Mari kita mengingat kita yang muda dahulu, sewaktu gandrung pada seorang gadis atau seorang jejaka.
Waktu itu kita buta. Kita buta terhadap pesimisme. Sebab kita optimis, karena segala sesuatunya berjalan lancar. Kita buta terhadap takut dan susah, sebab setiap harinya cerah. Dan jika kita bercermin, kelihatan mata bersinar.
Kita buta terhadap sifat-sifat tidak baik dan kelemahan-kelemahan sang kekasih, sebab yang kita lihat hanya keindahan dan kebaikan yang dipancarkan oleh sang kekasih.
Kita buta terhadap apa saja di luar, sebab perhatian hanya pada kekasih setiap saat. Kita buta terhadap kejenuhan rutinitas dalam kehidupan sehari-hari, sebab hati selalu bersama kekasih.
Ternyata benarlah bahwa “cinta itu buta.” Dan ternyata benar juga, bahwa butanya cinta itu simpatik.
Kita menjadi orang baik, optimis, berharapan positif. Kita bersimpati pada siapapun. Hidup menjadi indah, kita mudah memaafkan orang, mudah dimintai tolong orang.
Kemudian kekasih menjadi istri atau menjadi suami. Kebahagiaan meningkat menjadi Sorga. Tetapi berlangsung hanya beberapa bulan.
Mata kemudian menjadi “terbuka,” tidak “buta” lagi. Dan yang tampak kemudian ialah realitas kehidupan sehari-hari, dan realitas pribadi masing-masing.
Mata yang “terbuka” sedikit-sedikit melihat kesalahan orang, tidak sabar terhadap kekurangan orang. Maka konflik-konflik antara suami-istri tak dapat dihindari. Konflik di dalam rumah tangga identik dengan Neraka.
Ternyata dengan i’tikad yang baik kedua suami dan istri, semua konflik dapat diatasi, bahkan dapat diciptakan harmoni baru yang lebih indah.
Maka konflik adalah metode Tuhan untuk menuntun manusia kepada hubungan yang lebih akrab, lebih mesra.
Jika benar bahwa Sri Kresna dalam wayang itu adalah Nabi, maka ajarannya pastilah bertema ”harmoni karena konflik.” Semua cerita wayang adalah cerita tentang konflik yang diakhiri dengan terciptanya harmoni baru yang meningkat.
Adapun tema wahyu yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s. ialah “cinta kasih.”
Marilah kita berpegangan pada kedua wahyu Tuhan tersebut. Jika suami-isteri setelah sekian tahun hidup bersama sudah “tuntas” dalam mengamalkan “hamoni karena konflik”, mulai tumbuhlah “cinta kasih” yang sebenarnya.
Sebelum itu cintanya belum murni, sebab masih dikotori oleh egoisme-egoisme masing-masing pihak. Suami marah jika istri segan melayani. Istri “purik” jika hatinya tersinggung. Yang satu ingin menguasai yang lain untuk kepuasannya sendiri.
Itu bukan cinta. Bercinta yang benar ialah cinta antara dua orang sahabat karib.
Berbahagialah orang yang mempunyai sahabat karib. Ia tidak berharap apa-apa, tetapi ingin memberi. Sahabat berada di hati, tetapi ia tidak mengikatnya, melainkan ingin saling memanjakan.
Cinta kasih ialah saling berserah diri dengan ikhlas dan dengan senang hati. Sangat berusaha untuk tidak saling menyinggung perasaan, tidak saling melukai hati. Sama sekali tidak ada pikiran untuk memanfaatkan kebaikan hati yang lain.
Kesalahan, kekurangan, kelemahan sahabat tidak ia perdulikan. Ia dapat mencurahkan isi hati pada sahabat, yang membuat hatinya menjadi ringan. Hidupnya tidak kosong, sebab ia teramat bahagia dengan sahabatnya.
Sahabat karib dapat melebihi saudara kandung. Pada sahabat karib kita bukan gandrung atau kedanan, melainkan CINTA KASIH.
Cinta membuat hati berasa damai, sering berdebar karena terharu. Hidup menjadi indah dan cerah. Maka idealnya suami istri ialah hidup sebagai sahabat karib.
Dan jika juga suami istri dapat menjadi sahabat karib putra putrinya, yang bukan orang tua dijajah oleh anak, melainkan benar-benar sahabat karib, maka rumah menjadi Sorga
Ayah mempunyai tugas khusus, yaitu CHARACTER-BUILDING putra-putrinya. Anak menjadi seorang Pendawa, atau seorang Kurawa, atau seorang Cakil, ayah yang dimintai tanggung jawab oleh Tuhan di Akhirat kelak.
Ibu adalah PEMBANGUN SORGA, maka dari itu Nabi Besar SAW mengajarkan, “sorga terletak di pangkuan ibumu.” Anak jika sakit menyebut “Duh Biyung” dan bukan “Duh Bapak”.
Seorang Ibu yang penuh “panelangsan” dan penuh haru, jika berbicara kata-katanya “mandi” dan tangannya mempunyai daya sembuh. Tetapi jika anak ingin mempunyai jam tangan atau sepeda-motor kelak, berbaik-baik hatinya ialah kepada Bapak.
Gandrung pada kekasih ialah rasa di hati yang mengagumkan. Maka marilah kita belajar untuk dapat “gandrung pada Maha Kekasih, yaitu Tuhan,” sebab Tuhan memberi kesempatannya, yaitu sewaktu shalat, istighfar dan dzikir.
Tuhan mempunyai 99 nama, salah satunya ialah AL-WALI, yaitu sahabat untuk berlindung. Jadi Tuhan sangat berharap manusia dapat “mengalami” Tuhan sebagai sahabat.
Malaikat juga berharap dapat menjadi sahabat manusia untuk dapat berbisik: “Jangan takut, jangan susah, kami adalah sahabat engkau di dunia ini dan di akhirat nanti, apapun yang anda inginkan akan diberi.”
Itu semuanya terbaca di Qur’an, dan Tuhan tak pernah ingkar janji, inipun Qur’an.
Di Qur’an banyaklah ayat-ayat yang menunjukkan, bahwa Tuhan ingin sekali untuk memanjakan manusia. Tetapi supaya kebaikan dan kemurahan Tuhan tidak disalahgunakan, yang akan membuat manusia sesat jalan, Tuhan memberi petunjuknya, yaitu “TAUBAT DAN KESUCIAN”.
Ayatnya: “Tuhan cinta pada mereka yang bertaubat dan yang menyucikan diri.”
Cinta Tuhan ialah cinta kasih seperti cintanya orang tua pada anaknya, cinta seorang sahabat karib, bahkan sudah tentu lebih dari itu.
Cinta kasih Tuhan Maha Murni, cinta yang melindungi, memimpin, membuka jalan, memberi rezeki, menata kehidupan, mengevolusi, tidak melihat kesalahan.
Jika orang tua meniru Tuhan mengerjakan itu semua pada putra putrinya, maka orang tua yang demikian itu adalah sahabat karib bagi putra putrinya. Wibawa orang tua terhadap putra putrinya akan tetap terpelihara, bahkan akan meningkat.
Jadi kita tidak pernah lupa pada dua hal, yaitu Taubat dan Kesucian. Puncak taubat ialah Aslama, serah diri total pada Tuhan. Dan jalan pada kesucian ialah Istighfar, mohon pada Tuhan untuk dibersihkan dalam kita berpikir, berperasaan, beremosi, memandang, berbicara, dan dalam kita berkarya apapun.
Maka tidak henti-hentinya kita dalam ASLAMA DAN ISTIGHFAR. Insya Allah itulah pusakanya untuk kita dapat berada dalam CINTA KASIH TUHAN.
Tuhan terhadap kita seperti kita pada anak-anak di rumah, bahkan lebih dari itu!
Ditulis untuk Guru PIRI oleh Badan Pemangku Azas PIRI
Mardiyono Jaya S. Marja
Comment here