Artikel

Mengabdi Kepada Kemanusiaan

Bagi manusia yang sadar bahwa ia diciptakan, dimiliki, disempurnakan, dicintai dan dituntun oleh Tuhan Yang Maha Esa, maka wajarlah jikalau ia mempertanyakan diri atau bertanya kepada Tuhan tentang bagaimana ia diciptakan dan apakah tujuan ia diciptakan.

Manusia diberi Allah kemampuan untuk membaca wahyu yang tersirat dalam ciptaan alam semesta ini (QS 2:31) dan diberi kemampuan menerima wahyu atau petunjuk langsung dari Sang Pencipta (QS 32:9; 42:51).

Kemampuan manusia membaca alam semesta terwujud dan tertuang dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam, sedangkan wahyu atau petunjuk langsung dari Tuhan diberikan kepada manusia dalam berbagai bentuk dan tingkat. Bentuk dan tingkat wahyu yang tertinggi adalah wahyu kenabian, yang hanya diberikan kepada para nabi saja.

Kemampuan-kemampuan tersebut juga mengantarkan manusia kepada keimanan pada Tuhan.

Sukar untuk menerangkan iman. Izinkanlah di sini dinyatakan bahwa iman pada Tuhan itu mencakup pengetahuan, keyakinan, kesadaran dan perasaan hati akan eksistensi Tuhan, ditambah dengan sesuatu, sebutlah X.

X ini mencakup sikap dan perilaku sebagai akibat atau konsekuensi iman adanya Tuhan Yang Menciptakan, Yang Memiliki, Yang Menyempurnakan, Yang Mencintai dan Yang Memimpin manusia sampai pada tujuannya, sehingga sikap dan perilaku manusia yang benar adalah sumarah sempurna (aslama) pada kehendak Ilahi.

Bagaimana orang bisa sampai pada suatu keyakinan yang mengantarkannya kepada iman?

Secara nalari, dengan berfikir dan berfilsafat orang dapat sampai kepada ilmul-yaqiin (QS 102:5). Kemudian jika orang mengalami adanya komunikasi dengan Tuhan melalui kesadaran indera jiwani atau ruhani, maka sampailah ia pada keyakinan ainul-yaqiin (QS 102:7). Keyakinan yang lebih tinggi lagi adalah haqqul-yaqiin (QS 55:95; 69:51).

Sebagai gambaran dapat diberikan contoh sebagai berikut. Jika seorang melihat asap api mengepul di kejauhan, maka secara ilmiah ia dapat menyimpulkan bahwa di kejauhan itu terdapat api (ilmul-yaqiin).

Kemudian jika ia berjalan mendekat dan melihat sendiri adanya api, maka ia sampai pada ainul-yaqiin. Kesimpulan yang lebih menyakinkan tentang adanya api ini tidak dapat ia bagi dengan temannya yang tidak ikut melihat api.

Apabila kemudian ia memasukan tangannya ke dalam api dan terbukti tangannya terbakar, maka ia sampai pada tingkat haqqul-yaqiin atau keyakinan yang sejati. Keyakinan inipun tidak dapat ia bagi dengan temannya yang hanya melihat asap dari kejauhan.

Dengan kata lain, dengan berfikir, refleksi dan meditasi, orang dapat sampai kepada ilmul-yaqin dan dapat berargumentasi bahwa Tuhan itu ada. Keyakinan ini sifatnya obyektif dan dapat diikuti oleh orang lain.

Sementara itu, ‘ainul-yaqiin dan haqqulyaqiin tentang adanya Tuhan hanya dapat dicapai oleh orang yang telah mengalami pengalaman-pengalaman religius secara subyektif.

Ilmu yang dimaksud di sini bukanlah sains, tetapi knowledge atau pengetahuan. Berdasar atas sumber dan sifatnya, pengetahuan dapat diklasifikasikan menjadi lima, yakni pengetahuan naluri (insting), pengetahuan nalari (sains), pengetahuan modalitas (indah, kurang indah, dsb.), pengetahuan hati (adil, jujur, dsb), dan pengetahuan berasaskan wahyu (dalam arti khusus, komunikasi langsung).

Kelima macam pengetahuan yang tersusun dalam sistem-sistem yang mencakup semua kadar atau hukum-hukum yang berlaku di alam semesta ini oleh Qur’an dapat dinamakan wahyu (QS 41:11-12; 16:68; 42:51).

Akhir-akhir ini, manusia berada pada suatu tahap  dimana pengetahuan yang berasal dari olah nalar yang berupa sains dan teknologi merajai hampir seluruh aspek kehidupan manusia.

Ada yang dipakai untuk kesejahteraan jiwani (pengobatan penyakit jiwa dengan sistem bio-feedback, misalnya), ada yang dipakai untuk kesejahteraan jasmani (pakaian, makanan, perumahan, transport, komunikasi, transformasi energi, dll.). Ada pula yang dipakai untuk memusnahkan peradaban manusia atau ummat manusia itu sendiri, dalam ukuran kecil maupun besar.

Lantas, apakah yang dinamakan pengabdian kepada kemanusiaan atau umat manusia itu? Pengabdian ini berupa perbuatan atau aktivitas apapun oleh manusia sehingga tujuan terciptanya umat manusia ini tercapai.

Kita kembali kepada pertanyaan di atas: bagaimana manusia diciptakan dan apakah tujuan manusia diciptakan. Untuk mencoba menjawab pertanyaan ini, kita manfaatkan kelima sumber pengetahuan tersebut di atas dengan penampilan utama nalar dan wahyu.

Iman pada Tuhan Yang Maha Esa juga membawa konsekuensi keyakinan bahwa hukum-hukum alam ciptaan Tuhan jelas tidak akan bertentangan dengan wahyu Tuhan.

Kalau manusia berhasil mendapatkan hukum alam yang benar serta berhasil menafsirkannya secara benar, lantas juga jika ia dapat secara benar pula menafsirkan atau menawilkan wahyu Tuhan, maka pasti tidak ada pertentangan antara hukum alam yang didapatnya dengan wahyu yang ia terima.

Jika ada pertentangan antara keduanya, maka ini berarti bisa penafsirannya atas hukum alam yang salah atau belum benar, atau kedua penafsirannya salah semua  atau belum benar semuanya.

Pertanyaan soal bagaimana manusia diciptakan dan apa tujuannya, telah dijawab dan diungkapkan oleh banyak kitab Allah, yaitu wahyu kepada para nabi. Ini berarti bahwa hanya ada satu sistem yang mencakup seluruh ciptaan-Nya. Dengan kata lain, hukum-hukum yang berlaku di alam semesta sifatnya juga universal, maanusia adalah universal, sistem wahyu dan kenabian sifatnya juga Universal.

Jadi jawaban yang terdapat dalam wahyu-wahyu kepada para nabi pasti tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan hanya terdapat pada volume materi wahyu dan tingkat ketinggian wahyu.

Menurut Qur’an, sesuai dengan sifat Rabb (Rububiyah), wahyu itu meningkat terus, berangsur-angsur dari abad ke abad sehingga menjadi sempurna pada agama Islam (Qur’an) dan pada diri Nabi Muhammad saw. (QS 5:3).

Oleh karena itu akan dicoba di sini menjawab kedua pertanyaan tersebut di atas dengan wahyu dari Qur’an, sedang nalar dan ilmu pengetahuan berperan sebagai sarana menafsirkan ataupun untuk mengerti dan melengkapi.

Bagaimana manusia diciptakan?

Di dalam Qur’an ada sepotong sabda Allah yang dihubungkan dengan aktivitas Allah menciptakan, yaitu kun fayakun yang artinya jadilah, maka itu jadi. Kun adalah bentuk perintah dari kata kaana yang artinya ada. Lalu diwujudkan Kaun, kata benda dari kata kaana.

Al-kaun artinya alam semesta. Al-kaun mengandung arti bahwa alam semesta pada mulanya tidak ada , kemudian ada permulaanya sampai sekarang ini.

Kalau kita mengikuti The Big Bang Theory oleh George Gamow, maka alam semesta ini bermula dari suatu kemampatan atau masa yang luar biasa padatnya, yang meletus menjadi berbentuk asap kemudian terpisah-pisah menjadi banyak tata surya, tata planet, tata bumi, dan selanjutnya terus berevolusi sampai sekarang ini.

Jadi alam semesta (al-kaun) pada tahap sekarang ini, yang terjadi karena kun fayakun Allah swt, tidak terjadi dalam “satu hembusan nafas,” tetapi terjadi melalui suatu proses evolusi.

Mengenai bagaimana manusia diciptakan, terdapat banyak ayat-ayat di dalam Qur’an antara lain: mengalami suatu masa dimana manusia belum patut disebut apa-apa (QS 76:1), diciptakan melalui tahapan-tahapan (QS 71:14), ditumbuhkan dari bumi seperti tumbuh-tumbuhan (QS 71:17), diciptakan dari sari bumi (QS 23:12), diciptakan dari tanah liat yang kering, dari lumpur hitam yang dibentuk (QS 15:28), manusia diciptakan dari debu, kemudian dari biji hidup, kemudian dari jedalan, kemudian dari seongggok daging, dilahirkan sebagai bayi, kemudian tua (QS 22:5; 40:67).

Dalam ayat-ayat di atas, tersirat dan tersurat adanya proses evolusi pada kejadian manusia secara jasmani.

Tujuan terciptanya manusia juga tercantum dalam banyak ayat-ayat Qur’an, antara lain: untuk mengabdi pada Allah (QS 51:56), untuk mewarnai diri dengan sifat-sifat Allah (QS 2:138), mengalami evolusi ruhani melalui berbagai tingkatan sejak nafsul-ammarah (jiwa hewani) (QS 12:53), kemudian nafsul-lawwamah (jiwa yang bertaubat), hingga pada tingkat nafsul-muthma’innah (jiwa yang stabil) (QS 75:2; 89:27-30).

Dengan mengamati manusia sepanjang sejarah maupun yang ada di sekeliling kita, terlihat adanya orang-orang jahat yang kemudian menjadi orang baik berkat wahyu Allah yang dia ikuti dengan baik.

Dapat disimpulkan bahwa dalam Qur’an juga tersirat pelajaran adanya evolusi ruhani manusia. Nabi muhammmad saw. mengatakan bahwa dia diutus untuk memuliakan budi pekerti yang luhur, yaitu untuk memimpin manusia dari tingkat hewani ke tingkat manusia (dapat menyesal) dan selanjutnya ke tingkat ketuhanan (mengambil warna Allah).

Pengertian nilai-nilai baik maupun jahat yang diakui secara konsesus sepanjang masa oleh sebagian besar kaum atau umat, kalau dilacak pasti berasal dari Tuhan melalui para Rasul-Nya.

Dengan iman dan ilmu maka dapatlah disimpulkan bahwa terjadinya manusia adalah secara evolusi, dan secara evolutif pula manusia bisa mencapai tujuannya. Tahap akhir evolusi manusia adalah tercapainya tingkat manusia ruhani yang berhasil mewarnai diri dengan sifat-sifat Allah.

Proses ini  terus berlanjut sesudah matinya manusia. Jasmani maupun ruhani manusia masih terus berevolusi menuju kepada tercapainya tujuan tersebut di atas (QS 39:20; 66:8).

Lahirnya manusia, kemudian hidupnya dan matinya adalah potongan-potongan kecil pada proses evolusinya. Semua perbuatan manusia yang menghalang-halangi lancarnya proses evolusi ini dikatakan merugikan kemanusiaan. Sedangkan perbuatan yang menunjang lancarnya evolusi ini merupakan pengabdian terhadap kemanusiaan.

Evolusi jasmani dan ruhani manusia ini erat sekali hubungannya satu dengan yang lain. Suatu perbuatan jasmani akan berpengaruh pada macam perbuatan manusia rohani. Jadi pengabdian terhadap kemanusiaan berarti menunjang lancarnya evolusi manusia baik secara jasmani maupun rohani.

Orang yang mempergunakan dan menyumbangkan ilmunya kepada kemanusiaan tanpa disertai iman, maka penggunaan ilmu tersebut akan kehilangan nilai-nilai baiknya menurut wahyu, sehingga ilmu tersebut hanya berhasil mengevolusikan manusia jasmani, sedangkan manusia ruhaninya masih pada tingkat nafsu hewani.

Dalam hal ini betul sekali kata orang Barat bahwa manusia itu adalah binatang yang berakal, lalu menjadi manusia serigala yang cerdik.

Sumbangan ilmu semacam ini tak dapat dinamakan pengabdian kepada kemanusiaan. Mungkin sumbangan ini dapat dinamakan pengabdian pada ilmu, untuk tidak dikatakan pengabdian pada setan, pada ekses-ekses penggunaannya.

Orang yang berjuang misalnya untuk menegakkan nilai-nilai keimanan, keadilan dan kejujuran, untuk kesejahteraan jasmani dan ruhani dengan ilmu dan imannya, maka barulah dapat dikatakan bahwa ia mengabdi pada kemanusiaan. Inilah yang dicontohkan oleh para nabi.[]

 

Oleh : dr. H. Ahmad Muhammad Djojosoegito | Sumber: Media Komunikasi GAI No. 2 Tahun 1989.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here