Kolom

Kerakap di atas batu

Seorang pria renta berdiri di mimbar. Jas bludru hitam agak kusam membalut tubuhnya yang kurus dan keriput. Tangannya, yang memegang beberapa lembar kertas, gemetar. Lantas ia menangis terisak. Tapi, suaranya yang lantang menggema ke segala penjuru ruang.

Dalam linangan air mata, ia bercerita ihwal sejarah yang ia kenangkan: masa mudanya. Masa dimana darah juang masih mendidih di tubuhnya. Masa tatkala ia, bersama sahabat-sahabat karibnya, bersusah payah membidani kelahiran dan membesarkan sebuah wadah pergerakan yang amat dicintainya. Kini, gerakan itu, ia katakan, “seperti kerakap di atas batu, mati enggan hidup tak mau.”

Di akhir pidatonya, ia meneriakkan sebuah tanya, “Beranikah kita berkata, bahwa kita tetap setia pada sumpah kita kepada Tuhan?!”

***

Sang bapak tua itu adalah Soedewo. Tokoh pendiri GAI, yang dari tangannya sudah lahir banyak karangan dan buku. Karya tulisnya tak lekang dimakan zaman, dan menjadi inspirasi dan sumber penghidupan bagi banyak orang. Sungguh, kita berhutang banyak kepadanya!

Pidatonya yang mengharu biru itu, terjadi pada Desember 1957, di dalam forum resmi Muktamar GAI. Kala itu, ia bercerita soal kondisi gerakan yang mengalami kemunduran selama belasan tahun. Kemunduran itu ditandai antara lain dengan tak lagi terbitnya buku dan majalah. Padahal, sebelumnya ratusan judul buku dan puluhan majalah diterbitkan. Sudah itu, katanya, “perhatian dan hasrat kita bercerai berai”, sehingga “iklim dan suasana di kalangan GAI tak memungkinkan bekerja dengan kesatuan dan kebulatan tekad”.

Sesudah peristiwa “pencambukan” itu, gairah GAI seakan bangkit kembali. Buktinya, hingga tahun 80-an, banyak upaya dilakukan. Pembenahan di sana-sini diselenggarakan. PIRI dikuatkan dengan dibentuk sebagai yayasan otonom. Darul Kutubil Islamiyah, lembaga penerbitan GAI di bawah pimpinan Moehammad Bachroen, lahir. Darinya, banyak buku diterbitkan, antara lain Qur’an Djarwa Djawi (1959), Keesaan Ilahi (1968), Islamologi (1977), dan Qur’an Bahasa Indonesia (1979).

Di samping itu, GAI meluaskan jaringan ke berbagai daerah, antara lain berdirilah GAI cabang Kediri (1963), yang dimotori oleh Bapak Burhanul Arifin. Prosesi pengkaderan pun digalakan.

Tahun 1971, Muktamar GAI memutuskan untuk mengundang mubaligh dari Lahore. Meski tak kesampaian, kaderisasi tetap dilakukan. Tahun 1975, diselenggarakan pendidikan kader mubaligh. Dari 16 kader, empat di antaranya kemudian dikirim untuk studi lanjut ke Lahore.

Hingga akhirnya, kebangkitan itu dirayakan dalam kesyukuran pada peringatan maulid GAI yang ke-50 (Golden Jubile), tahun 1979.

***

Selain soal pergantian waktu, boleh jadi tahun 2015 ini bagi kita, warga GAI, adalah juga soal pergantian momentum, dengan ditetapkannya kepengurusan baru di tingkat Pedoman Besar pada Muktaram XVII, yang berlangsung secara bersamaan dengan penyelenggaraan Jalsah akhir tahun 2014 lalu. Sebab, apa boleh dikata, kita menaruh harapan besar pada kepengurusan periode 2015-2019 ini untuk melakukan banyak terobosan dalam waktu lima tahun ke depan.

Terobosan, yang sedapat mungkin bisa membongkar kejumudan yang sudah berlangsung puluhan tahun. Sebab, sejak perayaan Golden Jubile diselenggarakan hingga kini, ruh kebangkitan itu, lama-kelamaan, meredup kembali. Hasrat dakwah kita sekarang ini, seakan tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 50-an, yang dalam pidato Soedewo disebut “bukan mundur lagi, melainkan mendekati liang kuburnya.”

Semoga, harapan itu bisa kita wujudkan bersama. Jangan sampai kita disindir oleh Tuhan, yang kepadaNya kita mengangkat sumpah, sebagai –meminjam istilah anak muda zaman sekarang, pemberi harapan palsu.[bas]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »