Tabayyun

Menepis Tuduhan “Antek Inggris”

Belum lama berselang, ada dimuat dalam harian yang saudara pimpin, isi sebuah surat Bapak Presiden kita, ketika beliau masih ada di Endeh, yang terdapat juga dalam Di Bawah Bendera Revolusi (Jilid I cetakan ke-2, 1963, hlm. 345, 346).

Sampai dua kali beliau menyatakan terima kasihnya kepada Ahmadiyah atas banyak faedah dan penerangan-penerangan, yang diperoleh dari tulisan-tulisan yang diterbitkan oleh Ahmadiyah, yang sifat-sifatnya “rationeel, modern, broadminded dan logis.” Di antara tulisan-tulisan itu ada satu, yaitu Het Evangelie van de Daad, yang beliau sebut “brilliant, berfaedah sekali bagi semua orang Islam.”

Ciri-ciri Ahmadiyah yang beliau setujui ialah: rationalisme, kelebaran penglihatan (broadmindedness), modernisme, hati-hati terhadap kepada hadits, streven mendahulukan Qur’an dan usahanya menjadikan Islam dapat diterima dengan secara sistimatis.

Buku-buku tersebut di atas ialah karangan almarhum Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., Presiden Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam di Lahore dan Khawaja Kamaluddin, Imam Masjid di Woking, London dan muballigh (penyiar agama) Gerakan tersebut dan diterbitkan oleh Gerakan Ahmadiyah yang di Lahore itu, bukan oleh Ahmadiyah yang berkedudukan di Qadian (sekarang di Rabwah). Terjemahannya dalam bahasa Belanda diterbitkan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia, aliran Lahore, bukan yang beraliran Qadian.

Kedua aliran (school of thought) itu biasa diperkacaukan saja oleh umum, bahkan dipersamakan pula, sehingga menimbulkan banyak salah faham dengan segala konsekwensinya.

Tentang ‘pengeramatan’ kepada Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Gerakan Ahmadiyah, kalau yang dimaksud dengan istilah ‘pengeramatan’ itu ialah memandang beliau seperti Ahmadiyah Qadian memandang beliau, yaitu sebagai nabi, maka cukuplah kiranya kami nyatakan dengan tiada syak barang sedikit pun, bahwa Ahmadiyah Lahore sama sekali tidak menganggap beliau sebagai nabi, melainkan sebagai seorang muhaddats belaka, seperti nyata dengan terangnya dari banyak keterangan beliau sendiri, misalnya yang terdapat dalam Tadih-i Maram hlm. 9, Izala Auham hlm 349, 422, 532, 533, Siradji-i Munir hlm. 2, 3, Arba’in No. 2, Al-Wasiyat hlm. 10, Haqiqatul-Wahy hlm. 6, 5, Ek Ghalti Ka Izala, Aina Kamalat-i Islam hlm. 564.

Kewajiban membuktikan (bewijsiast) bahwa beliau itu nabi, tentu saja tidak terletak pada Gerakan Ahmadiyah aliran Lahore, melainkan pada setiap orang yang mengatakan demikian.

Adapun tentang celaan “mereka punya kecintaan kepada imperialisme Inggris,” baiklah hal yang serius ini kita pandang terlebih dahulu dari sudut kenyataan. Bahwa pada waktu itu kita hidup di zaman bangsa-bangsa Eropa telah berabad-abad lamanya mengusahakan diri dengan berbagai macam jalan untuk menyapu bersih agama Islam dari muka bumi.

Dan imperialisme Belanda dengan politik pendidikan, politik kristenisasi (mengkristenkan umat Islam) dan politik Islamnya menjalankan devide et impera, memecah belah dan mengadudombakan golongan-golongan Islam dan berhasil pula mengikutsertakan gerakan politik nasional dalam pertarungan agama itu – sesuai dengan nasihat Prof. Snouck Hourgronje kepada Pemerintah Belanda di samping memelihara baik-baik vested interests golongan-golongan tertentu, dengan maksud hendak merintangi dan menggagalkan setiap usaha menghidupkan kembali semangat Islam yang sejati yang pada anggapan Belanda telah berabad-abad lamanya membatu (versteend) itu.

Karena itu, kalau pada mulanya kedatangan muballigh-muballigh Gerakan Ahmadiyah Lahore ke Indonesia disambut oleh umat Islam dengan anhusiasme dan mereka memperoleh banyak bantuan, Gerakan tersebut kemudian mendapat tantangan-tantangan dan rintangan-rintangan yang sekali-kali tak dapat disebut ringan, bahkan dikafirkan pula.

Sudah pada waktu itulah dilancarkan orang tuduhan, seakan-akan Gerakan Ahmadiyah itu “kaki tangan imperialisme Inggris”, sedangkan dari pihak segolongan Belanda sendiri ada usaha keras untuk mempengaruhi pemerintahnya supaya seorang di antara anggota-anggota Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia aliran Lahore, yang mereka sebut ‘agitator’ itu, dibuang saja ke Digul, karena politik kristenisasi mereka tak henti-hentinya kami tentang dan kami serang.

Kemudian di zaman pendudukan Jepang, Gerakan tersebut diadukan pula kepada Gunseikanbu, dengan akibat beberapa orang di antara anggota Pedoman Besarnya mengalami banyak kesulitan dan penderitaan (tahanan dsb.) dan hampir-hampir saja seorang di antara mereka menderita siksaan yang kejam dari Kempeitai.

Jika sekiranya Bapak Presiden diperasingkan itu berkesempatan untuk meneliti sendiri sikap pendiri Gerakan Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), langsung dari sumber-sumber aslinya yang authentik, maka beliau pasti akan mendapati bahwa Gerakan Ahmadiyah sudah dalam abad yang ke-19 berusaha keras memberantas imperialisme – tak lain dan tak bukan karena usaha itu memang merupakan salah satu segi yang penting dan tak terpisahkan dari tugas kewajibannya yang suci.

Janganlah hendaknya kita lupakan, bahwa akhirnya yang disebut kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan eksploitasi itu ialah pernyataan  (expressie) dan perwujudan belaka daripada keadaan batin (attitude of mind) yang sifatnya materialistis, yaitu sikap rohani yang pasti timbul pada seseorang atau bangsa mana pun juga, yang tak dapat menguasai sepenuhnya nafsu-nafsu kebinatangannya dan sama sekali tak mengenal nilai-nilai moral dan spriritual yang tinggi, sehingga tak berusaha sedikit pun untuk memperkembangkan daya-daya rohaninya yang lebih tinggi daripada itu, sebagaimana dengan tegas diperintahkan Tuhan dalam Quran Suci sebagai syarat mutlak bagi tercapainya kesejahteraan, kebahagiaan dan kejayaan.

Karena itu aneh sekali, kalau Gerakan Ahmadiyah yang “mendahulukan Quran Suci” dan berjuang dengan Kitab Suci itu sebagai senjata yang ampuh, yang tak bosan-bosannya mengundang umat Islam supaya kembali kepada Quran Suci dan mengundang bangsa mana pun juga supaya mempergunakan Kitab Suci itu sebagai pedoman hidup – bahwa Gerakan yang demikian tujuannya itu mengkhianati ajaran-ajaran Quran Suci yang dijunjungnya tinggi-tinggi dan dibelanya sekuat tenaga duniawi, jasmani dan rohaninya, dengan mencintai apa yang justru menjadi tugas sucinya untuk memberantasnya, yaitu imperialisme.

Kami tidak berpendirian seperti orang Barat, “Het doel heilight de middelen” atau “the end justifies the means”; asalkan tujuannya baik, jalan apa pun, baik atau buruk, moral atau immoral, boleh saja ditempuh untuk mencapainya.

Manakah dapat suatu sistim hidup (way of life), yang menganjurkan kepada orang-orang supaya berkata bohong dan mempergunakan cara-cara yang tidak jujur, asalkan tujuan tercapai, menciptakan dunia baru yang lebih baik. Tujuan dan cara-caranya mencapainya itu berjalin-jalin secara organis, artinya fungsionil keduanya tak dapat dipisahkan, sehingga tujuan sesuatu usaha itu pada hakekatnya sudah terkandung dalam cara-cara mencapainya.

Nyatanya, Hazat Mirza Ghulam Ahmad ialah satu-satunya orang Muslim yang pertama-tama dalam abad yang ke-19 (tepatnya pada tahun 1891) bukan saja mengumumkan kepada dunia, dengan segala keberanian dan tanpa menghiraukan perlawanan dan bahaya yang mungkin datang dari pemerintah dan bangsa Inggeris, bahwa yang disebut Ya’juj wa Ma’juj (Gog dan Magog) dalam Qur’an Suci dan Dajjal (Anti Christ) yang 13 abad yang lampau telah diramalkan identiteit, aktivitas-aktivitas dan kejahatan-kejahatannya oleh Nabi Suci Muhammad itu tak lain dan tak bukan ialah bangsa-bangsa Eropa, yang menduduki tiap-tiap tempat di dunia yang menguntungkan dan menyenangkan mereka, sehingga seluruh dunia mereka kuasai (21:96).

Cara-caranya mengalahkan mereka pun ditunjukkan juga oleh beliau. Izala Auham hlm 146, 478, 480, 488, 494, 508; Fathi Islam, Kemenangan Islam. Dalam Izala Auham hlh. 501 bahkan bangsa Amerika pun dimasukkan pula dalam golongan bangsa-bangsa penipu yang terjahat itu dan pada hlm. 502 dikatakan dengan jelasnya: “Dan tentang Gog dan Magog, sekarang tak dapat disangsikan lagi, bahwa itu ialah dua bangsa di dunia ini: satu di antaranya ialah bangsa Inggeris dan yang satu langsi ialah Bangsa Rusia”.

Kami rasa, lingkungan atau denotasi istilah (pengertian) imperialisme tak mungkin lebih luas lagi daripada yang diberikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu, jangan dikata lagi isi atau connotasinya, yang kedua-duanya ditetapkan berdasarkan Qur’an Suci dan Hadits.

Mentaliteit materialistis yang destruktif, karena menelurkan kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan exploitasi sesama manusia itu, oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dipandang begitu perlunya diberantas, dicabut dengan umbi akarnya dan dicegah timbulnya kembali, baik pada bangsa-bangsa Barat maupun pada bangsa-bangsa Timur, sehingga Presiden Gerakan Ahmadiyah Lahore, Maulana Muh. Ali pada tahun 1931 menulis sebuah buku dalam bahasa Urdu khusus mengenai perkara itu, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Anti Christ and Gog and Magog (Darul Kutub Islamia Limited Lahore, 1948).

Pada hlm. 58 dalam buku itu dapat kita baca a.l. bahwa pemerintah-pemerintah Barat pada umumnya dan pemerintah Inggris khususnya bekerja sama dengan bangsa Yahudi selaku pembiaya usaha-usaha mereka dan saling membantu dalam usaha mereka menghalaukan umat Islam dari Palestina.

Selain daripada itu ditulisnya juga The New World Order (The Ahmadiyah Anjuman Ishaati Islam Lahore), mula-mula dalam bahasa Urdu (1942), yang kemudian disalin kepada bahasa Inggeris dan banyak disiarkan dengan cuma-cuma.

Dalam buku ini pengarangnya berusaha menunjukkan jalan keluar dari rentetan penyakit dan kejahatan yang dibangkitkan oleh materialisme, seperti misalnya kapitalisme Barat, Staatskapitalisme Bolsjewik (Komunis), Fascisme, demokrasi dan ekonomi menurut kedua aliran materialisme yang ekstrim ke kanan dan ke kiri.

Sudah barang tentu usaha memberantas materialisme mulai dari akar-akarnya pada zaman merajalelanya imperialisme itu takkan dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pendiri Gerakan Ahmadiyah dan oleh Gerakan Ahmadiyah Lahore, jika jihad itu tidak merupakan salah satu segi yang penting daripada tugas suci yang dibebankan Tuhan di atas bahu Gerakan itu dan baik secara eksplisit maupun implisit tidak diwajibkan pula oleh Quran Suci kepada seluruh umat Islam.

Dari sebab itu, dalam tafsir Quran Suci karangan Maulana Muhammad Ali (The Holy Quran: Arabic, Text, Translation and Commentary), yang sudah mengalami cetakannya yang keempat dan telah lama tersiar di dunia, banyak pula terdapat penjelasan mengenai ayat-ayat yang bertalian dengan mentaliteit bangsa-bangsa Barat yang materialistis itu, sehingga dari tafsir itu pun orang sudah dapat mengetahui dengan mudah, bagaimana sesungguhnya sikap Gerakan Ahmadiyah Lahore terhadap segala macam ideologi dan way of life dan apakah usahanya yang nyata terhadap mentaliteit yang terang psychis-destruktif itu.[]

 

*Tanggapan PB GAI terhadap salah satu Harian di Jakarta pada sekitar tahun 1960

Sumber: “Buku Kenang-kenangan GAI usia 50 tahun (Golden Jubilee)”, 1979, hlm. 156-160

 

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »