Artikel

Khilafah Islamiyah Dalam Perspektif Gerakan Ahmadiyah

Kata khalîfah berasal dari akar kata khalafa, yakhlifu, yakhlufu, khalfan/khilâfatan artinya mengganti atau meneruskan. Secara linguistik kata ini mengandung arti “orang yang menggantikan kedudukan orang lain, orang yang menggantikan orang sebelumnya, atau orang yang memerintah.” Sebagai gelar, kata ini identik dengan kata imâm (pemimpin atau pemuka) atau amîr (penguasa atau komandan). Institusi atau lembaga pemerintahannya disebut khilâfah atau imâmah atau imârah.

Kata khalifah digunakan untuk tiga macam kriteria, yaitu:

  1. khalifah duniawi, yang biasa disebut malik (raja), seperti Thalut dari bangsa Israel (2:247-248).
  2. khalifah rohani, tanpa kekuasaan duniawi. Sebelum Nabi Suci, para khalifah rohani ini disebut nabi atau rasul, baik yang disebut dalam Qur’an Suci, seperti Zakaria, Yahya, Isa Almasih, dan lain-lain, maupun yang tak disebut dalam Quran Suci seperti Siddharta Gotama, Yesaya, Yermia, Daniel, dan lain-lain. Sesudah Nabi Suci, para khalifah rohani ini disebut mujaddid (reformer), imam, imam jama’ah atau imam zaman. Contohnya Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Mirza Ghulam Ahmad, dan lain-lain;
  3. khalifah duniawi-rohani. Khalifah jenis ini sebelum Nabi Suci Muhammad saw. adalah para nabi atau rasul, baik yang disebut dalam Qur’an Suci (Adam, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, dll) maupun yang tak disebutkan (Sri Rama, Sri Krishna dan Konghucu, dll). Sesudah Nabi Suci, para khalifah ini disebut Mujaddid, yang juga memiliki kekuasaan duniawi, antara lain Umar bin Abdul-Aziz, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Sayid Ahmad Barelvi.

 

Khalifah fil ardl

Quran Suci menyatakan kepada malaikat, bahwa Allah akan menjadikan seorang khalifah di bumi (2:30). Hal ini tak berarti bahwa kekhilafahan Allah hanya dilimpahkan kepada Adam, sang nabiyullah pertama, saja, melainkan pula dilimpahkan kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini. Ini bukan karena alasan bahwa umat manusia seluruhnya adalah keturunan Adam (alias Nabi Adam a.s. yang hidup sekitar 6.000 tahun yang lalu), melainkan karena kisah adam (dari bahasa Ibrahi artinya manusia) dalam ayat 2:30-39 itu adalah kisah simbolik berkenaan dengan manusia seluruhnya.

Segenap manusia disebut Bani Adam, artinya golongan manusia, karena alasan berikut ini:

  1. manusia diciptakan dari tanah, turab (22:5) seperti halnya Adam (3:60);
  2. manusia dijadikan khalifah (6:165; 7:129) seperti halnya Adam (2:30);
  3. Allah mengajar manusia (96:4-5) sebagaimana Allah mengajar Adam (2:31);
  4. malaikat juga bersujud kepada manusia (15:29-30) seperti halnya kepada Adam (2:34);
  5. manusia dikarunia ruh setelah embrio sempurna dalam rahim (32:9), sebagaimana Adam dikaruniai pula ruh (15:28-29; 38:71-72). Berkat ruh Ilahi inilah manusia mampu membedakan baik dan buruk, tahu akan kewajiban asasi (KAM) dan hak asasinya (HAM), mempunyai rasa malu dan mempunyai rasa tanggungjawab akan perbuatannya.
  6. manusia dikaruniai pula firman Allah (42:51) seperti halnya Adam (2:37), berkat firman itu Adam bertobat dan tobatnya diterima oleh Allah. Tanpa firman untuk memperoleh ijabatud-du’a lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum (7:40) karena manusia akan tetap menjadi budak hawa nafsu yang selalu dikompori oleh setan yang terkutuk, yang akibatnya manusia menjadi ciptaan yang paling hina (95:5).

Dengan demikian derajat manusia lebih mulia daripada malaikat, karena Allah SWT berkenan “mengajarkan kepada adam nama segala sesuatu” yang hal ini tak dilakukan terhadap malaikat (2:31), maka dari itu malaikat tak mengetahui nama segala sesuatu (2:32). Nama-nama segala sesuatu itu menurut para ulama tafsir Ahmadiyah adalah “nama dan sifat-sifat benda di alam semesta ini” oleh karena itu manusia dapat mengetahui sifat-sifat, khasiat-khasiat atau kekuatan alam semesta, sehingga ia dapat memanfaatkan dan mendayagunakan alam semesta yang memang dicipakan oleh Allah untuk melayani umat manusia (31:20) untuk menyempurnakan jasmani dan mencerdaskan akal-pikirannya, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dan bisa diwariskan kepada generasi penerus.

Di samping itu, yang dimaksud nama-nama segala sesuatu adalah nama-nama sifat Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut al-asmâ’ul-husna, nama-nama yang baik (7:180). Dengan mengetahui sifat-sifat Tuhan manusia dapat mengenal Tuhan dan mendekat kepada-Nya yang menjadi sumber keluhuran akhlak, kesucian dan kekuatan rohaninya. Inilah sumber kelebih-agungan manusia di atas sekalian makhluk (95:4), termasuk malaikat.

Untuk melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi, manusia dikaruniai oleh Allah dua keistimewaan, yaitu akal dan rûh. Ruh yang menghidupkan manusia bukan hanya ruhul-hayawani atau ahwa’ seperti yang dikaruniakan kepada alam hewani, melainkan pula ruh Ilahi (15:29) yang dicabut Ilahi tatkala manusia tidur (39:42) yang karena itu manusia menjadi “ciptaan yang lain” (23:14) yang dalam Taurat dilukiskan dengan kata-kata “manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah” (Kej 1:26). Gambar dan rupa itu bukan secara badani, seperti Adam dan anaknya, Set (Kej 5:3), tetapi gambar dan rupa secara kodrati atau fitri, maksudnya, manusia dikaruniai fitrah (sifat-sifat asli) seperti fitrah Allah (30:30). Jadi dalam diri manusia terdapat sifat-sifat dan potensi-potensi atau daya-daya rohani yang menyerupai sifat-sifat Allah. Maka dari itu manusia dianjurkan Ilahi “shibghatallah, lumasilah dirimu dengan warna Allah” (2:138) yang dijelaskan oleh Nabi Suci, “takhalaqû bi akhlâqillâh” artinya “berbudi pekertilah kamu seperti pekerti Allah”.

Dengan berbudi pekerti seperti Allah sebagaimana dicontohkan oleh para Nabi atau Rasul dari berbagai bangsa di dunia yang kemudian dilestarikan dalam Quran Suci dan ditampilkan kembali oleh Nabi Suci Muhammad saw seseorang akan menjadi wakil atau khalifah Allah yang sempurna (insân kâmîl) di muka bumi. Malaikat meski suci, tanpa dosa, karena tak pernah durhaka kepada Allah (66:6) tak mendapat amanat sebagai khalifah Allah, karena ketaatannya kepada Allah hanyalah secara pasif, maka tak mempunyai kemampuan untuk memahami nama-nama segala sesuatu. Tidak demikian halnya manusia, karena ia dikaruniai kehendak dan kebebasan memilih dan berbuat yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Yang diwakilinya, yakni Allah SWT.

Perlunya institusi khilafah

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menyatakan, khilafah itu merupakan sunnatullah, Allah tak menghendaki perpecahan. Bintang-bintang (planet-planet) di langit pun dihimpun dalam tata surya dan menetapkan matahari sebagai “rajanya” dalam tata surya itu. Pada dunia binatang pun ditemukan sunnatullah itu, misalnya pada tawon, di antara tawon-tawon itu ada “seorang raja” yang bahasa Arabnya Ya’sub. Dalam sejarah bangsa-bangsa Allah telah tetapkan adanya seorang Amir atau Raja dan Imam”. Lebih jauh beliau katakan bahwa “Allah mengutuk orang-orang yang menghendaki perpecahan dan tak mau bernaung di bawah seorang Amir, sebagaimana dinyatakan dalam firmanNya: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Ulîl-amri dari antara kamu” (4:59). Ulil-amri secara badaniah adalah Raja atau Kepala Negara dan secara rohaniah adalah Imam Zaman atau Imam Jama’ah” (Zururatul-Imam).

Menurut Quran Suci 24:55 Allah berjanji kepada umat Islam bahwa Allah menjadikan mereka khalifah di muka bumi, sebagaimana Allah telah menjadikan khalifah orang-orang sebelum mereka. Instirtusi khilafah telah berlangsung sejak Adam as yang meletakkan empat sendi dasar untuk membangun masyarakat, yaitu: pangan, sandang, air dan papan (20:118-119). Di samping itu Adam as juga membangun jamaah yang terdiri dari orang-orang saleh dan suci yang menjadi “benteng” terhadap serangan musuh, yakni setan dan iblis (20:120-121).

Institusi khilafah ini terus berlangsung sampai generasi-generasi sesudahnya, terutama di kalangan bangsa Ibrahimik yang telah terikat oleh janji Ilahi, bahwa di kalangan bangsa Ibrahimik, yakni bangsa Israel dan bangsa Ismail akan dibangkitkan imamah (2:124) dan lewat keturunannya segala bangsa mendapat berkat Ilahi, saat mereka memberkati Ibrahim (Kej 12:3-7). Semula di kalangan bangsa Israel, lalu menyusul di kalangan bangsa Ismail atau Arab. Di kalangan mereka telah dibangkitkan Nabi-nabi dan Raja-raja (5:20). Para Nabi adalah Raja rohani, yang otoritas penentunya berada di tangan Allah sendiri, karena Dia yang tahu benar dimana Dia menempatkan risalah-Nya (6:125).

Manusia yang lemah (4:28) tak mengetahui masalah-masalah rohani kecuali hanya sedikit saja (17:85). Sebaliknya Raja duniawi penentunya diserahkan kepada manusia, yang dipilih secara musyawarah (3:159) yang syaratnya adalah bertaqwa kepada Allah (49:13), berilmu dan kuat badannya (2:247) serta mampu (4:158), karena jika sesuatu perkara diserahkan bukan pada ahlinya tunggulah kehancurannya (H.R. Bukhari). Mereka wajib ditaati sepanjang tak durhaka kepada Allah dan Rasul, karena kedua hal itu sumber keselamatan dunia dan akhirat.

Raja rohani oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad disebut “Imâman Haqqah (Imam Sejati)”. Sejak Adam sampai Muhammad bin Abdullah (570-632 M) disebut Nabi, Rasûl, Nadzîr, Basyir atau Hadi, sedang setelah Rasulullah saw disebut Mujaddid, Imam, Imam Zaman atau Imam Jama’ah. Kelangsungan silsilah khilafah melalui dua periode ini tersirat dalam Quran Suci 24:55 dan Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Bani Israel selalu dipimpin oleh para Nabi, jika wafat seorang Nabi penggantinya seorang Nabi pula dan aku adalah penutup para Nabi, tak ada Nabi lagi sesudahku, yang ada ialah khalifah yang banyak (HR Bukhari).

Dalam mengemban amanat khilafah, imamah haqqah dikarunia wahyu Ilahi. Imam Al-Alusi dalam Tafsirnya Rûhul-Ma’âni, ketika menafsirkan ayat 40:45 menyatakan bahwa dari kata yulqî terang, bahwa turunnya wahyu tak henti-hentinya sejak Adam sampai Nabi Suci Muhammad saw dan hukum ini terus berlanjut sampai hari Kiamat yang dikaruniakan kepada para Mujaddid, sebagaimana dinyatakan dalam Hadits riwayat Abi Daud, bahwa sesungguhnya Allah akan membangkitkan bagi umat ini pada tiap-tiap permulaan abad orang yang akan memperbaharui baginya agamanya. Oleh karena itu mengingkari imamah haqqah menurut Quran Suci 24:55 dinyatakan sebagai orang fasiq, yang diperjelas oleh Nabi Suci: “Barang-siapa mati tanpa Imam maka matinya adalah mati jahiliyah” (H.R. Ahmad).

Khilafah dalam perspektif historis

Telah dijanjikan oleh Allah Swt bahwa di kalangan umat Islam meski kenabian telah berakhir (33:40) dan agama Allah telah sempurna dalam Islam (5:3) khilafah tetap dilestarikan sampai hari Kiamat (24:55). Menurut Ibnu Khaldun (732-808 H/1332-1406 M), “khilafah merupakan sinonim istilah imamah, yakni kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan agama dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Rasulullah saw”. Tetapi orientasinya di kalangan umat Islam ada dua versi, yaitu: pertama, secara deskriptif khilafah dalam perspektif historik, seorang khalifah diangkat oleh manusia; kedua, secara normatif khilafah dalam perspektif profetik, seorang khalifah diangkat oleh Allah Swt.

Menurut golongan pertama, sebutan khalifah dalam arti pengganti Nabi Suci dalam urusan agama dan dunia kemudian berkembang ke arah yang lebih luas. Bermula dari Abu Bakar menyebut dirinya sebagai Khalîfah Rasûlullâh (Pengganti Rasulullah saw); selanjutnya Umar bin Khathab digelari sebagai Khalîfah Khalifah Rasulullah (Pengganti dari pengganti Rasulullah saw), tetapi beliau lebih menyukai gelar Amîrul-mu’minîn (Pemimpin orang-orang beriman). Akhirnya Utsman bin Affan, karena sebutannya akan lebih panjang, cukup disebut Khalîfah saja. Hal ini berlaku sampai ke masa Ali bin Abi Thalib, sesudah Ali sebutan khalifah mengalami perkembangan dan juga dipakai oleh kelompok sufi dan tarekat (dengan makna khas sufiyah).

Jadi khilafah muncul secara spontan segera setelah Nabi Suci wafat, tatkala para pemimpin komunitas Muslim—yakni sahabat Muhajirin dan Anshar—secara aklamasi memilih Abu Bakar menggantikan Nabi Suci, disusul oleh Umar, lalu Utsman dan akhirnya Ali. Keempatnya disebut Khulafaur-Rasyidin (para Khalifah yang mendapat petunjuk yang benar) yang berlangsung selama 30 tahun (11-40 H/632-661 M). Tetapi menurut kepercayaan kaum Syi’ah, Nabi Suci sebenarnya telah menunjuk menantunya, Ali, sebagai penggantinya, bukan Abu Bakar. Setelah Nabi Suci wafat khilafah dan kekuasaan agama berada di tangan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya yang disebut Ahlul-Bait.

Doktrin imamah (kepercayaan terhadap imamah menjadi hak Ahlul-bait) ini menjadi salah satu dari lima Rukun Iman mereka, yang lain adalah Tauhid (kepercayaan kepada keesaan Allah), Nubuwwah (kepercayaan kepada kenabian), Ma’ad (Adanya kehidupan akhirat) dan ‘Adl (keadilan Ilahi). Imam-imam Syi’ah itu ialah (1) Ali bin Abi Thalib, (2) Hasan bin Ali, (3) Husein bin Ali, (4) Ali bin Husein, (5) Muhammad bin Ali, (6) Ja’far bin Muhamamd, (7) Musa bin Ja’far, (8 Ali bin Musa, (9) Muhammad bin Ali, (10) Hasan bin Ali dan (11) Muhammad Almahdi, yang menghilang dalam usia 6 tahun setelah ayahnya terbunuh pada tahun 260 H/868 M. Dialah nanti pada zaman akhir akan datang sebagai Imam Mahdi (sampai sekarang belum datang, masih gaib).

Pada masa khilafah Bani Umayah makna kata khalifah berkembang menjadi khalifatullah (Wakil Allah) di muka bumi, bukan lagi dalam arti khalifatur-Rasulullah (wakil Rasulullah saw). Konsep pra Islam tentang monarki-absolut mempengaruhi sistem khilafah. Karena jabatan khalifah diwariskan secara turun temurun, tak berbeda dengan kerajaan (mulk) yang lain. Syarat pemegang kekuasaan dianugerahi ilmu dan kekuatan, bukan harta (2:247-249) diabaikan, juga kapabilitas dan keahlian (4:58). Unsur ketakwaan dikalahkan unsur keturunan. Khilafah Bani Umayah ibukotanya di Damaskus sampai tahun 133 H/750 M lalu pindah ke Cordoba sampai tahun 423 H/1031 M.

Kemudian pada masa khilafah Abbasiyah di Baghdad yang dibangun pada tahun 132 H/749 M sampai kehancurannya pada tahun 656 H/1258 M kota khalifah berkembang menjadi zhillullâhi fil-ardhi (bayang-bayang Allah di bumi), menggambarkan kedudukan tertinggi yang suci, meski banyak pemegang jabatan ini tidak memperlihatkan kesalehan. Pengaruh konsep Persia pra Islam (kisrâwî) yang monarki-absolut diperagakan kembali karena jabatan dengan sebutan itu mengandung makna, bahwa khalifah memegang kekuasaan mutlak dari Allah Swt yang kudus. Memasuki periode mulai melemah, karena de facto kekuasaan tak berada di tangannya.

Dalam periode ketiga (334-447 H/945-1055 M) khilafah Abbasiyah de facto berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi, penganut Syiah Dua belas Imam. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan digaji. Baghdad tidak lagi menjadi pusat kekuasaan. Hal ini berlangsung sampai periode keempat (447-590 H/1055-1199 M) tatkala Bani Buwaihi ditaklukkan oleh Toghril Beg dari khilafah Bani Saljuk yang Sunni, de facto Bani Saljuk berkuasa atas khilafah Abbasiyah. Dalam periode kelima (590-656 H/1199-1258 M) Khalifah Abbasiyah de facto hanya menguasai Bagdad dan sekitarnya saja. Akhirnya dihancurluluhkan oleh tentara Mongol dan Tartar tanpa perlawanan.

Kesuksesan Bani Abbas menegakkan khilafah Islam rupanya menggoda kelompok-kelompok lain dari keluarga Nabi untuk mengambil alih kekuasaan, antara lain kaum Ismaili di Afrika Utara yang menganggap Ismail bin Ja’far sebagai Imam Syi’ah ke 7 dan sepeninggalnya digantikan oleh putra tertuanya Muhammad bin Ismail. Sepeninggal Imam Muhammad bin Ismail, lahirlah kelompok yang percaya, bahwa Ismail bin Ja’far imam ke 7 dan terakhir yang akan kembali nanti pada zaman akhir, maka mereka dikenal sebagai penganut Syi’ah Sab’iyah. Pada tahun 297 H/909 M di Tunis, mereka berhasil mendirikan khilafah Bani Ismailiah atau Fatimiah lalu setelah mencapai zaman keemasan dipindahkan ke Kairo. Mesir pada tahun 361 H/973 M yang bertahan sampai tahun 567 H/1171 M. Gelar amîr yang selama ini dipakai, pada tahun 316 H/9128 M, diganti khalîfah. Dengan demikian saat itu di dunia Islam terdapat tiga khalifah, yaitu: Bani Umayah berpusat di Cordoba, Bani Abbasiyah di Bagdad dan Bani Fatimiyah di Kairo.

Memasuki abad ke 5 H (11 M) dalam khilafah Islam muncul gelar sulthân (berasal dari akar kata salatha, yaslithu, sulthan artinya menguasai, memimpin) maknanya penguasa atau sultan yakni penguasa tertinggi dalam khilafah Islam. Semula gelar sultan dipakai pada zaman khilafah Abbasiyah yang diberikan kepada para penguasa daerah dan wilayah tertentu, yang kekuasaannya terbatas dan berada di bawah khalifah. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan sultan semakin besar, bahkan melebihi kekuasaan khalifah. Praktis khalifah hanya sebagai simbol belaka. Akhirnya sultan berkuasa penuh atas daerah dan wilayahnya dan tidak berada di bawah khalifah manapun. Dalam arti ini kata sultan dipakai untuk gelar raja-raja Islam di Indonesia, dan juga di negara-negara lain, seperti Malaysia, India, dan lain-lain.

Gelar sultan dipakai oleh raja-raja Mamluk di Mesir (1250-1517) yang berhasil menghancurkan invasi Mongol dan melenyapkan impian mereka untuk menguasai Mesir. Di antara 47 orang Sultan Mamluk yang termasyhur adalah Baybars. Sultan keempat (1260-1277). Ia menyadari bahwa kekuasaan politis memerlukan legalitas spiritual. Menurut kaum Sunni saat itu, sultan bukan suatu jabatan politis yang berdiri sendiri, tetapi perlu pengesahan keagamaan. Oleh sebab itu Sultan harus dilantik oleh Khalifah. Maka Baybars melakukan baiat terhadap Almuntansir (1226 -1242) sebagai khalifah. Kesultanan Mamluk ditaklukkan oleh Sultan Salim I dari Dinasti Usmani (Ottoman) di Turki merebut Mesir pada tahun 923 H/1517 M.

Para sultan Usmani tidak merasa perlu menebalkan figur-figur Abbasiyah sebagai khalifah, tetapi langsung menyatakan diri sebagai khalifah. Meski memerlukan waktu untuk mendapat pengakuan dari dunia Islam. Realisasinya baru dalam abad ke 19 setelah Sultan Abdul-Hamid memerintah (1861-1876) dan seterusnya. Sistem Sultan-Khalifah Usmani berlangsung sampai permulaan abad ke 20. setelah Mustafa Kamal Ataturk, Ketua Majelis Agung Nasional Turki pada tahun 1922 menghapuskan jabatan sultan dengan memberhentikan Sultan Muhammad VI, namun membiarkan khalifah untuk menjalankan fungsi spiritual, maka diangkatlah Abdul-Majid II dari Istana Usmani sebagai khalifah.

Lalu pada tanggal 29 Oktober 1923 diproklamasikanlah Negara Republik Turki oleh Mustafa Kamal Ataturk. Kekuatan-kekuatan konservatif bersatu di sekitar Khalifah baru. Lebih dari itu, pengakuan para pendukung kekhalifahan meluas, baik di Turki maupun di seluruh dunia Islam, yang mendambakan adanya seorang khalifah di dunia Islam demi kesatuan umat. Harapan umat kandas, karena pada bulan Maret 1924 Majelis Nasional Turki menghapus institusi khilafat dan membuang khalifah terakhir, Abdulmajid II. Anehnya, khalifah terbuang mengungsi ke Eropa yang Kristen, karena tak ada satu negara Islam pun yang bersedia menerimanya.

Raja Husain dari Hijaz pada tahun 1924 berkunjung ke Transyordania, di mana anaknya, Raja Abdullah berkuasa di sana atas bantuan dan proteksi Inggris. Raja Abdullah memproklamasikan ayahnya sebagai khalifah baru. Klaim yang hanya diakui oleh orang-orang Hijaz. Transyordania dan kerajaan baru putranya yang lain, Faishal, yaitu Irak. Banyak penguasa lain yang ingin menjadi khalifah. Dalam “Kongres” Haji di Mekah pada bulan Juli 1924 pun tak berhasil mendapatkan legitimasi untuk klaimnya. Sultan Abdul-Aziz ibnu Saud dari Najd merebut Hijaz dari tangannya. Syarif Husain kehilangan segala-galanya.

