Artikel

Masjid Bukan Hanya Sekedar Tempat Sholat: Inilah 6 Fungsi Masjid Selain Sebagai Tempat Sholat

mosque

Secara harfiah, istilah “masjid” mengandung arti “tempat bersujud atau tempat mengabdi”. Berasal dari akar kata sajada, yasjudu, sujudan, yang bermakna sujud, tunduk, menyembah atau mengabdi.

Pada dasarnya, setiap tempat ibadah bisa disebut masjid. Tetapi istilah “masjid” dipersempit maknanya sebaga “rumah atau bangunan tempat ibadah orang Islam.” Semata untuk membedakan dengan tempat ibadah orang Yahudi yang disebut kanisah (sinagoga), atau tempat ibadah orang Kristen yang disebut gereja, atau tempat ibadah orang Konghucu yang disebut kelenteng, dan lain sebagainya.

Tetapi tak berarti bahwa ibadah umat Islam harus hanya dilakukan di masjid. Sebab Rasulullah saw. sendiri bersabda, “Seluruh muka bumi dijadikan masjid bagiku” (HR Bukhari). Oleh sebab itu, seorang muslim dapat menjalankan shalat di mana saja, baik sendiri maupun berjamaah. Dan hal itu tak sekali pun mengurangi keampuhan shalatnya. Demikian pula jika suatu bangunan yang khusus dibangun untuk tempat shalat, tak perlu juga bangunan itu ditahbiskan sebagai masjid.

Lagipula, masjid itu tidak hanya berfungsi sebagai pusat kegiatan spiritual umat Islam saja, melainkan juga menjadi pusat kegiatan sosial yang menyangkut kesejahteraan manusia seluruhnya.

Karena itu, di samping sebagai tempat shalat, Masjid memiliki fungsi-fungsi lain yang tidak kalah pentingnya. Dan berikut ini adalah 6 Fungsi Masjid lainnya selain sebagai tempat untuk shalat.

 

1. Masjid Sebagai Pusat Ibadah, Doa dan Dzikir

Kedudukan masjid, jika diperbandingkan dengan tempat ibadah yang ditahbiskan oleh umat agama lainnya, lebih mulia dan penting. Sebabnya, di dalam masjid-lah nama Allah atau Tuhan paling banyak disebut dan diingat-ingat. Hal ini diisyaratkan dalam Qur’an:

“Sekiranya bukan karena tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, niscaya akan ditumbangkan biara-biara, gereja-gereja, kanisah-kanisah, sinagoga-sinagoga, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak diingat nama Allah” (QS 22:40).

Pada kenyataannya, tempat ibadah non-Islam biasanya hanya sekali dikunjungi oleh umatnya setiap minggunya. Tetapi masjid dikunjungi setidak-tidaknya lima kali setiap hari oleh umat Islam, untuk menunaikan ibadah shalat wajib.Bahkan di luar shalat wajib, juga ada yang datang ke masjid untuk melakukan shalat sendiri-sendiri, baik shalat maktubah maupun nafilah.

Tidak jarang juga kaum muslimin hadir di Masjid untuk melakukan i’tikaf, berdoa dan berdzikir, baik di sembarang waktu, atau di waktu-waktu tertentu. Sehingga, pernyataan Quran bahwa di masjid nama Allah banyak disebut dan diingat-ingat, menjadi sebuah keniscayaan.

 

2. Masjid Sebagai Pusat Kesatuan Umat

Masjid artinya tempat bersujud atau mengabdi. Disebut pula Musholla, artinya tempat shalat. Maka sesuai dengan namanya, semua Masjid atau Musholla harus menghadap kiblat. Hal ini dinyatakan dalam Qur’an: “Dan dari mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil-Haram. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajah kamu ke arah itu” (QS 2:150).

Lebih dari itu, dijadikannya Masjidil-Haram sebagai kiblat, karena Masjid itulah yang pertama kali dibangun oleh manusia di muka bumi ini (QS 3:96).

Implementasi perintah ini bagi umat Islam Indonesia jika membangun Masjid menghadap ke Barat agak miring ke Utara, karena Masjidil-Haram terletak di kota Mekah, yang berada di sebelah utara Khatulistiwa mendekati 23,50 LU. Sedangkan Indonesia terletak di sebelah Timur Mekah, di sekitar garis khatulistiwa antara 60 LU sampai 110 LS.

Peraturan bahwa semua tempat ibadah mengadap kiblat mempunyai tujuan luhur, yakni kesatuan tujuan ibadah, sebagaimana diisyaratkan dalam Qur’an, “Dan tiap-tiap orang mempunyai tujuan yang ia tuju, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, Allah akan menghimpun kamu semuanya” (QS 2:148).

Yang dimaksud “menghimpun kamu semuanya” ialah membuat sekalian umat menjadi satu, sehingga di belakang apa yang disebut “persatuan arah,: terletak tujuan yang sebenarnya, yakni “persatuan umat.” Sebagaimana mereka semua mempunyai satu arah yag mereka harus menghadap, mereka harus menuju kepada satu tujuan.

Jadi persatuan kiblat di kalangan kaum Muslimin mengandung arti persatuan tujuan, yang ini menjadi landasan persaudaraan umat Islam. Dan dalam kaitannya dengan hal ini, Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kamu menyebut kafir kepada Ahli kiblat (yaitu orang yang menghadap Kiblat) kamu”.

Ahli kiblat adalah kaum Muslimin, bukan kaum kafirin. Karena itu, fatwa takfîrul-muslimîn (mengafirkan sesama kaum Muslimin) yang biasa dilakukan oleh para ulama pada zaman ini sungguh bertentangan dengan sabda Rasulullah di atas, dan juga bertentangan dengan ajaran Quran Suci.

 

3. Masjid Sebagai Pusat Latihan Persamaan Derajat

Karena Masjid itu adalah tempat bertemunya kaum Muslimin setidak-tidaknya lima kali dalam sehari, maka Masjid menjadi pusat latihan bagi umat untuk mempraktekkan ajaran persamaan derajat dan persaudaraan bagi sekalian manusia, yang menjadi tujuan agama ini diturunkan ke dunia.

Jika seorang muazin telah mengumandangkan azan, segenap umat Islam segera bergegas menuju ke Masjid untuk melakukan shalat jamaah. Barangsiapa datang duluan harus menempatkan diri pada shaf yang paling depan. Sebelum penuh tak dibenarkan membentuk shaf baru. Demikian seterusnya.

Setelah iqamah berdiri, semuanya bahu membahu dalam satu shaf di hadapan Tuhan Sang Pencipta. Semua perbedaan di antara mereka saat itu juga sirna. Dalam barisan atau shaf shalat itu, tak dipedulikan lagi soal perbedaan warna kulit, golongan, harta, mazhab, status sosial, kedudukan, kekayaan, dan sebagainya. Semua tunduk patuh mengikuti pimpinan yang disebut Imam.

Dengan demikian, ajaran persamaan derajat dan persaudaraan di antara sesama manusia dipraktekkan setidak-tidaknya lima kali dalam sehari di Masjid.

Karena itu, di luar Masjid, yakni di tengah-tengah masyarakat, setiap Muslim secara moral berkewajiban mengaktualisasikan apa yang terjadi di dalam Masjid. Dengan demikian seorang Muslim, di manapun mereka berada, harus menjadi rahmat bagi masyarakat. Sebab ia bukan hanya pandai bicara tentang persamaan derajat dan persaudaraan di antara sesama manusia, tetapi juga telah berulang kali mempraktekkannya di dalam Masjid.

Inilah yang dilukiskan dalam Qur’an: “Demikianlah Kami menjadikan kamu umat yang unggul, agar kamu menjadi saksi bagi manusia dan utusan menjadi saksi bagi kamu” (QS 2:143).

Umat Islam terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan atau mazhab. Masing-masing golongan boleh mendirikan Masjid guna kepentingan mereka sendiri. Abu Bakar, misalnya, mendirikan Masjid di halaman rumahnya pada zaman Islam permulaan.

Demikian pula sahabat Itban bin Malik, yang menjadikan sebagian rumahnya sebagai Masjid. Kabilah Amr bin Auf juga mendirikan Masjid di pinggiran kota Madinah untuk penduduk Quba, dan sebagainya.

Suatu Masjid dapat dinamakan menurut nama kabilah, nama pendiri, nama tempat, atau nama apa saja, dalam bahasa apa saja. Demikian pula corak, bentuk dan arsitekturnya bisa beragam, sesuai dengan kebudayaan setempat.

Di Indonesia terdapat ribuan Masjid yang didirikan oleh masyarakat secara gotong royong, baik oleh perorangan, organisasi keagamaan, yayasan perguruan Islam, dan lain sebagainya.

Sebagai contoh, Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI), salah satu amal usaha Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang bergerak di bidang pendidikan. Yayasan ini mendirikan sebuah masjid di kompleks sekolah di Yogyakarta yang diberi nama Masjid PIRI. Baru belakangan nama masjid itu diberi tambahan “Darussalam”.

Nama “Darussalam” itu diberikan oleh Prof. Dr. Abdul-Kareem Saeed Pasha, Amir Shadr Anjuman Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore (AAIIL) Pakistan, pada tahun 2003, ketika beliau berkunjung ke Indonesia.

Kedatangannya ke Indonesia kala itu adalah dalam rangka memenuhi undangan GAI untuk menjadi pembicara dalam “Internasional Symposium on Civil Society, The Reality of Fathi Islam (Victory of Islam)”, sebagai rangkaian kegiatan Jalsah Salanah GAI tahun 2003 di Yogyakarta.

Meski didirikan oleh golongan tertentu, pemilik Masjid tak diperkenankan melarang kaum Muslimin dari golongan apa aja memasuki Masjid untuk melakukan ibadah, doa dan dzikir. Hal ini ditegaskan dalam Quran Suci:

“Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari Masjid Allah, yang di dalamnya diingat nama-Nya, dan ia berusaha untuk merobohkannya?” (QS 2:114)

Ini menjadi bukti lain bahwa Masjid lebih mulia dan agung daripada tempat ibadah lain, seperti Gereja misalnya. Sebabnya, Gereja Roma Katolik tak mungkin akan dimasuki oleh orang Katolik Yunani atau Protestan, begitu pula sebaliknya.

Bahkan meski sama-sama satu sekte Kristen, bisa terjadi seseorang tak dapat masuk gereja yang sama hanya karena berbeda warna kulit, seperti yang terjadi di Afrika Selatan dan Amerika Serikat.

Di antara agama-agama lainya, hanya Islam sajalah yang paling berhasil menegakkan persaudaraan di antara sesama manusia. Dan rahasia keberhasilannya itu terletak dalam fungsi Masjid sebagai pusat persaudaraan umat manusia.

 

4. Masjid Sebagai Pusat Pemberkatan

Allah telah mennubuatkan kepada Nabi Ibrahim, kurang lebih 2.000 tahun sebelum Masehi, bahwa melalui keturunan beliau segala bangsa akan mendapat berkat (Kej 22:18), dan mereka pun akan memberkati Ibrahim (Kej 12:3). Nubuat ini tergenapi dengan diutusnya Rasulullah Muhammad saw., melalui ajaran shalat maktubah, yang sebaiknya dilakukan dengan berjamaah di Masjid.

Sebab sebagaimana diketahui, pada waktu duduk tahiyat atau tasyahud (qa’dah), umat Islam membaca serangkaian doa yang berisi permohonan untuk kemuliaan dan keberkahan bagi Nabi Suci Muhammad saw dan keluarganya, seperti yang telah dikaruniakan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya.

Baik di tahiyat awal maupun di tahiyat akhir, doa ini senantiasa dipanjatkan. Bahkan pada tahiyat akhir, doa itu diikuti pula dengan ucapan salam: “Assalâmu ‘alaikum waahmatullâhi wabarakâtuh,” yang bermakna “Semoga damai atasmu, dan semoga rahmat Allah serta berkah-Nya menyertainya.”

Doa keselamatan itu ditujukan kepada siapapun yang berada di depan, di samping kanan sampai belakang orang yang shalat. Sebab ketika mengucapkan doa itu, orang yang shalat menolehkan mukanya ke kiri dan ke kanan sampai ke belakang.

Yang dimaksud “kamu” dalam doa itu tentu bukan hanya kaum Muslimin saja, melainkan pula mereka yang non-Islam, baik yang Ahlikitab (pemeluk agama non-Islam) maupun yang musyrik atau politeistik. Sebab semua manusia adalah umat Muhammad, tepatnya umat dakwah Islam.

Ucapan salam seperti di atas adalah penyempurnaan ucapan salam para nabi terdahulu, dan juga sebagai koreksi terhadap salam paganistik yang terkait dengan matahari, seperti selamat pagi, selamat siang, dan sebagainya, sebagaimana dinubuatkan oleh Nabi Yesaya (Yes 53:5-7).

Jadi, Masjid adalah pusat pemberkatan bagi umat manusia, karena sekurang-kurangnya lima kali setiap hari seorang Muslim mengucapkan doa berkat yang ditujukan kepada manusia pada umumnya.

 

5. Masjid sebagai Pusat Kegiatan Sosial dan Kebudayaan

Masjid juga menjadi pusat kegiatan sosial dan kebudayaan bagi umat Islam, karena di dalamnya umat Islam mendapat pelajaran yang berkenaan dengan urusan sosial dan budaya, melaluli khotbah dan pengajian. Lebih-lebih pada zaman Nabi Suci Muhammad saw. dan Khulafaur-Rasyidin, segala persoalan penting yang menyangkut umat Islam pada masa itu pasti diumumkan di dalam dan dari Masjid.

Masjid juga menjadi pusat pendidikan setelah keluarga dan masyarakat, karena di Masjidlah orang menuntut ilmu. Dari Masjid lahirlah gedung-gedung sekolah atau madrasah. Sebaliknya, ada pula sekolah yang lalu mendirikan Masjid atau Musholla seperti yang sekarang kita saksikan.

Masjid Nabawi di Madinah adalah contoh terbaik setelah Masjidil-Haram di Mekah tentang fungsi Masjid yang sebenarnya. Bentuk Masjid Nabi ini sederhana, dibangun dengan batu bata yang dijemur di panas matahari. Bagian atapnya hanya ditopang dengan tiang yang dibuat dari batang pohon kurma, lalu diberi atap daun kurma dan tanah liat.

Halamannya masjid nabawi luas, sehingga di atasnya dapat didirikan tenda-tenda jika diperlukan. Masjid Nabawi sarat dengan kegiatan, terutama kaderisasi muballigh yang siap dikirim ke tempat-tempat yang jauh untuk menyebarluaskan cahaya Islam.

Selain di dalam ruangan utama Masjid, para sahabat juga mendapatkan pengajaran dari Nabi di sebuah ruangan di sebelah utara Masjid Nabawi yang disebut Shuffah. Maka di kemudian hari mereka disebut sebagai ash-hâbush-shuffah atau ahlush-shuffah (artinya: para penghuni Sufah).

Anggapan bahwa bahwa ahlush-shuffah adalah orang-orang miskin dan tuna wisma adalah keliru sama sekali. Meskipun, di antara mereka memang terdapat sahabat seperti Sa’ad bin Abu Waqas yang miskin. Tetapi sahabat-sahabat Muhajirin yang miskin-miskin lainnya tokh tak bertinggal di Shuffah.

Ash-habus-Shufah sebenarnya adalah mereka yang berhasrat mendalami ‘ulûmul-Qur’ân dan ‘ulumul-Islam yang bermukim di Sufah, baik dari kalangan miskin maupun kaya. Jumlah mereka cukup besar, dan pada waktu-waktu tertentu mencapai 400 orang.

Kini hampir setiap Masjid di seluruh dunia Islam diselenggarakan kajian dan pengajian. Maktab dan madrasah merupakan tambahan yang amat diperlukan pada tiap-tiap Masjid. Banyak Masjid yang menerima barang-barang wakaf, yang hasilnya untuk membiayai para murid dan gurunya.

Bahkan sekarang ini banyak didirikan perpustakaan di serambi Masjid dan kantor Baitul-Mal wat-Tanwîl (BMT), pertanda kesadaran umat Islam tentang ekonomi telah bertumbuh.

 

6. Masjid Sebagai Pusat Segala Urusan

Pada zaman Nabi Suci dan Khulafâur-Rasyidîn, Masjid adalah satu-satunya pusat kegiatan kaum Muslimin, baik yang berkenaan dengan urusan ukhrawi maupun urusan duniawi. Bahkan segala urusan bangsa atau kenegaan yang penting-penting pun diputuskan di dalam Masjid.

Demikian pula tatkala umat Islam terpaksa harus mengangkat senjata untuk membela diri, segala bentuk pertahanan dan pengiriman pasukan dibicarakan di Masjid. Jadi Masjid berfungsi sebagai majelis permusyawaratan bagi kaum Muslimin.

Pada tahun 630-631 dikenal sebagai Tahun Perutusan, karena para kabilah di seluruh Jazirah Arab mengirimkan delegasi untuk menyatakan kesetiaan kepada Nabi Suci. Para delegasi, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, diterima di Masjid Nabawi. Sebagian delegasi bahkan dipondokkan di sana.

Delegasi Kristen dari Najran, misalnya, yang dipimpin oleh Abdul-Masih, dan delegasi dari kabilah Tsaqif yang masih musyrik, mereka juga dipondokkan di Masjid Nabawi. Sehingga untuk keperluan ini, didirikanlah tenda-tenda di halaman Masjid.

Delegasi Kristen Najran yang sempat berdialog dengan Rasulullah saw. tentang ketuhananYesus pun bahkan diizinkan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya di Masjid Nabawi.

Bahkan sekali peristiwa, Rasulullah saw. mengizinkan segolongan orang Abesinia mengadakan perayaan di Masjid dengan mengadakan pertunjukan permainan pedang dan lembing (HR Bukhari).

Hasan bin Tsabit membacakan syairnya di Masjid yang berisi pembelaan terhadap Nabi Suci yang difitnah oleh musuh beliau (HR Bukhari). Urusan-urusan pengadilan juga diputuskan di Masjid (HR Bukhari), dan lain-lain masih banyak lagi keperluan lain.

Jadi, Masjid berfungsi bukan hanya untuk keperluan ukhrawi saja, tetapi juga untuk keperluan duniawi yang menyangkut sosial, politik, ekonomi, bisnis, dan sebagainya.

Tetapi yang perlu diingat ialah, bahwa yang berpusat di Masjid bukanlah politik praktis, bisnis praktis, dan sejenisnya. Sebab, seperti halnya Isa Almasih yang pernah mengusir para penjual burung dari Masjid Jerusalem, Rasulullah saw. pun pernah melarang orang melakukan transaksi jual beli di dalam Masjid (HR Abi Daud).

Masjid memang bisa menjadi pusat segala urusan, karena berbagai keperluan dapat dilakukan di sana dan tanpa mengurangi kesuciannya. Namun demikian, Islam mengatur bagaimana cara umat menghormati Masjid, baik secara jasmani (lahiriah) maupun secara rohani (batiniah).

 

Menghormati Masjid

Dalam rangka memberi penghormatan terhadap masjid secara lahiriah, seorang muslim apabila hendak memasuki masjid dianjurkan untuk:

  • berpakaian yang sopan (QS 7:31);
  • tidak melakukan usaha atau perdagangan di dalamnya (HR Abi Daud);
  • tidak berteriak dengan suara keras (HR Bukhari);
  • tidak berludah di dalamnya, meski lantainya tanah (HR Bukhari);
  • tidak membuat kotor masjid;
  • tidak boleh melakukan segala sesuatu yang bisa menganggu orang lain, seperti makan bawang atau brambang mentah tatkala akan pergi ke Masjid (HR Abi Daud).

Sedangkan dalam rangka menunjukkan sikap hormat secara rohaniah, umat Islam dianjurkan untuk:

  • Berdoa ketika keluar rumah menuju masjid: “Bismilâhi tawakkaltu ‘alallâhi walâ haula walâ quwwata illâ billâh” (Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepadaNya. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah) (HR Abi Daud, Tirmidzi, dan lain-lain). Juga ditambah doa: “Allâhummaj’al fî qalbî nûrân, wafî lisâni nûrân, wafi sam’î nûrân, wafî basharî nûrân, waj’al min khalfî nûrân, wa min amâmî nûrân” (Ya Allah jadikanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam lidahku, cahaya dalam pendengaranku, dan cahaya dalam penglihatanku. Jadikanlah pula cahaya di belakangku, cahaya di depanku, cahaya di atasku dan cahaya di bawahku. Ya Allah berikanlah cahaya kepadaku.) (HR Muslim).
  • Masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanan, seraya berdoa: “Allâhummaftah lî abwâba rahmatik” (Ya Allah bukakanlah kepadaku pintu-pintu rahmat Dikau). Dan manakala keluar dari Masjid, dahulukan kaki kiri, seraya berdoa: “Allâhumana innî as’aluka min fadhlik” (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon karunia Dikau)” (HR Muslim, Abi Daud, dan lain-lain dengan anak kalimat ucapkan salam atas Nabi Suci).
  • Setelah masuk Masjid sebelum duduk shalatlah sunnah dua rekaat, namanya Tahiyyatul-Masjid. Shalat-shalat sunnah lainnya, seperti Syukrul-Wudhu’, Rawatib Qabliyah, Hajat, dan lain-lain, dilakukan setelah shalat Tahiyyatul-Masjid. Kecuali di Masjidil-Haram, tak ada shalat Tahiyyatul-Masjid. Sebagai gantinya adalah Thawaf, yaitu mengelilingi Kakbah tujuh kali, dimulai dari letak Hajar Aswad, ke arah kanan (Kakbah berada di sebelah kiri pintu masuk).
  • Di dalam Masjid dianjurkan untuk memperbanyak iktikaf dan dzikir kepada Allah (QS 24:36-37) dan mengagungkan syiar-syiar Allah (QS 22:32), antara lain dengan membaca tahmid, tasbih, takbir, tahlil.

 

Pengurus dan Imam Masjid

Pada umumnya, tiap-tiap Masjid mempunyai seorang mutawalli (makna aslinya penjaga), yang diserahi tugas mengurus Masjid oleh para pendirinya. Di Indonesia tugas ini dipercayakan kepada suatu pengurus yang disebut Ta’mirul-Masjid. Mutawalli atau Ta’mirul-Masjid menunjuk seorang Imam dan/atau Khatib serta Muazin.

Dari ketiga tugas tersebut yang paling penting adalah Imam. Sebab orang yang ditunjuk sebagai Imam adalah orang yang terbaik di antara warga masyarakat setempat.

Rasulullah saw. memberi contoh, pada waktu beliau akan wafat, beliau menunjuk sayidina Abu Bakar untuk mewakili beliau sebagai Imam. Dan pada waktu diusulkan kepada beliau supaya sayidina Umar saja yang ditunjuk sebagai Imam, karena sayidina Abu Bakar mudah terharu, beliau menolak usul itu.

Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits yang mengharuskan agar jabatan Imam diserahkan kepada orang yang paling mahir dalam ilmu Quran. Dan jika ada dua orang yang sama-sama mahirnya, maka pertimbangan lain barulah diambil.

Beliau meriwayatkan pula suatu Hadits, bahwa seorang wanita dapat pula bertindak sebagai Imam yang dimakmumi oleh kaum pria, tetapi ini hanya berlaku di rumah sendiri. Demikian pula menurut riwayat Ahmad dari Umi Waraqah.

Pada zaman Rasulullah saw., beliau sendirilah yang menjadi Imam di Masjid Pusat Madinah. Setelah beliau wafat secara berturut-turut diganti oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman.

Jika di suatu provinsi diangkat seorang Gubernur, maka Gubernur itu sekaligus menjadi seorang Imam. Sehingga jabatan pemimpin jasmani dan pemimpin rohani dirangkap oleh satu orang.

Hal ini terjadi lama sekali, pada zaman permulaan Islam yang disebut khairul-qurûn atau sebaik-baik abad. Baru pada zaman akhir ada perubahan dan penyimpangan, yaitu dipisahkannya pemimpin duniawi dengan pemimpin rohani.

Dari sini lahir tradisi pentasbihan seorang Imam dan ia menerima gaji. Inilah salah satu sumber kemerosotan umat Islam. Biasanya orang-orang ini tak mempunyai perasaan luhurnya martabat Islam dan lembaga-lembaganya dan tak mempunyai cahaya, ilmu dan pengalaman yang membuat mereka berhak mengaku sebagai pemimpin rohani umat Islam.

Ini suatu penyimpangan, karena Imam dan Masjid tak perlu ditahbiskan, dan setiap orang dapat mengimami shalat karena setiap orang adalah suci setelah masuk Islam.

Ada lagi suatu kesalahan, yaitu dalam memahami Hadits tentang imamah Masih Mau’ud. Atas dasar riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah, menerangkan bahwa tatkala Masih Mau’ud datang, orang-orang minta beliau menjadi Imam mereka. Tetapi beliau menolak dan beliau menganjurkan mencari Imam yang lain.

Hadits ini mereka pahami bahwa Masih Mau’ud menjadi imam shalat jama’ah, padahal yang dimaksud adalah menjadi Imam umat Islam di bidang duniawi, yang seringkali menyilaukan banyak orang.

Jabatan itulah  yang beliau tolak, karena beliau adalah pemimpin rohani, sebagaimana Isa Almasih a.s. tatkala beliau ditanya Pilatus: “Engkau inikah raja orang Yahudi? Antara lain jawaban beliau: “Kerajaanku bukan dari dunia ini.” Dan tatkala Pilatus bertanya, “Jadi, engkau adalah raja?” beliau menjawab: “Untuk itulah aku lahir dan untuk itulah aku datang ke dalam dunia ini, supaya aku memberi kesaksian tentang kebenaran” (Yoh 18:33, 36-37).

Pada zaman akhir ini Imamah yang benar itu seperti diperagakan oleh Hazrat Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Beliau sebagai Imam yang adil dan Mahdi memisahkan diri dari gerakan politik yang menjadi sarana untuk memperoleh kedudukan sebagai Amir atau Imam di bidang duniawi.

Beliau justru membangun Gerakan yang warganya harus bai’at yang antara lain berisi pernyataan untuk “menjunjung tinggi agama melebihi dunia.” Sebab melalui jalan itulah Islam akan memperoleh kemenangan kembali yang telah dijanjikan (QS 9:33) dan umat Islam akan menjadi umat yang terbaik (QS 3:110).

Dalam kondisi semacam itulah akan terpilih Amir yang terbaik pula, sebab “sebagaimana keadaan kamu, begitulah diangkat pemimpin kamu” demikianlah penegasan Nabi Suci (HR Dailami dan Daruquthni).[]

 

  • Penulis: K.H. S. Ali Yasir | Ketua Umum PB GAI Masa Bakti 1995-1999
  • Sumber: Draft Buku “Ensiklopedi Ahmadiyah”

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here