ArtikelDiskursus

Memahami Ahmadiyah dari Sejarah dan Doktrinnya

Ahmadiyah, sebagai bagian dari entitas aliran Islam, oleh sebagian umat Islam diklaim sebagai aliran sesat. Klaim tersebut menemukan momentumnya, karena Majelis Ulama’ Indonesia (MUI), pemegang otoritas fatwa, telah mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Ahmadiyah telah melenceng dari ajaran Islam.

Beragam opini publik menyelimuti fatwa tersebut. Beragam organisasi sosial keagamaan banyak yang mendukung, tetapi tidak sedikit umat Islam yang menggugat.

Terlepas dari pro dan kontra, bagaimana pengikut Ahmadiyah sendiri menanggapi fatwa dan pro-kontra tersebut? Berikut wawancara Pemimpin Redaksi Mazhabuna, Abdul Walid, dengan K.H. S. Ali Yasir, tokoh Ahmadiyah Lahore Yogyakarta.

 

Dalam pandangan publik, Ahmadiyah dianggap sesat terutama dengan munculnya fatwa MUI. Tanggapan Bapak terhadap asumsi masyarakat seperti ini bagaimana?

Ini tidak lepas dari sejarah keagamaan Bani Israel. Alasannya yang pertama dalam Al-Qur’an adalah surat an-Nur ayat 55. Atas dasar ayat ini, Allah sudah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh bahwa sungguh Ia akan menjadikan kamu khalifah atau penguasa di muka bumi sebagaimana Ia telah menjadikan khalifah orang-orang sebelum kamu. Yang dimaksud orang-orang sebelum kamu adalah Bani Israel.

Saya pernah baca hadits yang intinya bahwa antara kamu dengan Bani Israel itu seperti sepasang sepatu. Jadi umat Islam dan Bani Israel itu kembar. Misalnya persamaannya adalah kalau di Bani Israel ada Nabi Musa, Nabi yang terbesar yang membawa syari’at untuk Bani Israel yang nanti desikit demi sedikit disempurnakan sampai kepada Nabi Isa. Kalau dalam umat Islam ada seperti itu, bedanya, pelengkap dan penyempurna syari’at itu di sana (red. Bani Israel) adalah Nabi-nabi.

Tetapi karena Muhammad adalah Nabi yang terakhir, maka tidak ada syari’at dan Nabi baru. Setelah Nabi Muhammad wafat yang ada adalah khalifah yang tugasnya hanya menegakkan kembali syari’at Islam, menyegarkan kembali aqidah atau iman umat Islam dan sudah pasti adalah reinterpretasi Al-Qur’an sesuai dengan tuntutan zamannya.

Sebutan untuk khalifah itu bermacam-macam, antara lain ulama seperti Bani Israel atau ulama pewaris para nabi dan yang paling terkenal di kalangan Ahmadiyah adalah hadits dari Abu Hurairah yang artinya “sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat Islam pada tiap-tiap permulaan abad orang yang akan memperbaharui agamanya” atau istilah lainnya adalah mujaddid.

Tugas mujaddid ini ada 3, yaitu purifikasi Islam, dinamisasi iman, dan reinterpretasi Al-Qur’an. Ini selaras dengan surat an-Nur ayat 55 tadi. Persamaan yang kedua antara umat Islam dengan Bani Israel adalah persamaan sikap umat terhadap nabi-nabi, kalau dalam Bani Israel ada al-Masih dan mujaddid dalam umat Islam. Al-Masih adalah gelar Nabi Isa yang kedatangannya sudah dinubuwwatkan oleh nabi-nabi sebelumnya.

Karena itu, Nabi Isa kepada kaumnya Bani Israel menyatakan …… teks hilang ….. ada empat, yaitu membenarkan dalam arti menyembuhkan kebenarannya, membenarkan dalam arti mengoreksi atau meluruskan kesalahan, membenarkan dalam arti menggenapi nubuwwatan, membenarkan dalam arti menyempurnakan syari’at.

Berkaitan dengan penyempurnaan syari’at, dalam kitab Injil Mathius Pasal 5 ayat 17-20 dikatakan bahwa kamu sangkakan aku datang hendak merombak hukum Taurat dan kitab para nabi, melainkan hendak menggenapkannya.

Oleh karena itu, Ahmadiyah Lahore percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan itu. Berbeda dengan Qadiani, kalau menurut mereka Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi karena Isa al-Masih adalah seorang nabi sedangkan menurut kami Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi sebab Muhammad adalah nabi terakhir. Jadi al-Masih dan mujaddid adalah sama dari segi fungsinya.

Ada persamaan antara Mirza Ghulam Ahmad dengan al-Masih, al-Mahdi, yaitu sikap umatnya. Sebagian besar orang-orang Yahudi mendustakan Isa al-Masih sama dengan sebagian besar umat Islam menolak Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Masih, jangankan sebagai al-Masih sebagai mujaddid saja mereka menolak. Contohnya adalah fatwa MUI dan sebagian pendapat lembaga-lembaga Islam di seluruh dunia.

Jadi menurut kami, Mirza Ghulam Ahmad hanya menggenapi nubuwwatan saja karena situasi umat Islam sekarang itu seperti keadaan Bani Israel pada zamannya Isa al-Masih. Misalnya, Isa al-Masih menyatakan diri sebagai anak Allah, tapi orang Yahudi memahaminya mengaku sebagai Allah. Ini berarti menghujat Allah dan harus dihukum mati. Ini diterangkan dalam Yohanes pasal 10 ayat 30-36.

Demikian pula Mirza Ghulam Ahmad, karena beliau mengaku sebagai al-Masih tahun 1893, maka ada tuduhan beliau mengaku sebagai nabi karena dalam pikiran umat, Isa al-Masih adalah nabi. Ahmadiyah Lahore pun percaya seperti itu, tapi itu Isa al-Masih bagi Israily sedangkan al-Masih Islamy itu bukan nabi. Ketiga, sikap umat Hawariyyin yang dalam Al-Qur’an dijelaskan mereka menerima wahyu, mereka tidak mengakui Isa al-Masih sebagai anak Tuhan.

Ahmadiyah Lahore hanya mengakui Isa al-Masih sebagai mujaddid saja, Masih dan Mahdi itu hanya gelar yang menggambarkan tugas-tugas yang diamantkan kepada beliau. Jadi penolakan umat terhadap Mirza Ghulam Ahmad ini karena tidak terlepas dengan pengertian umat tentang Masih dan Mahdi yang dijanjikan oleh Al-Qur’an dan hadits nabi.

Berarti Ahmadiyah Lahore menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah penerus syari’at?

Bukan hanya penerus syari’at, tapi bahkan yang menghidupkan dan mengembalikan syari’at Islam yang pemahaman dan prakteknya sudah menyimpang jauh dari sunnah Nabi.

Apakah Mirza Ghulam Ahmad untuk menjadi penerus itu mendapatkan wahyu atau ilham seperti halnya Muhammad mendapat wahyu menjadi Rasulullah?

Iya, tapi ini perlu ada kejelasan. Konsep wahyu antara kami dengan umat Islam pada umumnya secara prinsip tidak ada perbedaan. Dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi “maa kaana Muhammadun abaa ahadin min rijaalikum wa laakin rasulullah wa khataman nabiyyin” dan juga “wa maa kaana li basyarin an yukallimahullahu illa wahyan au min waraai hijab au yursila rasulan fa yuhiya bihi man yasyaa”.

Di sini, firman Allah itu ada 3 macam yang disampaikan kepada manusia. Berkaitan dengan masalah ini, manusia itu ada dua macam, yaitu manusia biasa dan manusia yang ditunjuk sebagai imam mahaaqqah (imam sejati atau imam haqiqi). Kalau zaman dahulu mereka adalah nabi, kalau zaman setelah Nabi Muhammad itu hanya imam saja atau mujaddid atau hanya ulama yang seperti nabi Bani Israel. Kata wahyu itu sendiri bermacam-macam tergantung konteksnya.

Kalau dikaitkan misalnya an-nahl (unta) berarti artinya insting. Kalau dikaitkan dengan ibu Nabi Musa maka berarti ilham. Tapi kalau inna auhayna ilaika kama auhayna ila al-Nuh wannabiyyin min ba’di itu bagaimana. Kalau dalam Al-Qur’an kami, wahyu itu artinya wahyu saja bukan ilham karena bunyi harfiahnya semacam itu. Kata ilham itu dipakai sendiri oleh Al-Qur’an fa alhamaha fujuuroha wa taqwaha.

Kalau dalam imam Raghib, wahyu itu artinya isyarat yang cepat (al-isyarat al-sari’ah), isyarat yang masuk ke dalam hati. Ini sifatnya umum, kepada nabi dan juga kepada manusia biasa. Kedua, min waraai  hijab (dari belakang trai). Ini bisa berupa ilham, yaitu suara yang bisa didengar tapi tidak kelihatan siapa yang berfirman. Bisa juga berupa ru’yah (mimpi), yaitu firman yang disampaikan dalam bentuk dialog dalam mimpi. Seperti mimpi Nabi Yusuf yang melihat 11 bintang, matahari dan bulan sujud kepadanya. Bisa juga berupa kasyaf (penglihatan rohani).

Ketiga, yang disampaikan oleh Malaikat Jibril atau Ruh al-Quds. Inilah yang menjadi sumner kitab suci. Ahmadiyah Loahore berpendapat bahwa semua kitab suci termasuk Al-Qur’an adalah dalam bentuk ini, bukan yang pertama dan kedua. Bentuk pertama dan kedua itu adalah sumber hadits Nabi.

Istilah yang digunakan oleh Mirza Ghulam Ahmad, bentuk ketiga adalah wahyu matluw  sedangkan yang lain itu ghairu matluw. Muhammad Ali menyebutnya sebagai wahyu kafiy (wahyu batin). Wahyu matluw di kalangan umat Islam disebut wahyu saja dan ini sudah tertutup, kami setuju dengan hal ini. Tapi ilham (wahyu kafiy) tetap berlangsung.

Umat Islam juga berpendapat demikian, seperti halnya kami, misalnya suatu do’a dikabulkan, mungkin berupa ilham atau kasyaf atau ru’yah. Itu juga wahyu kalau dikembalikan pada bahasa Al-Qur’an, tapi umat Islam pada umumnya berpegang pada teologi Islam itu namanya Ilham.

Yang disampaikan kepada Mirza Ghulam Ahmad adalah dalam bentuk wahyu kafiy atau wahyu ghairu matluw, bukan wahyu matluw karena beliau bukan nabi sebab wahyu itu untuk nabi saja.

Tentang Nabi Muhammad sendiri, bagaimana menurut Ahmadiyah Lahore?

Beliau adalah Nabi yang terakhir sekaligus nabi yang terbesar. Dalam Al-Qur’an surat 33 ayat 40 kata khatama al-nabiyyin bisa dibaca khatima al-nabiyyin. Kalau khatim artinya yang terakhir, sedangkan khatam artinya yang terakhir plus kesempurnaan, keagungan dan kemulyaan. Maka Muhammad saw adalah nabi yang terakhir dan juga yang paling mulia.

Di dalam Al-Qur’an dan mushaf kami menggunakan kata khatam, tapi saya punya mushaf  dari Imam Nafi’ menggunakan kata khatim. Kalau menurut Qadiani setelah Nabi Muhammad itu ada lagi nabi-nabi yang lain tapi tanpa membawa syari’at, bahkan nabi-nabi terdahulu itu ada juga yang tanpa membawa syari’at, misalnya Nabi Isa. Dalil yang dipakai mereka merujuk pada Injil “jangan kamu katakan aku datang hendak merobak hukum Taurat dan kitab para nabi melainkan hendak menggenapkannya”.

Di kalangan umat Islam ada pedoman bahwa Isa bin Maryam diangkat oleh Tuhan dan suatu hari beliau akan diturunkan kembali. Ada yang menyebutkan bahwa Isa ibn Maryam sudah turun, salah satunya disosokkan pada Mirza Ghulam Ahmad. Bagaimana penafsiran Ahmadiyah Lahore tentang ayat-ayat Isa bin Maryam?

Penafsiran Ahmadiyah Lahore tentang Isa ibn Maryam dalam banyak hal memang berbeda dengan umat Islam pada umumnya. Tapi perlu diingat, itu hanya penafsiran tentang ayat, bukan ayatnya yang berbeda. Misalnya tentang kelahirannya, umumnya umat Islam termasuk Qadiani yakin Isa al-Masih tidak berbapak, tapi kami yakin itu berbapak karena setiap manusia pasti berbapak. Mirza Ghulam Ahmad juga yakin bahwa Isa al-Masih tidak berbapak.

Ahmadiyah Lahore meyakini bahwa Isa al-Masih berbapak karena terdapat cerita mutawatir ketika hal ini terjadi  perdebatan di kalangan pengikut Mirza Ghulam Ahmad tentang Nabi Isa itu berbapak, dari pihak Maulana Muhammad Ali (Pemimpin Ahmadiyah Lahore) berdasarkan berbagai ayat Al-Qur’an meyakini bahwa Isa al-Masih itu berbapak. Mendengar hal ini Mirza Ghulam Ahmad diam.

Kyai Haji Jamaluddin, pendiri Pondok Assalam Solo, juga berpendapat bahwa Nabi Isa itu berbapak.

Tentang masalah penyaliban Isa al-Masih, ayatnya sudah jelas “wa maa qataluhu wa maa shalabuhu wa lakin syubbiha lahu” siapa yang menyerupakan, jawabannya tentu Allah. Siapa yang diserupakan, karena sebelumnya itu adalah Isa al-Masih, ya jelas Isa al-Masih yang diserupakan.

Diserupakan siapa dan diserupakan apa? Inti ayat ini kan menjelaskan tentang pembunuhan atau kematian, jadi yang diserupakan itu adalah kematiannya bukan orangnya.

Sedangkan umat Islam pada umumnya berkeyakinan bahwa yang ditangkap dan kemudian disalib adalah Judas Iskariot, sedangkan Isa al-masih diangkat oleh Allah ke langit. Ini sama dengan dogma Kristen yang keenam. Ahmadiyah Lahore menganggap keyakinan ini salah dan menyesatkan oleh karena itu perlu diluruskan.

Nabi Isa diangkat ke sorga bukan secara fisik tapi kehormatannya karena menurut hukum Taurat orang yang mati disalib itu adalah orang yang terkutuk. Oleh karena itu, sampai hari ini orang Yahudi tidak ada yang percaya bahwa Isa al-Masih itu adalah seorang nabi karena beliau dianggap orang terkutuk, buktinya beliau mati di atas salib.

Oleh karena itu, nubuwwatan  tentang nuzul al-Masih itu merupakan nubuwwatan atau ramalan tentang kedatangan seorang tokoh di kalangan umat Islam yang mempunyai persamaan-persamaan dengan Isa al-Masih. Tentang tugas-tugasnya sudah disebutkan di dalam hadits.

Ada satu kitab suci, yaitu al-Tadzkirah yang menjadi pedoman bagi Ahmadiyah. Namun umat Islam menganggap bahwa kitab suci tersebut berbeda dengan Al-Qur’an. Bagaimana status al-Tadzkirah sendiri jika dikaitkan dengan Al-Qur’an?

Sumber asli al-Tadzkirah adalah ilham dari Tuhan, tapi bukan warosulan au yursila rasulan. Itu hanya wahyu dalam bentuk yang pertama tadi, yaitu wahyan atau min warai hijab yang memang tetap berlangsung, dalam bahasa umum adalah ilham, tapi dalam bahasa kami adalah wahyu bi ghairu matlu.

Ada satu hal yang perlu diingat, ilham itu diturunkan kepada Ghulam Ahmad selama 20 tahun mulai dari 1878-1908 (sampai beliau wafat). Kalau dalam Al-Qur’an ada asbabun nuzul, dalam hadits ada asbabul wurud, maka ilham itu tersebar dalam buku-buku beliau.

Oleh murid-muridnya yang ekstrim tadi karena rasa ta’dhimnya kepada beliau, ilham itu dikumpulkan sedemikian rupa dan akibatnya adalah lepas dari konteksnya dan orang akan tersesat kalau hanya membaca ilham itu saja tanpa memahami bagaimana riwayatnya dan terbukti itu banyak menimbulkan fitnah. Yang mengumpulkan ilham itu adalah murid-murid beliau dari pihak Qadiani bukan kami (red. Lahore).

Kalau diambil kesimpulan ada perbedaan yang sangat jauh antara Lahore dan Qadian dalam ajaran-ajarannya, awalnya kan satu sebenarnya. Sejarah perpecahannya seperti itu?

Pada 13 Maret 1914 Maulvi Hakim Nurdin yang mengetuai Pengurus Besar Ahmadiyah wafat dan yang menggantikan beliau adalah Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad ini pada tahun 1911 mengumumkan pendapat baru bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan ini dibantah oleh Maulvi Hakim Nurdin. Mirza Bashiruddin tidak melakukan reaksi karena Maulvi Hakim Nurdin memiliki wibawa yang sangat besar.

Kemudian setelah beliau wafat, Mirza Bashiruddin terpilih. Setelah beliau terpilih beliau mengumumkan pendapat yang dulu pernah beliau tampilkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi haqiqi (red. Nabi haqiqi adalah lawan di nabi majazi). Ini seperti Ahmad yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat 61 ayat 6. Oleh karena itu, umat Islam yang tidak beriman kepada beliau adalah kafir. Inikan lucu kalau begitu dan ini keliru.

Maulana Muhammad Ali, sekretaris Maulvi Hakim Nurdin saat menjadi anjuman (red. Pengurus Besar) Ahmadiyah, membantah pendapat Mirza Bashiruddin. Karena itu, Maulana Muhammad Ali dan yang sepaham dengan beliau menyendiri ke Lahore mendirikan jemaat dengan nama Ahmadiyah Anjuman Isaati Islam, artinya Ahmadiyah gerakan penyiar Islam.

Kalau yang di Qadian, Rafwah dan di Inggris dinamakan Jamaat Ahmadiyah. Agar mudah untuk membedakan, di sana disebut Qadiani atau Ahmadiyah Qadian, dan kami disebut Ahmadiyah atau Ahmadiyah Lahore. Kalau di luar negeri kami hanya dikenal sebagai Ahmadiyah saja, bukan Qadiani. Istilah ini digunakan oleh Iqbal.

Masing-masing kelompok ini berkembang dan memperjuangkan Islam sesuai dengan pahamnya masing-masing. Ahmadiyah Lahore secara resmi masuk di Indonesia pada tahun 1924 lewat muballigh yang ditugaskan. Tapi lewat muballigh yang tidak ditugaskan, yaitu Kawaza Kamaluddin tahun 1920 berkunjung ke Tjokroaminoto yang kemudian menerbitkan buku pidatonya yang berjudul Rahasia Hidup yang sangat dikagumi oleh Ir. Soekarno.

Bahkan menurut informasi, Tjokroaminoto adalah penganut Ahmadiyah Lahore pertama di Indonesia yang baiat langsung kepada Maulana Muhammad Ali.

Berkaitan dengan fatwa MUI yang mengatakan bahwa Ahmadiyah baik Lahore maupun Qadiani adalah sesat, bagaimana pendapat Bapak mengenai fatwa tersebut?

Fatwa MUI hanya menrupakan pengulangan fatwa sejak seratus tahun lalu. Jadi bagi kami itu tidak ada apa-apanya sama sekali dan bagaimanapun fatwa itu mau diterapkan kepada kami pasti tidak kena. Oleh karena itu kami aman-aman saja. Semua bencana itu ada pada pihak Qadiani bukan pihak kami.

Di mana-mana yang bikin kisruh di seluruh dunia itu adalah Qadiani. Kami hanya tertawa saja mendengar fatwa tersebut. Karena itu fatwa tersebut akan disusul dengan buku “Rumah Laba-Laba”, yaitu tanggapan saya terhadap fatwa MUI tahun 1985 per item mulai dari judulnya.

Menurut Ahmadiyah sendiri bapaknya Nabi Isa itu siapa?

Kalau kita baca Perjanjian Baru dan juga Perjanjian Lama akan jelas sekali bahwa ayahnya adalah Yusuf Si Tukang kayu dari suku Yehuda, bukan Nabi Yusuf. Sebab dalam Perjanjian Lama ada nubuwwatan bahwa nabi terakhir dari Bani Israel itu dari suku Yehuda. Maryam itu suku Lewi, ini akan cocok dengan Al-Qur’an tentang berpindahnya kerajaa Allah itu.

Isa al-Masih sendiri menubuwwatkan tentang itu “belum pernahkah kamu membaca dalam kitab suci bahwa kerajaan Allah akan diambil dari kamu dan diberikan kepada bangsa lain yang mendatangkan buah kerajaan itu” ini bunyi dari Mathius Pasal 21 ayat 42-44.

Tentang pernikahan Maryam itu disinggung dalam surat 3 ayat 44, Maryam diundi. Umumnya tafsir-tafsir mengatakan bahwa yang memenangkan undian adalah Nabi Zakaria. Menurut kami tidak begitu, Nabi Zakaria adalah yang melaksanakan undian, sebab pemeliharaan Maryam oleh Zakaria itu sudah diterangkan dalam ayat 37, kemudian setelah Maryam menginjak usia remaja dia senantiasa di mihrab sehingga bisa menerima wahyu.

Dan siapa yang kemudian beruntung memenangkan undian? Antara lain kaum Hawariyyin percaya bahwa Isa al-Masih itu adalah putra Yusuf, manusia biasa (bukan nabi).

Jadi intinya Ahmadiyah menganggap bahwa Nabi Isa punya bapak?

Ya, karena hukum penciptaan itu ada 2 macam, yaitu hukum ciptaan pertama dan hukum ciptaan ulangan. Dalam surat 85 ayat 13 dikatakan bahwa “Allah yang mengawali penciptaan dan mengulanginya”. Hukum ciptaan pertama itu sifatnya misteri, maka kami percaya bahwa Nabi Adam bukan manusia pertama.

Lalu siapa manusia pertama? Karena Tuhan tidak memberi tahu maka tidak seorang pun yang tahu.

Isa al-Masih bukan manusia pertama, karena itu berlaku hukum pengulangan dan hukum pengulangan pasti tunduk kepada sunnatullah, dan ini adalah nubuwwatan-nubuwwatan dari garis Daud. Makanya dalam Perjanjian Baru dikatakan bahwa Yesus adalah anak Ibrahim, anak Daud.

Injil di kalangan umat Islam sudah diragukan kebenarannya. Bagaimana pandangan Ahmadiyah terhadap Injil itu sendiri?

Semua kitab suci yang ada saat ini, termasuk Injil itu sudah terkontaminasi dari keasliannya. Untuk menjaga keaslian kitab suci tersebut Al-Qur’an diturunkan. Al-Qur’an mempunyai hubungan yang erat dengan kitab suci-kitab suci terdahulu.

Kalau anda membaca Al-Qur’an surat 3 ayat 1 sampai 4 disana secara berurutan disebutkan Taurat, Injil dan Al-Furqan. Al-Furqan adalah nama Al-Qur’an yang artinya pembeda. Umumnya orang kalau berbicara Al-Qur’an sebagai Al-Furqan adalah Al-Qur’an sebagai pembeda antara kebenaran dan kesalahan saja.

Seharusnya tidak demikian, tapi pembeda antara kebenaran dan kesalahan terutama yang ada dalam Taurat dan Injil. Ini yang mendasari kami untuk membaca Al-Qu’an dan kitab-kitab suci terdahulu untuk mengetahui kesalahan-kesalahan mana dari kitab-kitab suci tersebut.[]

 

Sumber: Majalah Mazhabuna. 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here