Tokoh

Mansyur Basuki, Pemain Gelandang di Gerakan Ahmadiyah

Mansyur Basuki lahir pada 1 Agustus 1943 di Malangbong, Garut, Jawa Barat. Ia berdarah campuran Sunda-Arab-Jawa. Ibunya, Hj. Siti Nurhaya, adalah perempuan asli keturunan Sunda. Sementara sang Ayah, Soedaryo Soeryopranoto, adalah seorang blasteran keturunan Arab-Jawa kelahiran Purworejo, Jawa Tengah.

Ia menjadi yatim sejak ayahnya wafat di saat ia berusia 16 tahun. Sejak itu, ia mengadu nasib dengan mengikuti pamannya di Jakarta. Setamat sekolah tingkat atas, ia kemudian melanjutkan kuliah di Akademi Bank Indonesia (Indonesia Banking School) Jakarta, dan lulus tahun 1963.

Ia menikah dengan kekasih pilihannya, Variny Djakasuria, sahabat sesama aktivis di Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) pada tahun 1970. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai tiga anak, yakni Anzalna Muntaha, Basharat Ahmad, dan Saumty Rohaendy.

Setelah lulus dari Akademi Bank Indonesia, Mansyur bekerja di Bank Negara Indonesia (BNI), hingga pensiun di tahun 1988. Dan dari sinilah riwayat Mansyur Basuki menjadi aktivis Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) bermula.

Mansyur Basuki mengenal GAI dari sahabat lamanya sesama aktivis HMI, Rachmat Basoeki Soeropranoto, yang juga adalah rekan sejawatnya sesama pegawai di BNI 46. Keduanya adalah juga aktivis Gabungan Serikat Buruh Indonesia cabang BNI 46.

Mansyur sering sekali diajak Rahmat Basuki mengikuti kegiatan Sunday Morning Class yang diampu oleh Muhammad Irshad di Markas GAI Jakarta, di Jalan Kesehatan. Selain dirinya, ada beberapa sahabatnya sesama pegawai di BNI yang ikut serta, antara lain Imam Musa, Soehartono, dan Koga Rahman.

Hingga akhirnya, Mansyur melaksanakan bai’at dan bergabung dengan GAI pada tahun 1965. Di tahun-tahun inilah ia mula pertama berkenalan dengan tokoh-tokoh periode awal GAI seperti Bigadir Jendral H.M. Bachroen, Kolonel Soetjipto, dan juga Raden Soedewo Partadikusumo, penerjemah Quran ke dalam bahasa Belanda.

Sebagai seorang aktivis, Mansyur Basuki piawai mengelola dan mengatur berbagai agenda kegiatan di Jakarta. Ia seolah menjadi manajer sekaligus sutradara dari berbagai agenda dakwah Islam yang diselenggarakan GAI cabang Jakarta kala itu, yang bermarkas di Kompleks Kesehatan, Gambir, Jakarta Pusat.

Karena kepiawaiannya itu, di tahun 1974, Mansyur Basuki dipercaya untuk mengemban amanat sebagai Ketua GAI Cabang Jakarta. Ia pun semakin giat menyelenggarakan kegiatan dakwah Islam bersama sahabat-sahabatnya seperjuangan. Di bawah kepemimpinannya, GAI Jakarta melebarkan sayapnya. Anggotanya tersebar tidak hanya di Jakarta, tapi juga mencakup wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).

Pada periode kepemimpinannya pula, GAI Jakarta banyak menerima kunjungan aktivis dan pimpinan Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore (AAIIL) dari berbagai negara, seperti Maulana Abdul Rahim Jaggoe dari Belanda, J. Keeskamp dari Belanda, Ilahi Baks dari Suriname, Abdul Latief dari Lahore, G.M. Dean dari Kepulauan Fiji, Ramzan dari Belanda, dll.

Tahun 1976, Mansyur diminta oleh Pedoman Besar GAI untuk menghadiri Jalsah Salanah di Lahore, Pakistan. Kehadirannya disambut baik oleh Dr. Saeed Ahmad Khan, Amir AAIIL Pusat kala itu. Dalam forum Jalsah itu, ia juga berkesempatan menyampaikan pidato terkait perkembangan Gerakan Ahmadiyah di Indonesia.

Kedatangan Mansyur di dalam Jalsah itu juga dalam rangka mengantarkan dua orang kandidat mubaligh GAI, Moh. Sardiman dan Moh. Iskandar, yang dikirim untuk mengikuti kegiatan pendidikan Muballigh Muslim Missionary, di Idarah Ta’limul Qur’an yang diselenggarakan oleh AAIIL Pusat di Lahore, Pakistan.

Dedikasi dan keberhasilannya dalam mengelola agenda dakwah Islam di Jakarta, membuatnya semakin populer di tingkat nasional. Hingga akhirnya, di tahun 1979, Mansyur terpilih sebagai Sekretaris Jendral Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia, mendampingi ketua umum terpilih kala itu, Prof. Dr. Ahmad Muhammad Djojosoegito.

Keduanya terpilih menjabat kepemimpinan puncak PB GAI selama dua periode. Sayangnya, menjelang berakhirnya periode kedua, Sang Ketua Umum wafat sebagai syuhada pada saat melaksanakan ibadah haji tahun 1990, yang dalam sejarah haji indonesia dikenal sebagai Tragedi Mina.

Tahun 1988, ia menghadiri Jalsah di Lahore untuk yang kedua kalinya. Kali ini ia berangkat dalam kapasitasnya sebagai Sekjen PB GAI. Dalam kesempatan itu, ia berkenalan dengan Shaukat Ali, koordinator AAIIL wilayah Asia Pasifik, dan Noman Malik, Ketua AAIIL Amerika Serikat. Dan kesempatan itu dipergunakannya untuk menjalin kerjasama multilateral dengan cabang-cabang AAIIL di wilayah Asia dan Amerika.

Usai masa jabatannya sebagai Sekjen PB GAI berakhir di tahun 1990, Mansyur kemudian ditunjuk menjadi Ketua Yayasan Darul Kutubil Islamiyah (DKI), menggantikan Imam Musa Projosiswoyo. DKI adalah amal usaha GAI di bidang percetakan dan penerbitan yang berkantor di Jakarta.

Di Badan Penerbit DKI, ia tidak bekerja sendiri. Selama periode kepemimpinan-nya, ia dibantu oleh kawan-kawan seperjuangannya antara lain Soehartono, Imam Musa, Suyud Ahmad Surayuda, Wahyono Hadi, dan Bambang Dharmaputera.

Selama masa jabatannya itu, DKI semakin produktif menerbitkan buku dan majalah banyak menerbitkan buku terjemah maupun karya asli warga GAI, antara lain:

  1. Qur’an Suci Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia, terjemah dari The Holy Quran English Translation and Commentary karya Maulana Muhammad Ali oleh H.M. Bachroen.
  2. Kitab Hadits Pegangan, terjemah dari A Manual of Hadith karya Maulana Muhammad Ali oleh Kaelan dan Imam Musa Projosiswoyo.
  3. Rahasia Hidup, terjemah dari The Secret of Existence karya Khawaja Kawaludin oleh H.M. Bachroen.
  4. Dajjal, Yajuj wa Ma’juj, terjemah dari judul yang sama karya Maulana Muhammad Ali oleh H.M. Bachroen.
  5. Islamologi, terjemah dari Religion of Islam karya Maulana Muhammad Ali oleh H.M. Bachroen
  6. Gerakan Ahmadiyah, terjemah dari The Ahmadiyya Movement karya Maulana Muhammad Ali oleh R.E. Kusnadi.
  7. Yesus Wafat di Kashmir, terjemah dari Jesus died in Kashmir karya A. Faber Kaiser oleh S.A. Surayuda.
  8. Agama-agama Besar Dunia, terjemah dari The Great Religion of The World karya Ulfat Azizu Samad oleh Imam Musa Projosiswoyo.
  9. Islam dan Ilmu Pengetahuan, karya orisinal Soedewo P.K
  10.  Intisari Qur’an Suci, karya orisinal Soedewo P.K
  11. Safinatu Nuh, terjemah dari judul yang sama karya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad oleh H.M. Bachroen.
  12. Doa & Shalat, terjemah dari The Soul in Salah and Du’a in Islam karya Maulana Kalamazad Mohammed oleh Imam Musa Projosiswoyo.
  13. Manfaat Cobaan & Musibah, terjemah dari Necessity and Benefits of Trials and Tribulations oleh Kalamazad Mohammed oleh Imam Musa Projosiswoyo.

Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Badan Penerbit DKI, Mansyur Basuki diundang untuk menghadiri Jalsah Salanah pada Agustus 1995 di Kota Columbus, Negara Bagian Ohio, Amerika Serikat. Ia diminta untuk berbagi pengalaman keberhasilannya dalam aktivitas penyebarluasan literatur keislaman di Indonesia.

Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan pidato bertajuk “Ahmadiyya Books Inspired Islamic Development in Indonesia” (Buku-Buku Ahmadiyah Yang Menjadi Inspirasi dalam Perkembangan Islam di Indonesia). Naskah pidatonya itu diabadikan di dalam majalah The Light & Islamic Review (Vol. 72 No. 5, Sept – Oct 1995) yang diterbitkan oleh AAIIL Amerika.

Empat tahun berikutnya, tepatnya di tahun 1999, ia bersama istri tercinta, Variny D.S. Mansyur, hadir kembali dalam Jalsah di tempat yang sama. Kali ini, sang istri yang diberi kesempatan menyampaikan pidato bertajuk “Muslimat in Jakarta branch” (Aktivitas Muslimat GAI di Jakarta).

Mansyur Basuki dipercaya mengemban jabatan sebagai ketua DKI selama lebih dari satu dasawarsa. Tetapi karena alasan kesehatannya yang semakin memburuk, ia lantas mengundurkan diri dari jabatannya selaku Ketua Badan Penerbit DKI di tahun 2003. Kepemimpinan DKI kemudian diteruskan oleh Dr. H. Nanang Rahmatullah, yang juga tengah menjabat sebagai Ketua GAI Cabang Jakarta kala itu.

Mansyur Basuki wafat pada 18 Juli 2007 dan dimakamkan di TPU Joglo Jakarta Barat. Ia meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi Gerakan Ahmadiyah Indonesia khususnya dan Umat Islam Indonesia pada umumnya.

Mansyur Basuki bak pemain gelandang dalam permainan sepak bola, piawai mengatur gerak langkah aktivitas dakwah GAI, meski tidak selalu tampil di muka. Berbagai amanat jabatan yang diembannya di GAI, ia tunaikan dengan sebaik-baiknya sehingga menorehkan berbagai capaian keberhasilan.

Jika menurut pepatah, “gajah meninggalkan gading, harimau meninggalkan belang,” maka legasi Mansyur Basuki adalah beragam pustaka atau literatur keislaman yang amat berharga dan, sebagaimana judul pidatonya dalam Jalsah Salanah di Amerika Serikat, “Menjadi Inspirasi Bagi Perkembangan Islam di Indonesia.“[]

Oleh: Basyarat Asgor Ali

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here