Tokoh

In Memoriam: Sami’an Ali Yasir (1946-2017)

Sami’an Ali Yasir lahir di Ngawi, 16 Juni 1946. Entah kapan bermulanya, belakangan beliau lebih kondang dengan sebutan Simon Ali Yasir. Banyak orang menduga beliau sebagai seorang mualaf karena nama itu. Apalagi, beliau sangat fasih dalam berbicara soal kekristenan. Tapi nyatanya tidak. Beliau lahir dari keluarga muslim yang taat, dan tumbuh besar dalam lingkungan pendidikan agama yang ketat. Bahkan beliau, sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, lebih banyak menghabiskan masa remajanya di pondok pesantren dan sekolah-sekolah formal berbasis agama Islam.

Konon, menurut cerita beliau sendiri dalam suatu kesempatan, sebutan ‘Simon’ itu beliau peroleh sedari kecil dari kawan-kawan sepermainan beliau yang berasal dari keluarga Kristen. Sebab, sebutan Simon lebih familiar di telinga dan mulut mereka ketimbang Sami’an. Beliau sendiri tak berkebaratan, bahkan kemudian menjadikan sebutan itu sebagai nama pena beliau. Bahkan, nama Simon seakan menjadi daya dorong sekaligus daya tarik dalam aktivitas tabligh beliau, yang mengambil spesialisasi Kristianologi Qur’ani (An-Nashraaniyyatul-Qur’aaniyah). Karena spesialisasinya ini, di tahun 90-an beliau mendapat sertifikat khusus dari Kanwil Kementerian Agama DIY (saat itu masih Departemen Agama) sebagai mubaligh Islam khusus bidang Kristianologi Qur’an.

Masa kecilnya dihabiskan di lingkungan pondok pesantren di kampung kelahirannya, desa Temurejo, Walikukun, Ngawi. Sesudah menamatkan pendidikan dasar (1960), beliau melanjutkan studi formalnya di Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 Tahun di Madiun (lulus 1963) dan kemudian berlanjut ke PGA 6 Tahun di Surakarta (lulus 1965).

Setelah menamatkan sekolah PGA 6 tahun, beliau menikah dengan Nunung Supadi di tahun 1966. Dari pernikahannya itu, beliau dikaruniai 4 orang anak yang diberi nama Elia, Eliga, Elisa dan Elita. Namun, pernikahan itu tidak menyurutkannya untuk tetap melanjutkan studi. Beliau kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah di Akademi Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SPLB) Negeri Surakarta, yang sekarang ini dialihfungsikan menjadi SMAN 8 Surakarta, dan lulus tahun 1969. Kemudian, untuk memperoleh gelar strata satu (S-1), beliau melanjutkan studi di Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Negeri Surakarta. Tetapi kuliahnya tidak beliau selesaikan, karena lebih memilih hijrah ke Yogyakarta dan menjadi guru di sana.

Selama bersekolah formal hingga jenjang pendidikan menengah atas, beliau juga menempuh pendidikan agama di sejumlah pondok pesantren yang ada di Madiun dan Surakarta. Di Madiun, beliau belajar agama di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Huda Oro-oro Ombo. Sementara di Surakarta, beliau mondok di Pesantren Jamsaren, pondok tertua yang ada di Surakarta, yang didirikan oleh Kiai Jamsari asal Banyumas pada tahun 1750.

Simon Ali Yasir adalah seorang mubaligh yang giat melakukan syiar Islam sedari muda. Aktif di berbagai organisasi, lembaga pendidikan, jaringan masjid, dan berbagai institusi keagamaan. Saat masih remaja, beliau aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), dan pernah menjadi ketua PII ranting Lawu Utara, Ngawi (1963-1965). Semasa kuliah, beliau aktif di organisasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan pernah menjadi Wakil Sekretaris DDII Wilayah Jawa Tengah (1970-1972).

Sejak tahun 1971, beliau bergabung dengan Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia (GAI), pada masa kepemimpinan Haji Muhammad Bachroen, dan menjadi mubaligh paling diandalkan sejak pertama ia bergabung. Bahkan, di kemudian hari beliau dipercaya menjadi Ketua Umum Pedoman Besar (PB) GAI selama satu periode (1995-1999), menggantikan Ketua Umum sebelumnya, Prof. Dr. Ahmad Muhammad Djojoseogito, yang syahid dalam “Tragedi Mina” saat melaksanakan ibadah haji tahun 1990.

Sejak bergabung dengan GAI, beliau semakin aktif dalam kegiatan tabligh dan syiar Islam. Sejak Januari 1972, beliau diminta menetap di Yogyakarta, menempati rumah dinas mubaligh GAI yang berada di Kompleks Baciro, dan menjadi Takmir Masjid PIRI –sekarang Masjid Darussalam. Dari masjid ini kegiatan tabligh beliau meluas ke berbagai masjid lain. Beliau aktif menjadi penceramah dan khatib di berbagai masjid dan majelis taklim, baik di Yogyakarta maupun di luar kota Yogyakarta.

Pada tahun 1975, beliau menginisasi penyelenggarakan kursus kader mubaligh di Yogyakarta. Kursus itu terselenggara selama enam bulan, sejak Maret hingga Agustus 1975. Dua orang kader lulusan kursus ini, M. Iskandar (Klaten) dan M. Sardiman (Purbalingga) kemudian diutus ke Lahore, Pakistan, untuk mengikuti pendidikan lanjutan kader mubaligh di Idarah Ta’limul Qur’an yang diselenggarakan oleh Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore (AAIIL) Pakistan selama tiga tahun (1976-1979). Kemudian, di tahun 1979, dalam rangka upgrading guru agama, beliau juga menginisiasi penyelenggaraan kursus guru-guru agama di lingkungan Yayasan PIRI. Kursus ini berlangsung selama 13 bulan, sejak Maret 1979 hingga April 1980. Dan dua orang lagi murid beliau dalam kursus ini, yakni Yatimin A.S. (Magetan) dan S.A. Syurayuda (Jakarta), dikirim ke Lahore untuk mengikuti kursus mubaligh di Idarah Ta’limul Qur’an, mengikuti jejak dua orang sebelumnya yang sudah kembali ke Indonesia.

Karier beliau di GAI antara lain pernah menjadi Ketua Seksi Angkatan Muda Cabang Yogyakarta (1972-1976), Ketua Cabang Yogyakarta (1980-1985), Ketua Pengurus Daerah Tingkat I DIY (1987-1993), dan pada akhirnya menjadi Ketua Umum Pedoman Besar (1994-1999).

Sesudah lengser dari Ketua Umum PB GAI, beliau tetap mengemban amanah di kepengurusan di tingkat PB GAI, dalam berbagai jabatan formal. Selain itu, sebagai mubaligh di tingkat Pedoman Besar, beliau diutus ke berbagai daerah cabang secara intensif, untuk membina kader-kader baru dan memperluas jaringan dakwah GAI. Selama puluhan tahun, beliau hilir mudik dari satu daerah ke daerah lain, seperti Jakarta, Banyumas, Purbalingga, Wonosobo, Magelang, dan Kediri, semata-mata untuk melaksanakan tugas suci itu.

Selain di GAI, beliau aktif juga di sejumlah organisasi keagamaan, bahkan menjadi pendiri dari beberapa di antaranya. Organisasi yang pernah beliau dirikan antara lain Lembaga Pengkajian Agama dan Kepercayaan (LPAK) di tahun 1988 dan Yayasan Bina Ummat Muallaf Indonesia (YABUMI) pada tahun 1995. Keduanya khusus bergerak dalam bidang dakwah dan sosial keagamaan, utamanya dalam bidang hubungan antar agama. Melalui kedua lembaga ini, beliau menyelenggarakan berbagai diskusi, dialog dan debat terbuka dengan berbagai pemuka agama dari berbagai agama, di tingkat lokal maupun nasional. Melalui kedua lembaga ini pula, beliau banyak mengislamkan para penganut agama Kristen, Hindu dan Buddha. Bahkan beberapa di antaranya ikut bergabung bersama beliau dan mengikuti jejak beliau dalam tabligh dan syiar Islam.

Pada masa orde baru, kegiatan tablighnya yang bersinggungan dengan agama lain itu sempat mengundang kecurigaan dari aparat pemerintahan. Bahkan di tahun 1997, setahun jelang reformasi, beliau pernah dikenakan wajib lapor seminggu dua kali selama satu tahun berkaitan dengan kegiatan tablighnya itu. Tetapi hal itu tidak menyurutkan langkahnya dalam berjuang menyiarkan Islam.

Beliau juga aktif di Angkatan Muda Islam Indonesia (AMII), sebuah organisasi kepemudaan Islam yang berafiliasi dengan salah satu partai politik besar di Indonesia, dan menjadi ketua AMII cabang Yogyakarta selama beberapa periode. Selain itu, beliau dipercaya menjadi Ketua Biro Pemuda Majelis Dakwah Indonesia (MDI) DIY (1995-2000), dan pada periode yang sama diangkat menjadi Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah DIY (1996-2000).

Selain sebagai mubaligh, beliau juga diberi amanah untuk menjadi pengajar di lingkungan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI), yayasan pendidikan yang didirikan oleh GAI. Selama lebih dari 20 tahun, beliau diberi tugas menjadi guru agama khususnya di SMA PIRI 1 Yogyakarta (1972-1994), dan di sekolah-sekolah lain di lingkungan Yayasan PIRI setingkat SMP dan SMA/SMK. Beliau berulangkali dipercaya menjadi koordinator guru agama, dan sesudah pennsiun kemudian menjadi pembina guru agama di tingkat Yayasan PIRI hingga akhir hayat beliau. Bahkan buku-buku Pendidikan Agama Islam (PAI) yang beliau susun menjadi standar buku ajar dan buku pegangan siswa PIRI hingga kini.

Selain di PIRI, beliau juga mengajar di Taman Madya Ibu Pawiyatan Yogyakarta, sekolah setingkat SMA di lingkungan Majelis Luhur Taman Siswa. Di samping itu, beliau juga menjadi dosen agama di beberapa perguruan tinggi, antara lain di Syari’ah Banking Institut Yogyakarta (1994-1998) dan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Yogyakarta (1996-1999).

Beliau pernah aktif juga mengajar para santri di beberapa pondok pesantren, seperti Pondok Pesantren Mahasiswa Darul-Hira’ Yogyakarta, Pondok Pesantren Madania Yogyakarta, Pondok Pesantren Nurul Haq Yogyakarta, dan selama hampir empat belas tahun menjadi dosen tetap khusus Orientalisme dan Kristologi di Pondok Pesantren Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (2000-2014).

Selain kegiatan tabligh, mengajar dan berorganisasi, Simon Ali Yasir adalah juga seorang penulis yang sangat produktif. Kesukaannya di bidang tulis menulis membuatnya dipercaya oleh GAI sebagai pimpinan redaksi Majalah “Warta keluarga GAI” (1979-1990) dan Pemimpin Umum Majalah “Fathi Islam” (1996-1999). Beliau bahkan menjadi penulis tetap dari kedua majalah itu, khususnya dalam rubrik bertemakan Kristianologi Qur’ani dan Tafsir Qur’an Tematik.

Berbagai artikel keagamaannya juga tersebar luas dalam bentuk brosur, buku saku, dan opini di berbagai surat kabar dan majalah, baik di tingkat lokal maupun nasional. Beliau juga banyak menulis buku yang diterbitkan oleh banyak lembaga penerbit.

Buku Pendidikan Agama Islam yang beliau susun dan diterbitkan Yayasan PIRI telah menjadi standar buku ajar dan buku pegangan siswa di sekolah-sekolah setingkat SMP dan  SMA/SMK di lingkungan Yayasan PIRI hingga sekarang ini. Buku PAI di lingkungan PIRI yang beliau susun terdiri dari buku Akidah, Akhlak dan Fikih, plus dua sub judul buku yang khas, yakni At-Tajdid fil-Islam dan  Mengenal Nabi Muhammad saw. Melalui Nubuat. Buku-buku ini beliau susun selama kurang lebih sepuluh tahun, dimulai sejak tahun 1976 hingga 1988, di bawah bimbingan langsung dari Ketua Yayasan PIRI kala itu, Ibu Koestirin Djojosoegito.

Karya-karyanya berupa buku yang sudah diterbitkan antara lain: Alquran, Bagaimana Memahaminya? (1980), Jihad dan Penerapannya Pada Masa Kini (1980), Di Balik Poligami Rasulullah saw. (1982), Jihad dan Penerapannya Pada Masa Kini (1982), Salib di Mata Alkitab (1985), Bismillah Berternak Lebah (1986), Alquran Yang Sempurna dan Menyempurnakan (1991), Injil Dari Yesus dan Injil Tentang Yesus (1992), Nuzulul Qur’an menurut Injil (1993), Benarkah Alkitab Dipalsukan? Oo.. benar! (1993), Mengungkap Misteri Penyaliban Yesus (1994), Kristologi Qurani Dasar I (1994), Rahasia Kesempurnaan Bibel dan Alquran Diperbandingkan (1995), Kristianologi Qur’ani Jilid I (2005), Rumah Laba-Laba, Tanggapan Atas Fatwa MUI tahun 2005 tentang Ahmadiyah (2005), Mengungkap Misteri Kehamilan Maryam (2008), Al-Bayyinah, Tanggapan atas 10 Kriteria Sesat MUI (2009), dan lain-lainnya.

Di tahun-tahun terakhir menjelang akhir hayatnya, beliau ikut membidani lahirnya Pondok Pesantren Minhadjurrahman, sebuah lembaga kaderisasi yang didirikan oleh GAI, yang secara resmi mulai diselenggarakan tahun 2014. Meskipun dalam kondisi sakit sesudah kedua kalinya terkena gejala stroke, beliau tetap setia mendampingi dan mengajar para santri angkatan pertama hingga angkatan kedua setiap sekali dalam sepekan.

Di akhir tahun 2015, pada hari kedua penyelenggaraan Jalsah Salanah GAI di Baciro, beliau kembali terkena stroke. Diduga akibat terlalu lelah, beliau pun terbaring lemas saat kembali ke arena Jalsah usai seharian mengisi dialog antar agama yang diselenggarakan oleh salah satu kampus di Yogyakarta. Beliau pun dilarikan ke RSUD Wirosaban dan dirawat selama hampir sepekan.

Meski demikian, beberapa bulan sesudah peristiwa itu, karena merasa sudah cukup pulih, beliau kembali memaksa diri untuk mengajar para santri Minhajurrahman selama kurang lebih dua bulan berturut-turut. Tetapi akhirnya, Pengurus Pondok memutuskan untuk menghentikan kegiatan mengajar beliau karena kondisi kesehatan beliau yang semakin memburuk.

Hingga akhirnya, di awal tahun 2017, tepatnya pada hari Jum’at, 6 Januari 2017, sekira pukul 21.00 wib, beliau wafat, meninggalkan alam fana ini, menuju Rabb kekasihnya yang lama ia rindukan. Inna  lillaahi wa inna ilaihi rooji’uun. Beliau dikebumikan pada keesokan harinya, Sabtu, 7 Januari 2017, di tempat pemakaman umum yang tak jauh dari rumah tinggal beliau di Dusun Berbah, Kalitirto, Sleman, Yogyakarta.

Kehidupan Simon Ali Yasir adalah wujud nyata dari bai’at dan janji setia beliau untuk senantiasa menjunjung tinggi agama melebihi dunia. Semoga kiprah kehidupan beliau menjadi teladan bagi para penerus perjuangannya dalam membela dan menyiarkan Islam. Amin.

Oleh: Basyarat Asgor Ali | Maret 2017

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comments (3)

  1. Baru baca ..
    Alhamdulillah bisa jadi obat rindu…
    Terimakasih …tabarokalloh…. Aamiin

  2. Alhamdulillah… tulisan yang bagus sebagai prasasti abadi perjuangan dan pengorbanan yang tiada mengenal lelah, semoga Allah melimpahkan karunia rahmatnya didunia dan di akhirat, “jasamu takkan pernah terhapus meski engkau telah kembali, ketulusanmu mengiringi setiap detak nadiku…”

Comment here

Translate »