Kehadiran seorang pemimpin bukanlah untuk dilayani melainkan untuk melayani, bahkan jika perlu menyerahkan nyawanya demi kesejahteraan bangsanya.
Oleh: S. Ali Yasir | Mantan Ketua PB GAI
Sebagai bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa sudah barang tentu yang kita cari adalah pola kepemimpinan yang rabbani atau teosentris, yaitu pola kepemimpinan yang berpusat kepada Tuhan. Dengan demikian seorang pemimpin tak berorientasi kepada kuasa atau kedudukan tetapi kepada pelayanan.
Kehadiran seorang pemimpin bukanlah untuk dilayani melainkan untuk melayani, bahkan jika perlu menyerahkan nyawanya demi kesejahteraan bangsanya, sebagaimana diajarkan oleh Almasih (Yesus Kristus):
“Kamu tahu bahwa pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikan di antara kamu. Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah menjadi pelayanmu dan barang siapa ingin terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 20: 25-28).
Pola ideal kepemimpinan rabbani yang diper-sonifikasikan sebagai Anak Manusia itu adalah Nabi Muhammad saw. dari tanah Arab, karena ungkapan itu digunakan untuk seorang tokoh yang dinubuatkan (diramalkan) oleh Nabi Daniel yang hidup sekitar tahun 600 sebelum tarikh Masehi. Tentang Anak Manusia ini “diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tiada akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah” (Daniel 7: 14).
Gambaran tersebut sangat cocok dengan diri pribadi Nabi Muhammad saw. yang sampai hari ini wilayah kekuasaan beliau dapat disaksikan dengan mata kepala dunia, yakni kawasan Timur Tengah – yang berdasar nubuat Daniel pula – dahulu dikuasai oleh Babilonia lalu secara beruntun yang memerintah adalah Persia, Makedonia, Romawi dan terakhir adalah Islam yang dilambangkan sebagai Batu Gunung.
Di samping itu beliau sendiri menyatakan bahwa kehadirannya untuk menggenapi nubuat para nabi sebelumnya, seperti Daniel dan Yesus Kristus. Oleh karena kekuasaan Ilahi yang dikaruniakan kepada beliau itu amat luas, tidak hanya secara pilitik saja, maka beliau menjadi uswatun hasanah, teladan yang baik dalam segala aspek kehidupan dan keadaan. Sekiranya beliau tak memimpin pasukan, niscaya beliau tak dapat menjadi contoh bagi seorang jendral yang memimpin pasukan dalam pertempuran; sekiranya beliau tak menjalankan perang, niscaya beliau tak dapat menjadi contoh bagi seorang prajurit yang menyabung nyawanya untuk membela kebenaran, keadilan dan kemerdekaan; sekiranya beliau tak membuat undang-undang sebagai petunjuk bagi para pengikut beliau, niscaya beliau tak dapat menjadi contoh sebagai anggota legislatif; sekiranya beliau tak memutuskan perkara, niscaya beliau tak dapat menjadi pelita bagi hakim dan jaksa; sekiranya beliau tak kawin, niscaya beliau membiarkan orang-orang tanpa petunjuk dalam mengerjakan sebagian tugas manusia sehari-hari, dan tak dapat memperlihatkan bagaimana seorang suami harus bersikap manis dan kasih sayang kepada istri, dan bagaimana seorang ayah harus mencintai anak-anaknya; sekiranya beliau tak membalas kaum lalim akan kekejaman mereka terhadap orang-orang yang tak bersalah, dan sekiranya beliau tak dapat mengalahkan musuh yang aniaya, dan sekiranya beliau tak meng-ampuni mereka, dan sekiranya beliau tak melalaikan kesalahan mereka yang dekat kepada beliau, niscaya beliau tak dapat menjadi teladan yang baik dan contoh yang mulia.
Atas dasar berbagai ayat dan hadits ajaran beliau tentang kepemimpinan, intinya adalah sebagai berikut: Pertama, kepemimpinan dasarnya bukanlah keturunan, bukan pula kekayaan ataupun banyaknya pengikut, dan bukan pula jenis kelamin, dasarnya adalah kemampuan, yang dipilih secara demokratis dan musyawarah. Kemampuan adalah syarat utama karena jabatan itu amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Kedua, bertaqwa, sebab seorang pemimpin tidak hanya bertanggungjawab terhadap rakyat yang telah memilih tetapi juga harus bertanggungjawab terhadap Allah SWT. Ketiga, seorang pemimpin itu mendapat gaji dari negara, maka tak boleh menerima hadiah dari rakyat. Keempat, pemimpin itu harus hidup sederhana, tak boleh menumpuk harta kekayaan, harus berakhlak karimah.
Dengan pola kepemimpinan rabbani inilah insya allah masyarakat madani dapat diwujudkan dalam memasuki millenium ketiga ini.[]
Asslamualaikum wr,wb….
Mas Ali Yasir saya ingin tahu pendapat bapak bagaimana dengan sikap kaum syiah yang mengklaim bahwa khalifah atau Imam harus dari keturunan Rasulullah atau ahlul baitnya,… dan pertanyaan yang selalu dilontarkan oleh kalangan ini ,yaitu mungkinkah Rasululllah tidak memberikan arahan dan meningggalkan perkara yang penting ini kepada ummatnya (tidak mengatur Pemimpin dan Negara yang patut sesuai ajaran Islam}dibiarkan dalam kebingungan dan dipersilahkan memecahkan urusannya sendiri ?
Jika kita napak tilas thd sejarah perkara ini sangat rentan dan menimbulkan perpecahan yang mendalam dikalangan ummat Islam sejak ditinggal oleh Rasullah.
Dan menurut saya ini juga sangat aneh, mengingat ritual ibadah saja secara detail diajarkan oleh Rasullullah tetapi perkara bernegara seolah-olah disuruh ummatnya memecahkan sendiri perkara ini.
Terima kasih
Wassalamulaikum wr wb