Para ulama Mesir dipelopori oleh Syaikh Mustafa Almaraghi dari Universitas Al-Azhar, berusaha agar raja mereka, yaitu Fu’ad, menjadi khalifah. Kongres Mesir diumumkan dalam tahun 1924 dan diundurkan dua tahun kemudian gagal memutuskan adanya seorang khalifah. Dalam tahun yang sama Raja Ibnu Sa’ud juga menyelenggarakan konggres untuk membicarakan masalah khilafat yang dikunjungi oleh wakil-wakil umat Islam di seluruh dunia. Komite Indonesia memilih utusannya HOS Tjokroaminoto (dari Central Syarikat Islam), K.H. Mas Mansyur dan M. Suja’ (Dari Muhammadiyah), Syaikh Abdullah Ahmad dan Syaikh Abdul-Karim Amrullah (dari Sumatara Barat).

Kongres Mesir dan Saudi, kedua-duanya bukan hanya tidak berhasil, malah nampak sikap dan rasa tidak senang di kalangan berbagai tokoh Islam di dunia. Upaya menghidupkan kembali kekhalifahan gagal, namun demikian selalu ada gerakan-gerakan militan Islam yang berjuang ke arah itu antara lain Hizbut-Tahrîr Al-Islâmî (Partai Pembebasan Islam) yang didirikan pada tahun 1953 di Jerusalem oleh Taqiyuddin An-Nabhânî (1909-1977) bersama sekelompok koleganya yang telah memisahkan diri dari Ikhwânul-Muslimin.

Khilafah dalam perspektif profetis

Dalam perspektif profetik, institusi khilafah adalah suatu keniscayaan, karena merupakan “janji Allah, Allah tak mengingkari janjiNya” (30:6). Janji Allah selengkapnya sebagai berikut:

“Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan berbuat baik, bahwa Ia pasti akan membuat mereka penguasa (khalifah) di bumi sebagaimana Ia telah membuat orang-orang sebelum mereka menjadi penguasa (khalifah), dan bahwa Ia akan menegakkan bagi mereka agama yang telah Ia pilih, dan bahwa Ia memberi keamanan sebagai pengganti setelah mereka menderita ketakutan. Mereka akan mengabdi kepadaKu, dan tak akan menyekutukan Aku dengan apapun. Dan barangsiapa sesudah itu tidak bersyukur, mereka adalah orang yang durhaka” (24:55).

Menurut ayat ini Khalifah mengemban tugas: (1) menegakkan agama Islam yang telah Allah ridhai; (2) memberi keamanan sebagai pengganti ketakutan yang telah diderita oleh umat Islam, dan (3) umat Islam akan mengabdi kepada Allah dan tak menyekutukan Dia dengan apapun. Nabi Suci menjelaskan bahwa Khalifah beliau itu adalah seorang Mujaddid (Pembaharu) yang ditugaskan oleh Allah untuk mengadakan tajdid dalam Islam. Jika Islam dilukiskan sebagai Taman, Mujaddid adalah Juru Tamannya, maka jika Taman itu kekeringan Juru Taman menyirami dengan air yang cukup, jika taman itu rusak diserang hama, Juru Taman membesihkannya, sehingga Taman itu tetap segar dan indah.

Jika demikian Khalifah yang dijanjikan Ilahi di atas akan menegakkan agama Islam dari dalam, yakni dengan menjunjung tinggi agama daripada dunia, bukan sebaliknya, karena lewat cara itulah agama Islam menjadi tegak di bumi dan umat menikmati keamanan, sehingga umat mengabdi kepada Allah dengan tulus dan tak menyekutukanNya dengan apapun. Periodesasi khilafah Islam dinubuatkan oleh Nabi Suci sebagai berikut:

“Adalah masa Kenabian di tengah-tengah kamu, adanya atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya, kemudian ada masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilâfah ‘alâ minhâjun nubuwwah) atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya; kemudian ada masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘âdh-dhan) sampai Allah menghendakinya; lalu Allah mencabutnya kemudian ada masa Kerajaan yang diktator (Mulkan jabariyyah) sampai Allah menghendakinya, lalu Allah mencabutnya; kemudian disusul masa Khilafat yang mengikuti jejak kenabian (Khilâfatan ‘alâ minhâjin nubuwwah); lalu Nabi Suci diam” (H.R. Ahmad dari Hudzaifah r.a.).

Hadits ini menginformasikan kepada umat Islam, bahwa di tengah-tengah mereka: (1) ada Kenabian (Nubuwwat) lalu diangkat Allah, (2) disusul masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilâfatu ‘ala minhâjun nubuwwah), (3) lalu datang Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘adhdhan), (4) setelah diangkat Allah datanglah masa Kerajaan yang diktator (Mulkan jabariyyah) (5) akhirnya datang lagi Khilafah yang mengikuti jejak kenabian.

Penggenapan nubuat Nabi Suci ini selaras dengan firman Ilahi yang menggambarkan pasang surutnya kehidupan umat Islam sebagai berikut: “Ia mengatur Perkara dari langit ke bumi, lalu itu kembali kepadaNya dalam suatu hari yang ukurannya seribu tahun menurut hitungan kamu” (32:5).

Ayat ini melukiskan tiga periode kehidupan umat Islam, yaitu: (1) masa kejayaan Islam (9:33) atau khairul-qurun, sebaik-baik abad selama tiga abad permulaan (menurut Hadits riwayat Tirmidzi), (2) masa kemunduran selama satu hari yang ukurannya menurut hitungan manusia selama seribu tahun, dan (3) masa kebangkitan Islam kembali pada zaman akhir.

Jadi penggenapan nubuat Nabi Suci dan ayat suci tersebut adalah sebagai berikut: Dalam masa kejayaan Islam selama tiga abad adalah masa Kenabian sampai wafat Nabi Suci pada tahun 632 M lalu diteruskan Khilafah yang mengikuti jejak kenabian selama 30 tahun (632-661 M) yang disebut Khilâfah Râsyidah (Kekhalifahan yang benar). Kemudian diikuti masa Kerajaan yang menggigit atau memeras (‘âdhdhan) yang diperagakan oleh Khilafah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah pada masa menjelang keruntuhannya, karena perpecahan dari dalam dan serangan musuh dari luar. Penghancur Khilafah Bani Umayah di Cordoba adalah Kristen Eropa pada tahun 423 H/1031 M, sementara pembinasa Khilafah Bani Abbasiyah di Baghdad adalah pasukan Mongol dan Tartar pada tahun 656 H/1258 M.

Kejayaan Islam itu manifestasinya umat Islam dilukiskan sebagai umat yang terbaik (khaira ummat) yang ditampilkan sebagai cermin bagi manusia dalam menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat dan beriman kepada Allah (3:110) atau sebagai umat yang unggul agar mereka menjadi saksi bagi manusia dan Utusan menjadi saksi atas mereka (2:143), karena mereka tidak hanya ahli bicara saja, tetapi ahli berbuat, karena sadar jika sebaliknya dikutuk oleh Allah (61:2-3). Karena masa khairul-qurun ini hanya berlangsung selama tiga abad, maka kejayaan Islam berlangsung sampai abad ke-10 Masehi.

Sejarah menjadi saksi saat itu seluruh dunia dikuasai oleh umat Islam; Bani Umayah menguasai Eropa yang berpusat di Cordoba, Bani Fatimiyah menguasai benua Afrika yang berpusat di Kairo dan Bani Abbasiyah menguasai benua Asia. Ini secara lahir yang mudah diketahui oleh manusia di dunia (30:7), tetapi secara spiritual dan moral yang terbaik adalah umat Islam generasi pertama (zaman Nabi-sahabat), menyusul generasi kedua (zaman tabi’in) dan generasi ketiga (zaman tabiut-tabi’in) terus menurun, yang oleh Nabi Suci dilukiskan sebagai mulkan ‘âdhdhan, kerajaan yang menggigit atau memeras, karena dahsyat dan hebatnya godaan dunia. Terlihat dari istilah yang mereka gunakan, penguasa Bani Umayah menggunakan kata khalîfah Allâh (wakil Allah) di bumi, bukan lagi khalîfah Rasûlullâh (wakil Rasulullah SAW), dan penguasa Bani Abbasiyah mengembangkan kata itu menjadi zhillullâh fil-ardhi (bayang-bayang Allah di bumi), yang mengandung arti bahwa penguasa Bani Abbasiyah memperoleh kekuasaan dari Allah sebagai pemegang kekuasaan mutlak.

Memasuki abad ke 4 Hijriah atau ke-11 Masehi secara duniawi Islam masih jaya, tetapi secara moral dan spiritual telah lebih dulu merosot, dan terus merosot, yang mengakibatkan semakin merosotnya kekuasaan duniawi umat Islam. Mulai terlihat nyata sampai seribu tahun dari Nabi Suci, yakni abad ke-17 Masehi, selama 700 tahun ini mulkan ‘azhzhan (kerajaan yang menggigit atau memeras) semakin nyata. Lalu dilanjutkan oleh mulkan jabariyyah, kerajaan yang diktator yang diperagakan oleh para penguasa Islam yang bergelar Sultan.

Gelar Sultan ini pertama kali diberikan oleh Khalifah Bani Abbasiyah akhir periode pertama, Almu’tasim (218-228 H/833-842 M) kepada seorang panglima Turki, Asynas Atturki, yang kemudian secara de facto menjadi penguasa penuh di wilayahnya seraya tetap memerintah secara diktator, meski secara formal menghormati khalifah di pusat, Baghdad. Akhirnya muncul perbedaan antara kekhalifahan dan kesultanan, seperti dipresentasikan oleh penguasa Bani Saljuk setelah mengalahkan penguasa Bani Buwaihi di Bagdad pada tahun 1055. Sultan adalah penguasa efektif, sedang khalifah terbatas pada seremonial raja yang memegang kekuasaan riil. Gelar ini juga dipakai oleh raja-raja Mamluk di Mesir (1250-1517). Kemudian gelar Sultan-Khalifah dilestarikan oleh Dinasti Usmani (Ottoman) Turki, sampai awal abad ke 20. Institusi tersebut akhirnya dihapuskan oleh Mustafa Kamal Ataturk.

Dengan demikian berakhirlah institusi khilafah duniawi, tetapi ini tak berarti bahwa umat Islam tak akan memiliki kekuasaan duniawi. Sama sekali tidak! Sebab terutusnya Nabi Suci merupakan rahmatan lil’âlaîn (21:107) yang diutus untuk memenangkan Islam atas semua agama (9:33). Hanya masalahnya, bagaimana cara mencapainya? Caranya hanya satu, yakni lewat Khilafat ‘alâ minhajin Nubuwwah (Khilafat yang mengikuti jejak kenabian) yang menjunjung agama melebihi dunia. Menurut petunjuk Quran Suci Khilafat ini muncul seribu tahun setelah masa kejayaan Islam selama tiga abad sejak Nabi Suci.

Sebenarnya Khilafat yang mengikuti jejak kenabian ini telah ada sejak zaman Nabi Suci karena Nabi Suci menjelang akhir hayatnya telah menunjuk Abu Bakar mewakili atau menggantikan beliau sebagai Imam salat. Imamah semacam ini tak pernah lenyap atau terputus sedetik pun, sebab Nabi Suci telah bersabda: “Jika tiga orang bepergian keluar, maka hendaknya salah seorang menjadi pemimpin (amîr) mereka” (H.R. Abi Daud).

Pemimpin itu wajib ada. secara duniawi pemilihan seorang pemimpin (amîr) diserahkan kepada manusia yang kriterianya telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Secara rohani pemilihan seorang pemimpin (imâm, imâm, zamân, imâm jamâ’ah atau imâmah hâqqah) merupakan hak prerogatif Allah Swt tanpa campur tangan manusia. Yang jelas mereka adalah seorang ulama, tetapi bukan sembarang ulama, sebab: (a) mereka adalah ulama yang seperti Nabi bani Israel (dipilih Allah dan dikaruniai wahyu Ilahi), (b) mereka adanya pada “tiap-tiap permulaan seratus tahun” kehidupan rohani manusia, bukan seratus tahun atau satu abad kalender duniawi.

Ini yang dijanjikan oleh Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tak tahu (akan janji Allah) (30:6) sebab “mereka hanya tahu lahirnya saja tentang kehidupan dunia, sedang mereka lalai tentang akhirat” (30:7) yang bersifat rohani, maka Khilafat rohani yang ditegakkan oleh para khalifah atau mujaddid yang disebut juga imam atau imama zaman atau imam jama’ah itu sulit mereka kenali, bahkan mereka musuhi, padahal Nabi Suci telah berwasiat: “barangsiapa mati tanpa iman, maka matinya adalah mati jahiliah” (HR Ahmad).

Mengapa ditolak? Karena khalifah Rasulullah itu seperti para Nabi terdahulu. Allah jadikan musuh dari orang-orang yang bergelimang dosa (25:31) karena seorang Utusan itu membawa pelajaran yang tak disukai oleh kaumnya sendiri yang dengan sombong mereka mendustakan, bahkan membunuhnya (2:87). Seorang Mujaddid atau Imam sebagai Khalifah Nabi Suci dipilih dan ditetapkan oleh Allah Swt., bukan oleh manusia atau golongan tertentu.

Menurut Nabi Suci seorang Imam yang diutus melaksanakan tugas tajdid itu dibangkitkan pada tiap-tiap abad, yakni rentang waktu antara kehadiran seorang Mujaddid yang satu dengan seorang Mujaddid berikutnya. Jadi abad di sini dalam hubungannya dengan sejarah spiritual manusia, bukan satu abad yang berarti seratus tahun.[]

 

Penulis: K.H. Simon Ali Yasir | Ketua Umum PB GAI Masa Bakti 1995-1999

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »