Artikel

Membangun Ukhuwah

Dalam negara hukum, tidaklah dibenarkan kelompok yang satu membubarkan kelompok yang lain oleh karena ketidak-sepahaman satu sama lain. Karena itu, dalam mensikapi setiap masalah, termasuk dalam kasus Ahmadiyah, setiap orang haruslah berhati-hati, teliti, dan bersedia mengkaji lebih dalam pada sumber yang asli, agar tidak membingungkan dan merugikan pihak lain.

Oleh: As’adi Alfatah | Ketua GAI Cabang Kediri

Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) adalah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang memiliki legalitas resmi. Atas dasar itu, sebagaimana lazimnya organisasi legal lain yang diakui di negeri ini, GAI juga memiliki hak hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

GAI adalah gerakan penyiaran Islam, penerus ajaran mujaddid Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908). GAI didirikan pada 10 Desember 1928 di Yogyakarta. Permohonan badan hukum diajukan pada tanggal  28 September 1929, dan diakui sebagai organisasi berbadan hukum resmi (rechtpersoon) dengan putusan pemerintah atau gouvernments besluit tanggal  4 April 1930 No. Ix (extra Bijvoegsel Jav. Courant 22 April 1930 No. 32). Dengan keluarnya surat dari Departemen Agama RI Tanggal 21 Februari 1966  No. I – 1/3/1/368/66, GAI secara resmi terdaftar pada Departemen Agama pada tanggal  27 Desember 1963  No. 18/II. Demikian pula GAI telah terdaftar dalam Berita Negara RI yang diumumkan pada tanggal 28 November 1986 No. 95 Lampiran No. 35.

GAI menganut paham Ahli Sunah wal Jama’ah dengan berpegang teguh pada Qur’an dan Sunnah, serta  rukun Iman dan rukun Islam yang sudah baku. GAI berkeyakinan bahwa Nabi Muhamad SAW adalah nabi terakhir, sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Adanya pengangkatan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dikarenakan penafsiran yang salah dari sebagian pengikutnya, dan tuduhan palsu dari orang orang yang tidak suka dengan Ahmadiyah. Mirza sendiri tidak pernah mendakwahkan diri sebagai nabi, melainkan hanya sebagai mujadid. Hal ini didasari oleh alasan bahwa agama Islam telah sempurna. Mirza Ghulam Ahmad sejak awal sampai akhir hayatnya tak merubah keyakinannya tentang berakhirnya kenabian, karena pintu kenabian mutlak tertutup pada diri Nabi Muhamad SAW.

Akan tetapi, GAI berkeyakinan bahwa Allah tetap mengutus utusannya untuk senantiasa memperbaharui agama Islam dari reduksi yang dilakukan oleh manusia. Sebagaimana tertulis dalam hadits riwayat Abu Dawud, “Sesungguhnya Alloh akan membangkitkan di antara umat ini pada tiap-tiap abad orang yang akan memperbaharui agamanya baginya.

Mereka yang diutus Tuhan adalah para khalifah ruhani, yang disebut mujaddid atau pembaharu agama. Para mujaddid ini dibangkitkan Tuhan pada setiap abad. Sebut saja sebagai contoh adalah para ahli fikih seperti Imam Hambali, Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam Hanafi yang dianut oleh umat Islam di Indonesia pada umumnya. Demikian juga halnya di bidang Akidah antara lain seperti Ibnu Taimiyah, yang banyak dianut oleh kaum muhammadiyyin, atau Imah Ghozali dan Syaikh Abdul Qodir Jaelani, yang banyak dianut oleh kaum nahdliyin. Sementara itu, pada abad XIV Hijriyah, kaum Ahmadi berkeyakinan bahwa Allah mengutus Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai pembaharu pada masa kini.

Kaum Ahmadi tidak menganut kitab suci lain selain Al-Qur’an, dengan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang sudah sempurna dan lengkap, baik teksnya maupun hukumnya. Kaum Ahmadi juga berkeyakinan bahwa siapapun yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah muslim, dan karena itu tak boleh sekali-kali disebut kafir.

Gerakan Ahmadiyah Lahore sangat toleran  terhadap perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat, dan lebih banyak berusaha mencari kesamaan untuk kemajuan penyiaran Islam. GAI menghormati dan menganggap lembaga-lembaga Islam adalah pilar-pilar yang saling menguatkan untuk menegakkan Tauhid.

Kesaksian dari beberapa orang yang tertarik dan bergabung dalam Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia dari Cabang Kediri dapat kita jadikan bahan renungan. Di antaranya adalah K.H. S.A. Yazid Burhani, yang pernah menjadi Dosen FISIP UNDAR Jombang. Beliau mengatakan bahwa Ahmadiyah Lahore menyampaikan ajaran Islam dengan keindahan, ilmiah dan rasional  sesuai dengan Qur’an dan hadits. Ahmadiyah Lahore menyiarkan Islam seperti ketika Rasulullah di Mekah. Meskipun dicaci maki dan dikafirkan, para pengikut Ahmadiyah tetap sabar, ikhlas teguh pendirian, tidak membalas, bahkan semakin gigih menyiarkan Islam dengan keindahan.

Begitu juga halnya dengan K.H. M. Djazuli Ali Zein, yang mengaku tertarik untuk mengikuti Ahmadiyah Lahore karena gerakan ini sangat toleran terhadap perbedaan fikih  dan menemukan pemahaman Qur’an yang lengkap, ilmiah dan rasional serta mendapat kepuasan jawaban dari hal-hal yang khilafiah.

Lain halnya dengan K.H. Musni Nur Ahmad, yang saat ini telah purna tugas sebagai guru agama di sekolah-sekolah negeri di kota Kediri. Beliau bergabung dengan Gerakan Ahmadiyah Lahore dengan alasan bahwa gerakan ini sangat gigih menyiarkan Islam ke seluruh penjuru  dunia, terutama negara-negara yang berpenduduk mayoritas non muslim. Di samping itu, gerakan ini mempermudah banyak orang dalam memahahami Al-Qur’an dengan cara menerjemahkannya ke dalam berbagai bahasa dunia, disertai dengan publikasi dan penerbitan berbagai buku dan literatur Islam.

Akhirul kalam, hendaknya kita berpegang teguh pada perintah Allah untuk saling berlomba dalam kebaikan, membangun ukhuwah Islamiyah, menjaga persatuan dan jangan membuat perpecahan. Hendaknya setiap muslim saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran, bukan saling mencaci dan mengafirkan sesama muslim.[]

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »