ArtikelDiskursus

Kepahlawanan Gus Dur dan Pembubaran Ahmadiyah

Sebagai bangsa tampaknya kita sering terjebak pada riuh seremoni, tapi lupa subtansi. Kita misalnya lebih sibuk membicarakan aspek legal-formal pemberian gelar kepahlawanan Gus Dur, sapaan akrab Abdurrahman Wahid, namun abai pada substansi dari nilai-nilai kepahlawanan tokoh pejuang demokrasi dan pluralisme itu. Banyak orang merasa sangat mengagumi dan terinspirasi dengan sikap serta perjuangan Gus Dur atau menyebut diri sebagai generasi penerus perjuangannya, tapi dalam praktik justru sebaliknya.

Di antara warisan nilai-nilai kepahlawanan Gus Dur ini adalah pembelaannya terhadap kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah yang kini didesak kanan-kiri untuk dibubarkan.

Oleh : Alamsyah M. Dja’far | Sumber: gusdur.net

Dalam soal Ahmadiyah, pendirian Gus Dur jelas dan tuntas. “Selama saya masih hidup, saya akan pertahankan gerakan Ahmadiyah. Ngerti nggak ngerti terserah!” (detik.com, 9/6/2008). Pernyataan itulah yang dilontarkannya ketika  kelompok pengikut Mirza Ghulam ini diserang Front Pembela Islam dan muncul desakan agar Ahmadiyah dibubarkan. Pada kesempatan lain, Gus Dur menawarkan kepada kelompok Ahmadiyah berlindung di Ciganjur, lingkungan kediamannya, jika pemerintah dianggap tak lagi bisa melindungi mereka.  Di hadapan ratusan anggota Anshor, sayap kepemudaan NU, Gus Dur juga sempat berpesan untuk melindung kelompok minoritas seperti Ahmadiyah.

Hingga ajal menjemput, Gus Dur tetap pada pediriannya. “Kalau ada yang bependapat Ahmadiyah salah silakan. Tapi UUD 1945 itu memberi kebebasaan menyatakan pendapat,” tegasnya.

Pembelaan ini bukan soal pembelaan terhadap “kelompok” tertentu, tapi nilai di mana kelompok yang berbeda, yang minoritas, harus tetap dilindungi negara. Itu amanat konstitusi. Bacalah secara seksama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ironisnya, beleid-beleid ini hanya sakti di atas kertas. Tapi banyak tak bergigi dalam praktik. Jika seseorang menjadi Ahmadiyah, ada kesan seolah-olah mereka bukan lagi warga negara Indonesia dan karena itu sah untuk dipersekusi. Dan Ahmadiyah, yang selama ini menjadi korban, justru dianggap pusat masalah dari berbagai kasus kekerasan seperti yang muncul paska penyerangan kampung Ahmadiyah di Cisalada belum lama ini. Pandangan semacam ini tidak jarang dilegimitasi pemerintah. Setelah Menteri Agama Suryadharma Ali mengeluarkan pernyataan agar Ahmadiyah dibubarkan, sekarang ini giliran wakil Ketua DPRD Garut Dedi Hasan yang meminta Ahmadiyah dilarang (Koran Tempo, 12/10/2010).

Banyak orang salah paham -sebagian lain tampaknya memang tak mau paham-pembelaan Gus Dur terhadap kelompok minoritas dianggap pembelaan membabi buta. Membela Ahmadiyah, seolah-olah setuju dengan keseluruhan keyakinan mereka, tanpa kritik.  Pernyataan “Saya tidak peduli mengenai ajarannya (Ahmadiyah)” kepada media pertengahan 2008 silam menunjukan Gus Dur punya pandangan pribadi sendiri tentang ajaran Ahmadiyah.

Sikap semacam ini muncul secara konsisten dalam banyak kasus yang dibelanya. Misalnya saja ketika menolak pembredelan Monitor yang dipimpin Arswendo Asmowiloto pada. Alasan karena memuat poling yang menempatkan Nabi Muhammad lebih popular ketimbang Soeharto, Monitor dibredel jelas melanggar prinsip demokrasi.

Tapi kritik terhadap Arswendo dan Monitor juga jelas. “Orang kayak Arswendo memuat itu, ya karena kegoblokannya saja. Gendeng-nya dia itu, sok menganggap dirinya sudah paling tahu. Jadi tidak mau menyelami perasaan orang lain,” katanya kepada majalah Editor pada 1990. Di bagian lain dia mengatakan ” Saya sendiri tidak pernah setuju dengan mingguan Monitor dan sejenisnya. Sama halnya saya juga tak setuju dengan pakaian orang Islam yang tak menutup aurat”.

Gus Dur jelas-jelas tak setuju dengan pemahaman Lia Eden. Tapi, Gus Dur menolak kelompok tersebut dilarang dan dipenjara karena keyakinan mereka.

Dengan pembelaan itu, hemat saya, Gus Dur sedang mengingatkan banyak orang mengenai batas yang jelas menyangkut relasi negara, warga negara, dan agama. Pada saat bersamaan ia juga sedang berupaya memposisikan agama lebih “terdidik”. Dalam bahasanya, agar “mendewasakan diri”. Dengan cara semacam itu Gus Dur sedang berupaya menjaga agar agama bisa terus mandiri dan terhindar dari politisasi negara atau kelompok-kelompok tertentu.

Mari bayangkan bagaimana jika ormas-ormas besar saat ini, karena perubahan besar dan drastis -meski ini tampak mustahil – justru menjadi kelompok minoritas suatu ketika. Karena berbeda dari arus utama, mereka disesatkan dan negara mendukung tuduhan kesesatan tersebut seperti layaknya Ahmadiyah saat ini.

Tapi, Gus Dur tak ingin pula menghilangkan hak setiap kita untuk berpikir dan berekspresi. Itu makanya ia menyatakan, “boleh saja orang berpendapat Ahmadiyah salah”. Tapi selagi Ahmadiyah tak melanggar konstitusi dan undang-undang, Ahmadiyah dijamin keberadaannya.

Usaha ini tampaknya sejalan dengan konsep “agama publik” yang dipopulerkan Jose Casanova, profesor pada Departmen Sosiologi Universitas Georgetown Amerika Serikat. Gagasan ini mengandaikan agama harus memiliki ruang kedaulatannya sendiri dalam memengaruhi kehidupan publik. Tetapi ruang itupun juga dibatasi oleh ruang kedaulatan struktur sosial lainnya seperti negara atau asosiasi-asosiasi publik lainnya. Karenanya agama tak boleh merampas peran dan otonomi stuktur sosial lainnya. Begitu sebaliknya.

Dengan demikian, pembelaan Gus Dur pada Ahmadiyah bukan semata-mata pembelaan terhadap Ahmadiyah semata, tapi juga untuk seluruh kelompok minoritas, ormas-ormas keagamaan, bahkan untuk agama-agama mayoritas di negeri ini. Mudah dikatakan, tapi sulit dilakukan bukan?

*Penulis adalah peneliti the Wahid Institute  

Yuk Bagikan Artikel Ini!
Translate »