Berbicara tentang Angkatan Muda Ahmadiyah Indonesia (AMAI), tentu tidak bisa terlepas dengan GAI sebagai induknya. Karena AMAI dibentuk sebagai wadah bagi generasi muda Ahmadiyyah untuk bersosialisasi dan berinteraksi antar sesama pemuda dan pemudi GAI, dan diharapkan dapat ikut serta dalam gerakan syiar atau dakwah GAI. Maka dari itu AMAI harus didukung sepenuhnya oleh GAI baik secara moral, spiritual maupun finansial.
Saya ingin sedikit berbicara sedikit mengenai AMAI yang saya tahu ketika saya masih kecil dulu. Saya banyak membaca buku-buku kecil atau buletin yang diterbitkan oleh AMAI secara rutin yang ada di rumah. Saya tahu beberapa pemuda AMAI yang aktif di Kediri dan mereka suka mendiskusikan banyak hal menarik tentang Islam dan topik lainnya. Terlebih lagi ketika Jalsah salanah akan diselenggarakan, merekalah yang antusias untuk mengikuti acaran tersebut.
Waktu terus berlalu dan tahun terus berganti. Hingga akhirnya mereka menemukan kehidupannya, dan akhirnya sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya masing-masing. Dan memang demikianlah hidup!
Dalam sebuah organisasi, peran generasi muda sangatlah penting, karena mereka adalah calon penerus dan penggerak yang akan memimpin, mengurus dan menjalankan organisasi tersebut. Maka dari itu mereka harus dipersiapkan sebaik mungkin dengan bekal yang cukup dan memadai. Mereka hendaknya tahu dan mengerti tentang sejarah organisasi, nilai-nilai yang ditanamkan oleh organisasi dan visi misi apa yang hendak dicapai.
Tentu hal itu tidaklah mudah untuk dilaksanakan dan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Melihat kondisi AMAI yang sudah kritis pada saat ini dan sangat membutuhkan peremajaan, menyemaian dan pemupukan, maka hal ini akan menjadi topik menarik untuk dibahas dan didiskusikan untuk kemudian kita melakukan tindakan lebih lanjut agar AMAI kembali bangkit.
Definisi rentang usia pemuda jika merujuk kepada UU No. 40 Tahun 2009 adalah mereka yang berusia 16 hingga 30 tahun dan pada rentang usia tersebut adalah kondisi jiwa dan pemikiran manusia ada pada titik tertingginya. Mereka masih idealis dan memiliki ide, konsep dan pemikiran yang ideal mengenai kehidupan manusia. Dan di fase inilah, penanaman konsep pemikiran, idealisme dan nilai-nilai organisasi bisa dilakukan sehingga ketika mereka berusia mapan, ingatan tentang berbagai konsep tersebut tetap membekas di hati dan pikiran mereka.
Generasi AMAI yang lalu telah lewat, sehingga kondisi AMAI sekarang menjadi kritis karena tidak ada peremajaan dan tidak ada penggeraknya. Dengan tidak adanya tim penggerak, maka secara otomatis kegiatan AMAI juga tidak ada.
Alhamdulillah, semenjak 2014 di kompleks PIRI Baciro telah berdiri Pondok Pesantren Minhadjurrahman yang dirancang dan dikembangkan oleh bapak Mulyono, dibantu oleh bapak Muslim dan bapak Asghor Ali. Adanya santri dan santriwati di Baciro, membuat suasana keagamaan di Masjid Darussalam PIRI menjadi hidup dan semarak, setelah vakum sekian lama. Para santri yang belajar di pondok inilah yang nanti diharapkan sebagai tunas baru dan menjadi penerus dari AMAI ini.
Tentu program kepesantrenan itu tidak bisa mencetak generasi baru secara instan dan tidak semua benih yang ditanam akan bertunas. Tetapi setidaknya, pendirian pondok pesantren Minhadjurrahman ini menjadi bentuk usaha dan ikhtiar untuk masa depan AMAI dan GAI yang lebih baik.
Pondok ini telah menelurkan alumni sebanyak 5 angkatan dengan lebih dari 100 anak santri dan santriwati. Di antara mereka ada yang sudah berkiprah di masyarakat seperti membantu mengajar di TPA maupun aktif dalam banyak kegiatan yang positif.
Setiap organisasi atau lembaga yang bergerak di bidang keagamaan dan pendidikan umat tentu harus memilik program jangka panjang untuk menjaga keberlangsungan hidup dari organisasi tersebut. Demikian pula seharusnya dengan GAI sebagai organisasi Islam dengan AMAI sebagai tonggak generasi mudanya dan PIRI sebagai badan amal di bidang pendidikan. Jika sebuah organisasi tidak mempunyai program untuk keberlangsungan hidupnya, maka hanya tinggal menunggu waktu untuk menemui ajalnya.
Saya menghabiskan beberapa tahun hidup saya untuk belajar dan mengabdi di Pondok Modern Darussalam Gontor. Ada gagasan, ide, konsep dan nilai-nilai pondok yang sangat membekas di hati dan pikiran saya, karena setiap tahun ide dan gagasan itu selalu diulang-ulang agar kami benar-benar mengerti tentang pondok. Jangan sampai sudah mondok bertahun-tahun tapi tidak mengerti tentang nilai-nilai pondok.
Dalam rangka mengembangkan dan memajukan pondok, para pendiri pondok memiliki gagasan yang disebut dengan panca jangka yang akan menjaga keberlangsungan pondok yaitu :
- Pendidikan dan pengajaran
- Kaderisasi
- Pergedungan
- Khizanatullah (Perbendaharaan)
- Kesejahteraan keluarga pondok
Panca jangka ini bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua, terutama karena GAI adalah organisasi yang bergerak di bidang dakwah Islam, yang memiliki PIRI sebagai badan usaha di bidang pendidikan dan pondok pesantren Minhadjurrahman untuk pendidikan islam yang lebih intens untuk kemudian para santri dan alumninya ikut berkiprah di AMAI.
Di bidang pendidikan dan pengajaran, maka materi dan konsep pembelajaran harus dirancang sebaik mungkin, perlu dibuat kurikulum khusus dan buku ajar, agar ilmu yang dipalajari bisa melekat kuat pada anak santri, karena belajar bukan hanya soal mendengarkan saja dengan model ceramah, tapi juga dengan model diskusi disertai buku-buku pendukung, bukan hanya duduk manis mendengarkan ceramah saja. Harus jelas apa yang diharapkan pondok kepada santrinya jika sudah lulus, apakah menjadi muballigh, atau yang lain.
Kemudian soal kaderisasi, setiap organisasi pasti membutuhkan kader, maka diperlukan program kaderisasi yang baik. GAI dan AMAI tampaknya sangatlah kurang dalam hal ini. Ketika para sesepuh satu persatu pergi meninggalkan kita, dan orang-orang yang sekarang memegang tampuk kepemimpinan organisasi sudah mulai menua, generasi penerus yang diharapkan jumlahnya amatlah kurang karena kurangnya kaderisasi.
Para kader GAI dan AMAI hendaknya dibekali dengan berbagai macam ilmu dan keterampilan. Tapi yang paling penting adalah tentang penanaman konsep dan nilai-nilai sebagai seorang Ahmadi. Dan ketika mereka memegang amanah, mereka sudah siap untuk mengemban amanah tersebut.
Dalam rangka kaderisasi tentu fasilitas adalah sesuatu yang dibutuhkan, salah satunya adalah fasilitas pergedungan. Selama ini kegiatan AMAI sering dilakukan di gedung milik sekolah PIRI. Adanya gedung dengan nama AMAI yang tertera di atasnya tentu bisa menimbulkan rasa bangga sebagai bagian dari AMAI. Contoh saja seperti GP Anshor yang punya gedung sendiri, terpisah dari NU.
Menanamkan rasa bangga itu adalah hal yang penting bagi anggota sebuah organisasi. Kita sebagai anggota AMAI tentu bangga memiliki gedung tersendiri, bukan hanya sebagai simbol saja, tapi sebagai sarana berdiskusi, dialog dan berkarya baik di masyarakat dengan mengadakan suatu acara maupun di media sosial, karena sekarang adalah era digital. Menyebarkan keindahan Islam melalui internet dengan postingan, pamflet, musik maupun video. Dan, semua itu membutuhkan tempat dan fasilitas yang layak.
Lalu ada Khizanatullah, atau konsep sederhananya adalah perbendaharaan atau harta yang tujuan penggunaannya adalah untuk mengangkat kalimat Allah. Sebuah organisasi tidak akan bisa hidup tanpa adanya perbendaharaan atau dana. Harus ada sumber dana yang bisa menopang berbagai macam kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi tersebut.
Bagaimana AMAI mau berkontribusi pada masyarakat melalui kegiatan yang positif, seperti memberi sumbangan dan turut serta kegiatan masyarakat, jika tidak ada dana yang bisa digunakan. Maka dari itu GAI dan AMAI harus punya badan usaha mandiri, tidak cukup hanya bergantung pada PIRI dan sumbangan dana spontanitas. Jika masalah dana teratasi, maka AMAI harusnya bisa berkontribusi lebih.
Lalu yang terakhir adalah kesejahteraan keluarga. Ini adalah satu hal terpenting yang harus diperhatikan. Bagaimana para generasi muda mau berkontribusi lebih kepada AMAI jika urusan kesejahteraan keluarga mereka belum terpenuhi.
Sejahtera bukan berarti kaya, tapi yang dimaksud sejahtera itu adalah tercukupi kebutuhannya. Di banyak organisasi, mereka yang berstatus pengurus organisasi dan para ujung tombak atau muballigh, maka kebutuhan keluarga mereka dipenuhi oleh organisasi sebagai kompensasi terhadap pengabdian mereka kepada organisasi. Ibarat kata jangan berbicara tentang konsep keadilan jika perut masih lapar.
Ketika kebutuhan keluarga terpenuhi, maka para kader tersebut bisa memberikan perhatian dan pengabdian lebih kepada organisasi. Dan AMAI seharusnya juga begitu. Ketika dulu para pemuda AMAI masih bujang, mereka suka bercengkarama dan ikut andil dalam organisasi. Tapi begitu mereka menikah, mereka akhirnya pergi karena urusan keluarga, yang itu dirasa menjadi lebih penting daripada urusan AMAI.
Kembali lagi ke awal pembicaraan saya tadi. Semua hal ini adalah konsep yang mana bisa dijadikan pedoman untuk kemudian hari. AMAI membutuhkan generasi baru, membutuhkan kaderisasi yang bisa dimulai dengan adanya santri dan santriwati pondok pesantren Minhadjurrahman ini. Karena bagi saya, mereka adalah masa depan AMAI.
Walaupun di daerah juga ada banyak generasi muda Ahmadi, anak-anak santri tetaplah yang layak untuk diutamakan. Fasilitas harus dibuat layak dan memadai untuk proses belajar mereka. Mereka harus ditanami ide, konsep dan nilai-nilai tentang Ahmadiyah, dan mereka hendaknya bisa bangga sebagai generasi muda Ahmadi.
Dan ketika mereka sudah menginjak dewasa dan berkeluarga, mereka tetap bisa berkontribusi dan ikut andil dalam pengembangan AMAI ini, bukan malah menghilang karena sibuk memenuhi kebutuhan keluarganya masing-masing.[]
Disampaikan dalam Jalsah Salanah GAI – 25 Desember 2021
Oleh Ahmad Ervan Habibi | Wakil Ketua Badan Urusan Pemuda PB GAI
Comment here