DiskursusTabayyun

Meluruskan Fakta Tentang Gerakan Ahmadiyah

Jika orang memperhatikan dengan seksama, maka Gerakan Ahmadiyah (Lahore) Indonesia (GAI) bukanlah organisasi paham keagamaan yang dimaksud, atau dituju oleh, baik fatwa MUI tentang Ahmadiyah Tahun 1980, fatwa MUI Tahun 2005, maupun Sepuluh Kriteria Sesat produk MUI.

Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI

Ibarat bangunan, Indonesia sepenuhnya bertumpu pada fondasi yang bernama kebersamaan. Gerakan Ahmadiyah (Lahore) Indonesia (GAI), betapa pun kecilnya merupakan bagian dari kebersamaan itu, sebab organisasi ini telah diakui keberadaannya sebagai badan hukum sejak tahun 1930 (No. 1x, Tanggal 4 April 1930), lalu tercatat di Departemen Agama tahun 1963 (No 18/II Tanggal 27 Desember 1963), dan terakhir termuat dalam berita negara tahun 1986 (No. 95 Tanggal 28/11-1986). Meski secara organisatoris GAI tidak melibatkan diri dalam perjuangan politik praktis, tetapi tidak merampas hak politik anggotanya, sehingga tidak sedikit anggota GAI yang secara personal ikut ambil bagian dalam perjuangan politik.

Sebagai organisasi dakwah Islam, maka kerja sama dengan Departemen Agama, selama ini berlangsung dengan baik. Hal ini sekurang-kurangnya terbukti dengan adanya kenyataan, di antaranya, bahwa terjemah Qur’an dan Tafsir dalam bahasa Jawa, yang diterbitkan oleh GAI sejak 1953, mendapat izin dari Menteri Agama (No. D.26/Q.I. Tanggal 3 Oktober 1958 dan izin Pentashihan Kementerian Agama No. A/O/IV/3602 Tanggal 13 Maret 1959), begitu juga terjemah Qur’an dan Tafsir dalam bahasa Indonesia yang terbit pertama tahun 1979 (No. Sd/Lega/II-d/82/71 Tanggal 2 Juli 1971). Bahkan terjemah The Religion of Islam karya president of Ahmadiyya Movement, Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., (Islamologi [Dienul Islam]) diberi kata sambutan dari Departemen Agama juga.

Sejak kemunculannya di Indonesia, paham keagamaan Ahmadiyah boleh jadi telah menimbulkan pro dan kontra, yang berujung pada penolakan dari sejumlah ulama dan organisasi Islam. Majelis Ulama Indonesia, sebuah organisasi ulama yang diasumsikan paling kompeten dan paling otoritatif dalam bidang keagamaan (Islam) di Indonesia, segera tanggap terhadap kenyataan bahwa penolakan terhadap paham keagamaan Ahmadiyah semakin luas.

Dalam Munas II Tahun 1980 MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Ahmadiyah Qadiyan (Badan hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. JA/23/13 Tanggal 13-3-1953 dan Tambahan Berita Negara tanggal 31-3-1953 No. 26) telah menimbulkan keresahan, perpecahan, dan bahaya bagi ketertiban dan keamanan negara. Tetapi, agaknya, fatwa tersebut kurang berjalan efektif, sehingga sebagian masyarakat meminta kepada MUI untuk menegaskan kembali fatwa tentang Ahmadiyah. Maka dalam Munas VII Tahun 2005 MUI mengeluarkan keputusan fatwa tentang aliran Ahmadiyah yang, secara ekplisit dinyatakan sebagai “Menegaskan kembali” fatwa MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah. Sebagai penegasan kembali maka diberi penjelasan lebih detail. Misalnya dalam konsideran keputusan fatwa itu merujuk pada keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jedah, Arab Saudi pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H/22-28 Desember 1985 tentang Aliran Qadiyaniyah, yang antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW. sebagai nabi dan rasul terakhir (lihat: http://www.mui.go.id).

Dalam Mukernas tanggal 16 November 2007 di Jakarta, MUI melahirkan “Sepuluh Kriteria Sesat” sebagai pedoman bagi masyarakat Muslim, tentunya, untuk mengidentifikasi setiap paham keagamaan (Islam) yang ada dan berkembang saat ini atau yang kemungkinan akan muncul di kemudian hari.

Jika orang memperhatikan dengan seksama, maka Gerakan Ahmadiyah (Lahore) Indonesia (GAI) bukanlah organisasi paham keagamaan yang dimaksud, atau dituju oleh, baik fatwa MUI tentang Ahmadiyah Tahun 1980, fatwa MUI Tahun 2005, maupun Sepuluh Kriteria Sesat produk MUI sebagai dimaksud di atas. Fakta-fakta lainnya menunjukkan hal serupa, di antaranya:

  1. Pertemuan yang diselenggarakan oleh Balitbang Depag RI yang berlangsung di Gedung Baitul Qur’an TMII Jakarta tanggal 14 Januari 2008 yang dihadiri oleh unsur Depag RI, Depdagri, Mabes Polri, Kejakgung, Tokoh Masyarakat Muslim, Akademisi Muslim, JAI, dan GAI, menghasilkan Dua Belas Butir Pernyataan JAI (sebuah kompromi maksimal yang dapat dicapai dalam rumusan keyakinan keagamaan JAI), dimana GAI diposisikan sebagai salah satu saksi di antara saksi-saksi dari lembaga-lembaga pemerintah dan di uar pemerintah yang hadir dalam pertemuan itu.
  2. SKB Tiga Menteri (Menag, Mendagri, Jaksa Agung) tentang Ahmadiyah, secara faktual dan yuridis hanya ditujukan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), tidak termasuk GAI (lihat: http://www.menkokesra.go.id).
  3. Berbagai penjelasan tentang adanya dua Ahmadiyah yang secara faktual berbeda keyakinan, sambil menyatakan bahwa Ahmadiyah Lahore (GAI) tidak bermasalah, telah diberikan kepada publik oleh sejumlah tokoh penting di negeri ini, misalnya: (1) Presiden SBY dalam dialog dengan peserta Teladan Nasional tanggal 17 Agustus 2005 (Kompas, 18 Agustus 2005); (2) Menteri Agama RI, Maftuh Basuni (lihat Tempo, 26 Februari 2006), dan juga Menteri Agama RI, Suryadharma Ali (lihat: http://bimasislam.kemenag.go.id), dan masih banyak tokoh lain yang menyatakan hal senada.

Tuntutan pelarangan atau pembubaran Ahmadiyah — jika termasuk Ahmadiyah Lahore atau GAI — dari sejumlah ormas Islam belakangan ini nampaknya tidak menghiraukan adanya fakta-fakta di atas. Boleh jadi belum tahu, atau tidak mau tahu.

Memang, belum tahu atau tidak mau tahu bukanlah persoalan yang terlalu penting. Orang-orang yang bergabung dalam GAI, nampaknya sejak masa awal berdirinya tidak terlalu menganggap organisasi sebagai sesuatu yang terlalu penting. Hal ini nampak oleh kenyataan bahwa hingga lebih 80 tahun, ormas ini hanya memiliki anggota tidak lebih dari 2.000 (dua ribu) orang di seluruh Indonesia. Sungguh sangat tidak sebanding dengan pengaruh ide-ide keagamaannya terhadap perkembangan pemikiran keagamaan Islam di Indonesia sejak jauh sebelum kemerdekaan.[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »