Diskursus

Mengapa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Tidak Populer Sebagai Tokoh Pembaharu?

Bagi mereka yang membaca buku-buku sejarah perkembangan pemikiran Islam dan sejenisnya, tentu mengenal nama Sayyid Ahmad Khan sebagai salah seorang tokoh pembaharu. Ia lahir di Delhi, India, pada tahun 1817, delapan belas tahun sebelum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (HMGA) lahir, dan wafat tahun 1989.

Meski berasal dari keluarga aristokrat, Khan lahir di tengah-tengah komunitas Muslim India yang terbelakang dan dijajah Inggris. Realitas inilah yang barangkali menyebabkan ia cenderung mengikuti paham keagamaan Qadariyah, yang menganut kebebasan dan kemerdekaan akal, dengan tidak mengesampingkan wahyu.

Allah, menurut pendapatnya, adalah “Sebab Pertama”, yang segala sesuatu bergantung kepadaNya. Ia menolak paham taqlid, yang oleh karenanya ia berpendapat bahwa sumber ajaran Islam hanyalah Qur’an dan Hadits sahih. Sedangkan ijtihad para ulama terdahulu, demikian juga ijma’ dan qiyas, sebagai sumber ajaran Islam lainnya, tidak mengikat secara absolut.

Tidak seperti kebanyakan warga India yang membenci dan berusaha membebaskan diri dari penjajahan Inggris, Khan justru memberikan banyak bantuan kepada pemerintah Inggris. Dalam pemberontakan yang terjadi tahun 1857, misalnya, ia bukan saja tidak ikut ambil bagian dalam pemberontakan itu, bahkan banyak warga Inggris yang dilindunginya dari kebrutalan massa. Lebih dari itu, ia juga membuat pamflet untuk meyakinkan pihak Inggris tentang ketidakterlibatan umat Islam dalam pemberontakan itu. Kalau pun ada yang terlibat, itu tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan, sehingga tidak pada tempatnyalah pemerintah Inggris mencurigai keseluruhan umat Islam India.

Atas jasa besarnya itu, ia mendapat sejumlah hadiah dari pemerintah Inggris. Akan tetapi, hadiah itu ia tolak, kecuali gelar Sir, gelar kehormatan di kalangan bangsawan Inggris.

Tampaknya, yang terpenting dari usaha pembaharuan Khan adalah di bidang pendidikan bagi umat Islam India. Menurutnya, hanya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern sajalah yang bisa mengangkat umat Islam dari keterbelakangan dan ketertindasan. Dalam hal ini, menurutnya lagi, tidak bisa tidak, umat Islam harus bekerja sama dengan pemerintah Inggris. Di tahun 1878, Khan mendirikan sekolah model Inggris bernama Muhammadan Anglo Oriental College (MAOC) yang pengelolaannya banyak melibatkan orang Inggris, bahkan termasuk direkturnya.

Sampai di sini peran Sir Sayyid Ahmad Khan dalam memajukan umat Islam, khususnya di India, cukup berarti. Bahkan, pemisahan komunitas Muslim India yang belakangan melahirkan negara Pakistan, tampaknya tidak bisa lepas dari peran Khan.

Tanpa ada maksud mengecilkan peran Sir Sayyid Ahmad Khan sebagai tokoh pembaharu di dalam Islam, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, yang hidup sezaman dengannya, tampaknya memiliki kemampuan melihat yang jauh lebih tajam. Jika objek pembaharuan Khan lebih berorientasi pada umat (orang), maka pembaharuan HMGA lebih berorientasi pada ajaran (agama).

HMGA melihat Islam di zamannya tidak tampak sebagaimana seharusnya ia tampil. Islam ia ibaratkan seperti taman yang dipenuhi dengan semak belukar dan rumput liar, sehingga keindahan taman itu tertutupi. Berbagai paham keliru dan sesat merasuki pemikiran umat Islam, yang entah dari mana asalnya tapi diakukan berasal dari Qur’an. Hal ini, menurut HMGA, dikarenakan umat jauh dari Qur’an.

Karena itulah, yang dilakukan mula-mula oleh HMGA adalah membersihkan Islam dari kotoran-kotoran itu, sehingga Islam tampil sebagaimana seharusnya. Itulah sebabnya, sejak awal ia tampil di masyarakat, baik melalui tulisan maupun pidato, yang dikemukakan adalah soal keindahan Islam.

Dalam konferensi tokoh lintas agama pada Desember 1896 di Lahore, misalnya,  HMGA menyampaikan uraian tentang manusia dalam perspektif agama Islam, yang sumber dalilnya sepenuhnya diambil dari Qur’an Suci, tanpa referensi lain. Pidatonya bukan hanya dianggap lebih unggul ketimbang uraian tokoh agama lain, tetapi juga membangkitkan semangat umat Islam kala itu, untuk mempelajari kembali Qur’an Suci dengan sungguh-sungguh.

Seperti halnya Khan, HMGA juga tidak mengambil sikap bermusuhan dengan pemerintah Inggris. Tapi, ia juga tak memberi dukungan atas penjajahan Inggris di India. Menjalin hubungan baik dengan pemerintah Inggris dilakukan HMGA dilatari oleh motif dakwah, dengan maksud agar supaya pada gilirannya mereka dapat mengenal keindahan Islam. Dakwah Islam di Inggris sudah dilakukan oleh HMGA ketika Inggris masih menjajah India. Bahkan melalui perantaraan para muridnya, salah seorang anggota keluarga bangsawan Kerajaan Inggris, Baron Headley, menyatakan diri masuk Islam.

Sayangnya, oleh umat Islam di kemudian hari, maksud baik HMGA itu disalahpahami. Tidak seperti Khan, dengan sikap yang sama HMGA justru dituduh oleh umat Islam sebagai antek Inggris, penjilat, dan sebutan lainnya. Mereka tidak melihat kenyataan adanya perubahan pandangan orang-orang Inggris terhadap Islam hari ini, yang antara lain dipengaruhi oleh usaha dakwah beliau di Inggris.

Sebagai tokoh pembaharu, HMGA hampir tidak dikenal, kecuali bagi segelintir orang saja. Ia bahkan kini lebih populer sebagai tokoh yang kontroversial ketimbang tokoh pembaharu di dalam Islam. H.A.R. Ghibb, seorang orientalis kenamaan yang konon banyak melakukan penelitian dalam bidang keislaman, pun tak mencatatnya sebagai unsur penting dalam pembaharuan Islam, kecuali hanya sedikit di wilayah-wilayah Muslim di Afrika yang masih terbelakang.

Hal ini, menurut hemat penulis, disebabkan oleh sekurang-kurangnya tiga sebab. Pertama, karena seperti yang telah penulis kemukakan di depan, yang meskipun sifatnya hipotesis, objek atau wilayah garapan pembaharuan HMGA lebih pada dimensi ajaran, yakni dengan membongkar paham-paham keagamaan yang oleh orang Islam kebanyakan dianggap paham yang sudah baku. Dan karena itu, ia harus berhadap-hadapan secara frontal dengan para ulama yang dianggap memiliki otoritas kebenaran penafsiran dalam perkara itu. Alih-alih mendapat pujian, justru cacian, cercaan serta hujatan dilemparkan kepadanya, bahkan berujung pada pengkafiran.

Kedua, ide-ide pembaharuan HMGA telah diterjemahkan ke dalam bahasa yang relatif lebih ilmiah oleh Maulana Muhammad Ali (MMA), yang sedikit banyak dianggap mengaburkan peran HMGA sendiri. Tetapi kalau kita baca kata pengantar MMA dalam kitab tafsir Qur’an buah karyanya, jelas tampak bahwa MMA tidak berdiri pada sisi yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan HMGA.

Bahwa untuk menguatkan argumentasinya MMA banyak merujuk pendapat para ulama besar di dalam tafsirnya, hal ini justru seakan hendak menunjukkan bahwa ide pembaharuan HMGA tidak dimaksudkan untuk mengubah Islam menjadi agama yang lain sama sekali. Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi MMA untuk mengembangkan ide-ide pembaharuan HMGA itu menjadi sedemikian rupa, menurut kemampuan interpretasinya.

Ketiga, perpecahan interal di dalam tubuh Ahmadiyah, yang terjadi sejak tahun 1914. Perpecahan yang melahirkan dua kubu, faksi Qadian dan faksi Lahore, itu juga ikut andil, dan bahkan boleh dikata menjadi faktor yang paling penting dalam menenggelamkan ide-ide pembaharuan HMGA.

Tampaknya, faksi Qadian lebih mementingkan eksistensi ketimbang esensi. Dugaan ini dikuatkan oleh adanya kenyataan bahwa mereka, boleh dikata, lebih sering mengintrodusir klaim-klaim HMGA soal kenabian ketimbang ide pembaharuannya, yang justru kontra-produktif dengan misi pembaharuan yang diembannya.

Sayangnya, faksi Lahore ikut terpancing dalam perdebatan yang tak ada habisnya soal perkara kenabian ini. Tentang klaim kenabian ini, faksi Lahore menolak keras klaim itu dengan berbagai argumentasi, yang alih-alih hendak membuat perkaranya menjadi jelas, tetapi secara tidak langsung justru seolah membenarkan pengakuan itu, dengan mengintrodusir istilah buruzi nabi, zilli nabi, dan lainnya.

Menurut hemat penulis, bahwa HMGA pernah mengaku sebagai “nabi”, agaknya tidak bisa dipungkiri. Persoalannya adalah bahwa kata nabi yang dimaksud oleh HMGA bukanlah istilah yang dipahami oleh kebanyakan umat Islam. Dengan kata lain, HMGA dan umat Islam kebanyakan memiliki frame pemahaman yang berbeda dalam hal istilah ini.

Itulah makanya mengapa belakangan, dalam berbagai tulisan, HMGA bersedia meralat pengakuannya itu. Berulang kali HMGA mengingatkan, agar supaya setiap kata “nabi” dalam berbagai pernyataan beliau sebelumnya diganti dengan istilah “muhaddats”. Wallohu a’lam.[Mulyono]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here