Diskursus

Kontekstualisasi Doktrin Ahmadiyah

Jika Ahmadiyah meyakini hadits bahwa dalam setiap 100 tahun akan muncul seorang pembaharu, maka saatnya ulama-ulama Ahmadiyah berhimpun untuk segera menyepakati; mana doktrin yang diperlukan dan mana doktrin yang sudah tak seharusnya dipertahankan.

Oleh: Abdul Moqsith Ghazali | Sumber: www.islamlib.com

Ahmadiyah adalah salah satu sekte baru dalam Islam. Ia datang tak bersamaan dengan kemunculan sekte-sekte Islam lama seperti Khawarij, Muji’ah, Syiah, Mu’tazilah, dan Ahlus Sunnah. Kehadirannya lebih awal beberapa tahun dari Sarekat Dagang Islam, Muhammadiyah, dan Nahdhatul Ulama, di nusantara.

Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad, di anak benua India pada akhir abad ke-19. Mirza diperkirakan lahir pada tanggal 13 Pebruari 1835 M. /14 Syawal 1250 H, di Qadian India. Sebagian orang menduga bahwa nama “Ahmadiyah” merupakan nisbat dari kata “Ahmad” yang berada di ujung nama Mirza Ghulam Ahmad. Sementara yang lain berpendapat bahwa “Ahmadiyah” merupakan bentuk modifikasi dari nama lain Muhammad SAW, yaitu Ahmad.

Lepas dari itu, jauh sebelum mendirikan Ahmadiyah, Mirza kecil tumbuh seperti umumnya anak-anak dari keluarga Islam lain. Pada usia 7 tahun, Mirza sudah belajar agama kepada seorang guru bernama Fazhl Ilahi yang bermazhab Hanafi. Ia pun belajar tata bahasa Arab, ilmu hadits, dan al-Qur’an.

Seiring bertambahnya usia dan untuk meningkatkan derajat spiritualnya, tahun 1886 Mirza menempuh jalan ruhani dengan berkhalwat selama 40 hari. Selang beberapa waktu, persisnya tanggal 23 Maret 1889 bertepatan dengan 20 Rajab 1306 H, Mirza mengaku mendapatkan wahyu dan segera setelah itu mendeklarasikan diri sebagai mujaddid (pembaharu Islam). Tanggal 23 Maret 1889 ini disepakati oleh jemaat Ahmadiyah sebagai tanggal berdirinya “Ahmadiyah”.

Tak cukup sebagai seorang pembaharu, satu tahun kemudian, persisnya tahun 1890, Mirza mengaku sebagai al-Masih yang dijanjikan akan turun di akhir zaman. Menurutnya, Imam Mahdi atau al-Masih yang diujarkan sejumlah hadits akan turun itu bukan al-Masih al-Isra’ili (Yesus Kristus), melainkan al-Masih al-Muhammadi yang ditugaskan untuk melanjutkan dan menegakkan syari’at Nabi Muhammad. Al-Masih al-Muhammadi yang dimaksud adalah diri Mirza Ghulam Ahmad sendiri.

Pada tahun 1901, Mirza mengukuhkan kembali perihal posisinya sebagai Nabi Zhilli (nabi bayangan) yang bertugas menjalankan risalah Nabi Muhammad. Agar tak hanya menjadi kesadaran spiritual yang individual, Mirza merancang sebuah gerakan untuk mengkampanyekan misinya. Untuk tujuan itu, ia menggelorakan semangat pengorbanan harta terutama untuk membeayai penyebaran (tafsir) Islamnya.

Ahmadiyah belum bergerak jauh dengan merambah negeri-negeri lain. Sementara Mirza sudah merasa bahwa dirinya tak akan lama lagi akan meninggal dunia. Tahun 1908, Mirza menulis risalah berjudul “al-Washiyyat” yang menyatakan bahwa masa kepergian beliau ke alam baqa sudah dekat. Dan dia menegaskan agar para pengikutnya tunduk dan patuh kepada pimpinan atau khalifah yang akan menggantikan dirinya.

Mirza meninggal dunia pada tanggal 26 Mei 1908 di Lahore, tapi dikuburkan di Qadian. Ia wafat dengan meninggalkan 80 buah karya intelektual, kelak menjadi rujukan pengikut Ahmadiyah.

Sepeninggal Mirza, kepemimpinan Ahmadiyah jatuh pada Hakim Nuruddin. Ia berhenti menjadi khalifah, karena ajal datang menjemput, tanggal 13 Maret 1914. Sepeninggal Hakim, terjadi pertentangan tentang siapa yang berhak menjadi khalifah-pengganti. Saat itu ada dua calon yang diajukan, yaitu Mirza Basharuddin Mahmud Ahmad dan Maulvi Muhammad Ali. Yang terpilih adalah Basharuddin.

Dengan kemenangan Basharuddin, pengikut Muhammad Ali menyatakan menarik diri dari Ahmadiyah pimpinan Basharuddin. Mereka mendirikan organisasi lain dengan nama Anjuman Ishaat Islam yang berpusat di Lahore. Kelompok ini kemudian dikenal dengan Ahmadiyah Lahore. Sementara pengikut Ahmadiyah pimpinan Bashiruddin disebut Ahmadiyah Qadian.

Berbeda dengan Ahmadiyah Lahore yang tak berkembang pesat, maka Ahmadiyah Qadian telah tersebar ke berbagai negara. Dalam masa kepemimpinan Mirza Masroor Ahmad (khalifah ke 5), Jemaat Ahmadiyah telah merambah ke 185 negara di dunia. Jemaat Ahmadiyah telah menyebarkan dakwah Islam di daratan Eropa, Australia, dan Amerika dengan mendirikan mesjid dan pusat-pusat dakwah di tiga benua tersebut. Bahkan, ia terus merangsek masuk ke sejumlah Negara di Asia seperti Jepang, China, Korea. Bahkan, Ahmadiyah masuk ke nusantara jauh sebelum negara bangsa Indonesia berdiri.

Alkisah, Muballig Ahmadiyah bernama Maulana Rahmat Ali yang membawa Ahmadiyah ke wilayah nusantara melalui kota Tapaktuan Aceh pada tanggal 2 Oktober 1925. Dari Tapaktuan, Jemaat Ahmadiyah berkembang ke wilayah Sumatera Barat dan pada tahun 1931 masuk ke Batavia (sekarang Jakarta). Pada tahun 1932, Jemaat Ahmadiyah berkembang di Batavia dan Bogor. Lalu masuk ke daerah-daerah sekitar seperti Tangerang, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Karawang, dan lain-lain.

Dengan makin membesarnya Ahmadiyah, maka pada tahun 1935 Jemaat Ahmadiyah Indonesia membentuk Pengurus Besar. Dan pada tanggal 12-13 Juni 1937, diselenggarakan kongres pertama di Masjid Hidajath Jln. Balikpapan I/10 Jakarta dengan dihadiri pengurus wilayah. Saat itu disepakati berdirinya AADI (Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia) hingga kemudian diubah menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai hasil dari kongres tanggal 9-11 Desember 1949. Dari situlah, JAI terus berkembang sebagai organisasi sosial keagamaan yang diakui Negara.

Bagaimana Ahmadiyah Bertafsir?

Ahmadiyah memiliki cara pandang dan tafsir yang berbeda dengan kebanyakan umat Islam. Sejumlah ayat dalam al-Qur’an ditafsirkan secara “tak lazim”. Ada dua yang paling kontroversial. Pertama, adalah pandangannya tentang adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Mereka mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah khatam al-anbiya’ yang membawa syariat. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi hadirnya seorang nabi yang berfungsi melanjutkan dan menegakkan syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad.

Bagi Ahmadiyah, kata “khatam” dalam ayat “khatam al-nabiyyin” berarti bahwa Nabi Muhammad adalah stempel nabi-nabi. Nabi Muhammad adalah nabi yang mencapai puncak ruhaniyah yang tak akan pernah dimiliki atau dicapai oleh nabi lain. Dengan demikian, Nabi Muhammad bukanlah penutup fisik-jasmani kenabian sehingga kehadiran seorang nabi tak boleh terjadi, melainkan penutup seluruh pencapaian puncak spiritual yang tak mungkin digapai oleh yang lain. Artinya, masih dimungkinkan adanya nabi setelah Nabi Muhammad, dengan kualitas ruhani yang lebih rendah dari Nabi Muhammad dan yang berfungsi untuk melanjutkan syariat Nabi Muhammad.

Tafsir yang dikemukakan Ahmadiyah ini jelas berbeda dengan pandangan para ulama Ahlus Sunnah yang berpendirian bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir yang menutup segala jenis kenabian. Bahwa tak ada nabi setelah Nabi Muhammad yang juga menerima wahyu. Bagi Ahlus Sunnah, aliran wahyu sudah terhenti bersamaan dengan berhentinya kenabian.

Atas dasar itu, sejumlah ulama sunni menyesatkan Ahmadiyah. Bahkan tak sedikit orang berpendapat bahwa darah jemaat Ahmadiyah boleh ditumpahkan. Maka tindak kekerasan dan pembasmian terhadap jemaat Ahmadiyah menjadi tak terhindarkan.

Kedua, Ahmadiyah mempunyai perbedaan tafsir dengan umat kristiani tentang sosok Yesus Kristus. Misalnya, menurut Ahmadiyah, Yesus meninggal dalam usia 120 tahun, di Kashmir, India. Pandangannya ini konon didasarkan kepada Hadits riwayat Thabrani, “Rasulullah berkata kepada Fathimah: Jibril mengabarkan kepadaku bahwa Nabi Isa hidup 120 tahun lamanya” [qala Rasulullah li Fathimah: akhbarani Jibrilu an Isa ibn Maryam ‘asya ‘isyrina wa mi’atan sanatan]. Dan Yesus pun tak naik ke langit, sebagaimana pandangan umum umat Islam dan umat kristiani.

Bagi Ahmadiyah, sekiranya Yesus naik ke langit, itu berarti Allah mempunyai tempat, yaitu langit. Jelas, mustahil bagi Allah untuk mempunyai tempat, karena Allah tak berupa jasad. Ahmadiyah tak menafsirkan kalimat “rafa’ahu Allah” dalam al-Qur’an sebagai diangkatnya Yesus secara jasmaniah ke atas langit, melainkan diangkatnya derajat Yesus secara ruhaniah. Fisik-jasmani Yesus terbaring di Kashmir, sementara ruh-spiritualnya berada dekat di sisi Allah.

Tentang tafsirnya ini, kebanyakan para ulama cenderung tak mempersoalkannya. Namun, pandangan Ahmadiyah ini potensial mengguncangkan bangunan teologi dan doktrin kalangan kristiani.

Jalan Kontekstualisasi

Saya kira ada banyak pandangan-pandangan fikih-tafsir Islam Ahmadiyah yang berbeda dengan pandangan umat Islam lain. Namun, sekali lagi, hanya satu yang menjadi keberatan utama umat Islam lain, yaitu tentang adanya seorang nabi setelah Nabi Muhammad.

Tak hanya keberatan verbal. Lebih dari itu, sebagian umat Islam berusaha untuk membubarkan organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Sebagian yang lain ingin memposisikan Ahmadiyah sebagai agama lain, non-Islam. Yang lain terus menuntut pembasmian orang-orang Ahmadi sampai ke akar-akarnya. Semua tawaran penyelesaian itu hanya akan menimbulkan masalah baru.

Lalu, dalam konteks internal umat Islam Indonesia yang terus menegang, bagaimana solusi terbaiknya?

Pertama, sebagian orang mengusulkan agar Ahmadiyah mengalah dengan menggunakan kata lain selain kata nabi untuk menyebut sang junjungan Mirza Ghulam Ahmad. Bukankah yang ditolak oleh umat Islam lain adalah penggunaan kata “nabi” kepada siapapun setelah Nabi Muhammad.

Karena kata “nabi” itu adalah bahasa Arab, apakah jemaat Ahmadiyah di Indonesia misalnya berkenan untuk menggunakan nama Indonesia atau nama-nama daerah sesuai dengan tempat tinggal jemaat Ahmadiyah tersebut. Misalnya, “kanjeng khalifah”, “pangeran”, “tuan guru, “kiai”, dan lain-lain.

Kedua, setelah yang pertama, segera lakukan pembaharuan terhadap tafsir-tafsir keislaman Ahmadiyah yang konon telah lama mengalami stagnasi. Dalam kaitan itu, dibutuhkan seorang pemikir-pembaharu dalam tubuh Ahmadiyah yang bertugas mengkontekstualisasikan pandangan-pandangan lama atau meremajakan tafsir-tafsir tua yang mungkin sudah aus.

Dalam konteks Indonesia, NU bisa menjadi pelajaran. Setelah berpuluh tahun NU berada dalam kubangan konservatisme, maka muncullah kelompok pembaharu seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dengan peran Gus Dur dan tokoh-tokoh lain, NU mengalami dinamisasi pemikiran keislaman yang signifikan.

Jika Ahmadiyah meyakini hadits bahwa dalam setiap 100 tahun akan muncul seorang pembaharu, maka saatnya ulama-ulama Ahmadiyah berhimpun untuk segera menyepakati; mana doktrin yang diperlukan dan mana doktrin yang sudah tak seharusnya dipertahankan.

Ketiga, jemaat Ahmadiyah perlu melakukan diversifikasi rujukan kitab. Tak melulu merujuk pada kitab-kitab karya Mirza Ghulam Ahmad, Ahmadiyah kiranya perlu melebarkannya pada kitab-kitab lain. Membaca buku-buku seperti ushul fikih al-Syafii, al-Syathibi dll, juga buku-buku filsafat Ibn Sina, dll. menyebabkan Ahmadiyah tak berada dalam benteng yang tertutup.

Pada waktu yang bersamaan, buku-buku Ahmadiyah pun harus siap dimasuki oleh kelompok umat Islam lain. Tak boleh ada buku tertutup yang hanya boleh diakses oleh Jemaat Ahmadiyah sendiri. []

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »