Diskursus

Membela Ahmadiyah yang Tertindas

Tidak sampai satu jam setelah Forum Antaragama mengangkat saya untuk menjadi juru bicara Ahmadiyah pada 24 April, ponsel saya mulai berdering dan belum berhenti sejak saat itu. Mereka yang menelfon itu ingin tahu, alasan saya membela sekte ini! Dan, berikut ini adalah alasan saya!

Oleh: Imam Ghazali Said, Ketua Presma “An-Nur” dan Anggota FKUB Surabaya

Ahmadiyah, baik kelompok Lahore, yang dikenal sebagai Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), atau kelompok Qodiyan, atau dikenal sebagai Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) – telah memiliki interaksi yang signifikan dengan tokoh nasionalis Indonesia, baik Muslim maupun sekuler, dari 1920 hingga 1980-an. Selama periode ini, anggota GAI dan JAI mengambil bagian dalam perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia dan berpartisipasi dalam penguatan pendidikan nasional.

Sebut saja Sayid Syah M. Muballig, Ketua Komite Pemulihan Indonesia dan penyusun program bahasa Urdu untuk Radio Republik Indonesia pada tahun 1950. Atau Erfan Dahlan, putra KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan banyak tokoh lain di GAI dan JAI, yang ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan dan bergabung dengan kelompok-kelompok perlawanan, termasuk BKR, TKR, KOWANI dan KNIL.

Selama periode itu, anggota Ahmadiyah berinteraksi secara sosial, politik, ekonomi dan teologis dengan tokoh-tokoh terkemuka dan pemimpin organisasi Muslim paling populer di Indonesia; Nahdalatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dialog teologis bahkan terjadi antara GAI, JAI dan Persis, yang terakhir diwakili oleh Ahmad Hassan dan Wahid Hasyim dari NU. Hasilnya adalah bahwa anggota GAI dan JAI disambut sebagai saudara Muslim Indonesia.

Sosok Sudewo Parto Kusumo (1905-1970), seorang tokoh GAI, berpengaruh besar dalam pembentukan kader-kader muda Muslim yang tergabung dalam Jong Islamiten Bond (JIB). Banyak anggota lain di GAI dan JAI juga bergabung dengan organisasi Syarikat Islam (SI) dan Masyumi. Terlepas dari sejarah yang membanggakan ini, hari ini kita tidak memiliki masalah mengkategorikan Ahmadiyah sebagai sekte “sesat” dan “non-Muslim” hanya karena mereka berbeda dengan Muslim lain di Indonesia.

Saya membuat keputusan untuk membela Ahmadiyah setelah melakukan studi mendalam tentang banyak sekte dalam Islam, termasuk al-farq baina al-firaq (al-Baghdadi), al-milal wa al-nihal (Syahrastani), al-fashl baina al- milal wa al-nihal (Ibn Hazm), al-iqtishad fi al-i’tiqad (al-Ghazali), maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-mushallin (al-Asy’ari), yang saya buat dengan sejumlah tokoh terkemuka ulama, yang mewakili semua provinsi di Indonesia. Studi ini dilakukan pada 22-25 Maret dan didukung oleh Komunitas Mata Air yang dipimpin Gus Mus dan Wahid Institute, yang dipimpin oleh Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Kami menyimpulkan bahwa “semua orang yang percaya pada Syahadat – bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan dan bahwa Muhammad adalah utusan Tuhan yang membawa kita prinsip-prinsip Islam – harus diakui sebagai saudara-saudara Islam dan harus dilindungi.”

Setelah pemeriksaan komprehensif atas buku Tadzkirah, dan mendengarkan kesaksian dari anggota biasa GAI dan JAI, saya menyimpulkan mereka tidak mewakili sekte yang menyimpang. Karena itu, saya sama sekali tidak punya masalah mengikuti prinsip saya dan membela Ahmadiyah. Tentu, dalam hati saya, saya tidak khawatir tentang potensi perlawanan dari kelompok-kelompok Muslim tertentu, yang menyebut Ahmadiyah sebagai sekter yang sesat.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Ahmadiyah Qodiyan pada 1 Juni 1980, dan fatwa susulan yang dikeluarkan pada 15 Juli 2005, dimulai setelah kelompok-kelompok tertentu, yang mengaku lebih Islami daripada yang lain, menyerang markas besar Ahmadiyah di Bogor. Sejak itu, kekerasan menyebar ke berbagai daerah, kelompok garis keras menyerang dan melakukan blaiming the victim terhadap Ahmadiyah. Saya menyimpulkan bahwa fatwa MUI telah memberi legitimasi atas kekerasan terhadap Ahmadiyah, walaupun  mereka tidak pernah mengganggu umat Islam lainnya. Saya berpendapat bahwa Ahmadiyah sedang ditindas dan hak-hak sipil mereka dicabut. Ini jelas bertentangan dengan Konstitusi kita, yang melindungi hak untuk beribadah di Bab 29 pasal 1 dan 2, dan juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.

JAI sebenarnya disahkan oleh Keputusan Menteri Kehakiman No: JA 5/23 pada tanggal 13 Maret 1953, yang tidak dapat dibatalkan begitu saja dengan Keputusan Bersama Menteri (SKB), meskipun itu dibuat oleh Departemen Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Kantor Kejaksaan Agung. SKB tidak dapat membatalkan status hukum organisasi berdasarkan pada gagasan bahwa “itu bukan bentuk Islam yang sebenarnya” atau karena tekanan publik, fatwa MUI atau keputusan oleh pengawas sekte keagamaan, Bakor Pakem, dll. Di bawah undang-undang saat ini, status MUI dan Ahmadiyah sebenarnya sama. Sementara itu, Bakor Pakem sendiri tidak memiliki kekuatan hukum.

Jika MUI adalah organisasi yang bertanggung jawab, seharusnya MUI mengeluarkan fatwa terhadap para penyerang Ahmadiyah, bukan terhadap para korban. MUI juga tidak memberikan persidangan yang adil kepada Ahmadiyah sebelum menerbitkan fatwanya. Fatwa itu hanya merujuk pada teks-teks kebencian yang diterbitkan, seperti Ahmadiyah Membajak Al-Qur’an yang ditulis oleh Amin Jamaluddin, dan Ahmadiyah Memiliki Nabi dan Kitab Suci Baru. Anggota MUI tidak pernah benar-benar membaca teks-teks Ahmadiyah atau mencoba untuk mengklarifikasi konten atau substansi buku mereka dengan anggota Ahmadiyah.

MUI dan organisasi Muslim lainnya seharusnya menyadari bahwa pelabelan Ahmadiyah sebagai “outsiders” akan memicu kekerasan terhadap kelompok itu, yang jumlahnya hanya dua atau tiga juta orang. Di KTP mereka, hukum Indonesia memaksa Ahmadiyah untuk mendaftarkan agama mereka sebagai Muslim. Namun, orang-orang Cina yang beragama Konghuchu juga mendaftarkan agama mereka sebagai Islam di KTP mereka karena keyakinan mereka tidak diakui oleh negara. Ironisnya, dengan menyerang Ahmadiyah, MUI bertanggung jawab untuk mengurangi populasi Muslim di Indonesia.

Status hukum JAI dapat diselesaikan oleh pengadilan. Jika SKB dikeluarkan, saya sarankan Ahmadiyah mengambil tindakan hukum terhadap MUI dan Bakor Pakem. Selama proses ini, saya telah menyarankan pengacara Ahmadiyah untuk mendorong rekomendasi berikut:

  1. Semua pihak harus mengakhiri semua provokasi atau serangan terhadap JAI.
  2. Pemerintah harus melindungi anggota JAI dan properti mereka.
  3. Aparat keamanan harus mengambil tindakan tegas terhadap kekerasan.
  4. JAI harus mempersiapkan skenario terburuk jika kalah secara hukum dengan mentransfer asetnya ke kepemilikan organisasi Muslim moderat yang tetap menerima Ahmadiyah dan mengirim anggotanya ke rumah-rumah aman yang dikelola oleh organisasi-organisasi ini. Mereka juga harus terus berdialog dengan kelompok-kelompok Muslim lainnya untuk menjelaskan keyakinannya.
  5. JAI harus membuat klarifikasi tentang buku-buku yang digunakan untuk mendiskreditkan mereka dengan menerbitkan publikasi tandingan. Jika tidak, banyak orang akan terus mempercayai kebohongan dan kesalahan informasi yang disebarkan melalui buku-buku tentang mereka, yang hanya akan mengarah pada konflik lebih lanjut.

Nasib Ahmadiyah adalah ujian penting tentang bagaimana Konstitusi kita dapat bertahan terhadap tuntutan Muslim garis keras, yang ingin menciptakan bentuk negara Islam yang bertentangan dengan keinginan banyak agama lain di Indonesia. Jika hak-hak Ahmadiyah terus dicabut, saya percaya ini pada akhirnya akan mengancam eksistensi Negara Kesatuan Indonesia.[]

*Ditulis dalam bahasa Inggris, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Basyarat Asgor Ali.
Sumber: www.wahidinstitute.org

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here