Diskursus

Membedah Teologi Ahmadiyah Yang Digugat

Terlepas setuju atau tidak terhadap pandangan Ahmadiyah tentang kenabian, dalam kajian akademik hal itu merupakan khazanah tersendiri, khususnya dalam kajian teologis. Di kalangan Ahmadiyah sendiri setelah meninggalnya Hakim Nuruddin (1914), muncul dua pandangan tentang kenabian.

Oleh: Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain | Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, dibawa secara estafet dari suatu generasi ke generasi selanjutnya, sebagai rahmat, hidayat dan petunjuk bagi umat manusia. Islam dalam kurun waktu sebelum risalah Muhammad saw. bersifat lokal, untuk kepentingan bangsa, daerah dan periode tertentu. Namun, setelah risalah Rasulullah saw. datang, ia menjadi agama universal untuk seluruh manusia. Ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an akan selalu relevan dengan kehidupan dan kepentingan manusia dalam kehidupan sepanjang masa.

Keanekaragaman pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam kadang-kadang disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan menginterpretasikan Al-Qur’an yang dapat melahirkan berbagai paham dan aliran keagamaan.[1] Pemahaman dan interpretasi yang berbeda terhadap Hadits Nabi saw., sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, juga dapat melahirkan berbagai paham dan aliran keagamaan.

Di antara aliran keagamaan yang muncul dari adanya perbedaan interpretasi itu ialah Ahmadiyah. Di Indonesia, aliran ini, khususnya aliran Qadian yang saat ini mempunyai sekitar 600.000 pengikut, oleh sebagian umat Islam, juga fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 11/MUNAS VII/MUI/15/2005, dinilai termasuk aliran yang sesat lagi menyesatkan. Hal senada diberlakukan juga kepada aliran Isa Bugis yang menganggap umat Islam sekarang masih dalam periode Makkah; Inkarus Sunnah yang tidak mengakui hadits nabi, Lembaga Kerasulan (LK) yang menganggap bahwa imam mereka adalah Rasul saat ini; Darul Arqom yang menganggap pemimpin mereka sebagai Imam Mahdi dan memperoleh wahyu melalui mimpi; Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang menganggap orang Islam di luar kelompok mereka, najis, dan kafir; Agama “Salamullah” made in Lia Aminuddin yang mengaku awam agama tetapi mendapatkan wahyu melalui Malaikat Jibril.[2]

Begitu pula aliran Syiah, yang akhir-akhir ini cukup semarak di Indonesia, oleh sebagian umat Islam juga digolongkan sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan. Tuduhan kesesatan dan penyimpangan ajaran Syiah antara lain karena adanya kepercayaan terhadap kemaksuman imam dan tidak mengakui hadits yang bukan diriwayatkan oleh Ahlu al-Bait. Berdasarkan penelitian LPPI (1996), penerbit-penerbit Syiah di Indonesia telah menyebarkan 82 jilid buku yang menyebarkan ajaran Syiah melalui penerbit Mizan dan Pustaka Hidayah. Di Indonesia aliran ini juga mempunyai yayasan-yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan pesantren.[3]

Salah satu contoh perbedaan pemahaman dalam Islam ialah tentang Nabi Muhammad saw. sebagai penutup para nabi dan rasul. Nabi dan rasul merupakan hal sentral dalam sistem kepercayaan Islam dan terkait erat dengan semangat ajaran Islam.[4] Kenabian merupakan kesatuan wahyu yang diturunkan kepada umat manusia disetiap zaman. Mereka membawa pesan sama, yang menyeru hanya pada satu hukum universal kebaikan dalam kehidupan yang sama yaitu Islam, dalam arti tunduk pada Tuhan yang Maha Esa. Mata rantai kenabian berakhir dengan terutusnya Nabi Muhammad. Beliau merupakan nabi dan rasul terakhir, beliau telah menyempurnakan bangunan agama Allah yang telah mulai dikerjakan secara bertahap oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Berakhirnya kenabian tidak berarti kebutuhan akan ajaran-ajaran Ilahi dan penyebarluasan wahyu telah terpenuhi, dan bahwa dengan telah tercapainya kematangan dan kemajuan intelektual manusia, dia tidak lagi memerlukan ajaran itu. Kebutuhan akan wahyu yang baru dan pembaharuan kenabian telah terpenuhi, tetapi kebutuhan akan ajaran-ajaran agama Ilahi masih tetap ada.

Setelah Muhammad tiada, petunjuk Allah SWT hanya bisa diperoleh dengan berpegang pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan kebenaran yang didapat dari kedua sumber ini, arah kehidupan manusia menjadi jelas. Di sisi lain, muncul pandangan bahwa dengan meninggalnya Nabi Muhammad bukan berarti kenabian sudah berakhir. Pandangan ini menjadi salah satu doktrin pokok yang menjadi dasar keyakinan bagi sebagian umat Islam yang menggolongkan diri pengikut Ahmadiyah. Pandangan tentang kenabian di kalangan Ahmadiyah mempunyai perbedaan sangat mendasar dengan pandangan kaum Muslimin pada umumnya. Di kalangan Ahmadiyah terdapat dua aliran, yakni aliran Qadian dan aliran Lahore. Dalam kedua aliran tersebut juga terdapat perbedaan pandangan tentang kenabian.

Klasifikasi Kenabian

Menurut Ahmadiyah Qadian, kenabian[5] mempunyai tiga klasifikasi, yakni Nabi Sahib as-Syariah, atau Nabi Hakiki dan Mustaqil, Nabi Mustaqil Ghayr al-Tasyri’, dan Nabi Zilli Ghayr al-Tasyri.[6]  Nabi Sahib ash- Syariah atau Nabi hakiki dan Mustaqil, artinya nabi yang membawa syariah (hukum-hukum) untuk manusia. Mustaqillah, artinya menjadi nabi dengan tidak itha’ah, mengikut kepada Nabi sebelumnya. Nabi semaca ini diangkat langsung oleh Allah, seperti Nabi Musa as; beliau menjadi nabi bukanlah hasil dari mengikuti nabi atau syariah sebelumnya. Ia langsung menjadi nabi dan membawa syariah Taurat, begitu pula Nabi Muhammad saw dengan syariat Al-Qur’an. Nabi semacam ini dapat juga disebut Nabi Tasyri’ dan Mustaqil (langsung).

Nabi Mustaqil Ghayr al-Tasyri’, yakni ia menjadi nabi dengan langsung, bukan hasil mengikut kepada nabi sebelumnya, tetapi tidak membawa syariat baru. Ia digabungkan oleh Tuhan kepada syariah nabi sebelumnya. Artinya, ia ditugaskan Tuhan menjalankan syariat yang dibawa nabi sebelumnya, seperti Nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Nabi Isa as. Mereka menjadi nabi secara langsung (mustaqil), tidak karena hasil mengikuti Nabi Musa atau nabi yang lain sebelumnya. Mereka dengan langsung diangkat Tuhan menjadi nabi dan ditugaskan menjalankan syariat Taurat (syariah Nabi Musa as).

Nabi Zilli Ghayr al-Tasyri’, artinya ia mendapat anugrah Allah menjadi nabi semata-mata hasil kepatuhan kepada Nabi sebelumnya dan juga mengikuti syariatnya. Jadi kenabian itu di bawah kenabian sebelumnya dan tidak ada syariat baru, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syariat Nabi Muhammad. Nabi Zilli juga disebut Nabi Buruzi, yaitu nabi bayangan. Nabi ini menjadi bayangan dari nabi sebelumnya, karena ia tunduk mengikuti dan mencontoh sifat-sifat dan perintah-perintah nabi sebelumnya. Begitu sempurna kepatuhan, pengikutan dan percontohan nabi itu, sehingga ia menjadi bayangan atau cermin dari nabi yang diikutinya. Nabi semacam ini juga disebut nabi ummati,atau nabi majazi, nabi kiasan dan ia diangkat oleh Allah.

Nabi Mustaqil dalam pandangan Ahmadiyah Qadian tersebut, menurut Soesmojo Djojosoegito, tokoh Ahmadiyah Lahore Indonesia, dapat berarti bahwa Nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas dasar petunjuk-Nya, guna menghapus sebagian ajaran Nabi sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat itu, atau dengan menambah ajaran baru sehingga syariat itu menjadi lebih sempurna. Terjadinya perubahan sedikit demi sedikit oleh para nabi yang datang kemudian, sehingga syariatnya menjadi lebih sempurna daripada syariat yang dibawa nabi-nabi sebelumnya, maka jenis kenabian seperti ini mereka istilahkan dengan nabi mustaqil.[7]

Nabi Hakiki mustahil akan datang lagi, karena Nabi Muhammad dengan syariat Al-Qur’an adalah syariat yang paling akhir. Sedangkan nabi Mustaqil Ghayr al-Tasyri’ juga mustahil akan datang lagi, karena pengangkatan nabi ini bukan melalui warisan atau ketaatannya kepada nabi sebelumnya, melainkan adalah hak Allah semata untuk menentukan dan memilih hamba-hamba-Nya yang patuh dan mampu memikul tanggung jawab guna mengikuti syariat nabi sebelumnya. Dengan demikian, istilah nabi Mustaqil Ghayr al-Tasyri’ dalam persoalan ini memiliki kesamaan dengan nabi syariat, yaitu sama-sama berdiri sendiri. Sementara nabi Zilli menurut pandangan aliran Qadiani masih terbuka kedatangannya setelah Nabi Muhammad, karena kepatuhannya yang amat sempurna terhadap nabi sebelumnya.

Menurut paham aliran ini (Qadiyan), hanya nabi-nabi yang membawa syariat saja yang sudah berakhir, karena lembaga kenabian telah tertutup, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syariat akan tetap berlangsung. Dan seorang nabi tanpa membawa syariat baru bisa datang asal ia adalah seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad.

Menurut Ahmadiyah Lahore, ada dua klasifikasi kenabian, yakni Nabi Hakiki dan Nabi Lughawi. Nabi Hakiki, yaitu betul-betul nabi dan membawa syariat. Sedang Nabi Lughawi yang juga disebut ‘nabi tidak hakiki’ yaitu orang yang bukan nabi tetapi mempunyai persamaan cukup besar dengan nabi, yakni ia menerima wahyu. Dan wahyu yang ia terima tidak tasyri’, meskipun mengandung pengetahuan atau pengajaran tentang hal yang ghaib.[8] Istilah Nabi Lughawi tersebut dari segi pemaknaannya sama dengan nabi Zilli atau Buruzi  yang dipakai aliran Qadian.

Kenabian Mirza Ghulam Ahmad

Mengenai kenabian Mirza Ghulam Ahmad terdapat perbedaan pandangan yang mendasar antara aliran Lahore dan Qadian. Aliran Lahore sekalipun secara implisit memandangnya sebagai nabi lughawi atau majazi dengan pengertian orang yang bukan nabi tetapi mempunyai persamaan cukup besar dengan nabi, yakni ia menerima wahyu,[9] namun mereka menolak paham aliran Qadian secara tegas. Mereka memandang bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi, melainkan ia adalah seorang Mujaddid[10] abad ke-14 H yang diangkat oleh Allah sendiri, bukan diangkat oleh manusia. Ia mempunyai banyak persamaan dengan nabi dalam hal menerima wahyu atau berita samawi (langit). Oleh sebab itu, dalam akidah secara tegas mereka menyatakan bahwa percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Masih dan al-Mahdi bukanlah termasuk rukun iman, maka orang yang mengingkarinya tidak dapat dikatakan kafir.[11]

Selanjutnya mereka juga berpandangan bahwa wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad hanyalah wahyu walayah atau wahyu kewalian dan menurut pandangan mereka wahyu semacam inilah yang tetap terbuka, agar dengan wahyu tersebut iman umat manusia tetap hidup dan segar.

Berbeda dengan paham aliran Lahore, aliran Qadian memandang bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya, sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Menurut paham aliran ini, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan yang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan yang dipesankan oleh Nabi Muhammad untuk mengikuti al-Mahdi yang dijanjikan.

Sekalipun demikian, paham kedua aliran tersebut terdapat juga persamaannya, yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri’ atau nabi Mustaqil sesudah Nabi Muhammad. Juga sepakat penggunaan wahyu selain Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sesudah Rasulullah wafat. Tetapi tidak sepakat penggunaan istilah Nabi bagi seseorang setelah Nabi Muhammad, meskipun seseorang tersebut mendapat wahyu dari Tuhan.

Pandangan Ahmadiyah tentang kenabian tersebut, khususnya aliran Qadian, berbeda dengan pandangan al-Shabuni bahwa para nabi adalah sebaik-baik makhluk, manusia pilihan. Kenabian merupakan hak murni Allah terhadap hamba-Nya dan manusia tidak dapat memperolehnya dengan jalan latihan jiwa (riyadhoh al-nafs), sebab kenabian adalah hal-hal yang tinggi dalam kesempurnaan. Kenabian adalah pemberian dari Allah dan pilihan-Nya.[12] Ia mendasarkan firman Allah: “Allah telah mengetahui dimana dia menempatkan tugas kerasulannya” (QS al-An’am, 6:124). Hal ini memperjelas bahwa kenabian bukanlah keturunan atau seorang dilahirkan dengan jalan mewarisi dari ayahnya, melainkan kenabian itu keistimewaan murni dari Allah.

Khatam an-Nabiyyin

Ada perbedaan pandangan tentang khatam[13] an-Nabiyyin antara aliran Lahore dan aliran Qadian. Aliran Lahore berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir. Sesudah beliau tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.[14] Mereka menggunakan dasar Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 40: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”.[15]

Menurut ahmadiyah aliran Qadian, kata khatam dalam ayat tersebut di atas tidak sama artinya dengan kata khatim. Kata khatim berarti penghabisan, sedang kata khatam berarti stempel, bukan berarti menutup. Dan stempel tersebut dipergunakan untuk mensyahkan sesuatu.[16]

Menurut arti kata khatam dalam ungkapan khatam an-Nabiyyin, terdapat empat macam pengertian: 1) Rasulullah saw adalah cap (materai) para nabi, yakni tidak bisa dianggap benar kalau kenabian tidak dimateraikan Rasul; 2) beliau adalah yang terbaik, termulia yang paling sempurna diantara para nabi, dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi malaikat; 3) Rasul adalah rasul yang terakhir di antara para nabi pembawa syariat; 4) Rasul saw adalah yang terakhir hanya dalam arti bahwa semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sempurna-sempurnanya.[17]

Dengan demikian, datangnya seorang dikemudian tidak akan mengurangi kemuliaan Muhammad. Ia hanya sebagai pengikut rasul dan tidak membawa syariat baru. Ungkapan tersebut berdasarkan pada firman Allah: “Wahai anak cucu Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barang siapa bertaqwa dan memperbaiki diri, tidak akan ada ketakutan menimpa mereka (tentang apa yang datang) dan tidak pula mereka berduka cita (tentang apa yang sudah lampau)”. (QS Al-A’raf, 7: 36).[18]

Seruan menggunakan kata-kata “Wahai anak cucu Adam” adalah dialamatkan kepada umat di zaman Rasulullah dan kepada generasi-generasi yang akan lahir, dan bukan kepada umat yang hidup di masa silam yang tidak lama sesudah masa Adam as. Anak cucu Adam adalah kita manusia termasuk kita yang ada sekarang ini.[19]

Kata “imma ya’tiyannakum rusul minkum” bukanlah berarti bahwa utusan Allah (nabi) boleh datang atau tidak datang. Jika mereka datang kepadamu sebagai utusanku, tidaklah berarti bahwa pemimpin tersebut akan datang atau tidak datang. Jelasnya, kata imma menunjukkan arti bahwa jika kamu hidup dalam waktu dimana utusan Tuhan lahir, kamu pasti tidak akan menerimanya. Kata “imma” tersebut mempunyai arti untuk hidup pada masa yang tidak terbatasi. Utusan Allah akan lahir pada satu generasi atau generasi lain dan sewaktu-waktu muncul. Ia harus diyakini (diterima).[20] Dalam hubungan ini Nabi pun menyatakan dalam sabdanya: “Dan sesungguhnya akan datang di kalangan umatku tiga puluh pendusta, semuanya menganggap dirinya sebagai Nabi, dan aku adalah penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahku (HR. Bukhari).[21]

Terhadap hadits tersebut, Ahmadiyah aliran Qadian mengartikan kata “ba’di” dalam kalimat “la nabiyya ba’di” adalah mengganti atau menandingi, karena sesuatu yang datang kemudian biasanya mengganti sesuatu sebelumnya. Seperti dijelaskan oleh Bashiruddin, kata yang penting di sini adalah kata sesudah “ba’du”. Pada hakikatnya, sesuatu barang itu datangnya sesudah barang lain, hanyalah jika barang yang pertama telah habis atau hilang, sehingga barang yang kedua telah dapat menduduki tempat-Nya.[22]

Berdasarkan pengertian kata “ba’d” dalam hadits tersebut mengandung arti bahwa tidak ada Nabi yang dapat mengganti kedudukan beliau sebagai nabi yang teragung sebagai status khatam an-nabiyyin. Adapun nabi-nabi yang datang sesudah Muhammad tidak lebih hanyalah sebagai pelanjut syariat Islam dan tidak berfungsi sebagai pembawa syariat baru.

Dalam hadits tersebut, menurut Saleh A. Nahdi, tokoh Ahmadiyah aliran Qadian, terdapat dua hal penting. Pertama, “sayakunu” yang menunjukkan kepada masa dekat. Artinya, bahwa orang-orang pendusta yang mengaku menjadi nabi-nabi itu ialah di masa dekat Nabi Muhammad saw. Kedua, dalam menentukan bilangan hanya tiga puluh di situ sudah tersimpul pengertian bahwa yang bohong hanyalah tiga puluh orang. Selebihnya yang diluar hitungan 30 pendusta tersebut pasti ada yang benar. Sekiranya Nabi Muhammad menganggap sesudah beliau tidak akan ada Nabi lagi, beliau tidak akan menggunakan sayakulu dan beliau tidak akan pula membatasi hanya sebanyak tiga puluh orang. Beliau dapat katakan “siapa yang mengaku sebagai nabi apapun sesudahku dia adalah pendusta. Tetapi hal itu tidak beliau katakan sama sekali.”[23]

Penggunaan istilah nabi lughawi atau majazi sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya apabila dikaitkan dengan Mirza Ghulam Ahmad, golongan Lahore memberikan pengertian bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah bukan seorang nabi, tetapi ia mempunyai persamaan cukup besar dengan nabi, karena menerima wahyu, meskipun wahyu yang diterimanya tidak tasyri’ dan mengandung pemberitahuan atau pengajaran tentang hal yang ghaib. Dalam hal ini, Mirza Ghulam Ahmad lebih tepat disebut Muhaddath, orang yang banyak menerima firman Ilahi. Oleh karena firman Ilahi (wahyu) merupakan sebagian kenikmatan yang dianugerahkan pada nabi, maka para muhaddath secara majazi atau kiyasan disebut nabi majazi.[24]

Mengenai penggunaan istilah muhaddath, golongan ini mendasarkan pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sendiri dalam karyanya berjudul Izala Auham, “bukan pendakwahan kenabian, melainkan pendakwahan muhaddatsiah yang telah dilakukan atas perintah Allah Ta’ala … Hal itu dinyatakan suatu kenabian majazi atau suatu bagian yang kokoh kenabian, apakah hal itu sebagai pendakwahan kenabian?”[25]

Atas dasar pengakuan itu, dapat disimpulkan bahwa Ghulam Ahmad tidak pernah mengaku menjadi nabi. Pengakuannya adalah sebagai muhaddath yang didasarkan atas perintah Tuhan. Dan pengakuan yang disebut kenabian dalam arti kiyasan atau disebut nabi majazi tersebut tidak berarti pengakuan sebagai nabi.

Di samping itu dalam tulisan yang lain, Mirza Ghulam Ahmad juga menjelaskan sebagai berikut, “Ketahuilah saudaraku wahai kaum Muslimin bahwa kata-kata semacam itu yang sering sekali termuat dalam tulisan saya… Yaitu bahwa muhaddath dalam satu segi berarti Nabi… Kata-kata itu tidak dimaksud dalam arti yang sebenarnya, melainkan digunakan dalam arti yang lebih luas lagi… Maka dari itu, saya tidak ragu-ragu sedikit pun untuk memberikan makna yang lain untuk menentramkan saudaraku umat Islam semuanya, yakni apabila dalam tulisanku digunakan perkataan Nabi, hendaklah itu diartikan muhaddath dan anggaplah perkataan Nabi tidak ada lagi”.[26]

Sementara itu, Aliran Qadian memiliki perbedaan interpretasi dalam memahami arti khatam an-nabiyyin, meskipun ada beberapa kesamaan ayat Al-Qur’an dan hadits yang dijadikan dasar. Menurut Qadiani, berita tentang akan datangnya kembali Nabi Isa a.s. sebagaimana diriwayatkan oleh hadits-hadits shahih adalah jelas mengacu pada akan datangnya kembali seorang nabi, sekalipun tidak membawa syariat baru. Dia adalah al-Mahdi, yang berpangkat sebagai nabi Zilli atau Buruzi, yang harus mengikuti syariat Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, kata khatam an-nabiyyin mereka artikan sebagai nabi yang paling mulia atau semulia-mulia dari sekalian para nabi, tetapi bukan sebagai penutup para nabi.

Argumen yang mereka pergunakan antara lain bahwa kata khatam, menurut ahli bahasa Arab, apabila disambung dengan suatu kaum atau golongan, mempunyai makna sebagai pujian, maka artinya hanya satu saja, yakni semulia-mulia orang dari kaum atau golongan itu, sebagaimana halnya kalimat “Plato adalah semulia-mulia di antara orang bijaksana”.[27]

Sebagai contoh, mereka mengemukakan sabda Nabi yang ditujukan kepada Ali bin Abi Tholib, “Aku (Muhammad) adalah khatam bagi para nabi, dan engkau wahai Ali, adalah khatam bagi para wali”. Sayyid Syah Muhammad, seorang propagandis Ahmadiyah Qadian, menyatakan bahwa para ahli bahasa Arab menggunakan kata khatam dalam hubungan mudhaf dan mudhaf ilaih, dan dibelakangnya ada jama’, dan selamanya mereka artikan “semulia-mulianya”. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa kata khatam apabila dipakai sebagai pujian seperti perkataan “khatam an-nabiyyin” maka perkataan itu artinya hanya “semulia-mulianya” saja, dan tidak dapat diartikan sebagai “penutup”.[28]

Atas dasar keterangan tersebut di atas, dalam kaitannya dengan khatam an-nabiyyin, termasuk juga kata la nabiyya ba’di, golongan Qadian mengartikan “tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad yang membawa syariat baru. Kalaupun yang datang itu Isa a.s., yang sebelumnya sudah menjadi nabi, maka yang demikian ini tidak akan dapat mematahkan pembuktian ini. Oleh karena itu, dua kata tersebut di atas artinya “bukan akhir para Nabi”.[29]

Semua uraian tersebut di atas sebenarnya merupakan penjelasan dari apa yang menjadi keyakinan Mirza Ghulam Ahmad tentang khatam al-nubuwwah. Ia mengatakan “dengan sungguh-sungguh saya percaya bahwa Nabi Muhammad khatam al-anbiya”. Seorang yang tidak percaya pada khatam al-nubuwwah beliau (Rasulullah saw) adalah orang yang tidak beriman dan berada di luar lingkungan Islam.[30]

Inti dari kepercayaan saya adalah “la ilaha illa Allah, Muhammad rasul Allah”. Kepercayaan ini yang menjadi ketergantungan kami dalam hidup ini dan kepadanya kami dengan rahmat dan karunia Allah berpegang sampai saat terakhir dari hayat kami di bumi ini, ialah bahwa junjungan dan penghulu kami Nabi Muhammad saw adalah khatam an-nabiyyin dan khairul mursalin, yang termulia di antara nabi-nabi. Di tangan beliau hukum syariat telah disempurnakan. Karunia sempurna ini pada waktu sekarang adalah satu-satunya penuntun ke jalan yang lurus dan satu-satunya sarana untuk mencapai “kesatuan dengan Tuhan yang maha kuasa”.[31]

Masih banyak tulisan-tulisan Mirza Ghulam Ahmad yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai manusia pilihan adalah benar-benar khatam an-nabiyyin yang menjadi kesepakatan semua umat Islam. Namun mengenai makna dan pengertian serta tafsirnya terdapat perbedaan yang mendasar, termasuk dengan Ahmadiyah aliran Lahore. Ahmadiyah Qadian memandang Rasulullah sebagai khatam an-nabiyyin dengan kedudukan paling luhur dan afdhal dalam segala hal. Golongan ini tidak melihat suatu kelebihan dalam arti “penutup” atau “penghabisan” dari segi masa dan waktu Rasulullah. Tetapi khatam an-nabiyyin dipandang sebagai pengertian martabat paling luhur yang beliau miliki, melebihi yang lain.[32]

Mengenai kenabian Mirza Ghulam Ahmad, golongan ini berpegang pada ungkapan Ghulam Ahmad sendiri, antara lain: Sesudah Nabi Muhammad, tidak boleh lagi menggunakan istilah nabi kepada seseorang, kecuali apabila ia lebih dulu menjadi seorang ummati dan pengikut Nabi Muhammad.[33] Hal ini berarti bahwa tiap karunia yang diterima Mirza Ghulam Ahmad telah mendapat kehormatan untuk mengikuti Nabi Muhammad. Ia mendapat karunia Tuhan bukanlah secara berdiri sendiri.

Dengan demikian, karena Mirza Ghulam Ahmad sebagai ummat dan pengikut Nabi Muhammad yang mendapat kehormatan untuk mengikutinya, maka ia adalah seorang nabi yang tidak berdiri sendiri dan juga tidak mempunyai kedudukan yang berdiri sendiri. Ia adalah seorang nabi dalam arti tidak membawa syariat baru dan diserahi tugas untuk menegakkan kembali serta memperkuat syariah Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.

Dalam hal ini, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putra pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad, mengemukakan bahwa nabi-nabi yang datang sesudah Nabi Muhammad hanyalah sebagai pelanjut syariat yang tidak berfungsi sebagai pembawa syariat yang baru. Di samping itu bahwa kenabian yang akan datang nanti merupakan bayangan Nabi Muhammad dan mereka diutus hanya untuk menyebarkan ajaran Nabi Muhammad.[34]

Kaum Sunni tidak mengenal pandangan tersebut. Oleh karena itu, terjadinya pertentangan yang hebat antara paham Sunni dengan paham Ahmadiyah di awal kelahiran aliran ini adalah sesuatu yang sulit dihindarkan. Sekalipun demikian, Ahmadiyah aliran Lahore tampak lebih moderat dari pada aliran Qadian. Aliran Lahore lebih cenderung berpegang kepada sikap Mirza Ghulam Ahmad pada awal mula pendakwahannya, yakni sebatas sebagai al-Mahdi yang dijanjikan. Artinya, mereka tidak mengikuti kenabian Mirza Ghulam Ahmad, sesuai dengan kata-kata Mirza sendiri.

Aliran Qadian rupa-rupanya lebih berpegang kepada sikap Mirza Ghulam Ahmad setelah ia mengalami pergeseran akidah. Sebagaimana pernyataannya yang disalin oleh al-Maududi dari buku yang ditulis Ghulam Ahmad sendiri berjudul “haqiqah al-wahyi”: “Dan sesungguhnya Allah telah menentukan (pilihan-Nya) kepadaku dan tidak ada seorang pun di antara umat ini memperoleh sebutan nabi dan tidak seorang pun yang memperoleh nama ini selain aku…”.[35]

Dari uraian tersebut, tampak perbedaan pandangan yang mendasar tentang kenabian antara Ahmadiyah aliran Qadian dan aliran Lahore. Ahmadiyah aliran Qadian meyakini bahwa nabi-nabi dapat diutus dari keturunan rohani Nabi Muhammad. Karena Nabi Muhammad adalah nabi yang tetap hidup ruhaninya, maka kedatangan para nabi yang mengikuti kenabian beliau justru menunjukkan kelebihan beliau sebagai penghulu para nabi.

Datangnya para nabi dari umat Islam, menyatakan keinginan umat Islam sendiri. Pangkat nabi adalah rahmat dari Allah karena Nabi Muhammad sudah membuka pintu rahmat itu bagi umat beliau. Nabi Muhammad adalah Nabi penghabisan yang membawa syariat sendiri, sementara para nabi yang akan datang kemudian mengikuti cap Nabi Muhammad.[36]

Adapun Ahmadiyah aliran Lahore meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah khatam an-nabiyyin, dalam arti yang terbesar dan terakhir, yang oleh karenanya setelah beliau tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun Nabi baru. Mirza Ghulam Ahmad diyakini sebagai mujaddid, masih dan mahdi, tetapi bukan nabi.[37]

Penutup

Terlepas setuju atau tidak terhadap pandangan Ahmadiyah tentang kenabian, dalam kajian akademik hal itu merupakan khazanah tersendiri, khususnya dalam kajian teologis. Di kalangan Ahmadiyah sendiri setelah meninggalnya Hakim Nuruddin (1914), muncul dua pandangan tentang kenabian. Ahmadiyah aliran Lahore sampai saat ini tidak ada perubahan pandangan bahwa kenabian sudah berakhir pada diri Nabi Muhammad. Artinya, setelah Nabi Muhammad, tidak ada lagi nabi, baik nabi lama maupun nabi baru. Pandangan demikian dapat digolongkan pada pandangan moderat yang tidak jauh berbeda dengan pandangan umat Islam pada umumnya.

Sementara, Ahmadiyah aliran Qadian yang dimotori oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad yang saat ini tersebar di 160 negara, tetap berpandangan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi pembawa syariat terakhir. Setelah Nabi Muhammad masih ada nabi lagi, tetapi tidak membawa syariat. Aliran ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi Buruzi, yakni nabi yang tidak membawa syariat baru, yang mendapat anugrah Allah semata-mata karena hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga mengikuti syariat Nabi Muhammad.[]

 


[1] Ahmad Fidyani Syaifuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam, Cet. 1, Jakarta: Rajawali, 1986, hal. 8-9

[2] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Faham Sesat di Indonesia, Pusat al-Kautsar: Jakarta, 2002, hal. 38-74

[3] Ibid; hal.115-116

[4] Nurcholis Majid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, editor Budy Munawar Rahman, Cet. 2 Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 523

[5] Istilah nabi berasal dari kata naba’ yang berarti membawa kabar gaib, juga berarti ramalan tentang peristiwa yang akan terjadi. Menurut Ahmadiyah, nabi secara syar’i hanya diterapkan kepada orang yang dipilih Allah, diutus untuk menyampaikan perintah kepada manusia. Ia juga di sebut rasul (utusan Allah). Dengan demikian, semua nabi adalah rasul. Dengan kata lain, nabi dan rasul adalah satu mafhum, tidak berbeda. Mereka menggunakan dasar antara lain firman Allah surat Yunus 10:47 dan surat al-Maidah 5: 36. Mengenai nabi dan rasul, golongan Ahmadiyah Lahore memberi penjelasan lebih jauh, bahwa semua nabi itu utusan Allah; jadi, semua nabi adalah rasul. Bedanya, kata nabi hanya diterapkan kepada manusia, sedang kata rasul selain diterapkan kepada manusia juga diterapkan kepada mailaikat. Dasar yang dipakai adalah firman Allah surat al-Hajj 22: 75, yaitu “Allah memilih para utusan dari kalangan malaikat dan dari manusia”. (Muhammad Ali, Qur’an Suci, Teks Arab, Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia, terj. H.M. Bachrun, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, t.th, hal. 864). Sementara itu, menurut Sunni, pengertian nabi dan rasul dibedakan. Nabi adalah seorang yang mendapat wahyu dari Allah yang tidak diwajibkan untuk menyampaikan kepada segenap umatnya, sedangkan rasul mempunyai pengertian orang yang mendapat wahyu dari Allah untuk disampaikan kepada umat manusia. (Izarkasyi, Ushul ad-Din ‘Ala Mazhab Ahl al-Sunnah wal-Jamaah, t.t., hal. 48)

[6] Ahmad, Tajalliyah-Ilahiyah (Qodian: Matba’ Dia al-Islam, 1906), hal. 20. Lihat juga Syafi R. Batuah, Beberapa Persoalan Ahmadiyah (Jakarta: Sinar Islam, 1978), hal. 4-5

[7] Soesmojo Djojosoegito, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukan Nabi Hakiki (Yogyakarta: Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, GAI, 1984), hal. 4

[8] Ibid; hal. 7-8

[9] Soesmojo Djojosoegito, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukan Nabi Hakiki (Yogyakarta: Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, GAI, 1984), hal. 7

[10] Istilah pembaharuan yang biasa disebut tajdid di kalangan Ahmadiyah aliran Lahore mempunyai pengertian mengembalikan umat Islam kepada pangkal kebenaran Islam. Caranya dengan melenyapkan kesesatan-kesesatan yang menyerbu Islam, menghidupkan iman umat Islam yang sedang surut, dan memancarkan penerangan baru tentang kebenaran Islam yang sesuai dengan tuntunan zaman (lihat Muhammad Ali, The Religion of Islam t.t: National Publication & Printing House, t. Th., hal. 263). Pembaruan di kalangan Ahmadiyah Lahore tidak dapat dilepaskan dengan Al-Qur’an surat an-Nur 24:55, “Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan berbuat baik bahwa ia pasti akan menjadikan mereka penguasa di bumi sebagaimana ia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka penguasa …”. Menurut tafsir Ahmadiyah Lahore, ayat tersebut bukan saja meramalkan berdirinya Kerajaan Islam, melainkan juga kelangsungannya sehingga perlu dibangkitakan kekhalifahan yang akan menggantikan Nabi Muhammad. Di samping itu umat Islam dijadikan umat yang memerintah di bumi. Walaupun janji yang termuat di dalam ayat ini ditujukan pada berdirinya Kerajaan Islam dan dijadikannya kaum muslimin sebagai pengganti bangsa Israel dalam hal penjagaan tanah suci yang dijanjikan, namun ayat ini mengisyaratkan pula janji Tuhan berupa kebangkitan para mujaddid di kalangan kaum muslimin sebagaimana Tuhan telah membangkitkan para nabi di kalangan bangsa Israel. Ini suatu janji yang termuat dalam hadits nabi bahwa Allah akan membangkitkan untuk setiap ummat di setiap abad seseorang yang akan memperbaharui agama Islam. Oleh karena itu, janji yang ditunjukkan ayat tersebut bukan saja kepada para khalifah Nabi Muhammad, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab dan seterusnya yang mengurus pemerintahan duniawi, melainkan juga kepada para khalifah rohani atau para mujaddid (lihat Muhammad Ali, Qur’an Suci, Teks Arab, Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia, terj. H.M. Bachrun, Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyah, t.th, hal. 909). Sejalan dengan bangsa Israel dalam ayat ini, janji di sini juga berkenaan dengan munculnya seorang al-Masih di kalangan kaum muslimin, sebagaimana seorang Masih telah dibangkitkan di kalangan bangsa Israel. Atas dasar itulah, Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian mengaku sebagai mujaddid abad 14 H sekaligus sebagai al-Masih yang kedatangannya telah diramalkan sebelumnya. (Ibid.).

[11] Team Dakwah PB GAI; Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (t.t,: Team Dakwah PB GAI Bagian Dakwah dan Tarbiyah, 1984), hal. 9

[12] Muhammad as-Sabuni, Kenabian dan Para Nabi, Alih bahasa Arifin Jamian Maun, Cet 1(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), hal.18

[13] Ibn Manzur dalam karyanya “Lisan al-Arab” menjelaskan bahwa kata khatam berasal dari kata yang mempunyai beberapa pengertian. “Al-Lihyani seorang ahli bahasa Arab pada abad II dan III H, menerangkan bahwa khatam al-qaum, khatimuman artinya yang penghabisan dari mereka, khatam yang berarti sesuatu yang sulit dimengerti (dipahami), karena hati telah terkunci; khatam yang berarti tertutup dari sesuatu. Seperti orang membaca Al-Qur’an sampai khatam, berarti ia telah membacanya sampai akhir. Dan orang yang minum akan menemukan rasa atau aroma akhirnya; khatam atau khatim termasuk nama (alqob) Nabi saw. Sama seperti aqib yang mempunyai arti akhir para nabi (33:40).” (Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Juz 4, Cet 1 (Beirut: Muassasah at-Tarikh al-‘Arabi, 1995, hal. 24). Sejalan dengan pengertian bahwa khatam termasuk salah satu alqob nabi, Ahmad Atiyatullah mengatakan bahwa kata khatam mempunyai arti yang mengakhiri para nabi dan rasul, dan dalam Al-Qur’an hanya ada pada satu tempat, yaitu dalam surat al-Ahzab ayat 40 (lihat Ahmad Atiyatullah, Al-Qomus al-Islami, Jilid II, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1996. Hal. 194). Menurut Al-Badawi, kata khatam (huruf ta’-nya dibaca fathah menurut qiro’ah asim), mempunyai arti sesuatu yang mengakhiri atau sesuatu akan berakhir karenanya (lihat Anwar at-tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Beirut: Darul Fikr, t.th., hal. 164). Al-Khatam adalah isim alat, yaitu seperti stempel bagi yang dicetaknya terhadap sesuatu yang diakhirinya. Oleh karena itu, khatam an-nabiyyin mengandung pengertian bahwa kenabian diakhiri olehnya. Al-Mubarrodad berkata, khatam adalah fi’il madhi yang menduduki tempat fa’il dalam kalimat khatam an-nabiyyin. Kata an-nabiyyin dibaca mansub karena berkedudukan sebagai maf’ul bih. Jumhur ulama membaca khatim (huruf ta’ dibaca kasroh) adalah isim fa’il yang mempunyai arti mengakhiri kenabian (lihat Al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma’ani fi at-Tafsir al-‘Azim wa Mathani, Juz II Beirut: Atiba’ah al-Misriyyah, t.th., hal. 34).

[14] S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan Dalam Islam, Jilid II (Yogyakarta: PP Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia, 1978), hal. 148

[15] Departemen Agama RI, Al-Qur’an, hal. 674

[16] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Da’watul Amir  (Jakarta: Ahmadiyah Indonesia, 1989), hal. 47

[17] Bashiruddin Mahmud Ahmad, The Holy Quran with English Translation and Commentary, Vol. IV (Pakistan: Islam International Publication LTD, 1988), hal. 21-26

[18] Dewan Naskah Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Al-Quran dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, Editor Malik Ghulam Farid (Jakarta: Guna Bakti Grafika: 1987), hal. 571. Untuk penomoran ayat-ayat yang diterjemahkan oleh Dewan naskah JAI menurut versi mereka menganggap basmalah sebagai ayat nomor satu pada setiap surat, kecuali pada surat at-Taubah.

[19] Ibid.

[20] Ibid; hal. 784

[21] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th), hal. 175

[22] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Invitation (Pakistan: Sunrise Printers, 1961), hal. 17

[23] Saleh A. Nahdi, Masalah Khatamun Nabiyyin (soal Jawab) (Jakarta: Arista Brahmatyasa, 1991), hal. 37

[24] S. Ali Yasir, Pengantar Pembaharuan dalam Islam (Yogyakarta: PP Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia, 1981), hal. 55

[25] Ahmad, Izala Auham, Jilid II (India: Nazarat Da’wah wa Tabligh Sadr Anjuman Ahmadiyah Qodisn, 1982), hal. 320-321

[26] Ahmad, Majmu’ah Istiharat, Jilid I, hal. 95, 3 Februari 1892

[27] Muhammad Shabiq HA, Analisa tentang Khatam al-Nabiyyin (Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1996), hal. 15-16

[28] Sinar Islam, No. 5 Th. VI, Mei 1956, hal. 14-15

[29] Nazir Ahmad, Al-Qawl al-Sarih fi Zuhur al-Mahdi wa al-Masih (Lahore, Nawa-I Waqt Printers LTD; 1970), hal. 66

[30] Ahmad, Taqrir Wajib al-I’lan (t.t; t.p; 1891), hal. 15

[31] Ahmad, Izala Auham, hal. 137

[32] Nazir Ahmad Mubasyir, Al-Qur’an al-Sarih…..,hal. 170

[33] Ahmad, Tajalliyat-I Ilahiyyah (Qadian: Mutba’dia’ al-Islam, 1906), hal. 9

[34] Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Dakwah al-Amir, hal. 49

[35] Abul A’la al-Maududi, Ma Hiya al-Qodianiyyah (Beirut: dal al-Kalam Kuwait, 1969), hal. 32

[36] Muhammad Shadiq HA, Analisa, hal. 49-50

[37] S. Ali Yasir, Gerakan, Jilid II, hal. 39-40

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »