Artikel

Kemenangan Hakiki

Musuh-musuh Islam yang berupa kemusyrikan, kekafiran, kemaksiatan, kedurhakaan dan sesamanya itu harus kita lawan, harus kita perangi dengan senjata dengan mempertaruhkan jiwa. Senjatanya bukanlah pedang atau bedil, melainkan dengan dakwah bersenjatakan Al-Qur’an dan Hadits – yang dalam Al-Qur’an dinyatakan sebagai jihad kabir atau perjuangan yang besar.

Oleh: S. Ali Yasir | Mantan Ketua PB GAI

“Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, maka mahasucikanlah dengan me-muji Tuhan dikau, dan mohonlah perlindungan-Nya. Sesungguhnya Ia senantiasa kembali kasih-sayang-Nya.” (QS An-Nashr 110: 1-3)

Menang tanpa ngasorake

Yang dimaksud kemenangan (al-fath) dalam ayat pertama adalah kemenangan hakiki, bukan kemenangan duniawi. Kemenangan hakiki berbeda dengan kemenangan duniawi. Perbedaannya, kemenangan duniawi berarti menguasai suatu tempat, daerah atau wilayah, negara, bangsa atau orang. Bahasa Jawanya: menang tanpa ngasoraké.

Menurut ayat suci di atas, kemenangan hakiki ditandai dengan yadkhulûna fî dînillâhi afwâjâ, masuk dalam agama Allah dengan berbondong-bondong. Yadkhulûna fî dînillâh itu tanpa paksaan sedikitpun, sebab dalam Islam berlaku kaidah lâ ikraha fiddîn, tak ada paksaan dalam agama (2:256). Oleh karena itu cara merayakan kemenangan pun berbeda dengan cara merayakan kemenangan duniawi. Jika kemenangan itu datang, cara merayakannya ialah dengan fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirh, maka mahasucikanlah (tasbîh) dengan memuji Tuhan dikau (tahmîd) dan mohonlah per-lindungan-Nya (istighfâr).

Arti membaca tasbih “subkhanallâh” ialah menyanjung kemahasucian Tuhan yang tanpa cacat dan kekurangan sedikitpun; sedang arti membaca tahmid “alhamdulillâh” ialah menyanjung dan memuji Tuhan, segala kekurangan, kemuliaan dan keindahan adalah milik Tuhan semata; segala sesuatu yang agung, mulia dan indah di dunia ini hanyalah refleksi belaka dari keagungan, kemuliaan dan keindahan Tuhan, sebab Dialah Yang mempunyai keagungan, kemuliaan dan keindahan itu, walillâhil-asmâ’ul-husnâ, milik Allahlah nama-nama yang baik itu (7:180), walillâhil-matsalul a’lâ, dan Allah mempunyai sifat-sifat yang luhur (16:60).

Arti istighfar “astaghfirullah” ialah mohon ampunan-Nya atas segala dosa dan kesalahan yang telah diperbuat dan juga berarti memohon perlindungan-Nya dari kekhilafan, kesalahan dan dosa di masa-masa yang akan datang. Inilah rahasianya mengapa Rasulullah saw. senantiasa membaca istighfar, dalam arti kedua. Beliau dan juga para Nabi lainnya adalah ma’shûm, suci dari dosa, karena maghfirah Ilahi dalam arti perlindungan dari dosa dan kesalahan, maka dalam surat Al-Anbiya ditegaskan bahwa para Nabi adalah ibâdun mukramûn, lâyasbiqûnahû bil-qauli wahum bi amrihi ya’malûn, mereka adalah hamba-hamba yang terhormat, mereka tak mendahului Dia dalam pembicaraan dan mereka berbuat sesuai dengan perintah-Nya” (ayat 26-27).

Kemenangan Rohani

Dari sejarah uswatun hasanah kita, yakni Muhammadur-rasûlullâh dan pengikut setianya (walladzîna ma’ahû) yang karakteristiknya: (1) asyiddâ’u ‘alal kuffâri ruhamâ’u bainahum, berhati teguh melawan kaum kafir bercinta kasih antara mereka. (2) rukka’an sujjadan yabtaghûna fadhlan minallâhi waridhwânâ, mereka berukuk, bersujud, memohon anugerah dan perkenan Allah, sehingga simâhum fî wujûhihim min atsaris sujûd, tanda-tanda mereka nampak pada wajah mereka karena bekas-bekas sujud, sebagaimana tarâhum (engkau lihat mereka) pada masa khairul-qurûn (sebaik-baik abad) yang keadaan ini telah dilukiskan pula dalam Taurat Musa dan Injil Isa Almasih, dzâlika matsaluhum fittaurâti wamatsaluhum fil-injîl. Terang sekali bahwa kemenangan hakiki itu bukan karena dapat menaklukkan kaum kafir Quraisy dan sekutu-sekutunya, dan bukan pula karena dapat melenyapkan dua super power saat itu (Romawi dan Persi) dari panggung sejarah dunia, sehingga sampai sekarang hanya bisa ditemui dalam buku-buku sejarah saja, tetapi dapat menaklukkan hawa nafsu dalam diri mereka sendiri.

Kemenangan hakiki itu bukan berupa kemenangan duniawi, meski terdapat pula unsur duniawinya, melain-kan bersifat rohani atau lebih menitikberatkan aspek rohani, mengingat fenomenanya berupa:

  1. Kemenangan agama (liyuzhhirahû ‘alad-dîni kullih)
  2. Kemenangan akhlak seperti tercermin dalam ayat kuntum khaira ummatin ukhrijat linnâs, kamu adalah sebaik-baik umat yang ditampilkan sebagai cermin bagi seluruh umat manusia, karena engkau ta’murûna bil-ma’rûfi watanhauna ‘anil-munkar watu’minûna billâh, amar makruf nahi munkar dan beriman kepada Allah SWT.
  3. Kemenangan perjuangan atau jihad, baik jihad asghar maupun jihad akbar atau jihad kabir dengan bersenjatakan Al-Qur’an (25:52).

Jihad terbesar (jihad akbar atau kabir) menurut Al-Qur’an dan Hadits dinilai sukses atau menang bukanlah karena berhasil memenggal kepala musuh di medan perang, melainkan karena berhasil menguasai diri sendiri atau menguasai hawa nafsunya sendiri yang sifatnya rohani; jihad akbar atau kabir ini wajib dilaksanakan meski di tengah medan perang atau jihad asghar. Dengan demikian nikmat yang diperoleh juga nikmat rohani yang nilainya di hadirat Tuhan dan manusia yang utuh (seutuhnya) jauh lebih agung daripada kemenangan duniawi. Oleh karena itu kita dibimbing agar senantiasa memanjatkan doa ke hadirat Ilahi Rabbi: Ihdinash-shirâthal mustaqîm, shirâtalladzîna an’amta ‘alaihim, ghairil-maghdhûbi ‘alaihim waladhdhâllîn, Ya Allah pimpinlah kami ke jalan yang benar, yaitu jalannya orang-orang yang telah engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang mendapat murka Engkau ya Allah, dan bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat dari jalan yang benar. Siapakah para mun’im, orang-orang yang mendapat nikmat itu? Mereka itu bukanlah penguasa dunia seperti Heraklius, sang kaisar Romawi atau Kisra sang raja kekaisaran Persi, tetapi mereka itu ialah alladzîna an’amallâhu ‘alaihim minan-nabiyyîna wasysyuhadâ’a washshâlihîn, wahasuna ulâika rafîqâ, orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah ialah para Nabi, para sidikin, para syuhada dan para salihin, dan mereka itulah sebaik-baik teman (4:69).

Dengan demikian teranglah bahwa kemenangan hakiki adalah kemenangan rohani. Untuk lebih mem-perjelas keterangan di atas, mari kita perhatikan sekali lagi teladan dari uswatun hasanah kita, sehubungan dengan turunnya ayat:

“Sesungguhnya Allah telah memenuhi impian Rasul-Nya dengan benar. Sesungguhnya kamu akan memasuki Masjidilharam, insyaallah, dengan aman, sambil mencukur kepala kamu dan memotong pendek (rambut kamu) tanpa merasa takut. Tetapi ia me-ngetahui apa yang kamu tak tahu, maka Ia mengatur kemenangan yang dekat sebelum itu.” (QS Al-Fath 48:27)

Karena impian itu, Rasulullah saw. berangkat ke Mekah dengan diiringi 1500 sahabat dengan tujuan untuk menunaikan ibadah haji. Setibanya di Hudaibiyah, Rasulullah dan para sahabat berhenti mendirikan tenda. Di sini Rasulullah menerima informasi bahwa kaum Quraisy siap untuk memberikan perlawanan – yang disampaikan oleh Budail, kepala suku Khuza’ah, seorang non Muslim tetapi bersikap baik terhadap Islam. Budail diminta oleh Rasulullah agar menyampaikan kepada kaum Quraisy, bahwa kedatangan Rasulullah dan para sahabatnya untuk menunaikan ibadah haji, bukan untuk berperang. Lalu Rasulullah mengutus Sayidina Utsman bin Affan untuk berunding dengan kaum Quraisy. Rupa-rupanya perundingan cukup alot, sehingga memakan waktu yang cukup lama. Dalam masa jeda ini tersiarlah isu bahwa Sayyidina Utsman telah dibunuh. Karena isu itu, kaum Muslimin mengubah niat, niat ibadah haji berubah berjuang sampai titik darah yang penghabisan, meski tanpa senjata – kecuali pedang yang saat itu merupakan asesoris pakaian adat lengkap. Untuk meneguhkan tekad, mereka melakukan beat yang dikenal Bai’atusy-syajarah artinya Sumpah di bawah pohon atau Bai’atur-ridwan artinya Sumpah yang menyenangkan, karena mereka lakukan dengan penuh kegembiraan. Peristiwa ini diabadikan dalam ayat:

“Sesungguhnya orang-orang yang berbeat kepada engkau, mereka hanyalah berbeat kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. maka barang siapa ingkar (pada janjinya), ia hanyalah ingkar atas kerugian jiwanya sendiri. Dan barangsiapa memenuhi janjinya di sisi Allah, Ia akan menganugerahkan kepadanya ganjaran yang besar.” (QS Al-Fath 48:10)

Peristiwa itu membuat kaum kafir Quraisy sadar, maka mereka mengirim utusan, Suhail bin Amr Amiri, untuk mengadakan perjanjian damai, yang dikenal sebagai Perjanjian Damai Hudaibiyah. Setelah melalui banyak kendala, akhirnya disepakati perjanjian damai antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, dengan pasal-pasal utamanya:

  1. Kaum Muslimin tahun ini belum diizinkan ziarah ke Mekah.
  2. Tahun berikutnya kaum Muslimin boleh ziarah dengan syarat di Mekah tak boleh lebih dari tiga hari.
  3. Kaum Muslimin wajib mengembalikan orang Mekah yang hijrah ke Madinah bagi yang masuk Islam sesudah perjanjian ini.
  4. Kaum Quraisy tak wajib mengembalikan orang Islam yang kembali ke Mekah.
  5. Kabilah-kabilah lain bebas membuat perjanjian dengan pihak manapun yang mereka sukai.

Pasal-pasal perjanjian tersebut sangat menggem-birakan kaum kafir, dan mereka merasa memperoleh kemenangan besar, tetapi di pihak lain sangat tidak menyenangkan kaum Muslimin. Hanya karena ketaatan mereka yang sempurna kepada Rasulullah saw. sajalah yang menenangkan hati mereka. setibanya di Madinah, Rasulullah saw. menerima wahyu yang berbunyi:

“Sesungguhnya Kami telah memberi kemenangan kepada engkau dengan kemenangan yang terang, agar Allah melindungi engkau yang (konon) sudah terjadi dan yang akan terjadi, dan (agar) Ia menyem-purnakan nikmat-Nya kepada engkau, dan (agar) Ia memimpin engkau pada jalan yang benar, dan (agar) Ia menolong engkau dengan pertolongan yang perkasa.” (QS Al-Fath 48:1-3)

Pasal-pasal yang secara lahiriah duniawiah merupa-kan penghinaan terhadap kaum Muslimin, menurut ayat suci tersebut justru merupakan pasal-pasal kemenangan yang terang, kemenangan hakiki, fathan mubînâ. Dengan tercapainya kemenangan rohani, yang bersifat duniawi diperoleh pula. Demikian cara Islam berjuang memper-oleh sesuatu, bukan sebaliknya. Duniawi penting tetapi hanyalah alat, bukan tujuan. Maka jangan dibalik, alat dijadikan tujuan.

Musuh Islam bukan orang

Kemenangan hakiki yang bersifat rohani ini menjadi lebih jelas lagi jika kita mengetahui siapakah musuh sejati Islam yang harus dikalahkan itu. Islam itu bukan orang, dan bukan pula golongan. Oleh karena itu musuhnya pun bukan orang dan bukan pula golongan. Boleh jadi musuh Islam itu bersemayam dalam dada orang Islam sendiri, dan boleh jadi pula bersemayam dalam dada orang-orang non-Islam, faktanya:

  1. Kemusyrikan, termasuk musyrik khafiy, misalnya dalam rangka mencari ilham (baca wisik) dan terkabulnya doa dengan cara semedi dengan segala rangkaiannya yang berupa maksiat (zina) di Gunung Kemukus, Sragen, Jawa tengah, peziarah-peziarah itu bukan hanya orang-orang non-Islam, sebagian besar justru mereka yang dalam KTP-nya tertulis sebagian orang Islam.
  2. Kekafiran, termasuk kufrun-ni’mah, pelaku-pelakunya juga bukan hanya orang-orang non-Islam, tetapi sebagian besar di negeri ini pelaku-pelakunya adalah orang-orang Islam, maka wajar jika di negeri yang kaya raya ini rakyatnya miskin.
  3. Kemaksiatan, pengunjung tempat-tempat maksiat kebanyakan juga mereka yang mengaku sebagai orang-orang Islam, maka wajar jika Allah senantiasa memberikan tadzkirah berupa bencana alam dan berbagai musibah. Ini pertanda kita mengalami krisis iman dan moral.
  4. Kedurhakaan, para pendurhaka di negeri ini bukan hanya mereka yang non-Islam, tetapi juga mereka yang mendakwahkan diri sebagai Muslim kuantitas-nya lebih besar.
  5. Tidak amanah, terutama para pemimpinnya banyak yang melakukan KKN, sehingga bangsa dan negara terpuruk dalam berbagai krisis, terutama ekonomi dan politik.

Musuh-musuh Islam yang berupa kemusyrikan, kekafiran, kemaksiatan, kedurhakaan dan sesamanya itu harus kita lawan, harus kita perangi dengan senjata dengan mempertaruhkan jiwa. Senjatanya bukanlah pedang atau bedil, melainkan dengan dakwah bersenjatakan Al-Qur’an dan Hadits – yang dalam Al-Qur’an dinyatakan sebagai jihad kabir atau perjuangan yang besar dengan metode:

  1. dengan cara arif bijaksana, bilhikmah
  2. dengan nasihat dan pelajaran yang baik, mau’izhatil hasanah
  3. melalui debat dengan cara sebaik-baiknya, wajadilhum billatî hiya ahsan (16:125)

Cara ketiga terutama ditujukan kepada kaum non-Muslim yang dalam Al-Qur’an disebut Ahlikitab: Walâ tujâdilû ahlal kitâbi illâ billatî hiya ahsan, illalladzîna zhalamû minhum, dan janganlah kamu berdebat dengan kaum Ahlikitab kecuali dengan cara yang sebaik-baiknya, ter-kecuali orang-orang yang lalim di antara mereka (29:46). Termasuk Ahlikitab ialah mereka yang mendakwahkan diri sebagai orang Kristen, waminalladzîna qâlû innâ nashâra (5:14). Mereka inilah yang pada zaman akhir ini berusaha keras memusnahkan Islam sebagaimana diisyaratkan dalam ayat yurîdûna an yathfi’û nûrallâhi biafwâhihim, mereka hendak memadamkan Cahaya Allah (Islam) dengan mulut mereka (9:32; 61:8), atau berusaha keras mengkristenkan umat Islam, sebagaimana dinyata-kan dalam ayat walan tardhâ ‘ankal-yahûdu walan-nashârâ hattâ tattabi’a millatahum, orang-orang Yahudi tak akan rela kepada kamu dan demikian pula orang-orang Kristen, sehingga kamu (orang Islam) mengikuti agama mereka (2:120). Padahal mereka itu yang seharusnya diseru kepada Islam, wahuwa yud’â ilal-Islâm.

Gerakan Kristenisasi umat Islam di dunia ini yang gencar adalah di Indonesia, terbukti seperti dikatakan oleh Dr. Pendeta Victor I. Tanja, “PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) umpamanya masih berbicara tentang Indonesia sebagai satu daerah pekabaran Injil. Artinya, bahwa Injil harus diberitakan ke seluruh pelosok dunia (Mat 28).” (Republika, 13 Agustus 1993). Tak ada bedanya dengan penjajahan Belanda dan Portugis, Victor katakan: “… Agama Kristen, baik Roma Katolik ataupun Protestanisme, keduanya tiba di Nusantara sebagai bagian dari kekuatan kolonialisme Barat. Ini tak berarti tidak ada perbedaan kepentingan antara pekabaran Injil dengan kolonialisme. Jelasnya, kepentingan kedua kekuatan yang beraliansi ini adalah sama, yakni mau menaklukkan orang yang hendak dijajah dan yang hendak dikristenkan. Agama Kristen disebarkan di Nusantara melalui para imam dan pendeta, yang mendukung pemerintahan kolonial di Indonesia.” (Ibid).

Hal ini sesuai dengan kesepakatan perdamaian antara Roma Katolik dengan Protestanisme di Augsburg tahun 1555, yang berprinsip cuius regio cuis religio, siapa punya wilayah dialah yang punya agama. Prinsip ini secara diametral bertentangan dengan prinsip Islam. Jika dalam suatu wilayah yang berkuasa seorang Muslim, tak akan memberi hak hidup kepada agama Islam saja, tetapi ia akan memberi hak hidup kepada agama-agama lain pula, sebab mengimani semua kitab suci dan para Nabi, dan juga menghormati semua agama sebagaimana ia harus menghormati semua umat manusia. Hal ini diisyaratkan dalam ayat:

“Dan sekiranya tak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, niscaya akan ditumbangkan biara-biara, gereja-gereja, kani-sah-kanisah, dan masjid-masjid, yang di dalam-nya banyak diingat nama Allah. Dan sesungguhnya Allah akan menolong orang yang menolong Dia. Sesungguh-nya Allah itu Yang Maha-kuat, Yang Maha-perkasa.” (QS Al-Hajj 22:40)

Dan lengkaplah ayat:

“Dan sekiranya bukan karena tolakan Allah atas sebagian manusia oleh sebagian yang lain, niscaya dunia akan kacau balau; akan tetapi Allah bermurah hati kepada serwa sekalian alam. Ini adalah ayat-ayat Allah – Kami membacakan itu kepada engkau dengan benar; dan sesungguhnya engkau adalah golongan orang yang diutus.” (QS Al-Baqarah 2:251-252)

Menjunjung agama melebihi dunia

Akhirnya sebagai penutup perlu penulis tekankan bahwa umat Islam tak dilarang untuk mencari kenikmatan duniawi, karena Allah menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini agar didayagunakan oleh umat manusia, termasuk umat Islam. Namun harus diingat bahwa duniawi adalah alat, bukan tujuan. Pendayagunaannya haruslah sesuai dengan syariat Islam, barangkali rumusannya menjunjung agama melebihi dunia. Umat Islam wajib menjalankan syariat agama dalam segala aspek kehidupannya.

Di samping itu, adalah suatu kenyataan bahwa nikmat duniawi sifatnya sementara dan nikmat yang rendah, mata’ud-dunyâ qalîl (4:77), bahkan matâ’ul-ghurur, kesenangan yang memperdayakan (3:185); sedang nikmat rohani itu, lebih baik dan lebih kekal, khaîr wa abqâ (42:36). Sebagai contoh mari kita analisa Perdamaian Hudaibiyah yang dianggap sebagai kemenangan (duniawi) oleh kaum kafir dan sebaliknya merupakan ‘kekalahan’ secara duniawi bagi kaum Muslimin, tetapi esensinya merupakan kemenangan hakiki bagi Rasulullah saw. dan para sahabatnya.

  1. Perjanjian damai berlaku selama sepuluh tahun, berarti selama sepuluh tahun umat Islam tak diricuhi kaum kafir Mekah dan sekutunya. Sejarah mencatat, saat itu dimanfaatkan oleh Rasulullah saw. untuk berdakwah secara damai dengan mengirim surat kepada para raja dan pemimpin di sekitar tanah Arab. Dan ternyata dua tahun setelah Perjanjian damai itu jumlah umat Islam meningkat tajam sampai ratusan persen.
  2. Dalam tahun tersebut umat Islam tak diizinkan menunaikan ibadah haji ini bukan suatu kegagalan, karena salah satu syarat naik haji adalah aman jalannya. Jika keadaan tidak aman, kewajiban tak dibebankan atas mereka. Di samping itu ibadah haji diwajibkan hanya sekali saja seumur hidup.
  3. Tahun berikutnya umat Islam diizinkan menunaikan ibadah haji, meski hanya tiga hari di Mekah. Ini bukan kekalahan bagi umat Islam, tetapi justeru suatu kemenangan bagi mereka. Tiga hari telah cukup untuk menunaikan ibadah. Di samping itu jaminan keamanan terhadap umat Islam adalah sangat tinggi nilainya, bahkan tak dapat dinilai secara materiil.
  4. Kaum Muslimin wajib mengembalikan orang Mekah yang hijrah ke Madinah bagi yang masuk Islam sesudah perjanjian ini, rasanya untuk sementara menguntungkan kaum kafir, tetapi hakikatnya merugikan diri mereka sendiri, sebab orang Mekah yang masuk Islam sesudah perjanjian damai itu berarti mereka sungguh-sungguh beriman dan siap menanggung akibatnya, misalnya yang dialami oleh Utbah.
  5. Kaum Quraisy tak wajib mengembalikan orang Islam yang kembali ke Mekah. Opsi ini membuat kaum kafir merasa menang, tetapi nyatanya mereka tak mendapat keuntungan sama sekali, sebab tak ada seorang pun yang murtad lalu lari ke Mekah. Seandainya ada, umat Islam tak dirugikan, tetapi justeru beruntung, karena dalam membangun masyarakat Islam tak diperlukan orang munafik atau murtad.

Nah, dari contoh di atas teranglah bahwa: (1) Kemenangan duniawi sifatnya sementara dan memperdayakan, sedang kemenangan rohani itu lebih baik dan sifatnya kekal. (2) Kemenangan hakiki memang perlu pengorbanan duniawi, tetapi tak berarti harus mengabaikannya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat:

“Dan carilah tempat tinggal di akhirat dengan barang yang diberikan oleh Allah kepada engkau; dan jangan-lah kau lupakan bagian kamu tentang keduniaan; dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepada engkau, dan janganlah mencari kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tak suka kepada orang yang berbuat rusak.” (QS Al-Qashash 28:77).

Senada dengan itu kita diajari agar memanjatkan doa:

“Ya Allah, Tuhan kami limpahkanlah kepada kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat, serta jauhkanlah kami dari siksa api neraka.” (QS Al-Baqarah 2:201)

Mudah-mudahan kita sekalian termasuk orang-orang yang dikaruniai kebaikan di dunia dan di akhirat itu. Amîn, yâ Rabbal ‘âlamîn.[]

 

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »