Diskursus

Menjaga Kerukunan Agama, Menjaga Keutuhan Bangsa

Tulisan ini adalah makalah saksi ahli, Dr. Ahmad Najib Burhani, yang disampaikan pada sidang ke-6 dalam Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Selasa, 7 November 2017.

 

Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Yang Mulia Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Sidang Mahkamah Konstitusi yang berbahagia

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Penduluan

Saya ingin menegaskan terlebih dahulu bahwa kesaksian saya dalam sidang ini bukanlah untuk melakukan pembelaan terhadap Ahmadiyah. Saya bersedia hadir menjadi saksi ahli karena menginginkan pasal-pasal dalam UU No. 1/PNPS/1965 itu tidak disalahartikan dan disalahgunakan. Kalaulah ada bagian yang menyangkut Ahmadiyah, yang saya lakukan bukan sebuah pembelaan, tapi menyampaikan apa yang saya tahu tentang komunitas keagamaan ini.

Ada tiga hal utama yang ingin saya sampaikan di sini: 1) Beberapa kesalahpahaman kita tentang Ahmadiyah, 2) Pendefinisian penodaan agama dan ancaman diskriminasi terhadap berbagai kelompok agama, termasuk NU dan Muhammadiyah, jika tidak ada penafsiran bersyarat terhadap beberapa pasal dalam undang-undang aquo, dan 3) Memahami posisi minoritas agama.

Kesalah-pahaman dan Stereotype tentang Ahmadiyah

Majelis hakim yang mulia!

Saya sudah mengkaji dan meneliti tentang Ahmadiyah ini bukan hanya dalam hitungan hari atau minggu atau bulan, tapi sudah beberapa tahun. Paling tidak, sudah tujuh tahun secara serius saya mengkaji gerakan ini. Saya tidak hanya mendatangi satu lokasi tempat komunitas ini berada, tapi saya hadir di beberapa tempat: ke pusat JAI di Parung; desa Manis Lor, Kuningan, yang lebih dari separuh penduduknya adalah Ahmadi; Transito di Mataram, NTB, tempat warga Ahmadiyah menjadi pengungsi selama lebih dari 10 tahun sejak rumah-rumah mereka dihancurkan; ke Pandeglang dan Cikeusik, tempat tiga anggota Ahmadiyah dibunuh; ke Bandung, Surabaya, Medan, Praya, Cirebon, dan beberapa tempat lain dimana Ahmadiyah menghadapi kesulitan menjalankan keyakinannya. Saya juga hadir pada jalsa salana (pertemuan tahunan) yang diadakan oleh Ahmadiyah Jakarta, Yogyakarta, dan Tangerang

Di luar Indonesia, saya datang ke komunitas Ahmadiyah di Texas, AS, Manchester, Inggris, Jepang, dan Singapura. Satu pengalaman yang sangat penting, saya ikut Jalsa Salana di Qadian, India, tempat kelahiran Ahmadiyah, dimana saya tinggal atau menginap di Dar al-Masih atau rumah Mirza Ghulam Ahmad selama 10 hari. Terakhir, saya sudah bertemu dan berdialog langsung dengan khalifah Ahmadiyah ke-5, Mirza Masroor Ahmad, yang saat ini memimpin gerakan ini. Berdasarkan pengalaman itu, saya ingin menunjukkan beberapa hal yang kurang pas dalam pandangan kita selama ini terhadap Ahmadiyah, kesalahpahaman saya terutama, sebagai bagian dari umat Islam non-Ahmadiyah. Kesalahpahaman yang sering melahirkan prejudice dan tuduhan terhadap komunitas ini.

Pertama, tentang tuduhan ibadah haji Ahmadiyah. Memang ada tempat-tempat tertentu di Qadian yang mendapat perlakuan khusus, atau katakanlah sebagai tempat suci (sacred space), seperti Minaratul Masih, Masjidil Aqsa, Masjid Mubarak, Bahishti Maqbarah, dan Darul Masih. Namun demikian, ketika membahas tentang tempat suci, orang sering menyalahartikan antara tempat suci dan tempat ibadah haji. Lebih jelasnya, terdapat sikap yang mendua dari sebagian kita umat Islam berkaitan dengan ibadah haji orang Ahmadiyah. Pada satu sisi, mereka sering dituduh memiliki tempat ibadah haji sendiri yang berbeda dari umat Islam lain, yaitu di Qadian, India. Namun pada sisi lain, ketika orang Ahmadiyah hendak melaksanakan rukun Islam kelima, berhaji ke Baitullah di Makkah, beberapa orang menghambat pendaftaran mereka.

Saya sudah hadir di tempat-tempat itu semua dan menyaksikan bahwa yang mereka lakukan bukanlah seperti bayangan orang bahwa mereka melakukan haji. Tidak ada ketentuan waktu untuk berkunjung, tidak ada ketentuan urutan beribadah, dan tidak ada ritual yang baku. Itu lebih mirip ziarah ke tempat suci, seperti ziarah ke makam Wali Songo dalam tradisi kita. Qadian memang menjadi salah satu tempat istimewa atau tempat yang perlu dikunjungi oleh jemaah Ahmadiyah. Sama halnya dengan pengikut Syiah melihat Qum dan Karbala sebagai tempat untuk melakukan ziarah spiritual. Qadian adalah tempat kelahiran Ahmadiyah, tempat terjadinya berbagai peristiwa penting dalam komunitas ini. Namun demikian, Qadian bukanlah tempat berhaji dan berkunjung ke tempat ini tidak dianggap sebagai ibadah pengganti haji.

Kedua, tentang kitab suci Ahmadiyah. Ada beberapa buku yang beredar di sekitar kita yang menyebutkan bahwa kitab suci orang Ahmadiyah adalah Tazkirah, bukan Al-Qur’an. Saya sudah membaca buku-buku Ahmadiyah, tidak ada yang menyebutkan kitab sucinya adalah Tazkirah. Saya datang ke rumah-rumah dan masjid-masjid Ahmadiyah, yang saya temukan adalah Al-Qur’an, bukan Tazkirah. Saya datang ke perpustakaannya di Qadian yang ketika itu sedang ada penulisan mushhaf Al-Qur’an. Sekali lagi Al-Qur’an, bukan Tazkirah. Tentu saja ada beberapa individu yang memiliki Tazkirah dan beberapa kantor Ahmadiyah juga memiliki itu. Tapi itu bukan kitab suci. Sama seperti pembedaan antara tempat suci dan tempat ibadah haji di atas, perlu pula dibedakan makna “suci” dalam Tazkirah dan kitab suci Al-Qur’an. Itu tidak memiliki makna sama dan tidak berada pada level yang sama.

Ketiga, tentang keyakinan Ahmadiyah mengenai Mirza Ghulam Ahmad. Ini yang paling kontroversial. Ketika saya di Qadian, kamar yang saya tempati berada di atas kamar yang dulu ditempati oleh Mirza Ghulam Ahmad. Bukan persis di atasnya, mungkin 10 meter sebelah utara dari kamar tempat lahir Ghulam Ahmad. Saya datang ke kamar tempat Ghulam Ahmad dilahirkan, kamar tempat ia sering berdoa, kamar tempatnya sering menghabiskan waktu untuk menulis. Saya ikut sholat di Masjid Mubarak dan Masjid al-Aqsa yang cukup keramat dan bersejarah bagi warga Ahmadiyah. Saya mengamati, apakah orang Ahmadiyah telah menempatkan Ghulam Ahmad lebih tinggi dari Nabi Muhammad? Apakah Ghulam Ahmad disanjung lebih tinggi dari Nabi Muhammad? Setahu saya, itu tidak terjadi. Sanjungan dan pujian yang dilakukan di tempat-tempat itu adalah kepada Nabi Muhammad.[1]

Di pagi dan sore hari, saya sering duduk tak jauh dari makam Mirza Ghulam Ahmad. Selama berjam-jam dalam beberapa hari secara berturut-turut. Saya memperhatikan dan mengamati pengikut Ahmadiyah dari berbagai negara yang berkunjung ke tempat itu. Apakah ada yang aneh dari mereka? Apakah ada yang menyembah atau memuja berlebihan terhadap Mirza Ghulam Ahmad? Tidak ada yang mulia. Tidak ada pemujaan berlebihan. Tidak ada yang menangis keras-keras. Tidak ada yang mengambil tanah untuk jimat. Tidak ada yang menaruh bunga. Tidak ada yang melempar koin. Tidak seperti bayangan kita bahwa mereka memuja berlebihan terhadap Mirza Ghulam Ahmad. Bisa jadi, sikap orang Ahmadiyah ketika berkunjung ke makam Ghulam Ahmad tak ada apa-apanya dibanding dengan sikap orang NU ketika berkunjung ke makam Gus Dur di Jombang.

Majelis hakim yang mulia!

Saya menyaksikan sendiri bagaimana orang Ahmadiyah beribadah; dalam berpuasa dan menjalankan sholat. Sebagai orang yang separuh pendidikannya ditempuh di pesantren dan separuhnya dalam pendidikan Barat, saya merasa seperti orang sekuler di hadapan orang-orang Ahmadiyah. Saya tidak bisa menonjol-nonjolkan, melebih-lebihkan atau mengurangi tentang Ahmadiyah. Sebagai peneliti, saya memiliki kode etik untuk tidak berbohong dalam melakukan penelitian dan menyampaikan hasilnya. Saya bisa saja salah, namun saya tak boleh berbohong.

Pendefinisian Penodaan Agama dan Diskriminasi

Majelis hakim yang mulia!

Saya belajar tentang berbagai Undang-Undang terkait HAM (Hak Asasi Manusia), Deklarasi Universal HAM, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, tentang kebebasan beragama, dan sebagainya. Sudah 13 tahun saya menjadi pelajar dan peneliti di beberapa negara; di Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Jepang, dan sekarang di Singapura. Saya sudah menulis sejumlah makalah tentang Ahmadiyah yang terbit di berbagai jurnal internasional ternama, termasuk yang terkait teologi atau akidah Ahmadiyah yang sering diperdebatkan dan juga terkait berbagai fatwa tentang Ahmadiyah.[2] Tapi untuk kali ini, saya tinggalkan itu semua. Saya berharap kita berbicara dengan hati, bukan mencoba untuk saling mengalahkan. Saya sudah agak lelah dengan perdebatan teologis itu. Saya ingin mengetuk hati saya sendiri sebagai bagian dari mayoritas umat Islam Indonesia.

Saya juga sudah menulis makalah tentang ketertiban umum dan penodaan agama dengan logika dan argumen-argumen akademis yang cukup detail. Sekali lagi, kali ini ini saya ingin meninggalkan itu semua. Jika bapak-ibu tertarik membacanya, silahkan meminta ke pengacara. Saya sudah menyerahkan kepadanya. Untuk sementara saya hanya ingin mengetuk hati saya sendiri dan mengajak kita semua kembali ke hati, sebagai manusia, sebagai umat yang bersaudara, dan kemudian merenungkan apa dan siapa yang benar-benar menghina agama.

Ada beberapa hal yang sering disebut sebagai penodaan atau penistaan agama. Ketika sebuah koran di Denmark, Jyllands-Posten, memuat kartun-kartun tentang Nabi Muhammad pada 30 September 2005, orang menyebutkan itu sebagai pelecehan agama. Demikian juga dengan koran Perancis Charlie Hebdo yang sering memuat poster dan kartun anti-agama. Geert Wilders dari Belanda dengan film Fitna-nya juga memberikan eksplorasi dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dari penafsiran umumnya. Di Indonesia, kelahiran undang-undang ini juga terkait dengan kegiatan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang anti-agama dan merongrong kepercayaan kita kepada Tuhan. Apakah kita hendak menyamakan apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah dengan itu semua? Saya tidak tega jika kita hendak melakukan itu.

Perbedaan penafsiran tidak bisa dimaknai sebagai penodaan. Jika tidak diberi penafsiran bersyarat, maka pasal ini bukan hanya mengenai Ahmadiyah, tapi juga kelompok agama lain. Bulan lalu (Oktober 2017), terdapat pelarangan pendirian masjid dan bahkan pembakaran tiang Masjid At-Taqwa Samalanga, Bireun, Aceh. Ini bukan Masjid Ahmadiyah, tapi Muhammadiyah. Mengapa? Karena Muhammadiyah di sana dianggap memiliki pandangan keagamaan yang berbeda dari masyarakat. Muhammadiyah dianggap bukan Ahlussunnah Waljamaah. Itu yang tertulis resmi dari pihak-pihak berwenang di Aceh. Muhammadiyah dituduh Wahabi yang menyimpang dari keyakinan pada umumnya.

Mari kita bayangkan, jika ada kelompok yang tidak toleran terhadap slametan dan tradisi keagamaan yang selama ini dipraktekkan oleh kelompok NU, lantas tiba-tiba kelompok ini berkuasa di negeri ini, maka NU akan dianggap sesat, melakukan penafsiran agama yang menyimpang dari Islam. Kelompok seperti ini benar-benar ada, bukan hanya dalam imajinasi kita, tapi berada di tengah-tengah masyarakat kita. Keberadaan mereka bukan khayalan semata. Mereka ini aktif berteriak-teriak. Maka bangunan keagamaan kita bisa runtuh dengan sikap mereka, dengan bersenjatakan pasal-pasal ini. Ada kelompok agama di Jawa Tengah yang sangat benci terhadap NU dan bahkan berkali-kali menuduhnya sesat. Bukan di abad lampau, tapi saat ini. Jika kelompok ini atau yang seperti ini menjadi bagian dari penguasa, maka dengan menggunakan pasal-pasal dari undang-undang ini mereka bisa menuduh NU telah melakukan penodaan agama.

Penutup

Majelis hakim yang mulia!

Saya bagian dari bapak dan ibu semua. Saya lahir dan besar dalam lingkungan NU, dari orang tua yang merupakan kiai kampung, yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengajar Islam di kampung. Saya mengikuti pendidikan agama di madrasah dan pesantren sejak TK hingga Madrasah Aliyah atau SMA. Ketika kuliah S1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya mulai menjadi aktivis Muhammadiyah dan sekarang merupakan wakil ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah. Model keberagamaan saya adalah bagian dari yang bapak dan ibu ikuti. Saya adalah bagian dari kelompok mainstream di Indonesia. Tapi mari kita, sebentar saja, merasakan menjadi Ahmadi, yang ingin diperbolehkan beribadah dan menundukkan diri kepada Allah.

Dalam pengadilan-pengadilan, kita sering disuguhi dengan berbagai argumen yang pelik dan brilian, namun ada sesuatu yang kadang terlewatkan, yaitu hati kita. Dalam salah satu sabdanya, Nabi Muhammad menganjurkan pengikutnya untuk meminta fatwa atau keputusan kepada hati, istafti qalbak. Tidak banyak yang dituntut oleh Ahmadiyah, mereka hanya minta untuk diperbolehkan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Mereka ingin menyembah dan memuja Allah di rumah mereka. Apakah kita tega melarang itu? Terus-terang, jika ternyata Ahmadiyah itu sesat, maka tidak usah dilarangpun mereka akan hancur sendiri.[3] Tanpa SKB atau regulasi lain, Ahmadiyah pasti ditinggalkan orang, jika ternyata kelompok ini memang sesat.[4] Ahmadiyah hanya menuntut bisa berdoa di tempat ibadahnya. Karena itu yang mulia, mohon berikan tafsir konstitusional bersyarat terhadap pasal 1, 2, dan 3 dalam UU No. 1/PNPS/1965. Mohon berikan penafsiran konstitusional bersyarat seperti yang diminta oleh para pemohon.

Jakarta, 7 November 2017

Dr. Ahmad Najib Burhani

 

Notes:
[1] Barangkali, cara orang Ahmadiyah menghormati Mirza Ghulam Ahmad itu tidak sebanding dengan cara sebagian orang Syi’ah menghormati dan mengagungkan Ali bin Abi Thalib.
[2] Seperti yang Bapak dan Ibu pahami, fatwa itu adalah pandangan ulama. Sifatnya tidak mengikat. Ada beberapa fatwa yang tidak banyak ditaati, termasuk fatwa dari MUI. Misalnya, fatwa tentang larangan merokok dan memilih presiden perempuan.
[3] Klaim Ahmadiyah bahwa non-Ahmadi itu sesat adalah sama dengan klaim kita bahwa yang selamat itu hanya Ahlussunnah wal Jamaah. Selain Ahlussunnah adalah sesat. Dengan klaim itu maka Syiah dianggap sesat, Wahabi sesat, dan Ahmadiyah sesat. Mengapa kita boleh melakukan klaim sementara mereka tidak? Perdebatan tentang keimanan seperti ini sangat panjang, jika tidak tak mau disebut tak berujung. Kita percaya dengan Isra’ Mi’raj, tapi kita tak sepakat apakah Nabi ber-mi’raj dengan jasad atau fisiknya atau ruhnya saja. Bagi non-Muslim, peristiwa itu bisa jadi dianggap kebohongan. Orang Ahmadiyah percaya bahwa Nabi Isa AS itu sudah wafat, tapi orang Islam lain berbeda pandangan dengan itu. Peran negara bukan pada soal teologi ini, bukan menentukan benar atau salah keyakinan seseorang, tapi menjaga ketertiban umum.
[4] Sekadar informasi, salah satu korban Cikeusik itu adalah orang yang baru menjadi Ahmadiyah setelah penyerangan Parung. Apa yang terjadi saat ini, pada satu sisi adalah menjadikan Ahmadiyah korban. Namun pada sisi lain, membuat orang tahu tentang Ahmadiyah.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »