Akademika

Manusia Dalam Pemikiran Mirza Ghulam Ahmad

Sebagai manusia, ia sendiri masih menganggap dirinya adalah sebuah misteri. Ia tak benar-benar memahami tentang dirinya yang memiliki jasmani dan sekaligus rohani.

Mengenai jasmani (raga/jasad/jisim), ia tak begitu mempermasalahkannya karena sudah cukup jelas, bisa dilihat, diraba, dirasa ataupun diteliti secara ilmiah, namun mengenai rohani (ruh/jiwa/nafs), banyak sarjana yang memperdebatkannya.

Salah satunya ialah Mirza Ghulam Ahmad, ia memahami bahwa manusia merupakan makhluk hidup yang 100% jasmani dan rohani. Antara jasmani dan rohani tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya bahkan keduanya saling berkelit-kelindan dan saling mempengaruhi.

Jasmani dan rohani manusia juga memiliki gradasi kondisi yang menandakan tingkat spiritualitasnya. Ghulam membagi gradasi tersebut menjadi 3 (tiga) bagian, yakni: alamiah (tabiat), akhlakiah dan rohaniah.

Kondisi alamiah ialah kondisi manusia yang didasari oleh al-nafs al-ammarah (jiwa yang berbuat kerusakan), sementara kondisi akhlakiah ialah kondisi manusia yang didasari oleh al-nafs al-lawwamah (jiwa yang masih berbolak-balik), dan kondisi rohaniah ialah kondisi manusia yang didasari oleh al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang).

Di samping kondisinya, manusia juga harus mengetahui bahwa tujuan hidupnya ialah untuk beribadah kepada Tuhannya, yakni: menyembah Allah, meraih makrifat-Nya serta fana bersama-Nya.

Untuk itu Ghulam Ahmad menunjukkan ada 5 (lima) langkah untuk meraihnya, yaitu: Pertama, mengenal kesempurnaan Allah, makrifat Ilahi dan menyadari kemurahan-Nya.Kedua, berdoa; ketiga, mujahadah (berjuang keras); keempat, istiqamah (konsistensi) dan berkumpul bersama orang-orang saleh; dan kelima, kasyf (tersingkapnya realitas ilahiyah).

Berdasarkan pemaparan tersebut, terlihat bahwa penelitian kepustakaan (library research) ini bertujuan untuk menjajagi bagaimana pemikiran Mirza Ghulam Ahmad tentang manusia.

Untuk menunjang penelitian tersebut, metode analisis yang penulis gunakan ialah deskripsi, kesinambungan historis, interpretartif dan komparatif. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai pemikiran Ghulam yang dimaksud.

Meski menjadi pembaharu, Mirza Ghulam Ahmad bukan seorang yang menjadikan akal sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran karena ia pun percaya terhadap kebenaran wahyu. Lebih jelasnya, ia adalah seorang neo-sufisme yang meletakkan esoterisme tetap dalam koridor syariat.

Konsepsi tasawufnya juga tidak hanya dipersembahkan untuk tujuan ilahiah semata melainkan juga untuk memperbaiki keimanan umat Islam yang sudah kacau (waktu itu).

Namun peran kasyf yang sangat dominan dapat kita temui pada dirinya, hal inilah yang membuat kita sulit membedakan antara ajarannya tentang teologi dari tasawuf.

  • Ngutsman Mukromin (2009) PEMIKIRAN MIRZA GHULAM AHMAD TENTANG MANUSIA. Skripsi thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
  • Unduh di Sini
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »