ArtikelHari Besar Islam

Makna Hijrah Secara Aktual, Historikal dan Spiritual

desert caravan dune ride

Secara harfiah, kata hijrah bermakna eksodus, berpindah, bermigrasi, berpaling, meninggalkan atau menarik diri. Tetapi secara terminologis, kata hijrah dalam khazanah Islam digunakan setidaknya untuk mengidentifikasi tiga hal sekaligus. Sebut saja dengan istilah historikal, aktual, dan spiritual.

Peristiwa Hijrah Nabi

Identifikasi makna hijrah dalam khazanah Islam yang pertama terkait dengan peristiwa eksodus Nabi Suci dan para Sahabat dari Mekah ke Madinah. Hijrah semacam ini juga pernah dilakukan oleh para Nabi lain sebelum Nabi Muhammad, seperti Nabi Ibrahim (QS 37:99), Nabi Hud (QS 11:69-83), Nabi Musa (QS 20:40; 5:20-21), dan lain-lain.

Dalam sejarah, sebenarnya pada zaman Rasulullah saw. terjadi beberapa kali peristiwa hijrah, dalam arti eksodus atau mengungsi. Pertama, peristiwa hijrah beberapa orang sahabat dari Mekah ke Habsyi pada tahun 614 M. Ada sebelas sahabat yang melakukannya, antara lain Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah, dan Ja’far bin Abi Thalib. Mereka terpaksa hijrah karena selepas masuk Islam, mereka dianiaya dan ditindas, bahkan banyak yang dibunuh secara kejam dan sadis oleh saudara sebangsanya sendiri kaum kafir Quraisy. Dalam riwayat, alasan itu mereka kemukakan di hadapan Raja Najasi.

Kedua, peristiwa hijrah sebanyak 101 orang Sahabat Nabi pada tahun berikutnya (tahun 615 M), menyusul muhajirin sebelumnya ke Habsyi. Mereka mendengar berita bahwa di sana kaum muslimin mendapat perlindungan, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi Suci dalam salah satu riwayat, bahwa Habsyi adalah “sebuah negri yang aman, tak ada penganiayaan di dalamnya, dan negeri yang adil”.

Ketiga, peristiwa hijrah Nabi Suci ke Thaif pada tahun 616. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh peristiwa embargo ekonomi yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap Bani Hasyim, karena dianggap telah memberi perlindungan kepada Nabi Suci. Embargo itu berlangsung selama kurang lebih tiga tahun, dan konon dihentikan semata karena surat embargo yang digantungkan di Ka’bah telah dimakan anai-anai.

Setelah embargo berakhir, Bani Hasyim kembali ke Mekah. Tetapi baru beberapa minggu di Mekah, Nabi Suci kehilangan dua orang pelindung duniawinya, yakni Abu Thalib dan Siti Khadijah, yang wafat dalam waktu berdekatan. Tahun dimana keduanya wafat itu dikenal sebagai ‘Amul-Huzni artinya tahun duka cita bagi Rasulullah saw.

Dengan wafatnya paman dan istrinya, ruang gerak dan laju dakwah Nabi Suci semakin terbatas. Karena itu beliau memutuskan untuk hijrah ke Thaif, yang berjarak 65 KM dari Mekah, ditemani oleh anak angkatnya, Zaid bin Haritsah.

Peristiwa hijrah keempat terjadi pada tahun 622 M, dilakukan oleh para Sahabat dan Nabi Suci dari Mekah ke Madinah secara bergelombang sejak setahun sebelumnya. Nabi Suci sendiri melakukan perjalanan dari Mekah ke Madinah selama kurang lebih 12 hari. Ia berangkat dari Mekah sejak Kamis, 1 Rabiul-Awal 1 H/13 September 622 M, dan tiba di Madinah, tepatnya di Quba pada Senin, 12 Rabiul-Awal 1 H/24 September 622 M.

