatakan bahwa beliaulah guru rohaninya, yang telah mengirimkan setumpuk macam-macam buku agama Islam, waktu dibuang di Endeh, Flores.

 

Sumber: Buku Kenang-Kenangan GAI Usia 50 Tahun (Golden Jubilee)

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »