Warta Keluarga

Dialog Pluralisme dengan Parlemen Uni-Eropa

Pada tanggal 26 Agustus 2013, GAI mendapat kunjungan dari Europe Parliamentary Dialogue on Pluralism and Diversity in Indonesia (Forum Parlemen Uni-Eropa dalam Bidang Dialog Pluralisme dan Kebinekaan), yang tergabung dalam forum Indonesia Interfaith Scholarship (IIS). Silaturahmi tersebut diprakarsai atas kerjasama FKUB Kemenag RI, KBRI Belgia, dan Keharyapatihan Luxembourg dan Uni Eropa. Para tamu diterima oleh PB GAI di ruang aula Yayasan PIRI, Baciro, Yogyakarta.

Meski yang dituju oleh Forum Parlemen itu adalah GAI, tetapi panitia dari pihak Indonesia berinisiatif mengundang juga JAI cabang Yogyakarta untuk ikut hadir dalam forum tersebut.

Dalam pengantarnya, Mrs. Joanna (Inggris), selaku koordinator peserta, menyampaikan apresiasinya, karena secara umum Indonesia berhasil mengatur keragaman secara harmonis. Meskipun, hal itu tercederai oleh berbagai kasus konflik yang terjadi belakangan ini. Kehadiran mereka di Indonesia, menurut beliau, adalah untuk mendengar secara langsung suara-suara kelompok minoritas dari berbagai wilayah di Indonesia, kaitannya dengan berbagai kasus keagamaan yang terjadi akhir-akhir ini.

Sambutan PB GAI disampaikan oleh Bapak Muslich Zainal Asikin. Dalam kesempatan tersebut, beliau menyatakan bahwa peristiwa konflik terkait minoritas, seperti yang menimpa JAI, syiah, dll, tidak bisa dianggap mewakili/signifikan sebagai wajah hubungan antar umat beragama di indonesia. Indonesia tak bisa dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura oleh karena luasan wilayah geografis dan keanekaragamannya yang luar biasa.

Hubungan mayoritas-minoritas di Indonesia tidak lebih buruk dari negara-negara maju. Apalagi, di indonesia spirit pluralitas itu telah diwariskan dari sejarahnya sendiri. Beberapa peristiwa memang tampak besar, tapi itu karena pengaruh euforia media massa saja. Selain itu, beliau menegaskan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia bukan dalam konteks relasi mayoritas-minoritas, sebab pada kenyataannya dalam konteks konflik antar maupun inter umat beragama, yang terjadi adalah konflik horisontal antara minoritas vis a vis minoritas. Faktor konflik, menurut beliau, sejatinya juga bukan soal paham keagamaan, tapi lebih karena soal ekonomi, politik, sosiologis, dll.

Dalam kaitannya dengan GAI, beliau menegaskan, bahwa sejak berdiri tahun 1928, GAI tidak pernah memiliki sejarah konflik dengan pihak mana pun. Hal ini dikarenakan warga GAI tersebar dan membaur dengan masyarakat pada umumnya, termasuk dalam aktivitas ritual keagamaan. Karena itulah pula, meski jumlah warganya sedikit, tetapi GAI tidak pernah merasa menjadi minoritas di tengah-tengah masyarakat.

Pada giliran berikutnya, pihak Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang diwakili oleh Bapak Munawar Ahmad, menyampaikan presentasi mengenai perkembangan JAI. Menurutnya, ketidaksenangan kaum muslim terhadap JAI yang direpresentasikan oleh berbagai kasus yang menimpa mereka, antara lain disebabkan oleh progresivitas perkembangan jumlah anggota JAI di berbagai daerah di wilayah Indonesia.

Dalam sesi dialog, Ibu Ida Rochani, menyampaikan bahwa orientasi GAI bukan pada rekrutmen massa atau banyaknya jumlah anggota, melainkan pada persebaran ide dan paham keagamaan di masyarakat. Demikian halnya juga, GAI tidak pernah berpretensi untuk mengembangkan kantong-kantong komunitas yang bersifat eksklusif dan terasing dari masyarakat lainnya. Ini yang membedakan GAI dengan JAI. Meski demikian, beliau menyampaikan keprihatinannya atas apa yang menimpa JAI.[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »