Tokoh

Koestirin Djojosoegito: Perjuangan dan Buah Fikirannya

Koestirin lahir pada 19 Juni 1907 di Purwokerto. Putri tunggal R. Ng. Kromodihardjo ini menamatkan pendidikannya di Normaalschool Yogyakarta tahun 1921. Masa mudanya diwakafkan untuk mengabdi di dunia pendidikan, dengan menjadi guru di Kebumen, Pati dan Purwokerto.

Koestirin mengenal Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dari pengajian yang ia rutin ikuti di kediaman R. Ng. H. Minhadjoerrahman Djojoseogito di Kweekschoolan Purwokerto. Selain Koestirin, terdapat juga murid-murid lain yang istiqomah mengikuti pengajian yang diasuh langsung oleh Djojosoegito itu, antara lain Hasanasngad, Hasanudji, Kastadja, Hardjo Soebroto dan Abdul Rokhim.

Ketika Djojosoegito mendirikan GAI di tahun 1928, para murid pengajian itu pun berbai’at dan menjadi anggota generasi pertama GAI di Purwokerto. Koestirin sendiri menyatakan bai’at menjadi pengikut setia GAI pada tahun 1929.

Sayang sekali, di tahun 1929, Djojosoegito dipindah tugaskan ke Malang sebagai taalonderwijzer (guru bahasa). Untuk beberapa waktu kelompok pengajian itu non aktif. Tetapi, kevakuman itu segera berakhir dengan kepindahan Mirza Wali Ahmad Baig, seorang mubaligh AAIIL, dari Yogyakarta ke Purwokerto.

Ahmad Baig menjadi pengganti Djojosegito mengasuh kelompok pengajian itu, dan menetap di rumah Hasanudji di Purwokerto Lor. Dari Ahmad Baig, mereka belajar berbagai kitab dalam bahasa Inggris, antara lain The Holy Qur’an, Muhammad the Prophet, dan The Eearly Caliphate. Mereka juga mendapat pelajaran Bahasa Arab dari Muhammad Irshad. Koestirin sendiri terpaksa meninggalkan kelompok pengajian itu karena mendapat tugas mengajar di Leerschool Meisjes Normaalschool Salatiga (sekolah khusus putri).

Akhir November 1936, Koestirin mendapat mimpi. Dalam mimpinya, ia berlari kesana kemari memanggul senjata di sebuah tanah datar yang dikelilingi bukit-bukit, di antara kerumunan orang. Di tengah kerumunan itu, ia melihat Rasulullah saw., dan dia serta banyak orang seolah sedang menjadi perisai pelindung Nabi.

Awal Desember 1936, Koestirin mendapat surat berisi lamaran dari Djojoseogito yang berada di Malang. Djojosoegito saat itu sudah menjadi duda, setelah istri pertamanya, Soemaryati, wafat pada 23 Oktober 1936. Dalam suratnya, selain meminta kesediaan Koestirin membantu urusan rumah tangga, Djojosoegito juga meminta beliau untuk membantu perjuangan gerakan. Kala itu, ia tengah sibuk menerjemahkan Qur’an Suci ke dalam bahasa Jawa.

Koestirin tidak langsung menjawab lamaran itu. Pada pertengahan Desember, ia pulang ke Purwokerto dan menunjukkan surat itu kepada kedua orang tuanya, dan juga kepada Ketua GAI Purwokerto. Setelah mendapat restu dari mereka, barulah Koestirin menerima lamaran Djojoseogito. Akhirnya, pada 23 Desember 1936, Koestirin menikah dan mengikuti Djojosoegito ke Malang.

Selain sibuk menjadi ibu rumah tangga, Koestirin juga mengajar di Van Deventerschool Malang, dan menemani Djojosoegito berdakwah ke berbagai daerah di Malang. Koestirin sendiri aktif memimpin pengajian di berbagai tempat di Malang, antara lain di rumah Ibu Tjitrowardoyo, Talun Lor, di rumah Pak Piyah, Ngebrug, dan di rumah ibu Sukarjo Wiryopranoto, Singosari.

Dakwah keduanya membuahkan hasil. Banyak murid pengajian mereka yang berbaiat menjadi warga GAI. Bahkan ada seorang bernama Muhammad Zen, yang semula benci kepada agama, berkat intensitas pergaulannya dengan keluarga Djojoseogito, akhirnya menjadi anggota GAI yang tulus dan aktif.

Tahun 1939, Djojoseogito dipindahtugaskan ke Yogyakarta. Koestirin mengikutinya dengan setia. Di Yogyakarta, Djojoseogito kesulitan mengembangkan dakwah GAI. Tetapi rupaya ia berkesempatan untuk berdakwah di tempat lain, yakni di Solo dan Magelang. Di Solo, pengajian GAI dipimpin oleh Kyai Mufti Sharif, berpusat di rumah R. Ng. M. Koesban Prodjosiswojo di Penularan. Sementara di Magelang, pengajian GAI dipelopori oleh Kyai Ma’ruf di daerah Boton dan Mertoyudan. Djojoseogito dan Koestirin sering sekali diundang untuk mengisi pengajian di kedua wilayah ini.

Koestirin kemudian mendapat kepercayaan mengajar agama sepekan sekali di Mulo Magelang. Di sini, ia memperoleh murid yang setia bernama Soenarto, dan menjadi anggota GAI yang aktif. Beliau juga diminta mengajar agama di SGP Jalan Jati, SGKP dan SKP Lempuyangwangi, meskipun tanpa honor.

Dalam Muktamar Mei 1947 di Purwokerto, GAI antara lain memutuskan untuk melebarkan sayap dakwah di bidang pendidikan, dengan mendirikan perguruan atau sekolah. Atas dasar itu, Djojosoegito dan Koestirin, bersama Alimurni Partokusumo, Supratolo, Surono Tjitrosantjoko dan beberapa orang lainnya, kemudian mendirikan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI). PIRI resmi berdiri pada 1 September 1947.

Koestirin wafat pada 30 September 1986 di Bandung. Pada saat beliau wafat, PIRI sedang dalam keadaan jaya. Terdapat empat kampus di Yogyakarta dengan 14 sekolah, dua cabang di Purwokerto dan Lampung mengasuh 5 sekolah, dengan jumlah siswa 7014 anak di bawah asuhan 579 guru dan karyawan.[]

  • Penulis : S. Ali Yasir
  • Sumber: Media Komunikasi Warga GAI Th. ….
Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here