Peristiwa hijrah inilah yang lebih dikenal dalam khazanah Islam sebagai peristiwa Hijrah Nabi, dan dijadikan patokan penanggalan kalender hijriyah oleh umat Islam.

Peristiwa ini diawali dengan masuk Islamnya 6 orang penduduk Yatsrib di tahun 620 M. Kemudian pada musim haji tahun berikutnya (621 M),  sebanyak 12 orang penduduk Yatsrib berbaiat kepada Nabi Suci sesudah mereka menunaikan haji di Mekah. Peristiwa ini dikenal sebagai Bai’at Aqabah yang pertama, karena pelaksanaan bai’at mereka dilakukan di Bukit Aqabah.

Nabi Suci kemudian meminta Mus’ab bin Umar menyertai mereka pulang ke Yatsrib, dengan tugas tambahan membimbing dan berdakwah di kalangan penduduk Yatsrib. Usaha dakwah Mus’ab membuahkan hasil, terbukti di musim haji tahun berikutnya (tahun 622 M), sebanyak 75 orang penduduk Yatsrib kembali berbai’at di bawah tangan Nabi Suci. Dalam sejarah, peristiwa bai’at ini dikenal sebagai Bai’at Aqabah yang kedua.

Dalam kesempatan itu pula, para mubayi’in mengutarakan kehendak mereka agar Nabi Suci berkenan hijrah ke Yatsrib. Maka sesudah peristiwa itu, para sahabat secara bergelombang dan sembunyi-sembunyi hijrah ke Yatsrib. Hingga awal tahun ke 11 bi’tsah (622 M), di Mekah tak ada lagi umat Islam, kecuali Nabi Suci, Ali Abu Bakar dan beberapa budak belian.

Kaum kafir Quraisy yang menyadari akan hal itu, bersitegap mengadakan sidang di Darun Nadwa. Dalam pertemuan itu, mereka memutuskan agar supaya semua kabilah wajib mengirimkan wakilnya, untuk bersama-sama membunuh Nabi Suci, sebelum ia sempat berhijrah. Dengan adanya perwakilan dari seluruh kabilah yang ada, maka Bani Hasyim tidak bisa menuntut salah satu di antara mereka.

Di malam sesudah pertemuan itu juga, mereka mengepung rumah Nabi Suci. Mereka menunggu Nabi Suci keluar dari rumahnya. Tetapi rupanya rencana mereka telah diketahui Nabi Suci. Karena itu, beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tinggal di rumahnya, dan menempati kamar tidurnya.

Sementara itu, Nabi Suci sendiri sudah meninggalkan rumah sejak sebelumnya, ditemani oleh Abu Bakar. Malam itu, Nabi Suci bersembunyi di Gua Tsur, yang terletak di perbukitan Hijaz, sekitar tiga mil arah timur laut kota Mekah. Mereka bersembunyi di dalam gua itu selama 3 hari 3 malam.

Di hari kedua atau ketiga, para pemburu dari Quraisy sempat mendekati dan melewati mulut gua. Kala itu, Abu Bakar tampak begitu ketakutan kala mendengar langkah mereka. Ia gemetar tatkala kaki-kaki dan banyak ujung pedang terlihat di celah-celah mulut gua. Tetapi dalam keadaan genting itu, Nabi Suci menenangkan hati Abu Bakar dan berbisik kepadanya, “Jangan takut dan jangan khawatir! Sesungguhnya Allah beserta kita!” (lihat QS 9:40).

Di malam keempat keduanya keluar dari gua, dan meneruskan perjalanan ke Madinah, dipandu oleh seorang guide atau penunjuk jalan bernama Abdulah bin Uraiqit, dan ditemani pula oleh seorang budak belian Abu Bakar bernama Amir bin Fuhairah.

Setelah 4 hari melakukan pencarian dan pemburuan, kaum kafir Quraisy seolah berputus asa. Mereka lantas membuat sayembara, akan memberikan hadiah 100 onta bagi barangsiapa yang dapat memburu dan menangkap Nabi Suci, baik dalam keadaan hidup atau pun mati.

Suraqah bin Malik, seorang pemimpin dari salah satu suku Badui yang piawai melacak jejak, tergiur dengan hadiah itu. Ia lantas memacu kudanya memburu jejak Nabi Suci. Ia mendengar kabar dari salah satu orang Bani Mudlaj, yang melihat rombongan Nabi Suci melintas di wilayah mereka. Hingga akhirnya, ia menemukan jalur perjalanan yang dilalui Nabi Suci dan berhasil menyusulnya.

Tetapi, sesaat sebelum Suraqah mencapai rombongan Nabi Suci, tiba-tiba kudanya terperosok, dan ia pun terpelanting jatuh. Ia lantas bergegas bangun dan kembali memacu kudanya, tetapi jatuh terpelanting lagi. Lalu ia mencoba memacu kudanya untuk yang ketiga kali, tetapi kudanya terperosok dan membuatnya jatuh terpelanting lagi.

Setelah tiga kali gagal mendekati rombongan Nabi Suci, Suraqah pun berfikir bahwa orang yang dikejarnya bukanlah orang sembarangan, dan pasti dilindungi oleh Allah. Karena itu ia berseru-seru memanggil Nabi Suci dan memohon maaf kepadanya. Nabi Suci pun memaafkannya, dan memintanya untuk merahasiakan keberadaan Nabi Suci dan rombongan.

Makna Hijrah Secara Aktual

Secara aktual, kata hijrah diidentikkan dengan kalender Arab pra Islam, atau lebih dikenal dengan Kalender Hijriyah. Secara historis, kalender ini dilembagakan sejak tahun 637 M oleh Khalifah Umar bin Khathab, Khalifah kedua pasca wafatnya Rasulullah saw. Artinya, kalender ini baru diberlakukan sekitar 17 tahun setelah peristiwa Hijrah Nabi itu sendiri.

Perhitungan kalender hijriyah didasarkan atas orbit bulan keliling bumi dan orbit bumi keliling matahari. Orbit bumi keliling matahari dinamakan sanah atau tahun, sedangkan orbit bulan keliling bumi disebut syahr atau bulan.

Kalender Hijriyah dihitung berdasarkan pergerakan bulan (fase bulan), atau berpedoman pada revolusi bulan terhadap bumi (lunar month atau qamariyah). Satu putaran kalender hijriyah sama dengan 12 putaran revolusi bulan terhadap bumi.

Sehingga, satu tahun dalam kalender hijriyah terdiri dari dua belas bulan (lihat QS 9:36). Sehingga, jumlah bulan dalam kalender hijriyah sama dengan kalender masehi. Hanya bedanya, revolusi bulan berlangsung selama 29 hari 12 jam 44 menit 9 detik. Sehingga 1 tahun dalam kalender hijriiyah kurang lebih sebanyak 354 hari, atau lebih singkat 10 hari daripada kalender Masehi.

Dua belas bulan di dalam kalender hijriyah disebut bulan Qamariyah, yaitu : Muharram, Shafar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzul-Qa’dah dan Dzul-Hijjah.

Dalam Quran Surat Al-Bara’ah (9) ayat 36, disebutkan ada empat bulan yang disucikan, yaitu Bulan Muharram, Ramadhan, Dzul-Qadah dan Dzul-Hijjah. Di empat bulan suci itu, setiap muslim dilarang untuk berperang, kecuali karena diserang. Dan di dalam salah satu bulan yang suci itu, yakni bulan Dzulhijjah, kaum Muslimin melaksanakan ibadah Haji (QS 2:217).

Hijrah Secara Spiritual

Identifikasi kata hijrah dalam khazanah Islam yang ketiga bisa ditinjau dari makna  spiritualnya. Secara spiritual atau religius, kata hijrah diidentikkan dengan perjalanan spiritual seseorang menuju era baru yang lebih baik. Oleh sebab itu, Quran Suci menyatakan bahwa orang yang mendambakan rahmat Allah itu disebut orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah (QS 2:218).

Implementasi hijrah dalam konteks religius atau spiritual tidak harus berarti berpindah dari satu tempat tertentu ke tempat lain yang lebih baik demi keselamatan jiwa dan agama (lihat QS 3:195; 4:100; 9:20; 16:41, dll.). Tetapi bisa berarti berpindah iman atau keyakinan, dari musyrik atau kafir (ingkar) menjadi mukmin (percaya).

Atau bisa juga berarti berpindah orientasi keagamaannya, dari ananiyah (egois/individualistik) ke ijtima’iyah (altruis/sosialistik). Atau dalam konteks fiqih, bisa berarti berpindah dari yang bersifat “Sunnah Azab” (tradisi yang buruk) ke Sunnah Allah atau Sunnah Rasul (tradisi yang baik). Dan dalam konteks religiusitas, berarti beralih dari dinuth-thaghut (agama thaghut) ke dinullah (agama Allah).

Menurut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (HMGA), hijrah adalah tahapan penting dalam perjalanan seseorang menuju kepada kesempurnaan dirinya. Dalam buku bertajuk Falsafah Islamiyah, HMGA menjelaskan tiga tahapan hijrah manusia secara ruhani (kejiwaan), dari tahapan atau kondisi nafsu ammarah, kemudian menapaki tahapan nafsu lawwamah, dan berakhir di tingkat tertinggi yakni nafsu muthmainnah.

Tahapan nafsu ammarah atau derajat ruhani manusia yang berbasis pada kesadaran naluriah (lihat QS 12:23), meniscayakan segala tingkah laku dan perbuatan manusia bersumber pada kepentingan jasmani semata. Di mana jiwa manusia tak beda halnya dengan binatang, yang hidup hanya serba mementingkan urusan fisik (makan-minum, tidur-bangun, melampiaskan syahwat). Dalam kondisi ini, manusia cenderung kepada kejahatan dan kemaksiatan, yang bertentangan jauh dengan kemuliaan adab, apalagi kesempurnaan akhlak.

Melalui ajaran adab atau akhlak, manusia dapat hijrah menapaki tahapan atau kondisi kejiwaan yang lebih tinggi, yang disebut nafsu lawwamah (QS 75:2). Dalam tahapan ini, manusia seringkali menyesali diri jika ia terlanjur berbuat jahat dan aniaya, baik terhadap dirinya maupun orang lain. Ia berniat dan bertekad untuk berbuat baik dan terus berbuat baik. Ia telah berakhlak, karena apa yang diperbuat sudah sesuai dengan pertimbangan akal, serta situasi dan kondisinya, bukan semata-mata didorong oleh naluri atau pembawaan alamiahnya belaka.

Dalam kondisi ini, ia mengenali dan menghayati berbagai macam bentuk adab dan akhlak, seperti berbuat baik (ihshan), dapat dipercaya (amanah), rendah hati (hudnah), sopan santun (rifqun), bertutur kata yang baik (qaulu hasan) , dan lain-lain. Ia juga dapat mendorong orang lain berbuat kebaikan, misalnya memberi maaf, menanamkan keberanian, ketulusan, kesabaran, kesetiakawanan, dan lain-lain.

Dari derajat ini, seseorang bisa berhijrah ke derajat yang lebih tinggi lagi, yakni tahapan atau kondisi rohani yang disebut Nafsu Muthmainnah (QS 89:27-30). Akhlaknya merupakan pengejawantahan sifat-sifat Allah, karena kehendak dirinya telah manunggaal (menjadi satu) dengan Kehendak Allah.

Dalam kondisi ini, seorang manusia seolah seperti telah bertemu Allah (liqaullah), dan selalu bersama dengan Allah (dawam). Kehidupannya adalah kehidupan sorgawi, yang didambakan setiap manusia, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.[]

— Disunting dan ditulis ulang dari naskah buku “Ensiklopedi Ahmadiyah” karya K.H. Simon Ali Yasir 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »