Secara syar’i, puasa adalah berpantang makan, minum, dan “bercampur” dengan suami/istri sejak terbit fajar hingga matahari terbenam, 29 atau 30 hari berturut-turut.
Singkat kata, dalam berpuasa kita dilatih menahan lapar, haus, serta nafsu birahi.
Makanya, kalau puasa kita berhasil, kita akan mampu mengendalikan diri terhadap keinginan-keinginan sensual yang menggelincirkan.
Lebih jauh lagi dari itu, kalau puasa kita berhasil, kita juga tidak akan berlaku tamak dan rakus terhadap harta benda.
Umat Islam sudah diperingatkan oleh Allah sejak jauh-jauh hari soal harta benda ini, ketika mereka masih sangat lemah, baik secara sosial, politik, dan apalagi ekonomi.
Dalam wahyu permulaan yang berjudul At-Takatsur, dinyatakan:
“Menumpuk-numpuk harta menyelewengkan engkau. Sampai, tiba-tiba, engkau masuk liang kubur.
Dan sungguh, engkau akan segera tahu, sekiranya engkau memiliki pengetahuan (‘ilmul-yaqin), bahwa tiada lain di dalam harta yang bertumpuk itu sejatinya adalah api neraka adanya (jahim).
Tetapi sungguh kelak kamu akan melihat itu dengan mata kepalamu sendiri (‘ainul-yaqin). Dan pada hari itulah engkau akan akan ditanya, atas tumpukan harta yang engkau sangka kenikmatan itu.”
Surat ini tentu tidak hanya ditujukan kepada orang-orang Islam zaman awal. Bahkan kalau ditujukan kepada mereka waktu itu, mungkin tidak ada artinya, karena masih sangat miskin, dan peluang untuk mendapatkan harta kekayaan sangat kecil.
Peringatan itu tampaknya lebih cocok ditujukan kepada kita sekarang ini, di zaman ketika harta kekayaan melimpah ruah di mana-mana.
Persoalan kita dalam hal ini hanyalah ada atau tidak adanya kemauan dan kerja keras dalam mencari peluang untuk mendapatkan harta kekayaan itu.
Tetapi melalui Surat At-Takatsur ini kita diingatkan bahwa bekerja sekeras-kerasnya untuk mengumpulkan harta kekayaan itu, akan menyelewengkan kita dari jalan lurus menuju Tuhan.
Dan biasanya, seperti di singgung di surat itu, kesadaran mengenai hal itu diperoleh banyak orang ketika mereka sudah masuk ke liang kubur!
Ayat 5 sampai 7 Surat ini mengisyaratkan bahwa tumpukan harta kekayaan itu sejatinya adalah api neraka. Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu. Tidak banyak orang yang sadar akan hal itu.
Kita tidak mampu melihat bara api yang menyala-nyala di dalam tumpukan kekayaan kita. Kita hanya menduga bahwa kekayaan yang melimpah ruah itu akan membuat kita bahagia.
Padahal, bisa justru sebaliknya!
Makanya, di ayat terakhir Surat itu, disabdakan bahwa kelak di kemudian hari kita akan ditanya, sejatinya apa sih nikmat yang kita peroleh dari harta kekayaan yang bertumpuk-tumpuk itu?
Di Surat lain yang diwahyukan tidak berselang lama, yakni Al-Humazah, yang disusun berselang satu surat sesudah Surat At-Takatsur, Allah bahkan mengecam orang-orang yang sibuk menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitungnya sebagai orang celaka!
Dan, tidak bisa tidak, sebagaimana disinggung di ayat pertama surat ini, bahwa harta kekayaan itu hanya akan menimbulkan fitnah, kecurigaan, iri hati, dan akhirnya permusuhan, saling mengumpat antar sesama!
Sebabnya, dia mengira, seperti dinyatakan di ayat ketiga, harta kekayaannya akan membuat hidupnya kekal abadi!
Orang yang memiliki banyak harta seolah tidak perlu takut sakit, atau bahkan mati. Sebab, apa pun sakitnya, dia pikir bisa berobat di mana pun, dengan biaya berapa pun.
Dia mengira bahwa segalanya dapat dibeli dengan kekayaan. Dia seolah tak lagi membutuhkan Allah. Yang dia butuhkan hanya uang!
Dia sudah tak lagi bergantung selain hanya kepada kekayaanya. Tidak kepada Allah!
Nah, ayat-ayat di atas, baru bicara soal harta kekayaan yang diperoleh dengan cara yang halal. Belum bicara soal harta kekayaan yang didapat dari cara-cara yang tidak halal.
Pesan Qur’an di ayat terakhir dari rangkaian ayat di Surat Al-Baqarah dalam konteks puasa adalah demikian:
“Dan janganlah kamu menelan harta dari antara kaummu sendiri dengan jalan yang tidak sah. Jangan pula menyuap para pengatur kebijakan, agar kamu dapat juga menelan sebagian harta manusia secara tidak sah, padahal kamu orang yang berpengetahuan.” (QS 2:188).
Menumpuk-numpuk harta dengan cara yang benar saja dikecam oleh Allah, karena bisa melalaikan manusia untuk mengingat-Nya, apalagi jika cara menumpuk harta itu dilakukan dengan cara yang tidak sah!
Dia yang melakukan hal sedemikian itu, bukan hanya dikecam oleh Allah. Tapi, sebagaimana termaktub dalam ayat keempat dari surat Al-Humazah, dengan nada gemas Allah menyatakan akan “MELEMPARKAN DIA KE DALAM BENCANA YANG MEREMUKKAN” (HUTHAMAH)!!
Jadi, masih keukeuh mau makan harta haram?!
Comment here