Artikel

Menyambut Kehadiran Imamuzzaman Mujaddid Abad ke XV Hijriyah

“Maka bertanyalah kamu kepada ahli dzikir (ahli ilmu) apabila kamu tidak tahu.” (QS Al-Anbiya, 21:7)

Kepadatan, tekanan udara tak seimbang, terjadilah perubahan. Itulah hukum reformasi. Dalam gelombang arus reformasi yang sedang berjalan, manusia cenderung sangat menuntut hak-haknya secara penuh dan keseluruhan, dan kadang-kadang lupa sama sekali terhadap kewajiban-kewajibannya.

Orang juga bisa lupa terhadap tanggung jawabnya, setelah terpenuhi hak-haknya. Dengan terpenuhi hak-hak tersebut akan muncul akibat positif dan negatif. Bahkan apabila usaha pemenuhan hak-hak tersebut diikuti hawa nafsu yang rendah, maka akan terjadi sesuatu yang merugikan pihak lain dan bahkan akan terdapat kemungkinan merampas hak-hak orang lain. Hal-hal tersebut inilah yang harus sangat difikirkan dalam melaksanakan social communication.

Apa yang terjadi di muka bumi ini, tidak bisa terlepas dari hukum sebab akibat (kausalitas), qada dan qadar, qudrat dan iradat dari Allah Yang Maha Esa.

Mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial ciptaan Allah Ta’ala, maka dalam memecahkan masalah yang timbul, tidak bisa hanya mengandalkan taktik, strategi, politik, sosial, hankam semata, melainkan juga wajib mohon petunjuk hidayah dariNya. Walaupun menggunakan akal pikiran merupakan tanda orang beriman, namun kalau hanya mengandalkan hasil pikir saja, tanpa hidayah dari Allah, maka hasilnya akan jauh dari harapan, bahkan dapat terjadi yang sebaliknya. Teknokrat dan teknologi yang demikian itulah yang membawa kehancuran.

Allah Ta’ala memperingatkan: “Dan sekiranya kebenaran tunduk pada hawa nafsu mereka, niscaya rusaklah langit dan bumi serta apa-apa yang ada di dalamnya. Bahkan kami beri kepada mereka kehormatan (peringatan), tetapi mereka berpaling dari peringatan itu.” (QS Al-Mukminun, 23:71)

Mengingat hal tersebut di atas, maka pemecahan masalah secara rohaniah sangat dibutuhkan, sehingga hasil yang dicapai bukanlah fatamorgana.

Kita dapat membaca dalam sejarah bahwa tokoh-tokoh, raja-raja, para pemimpin umat manusia yang sukses dan harum, pada akhir hayatnya yaitu yang selalu taqarrub (mendekatkan diri pada Tuhan). Hal ini akan terlihat dari semua program, langkah, taktik, strategi, siasat, tindakan dan ucapan akan tertuju kepada kemanfaatan, kesejahteraan umat manusia, jauh dari sifat dengki, iri hati ataupun dendam kepada sesamanya. Dasar berpijak dan realitasnya akan selalu sesuai dengan garis yang diberikan Allah dalam Al-Quran:

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan ajakan-ajakan mereka kecuali orang yang menyuruh bersedekah atau menyuruh berbuat kebaikan atau perdamaian antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena hendak mencari keridlaan Allah, maka kami beri kepada mereka ganjaran yang besar.” (QS An-Nisa, 4:114)

Saya haqqul yaqin, dengan memperhatikan bukti-bukti sejarah, sejak zaman dahulu manakala manusia sudah larut dengan berkobarnya nafsu syaithaniyah (nafsu kebinatangan), meninggalkan semua norma dan akidah kebenaran yang berdampak kehancuran dalam segala aspek kehidupan, maka dalam usaha mengatasinya, sangat dibutuhkan orang suci yang selalu dekat dengan Allah. Orang suci itulah yang diberi kemampuan untuk menerjemahkan situasi, gejala alam yang timbul, sehingga dapat memberi nasihat yang positif dan bermanfaat. Keberadaan orang suci ini sangat sedikit bahkan sendirian, terpencil, teremehkan, tersudutkan dalam kehidupan sosial politik kemasyarakatan, bagaikan warna putih pada bulu sapi yang hitam, bak hidup sendirian di tanah pekuburan, bahkan sering hidupnya teraniaya dan sengsara.

Berpangkal dari pikiran, kenyataan kehidupan di atas, serta melihat gejala sosial yang timbul, walaupun secara sendirian, mereka ini selalu munajat kepada Allah, mendekatkan diri kepadaNya, untuk mohon hidayah agar hidup ini selamat dan bermanfaat bagi umat manusia. Hasilnya adalah bahwa Allah selalu dekat dan mendengar semua doa permohonan hambaNya, yaitu diberi olehNya pengetahuan yang berupa berita, gambar, fotocopy secara sirr (rahasia) tentang kejadian alam ini, bahkan tentang sesuatu yang akan terjadi.

Inilah yang disebut musbasysyarat (berita gembira) atau ru’ya shalihah/shadiqah. Dalam hadits, disebutkan bahwa ru’ya shalihah itu nilainya adalah seperempat puluh enam dari wahyu kenabian.

“Dan impian seorang mukmin itu adalah bagian daripada empat puluh enam bagian kenabian.” (HR Bukhari, 120:7)

Selama tidak ada perintah khusus, maka mubasysyarat tidak wajib disampaikan kepada pihak lain. Dengan demikian penyampaiannya berdasarkan kepentingan dan sangat situasional. Melihat tanda-tanda zaman akhir-akhir ini, dunia telah memberi banyak petunjuk bagi yang berakal, yang taqarrub kepada Allah Ta’ala.

Bencana dunia ini, baik yang bersifat alami ataupun karena ulah manusia, telah terbaca dengan jelas. Penguasa di seluruh negara di dunia ini, makin tak berdaya dan tak mampu mengatasi semua krisis. Krisis ekonomi, keuangan, hukum dan sosial pada hakekatnya adalah karena adanya krisis akhlak, krisis moral, krisis rohani, krisis iman. Krisis tersebut berasal dari sifat angkara murka, ingin paling kuasa, iri, dengki, tamak, menimbulkan perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme, memeras, menekan, menindas, menipu, memperdaya, membunuh siapa saja yang dianggapnya menghalangi kehendaknya. Segala jalan ditempuhnya asal tujuan tercapai. Karena itu terjadilah benturan sesama manusia, kelompok bangsa-bangsa di seluruh dunia. Hak asasi manusia telah dilecehkan bahkan dengan alasan membela HAM, tetapi tindakannya menghancurkan HAM oranga tau bangsa lain.

Dalam situasi seperti inilah tepat waktunya turun Imam Zaman (pemimpin zaman) atau seorang pembaharu (reformis), yang dalam bahasa Islam disebut Mujaddid. Dialah sebagai pembaharu yang sejati atas perintah Allah. Sesuai dengan perhitungan abad, maka abad ke 21 Masehi atau bertepatan dengan awal abad 15 Hijriyah, yaitu tanggal 17 April 1999 M, tepat 1 Muharram 1420 H sehingga tanggal 1 Januari 2000 M berada pada tanggal 24 Ramadhan 1420 H. Hal tersebut mengingatkan kita akan terpenuhinya Sabda Nabi Muhammad saw.:

“Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan bagi umat ini pada permulaan setiap seratus tahun orang yang memperbaharui mereka tentang agamanya.” (HR Abi Dawud, 31:4291 )

Memang telah terbukti bahwa kerusakan agama berdampak kepada kehancuran tata kehidupan manusia, maka yang perlu diperbaiki atau diperbaharui adalah agama atau iman mereka yang telah rusak itu. Maka jelaslah bahwa abad 15 Hijriyah (tahun 1420 H sebagai awal abad 15 H) yang bertepatan dengan tanggal 1 Januari 2000 M, merupakan kebangkitan rohani yang dalam Al-Quran disebut lailatul-qadr (malam nan agung, yakni malam ketentuan), sebagaimana datangnya Imamuzzaan/Mujaddid abad 15 H.

Kehadirannya ditandai dua masalah:

  1. Kebutaan Rohani, yang membuat kejahatan, kehancuran, kekacauan, permusuhan, pengrusakan segala sesuatu yang tak sesuai dengan hawa nafsunya, sehingga timbul perang suku, ras, antar bangsa dan agama, mereka di seluruh dunia.
  2. Kehancuran alam, kehancuran yang berupa gempa bumi, gunung meletus, banjir besar, angin topan, kebakaran, tanah longsor dan perubahan alam secara drastis lainnya yang sulit diatasi. Termasuk pula peristiwa alam yang langka terjadi antara lain adanya gerhana matahari dan bulan dalam satu bulan, yaitu gerhana bulan tanggal 14 Syawal 1419 H (31 Januari 1999 M) dan gerhana matahari tanggal 29 Syawal 1419 H (16 Februari 1999 M).

Tanda-tanda zaman telah terpenuhi, hal itu akan mudah terlihat dan terbaca jelas bagi siapa yang selalu dekat dengan Rabbnya. Tinggal menunggu waktunya dan siapa orang yang mendapat tugas dari Allah untuk menjadi Imamuzzaman.

Dunia telah jemu dengan kekacauan, kelaliman, kehancuran, keangkuhan, keiridengkian dan keserakahan, yang dalam kata singkat AIDS (angkuh, iri, dengki, serakah). Sebaliknya dunia seisinya telah rindu menanti 7K, yakni: ketentraman, kedamaian, kesejukan, kerukunan, kesejahteraan, kebebasan dan keadilan.

Untuk itu mari kita sambut dan kita isi abad 15 Hijriyah “dengan memerangi hawa nafsu dalam mempersatukan umat untuk memberantas pembohong yang berkeliaran.” (jihaadun nafsi fil-wahdatil ummah ‘ala ghalabatil masiihid-dajjaal).

Semoga Allah Ta’ala melimpahkan ridla dan hidayahNya. Amin.

 

Oleh: Drs. K.H. Sayid Ahmad Yazid Burhany  (Allaahu Yarham) | Generasi Pertama GAI Kediri

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »