Tabayyun

Kematian Ghulam Ahmad karena mubahalah?

Para penentang H.M. Ghulam Ahmad dan Gerakannya seringkali mengemukakan bahwa kematian beliau karena doa mubahalah beliau sendiri yang ditulis pada tgl. 15 April 1907 lalu  dimuat dalam majalah Ahli Hadits, edisi 26 April 1907, yang beliau namakan  “Penghabisan Verslag” yang dipetik  oleh penulis artikel ”Matinya Mirza Ghulam Ahmad” dalam rubrik Cakrawarta, Majalah  Keluarga Islam NIKAH Vol. 7 No. 3 Juni-Juli 2008, sbb:

“Wahai Allah SWT yang Maha-mengetahui rahasia-rahasia  yang tersimpan  di hati. Jika aku seorang pendusta, pelaku kerusakan  dalam pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas nama-Mu pada waktu siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Tsanaullah masih hidup, dan berilah  kegembiraan kepada pengikutnya dengan sebab kematianku.” Lebih  lanjut: ”Wahai  Allah! Dan jika  saya benar, sedangkan Tsanaullah berada di atas kebathilan pendusta pada tuduhan yang diarahkan  kepadaku, maka binasakanlah  dia dengan penyakit ganas, seperti tha’un, kolera atau  penyakit  lainnya, saat aku masih  hidup. Amin.”

Lantas penulis artikel itu menyimpulkan sbb:

”Begitulah bunyi doa Mirza Ghulam Ahmad. Sebuah doa  mubahalah. Dan benarlah, doa yang ia tulis dalam suratnya tersebut  dikabulkan oleh Allah SWT, tepatnya, 13 bulan 10 hari sejak doanya itu, yaitu pada tanggal 26 bulan Mei 1908 M. Mirza Ghulam  Ahmad ini dibinasakan oleh Allah SWT dengan  penyakit kolera, yang dia harapkan menimpa Syekh Tsanaullah” (hlm.42).

Sepintas lalu kesimpulan tersebut benar, karena faktanya Syekh Tsanaullah masih hidup sampai sekitar 40 tahun setelah kematian H.M. Ghulam Ahmad. Akan tetapi kesimpulan  tersebut salah, karena  premisnya salah, sebab hanya mencomot sebagian teks saja dari suatu surat dalam peristiwa yang panjang, maka keluar dari konteksnya. Maka dari itu opini semacam itu menyesatkan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Tsanaullah menolak bermubahalah

Perlu  diketahui bahwa kematian HM Ghulam Ahmad tak ada hubungan dengan doa dalam surat mubahalah  itu, sebab Tsanaullah  menolak menandatanganinya. Berarti Tsanaullah tak berani bermubahalah dengan beliau. Dan yang kedua  kalinya, sebagaimana tercermin dalam pernyataan yang dimuat dalam edisi tersebut, yang bunyinya sbb:

”Tuan  tidak minta izin  terlebih dahulu kepada saya  untuk menuliskan doa itu. Oleh sebab itu saya tidak mau menerima doa itu. Saya melawan tuan. Tetapi kalau saya mati apa  faedahnya untuk orang lain? Rasul yang datang dari Allah senantiasa  mau supaya orang lain  jangan binasa. Apa sebab tuan mendoa untuk membinasakan saya? Allah SWT akan memberi umur panjang kepada orang dusta. Orang yang mufsid dan orang penipu dan orang yang melawan hukum Allah, supaya ia leluasa untuk berbuat jahat. Oleh sebab itu saya tidak mau menerima tulisan tuan itu, dan tidak bisa diterima oleh seorang yang  berakal” (hlm. 5-6).

Dalam edisi sebelumnya – tatkala surat mubahalah terlanjur dikirimkan – Tsanaullah menulis sbb:

”Saya tidak pernah mengajak tuan untuk mubahalah. Saya cuma mengatakan mau bersumpah, tetapi tuan anggap perkataan saya itu sebagai ajakan untuk mubahalah. Padahal  dalam mubahalah mesti bersumpah kedua belah pihaknya. Saya mau bersumpah, bukan mubahalah; sumpah lain dengan mubahalah” (Ahli Hadits, 19 April 1907, hlm.4).

Pernyataan Tsanaullah yang mengisyaratkan adanya  ketakutan itu sebagai respons terhadap tanggapan HM Ghulam Ahmad pada awal bulan April 1907 sbb:. ”Baiklah, kalau Maulvi jadi mubahalah  dengan saya, dia mesti  mati di kalangan saya”  yang kemudian  beliau  perjelas dalam selebaran tertanggal 5 April 1907  a.l. sbb:

”Jikalau memang  saya seorang  pembohong, pengada-ada sebagai  yang engkau tuduhkan dalam tiap-tiap  karanganmu itu maka saya akan  mati celaka  di waktu engkau masih hidup. Karena saya tahu, bahwa segala  perusak, pembohong tidaklah akan hidup lebih lama dan akhirnya dia akan mati secara hina dina dan menyesal di kala masih hidup musuh besarnya, sehingga dia tidak mungkin lagi merusak-binasakan hamba Allah”.

Selebaran  tersebut merupakan jawaban atas kesediaan Tsanaullah bermubalalah  dengan beliau, yang telah disebarluaskan lewat majalahnya, Ahli Hadits edisi 29 Maret 1907, ia menyatakan kesediannya dengan  berpedoman kepada ayat ”faqul ta’alau nad’u abna-ana wa abna akum (maka katakanlah mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu… QS 3: 61) dan sekarang juga saya berani bermubahalah” pernyataan serupa ini pernah pula ia nyatakan sekitar satu tahun sebelumnya (1906) yang  akhirnya juga ia ingkari dengan alasan ”Saya bukan nabi, bukan rasul seperti tuan dan pula tidak menerima wahyu dari Tuhan. Sebab itu saya tidak dapat berhadapan dengan cara ini.”

Jawaban tersebut terkait dengan pernyataan H.M. Ghulam Ahmad tahun 1902, tatkala Tsanaullah pertama kali tampil menyambut tantangan mubahalah beliau, yang langsung beliau sambut dengan pernyataan ”si pendusta akan mati semasa yang benar masih hidup” (I’jaz Ahmadi, 1902, hlm. 4).

Sejarah mencatat, tatkala perlawanan terhadap H.M. Ghulam Ahmad menjadi – jadi, beliau menempuh jalan yang amat menentukan, mubahalah, yakni memohon keputusan Ilahi  supaya yang dusta diketuk oleh Allah dengan jalan mati terkutuk, selama yang benar masih hidup. Jangka waktunya satu tahun.  Dalam tahun 1896 beliau telah menginventarisir sejumlah ulama penentang keras beliau dalam bukunya Anjam Atham. Mereka ditantang untuk mubahalah. Semuanya diam tak menjawab tantangan mubahalah beliau itu, tetapi beberapa tahun kemudian karena desakan kawan-kawannya, Syekh Tsanaullah (nomor 11) berani menyambut tantangan mubahalah beliau itu. Kesediaan Tsanaullah itulah yang mendorong H.M. Ghulam Ahmad menyatakan seperti tersebut dalam I’jaz Ahmadi (1902) di atas.

Jadi tarik menarik antara jadi mubahalah atau tidak mubahalah itu berlangsung  tidak kurang dari sepuluh tahun, dari tahun 1986 sampai dengan tgl 26 April 1907. Pada tanggal  ini pula surat kabar Wathan memuat tulisan Tsanaullah yang ditujukan kepada beliau: ”(Wahai Ahmad) tolonglah perlihatkan kepada saya suatu mukjizat  agar saya mendapat petunjuk, kalau saya sudah mati apa yang akan saya lihat dan bagaimana saya akan memperoleh petunjuk?” Empat bulan berikutnya dalam majalah Muraqqa Qadiani edisi Agustus 1907, dia menulis lagi : ”Nabi Muhammad saw. yang benar itu sudah wafat lebih  dahulu dari Musailamah pendusta, sedang umur Musailamah sudah dipanjangkan” (Fawzy Sa’ied Thaha, Ahmadiyah Dalam Persoalan, 1981, hlm. 179).

Dari paparan tersebut teranglah bahwa Syekh Tsanaullah dua kali tampil untuk bermubahalah dengan H.M. Ghulam Ahmad, tetapi dua kali pula dia menarik  diri dari medan perang doa itu. Jadi  mubahalah antara keduanya  tidak pernah terjadi. Dengan demikian kematian H.M. Ghulam Ahmad  tak ada hubungan dengan doa mubahalah yang dimuat majalah Ahli Hadits tgl. 26 April 1907,  sebab dia tidak berani menandatangani surat mubahalah tersebut. Jika demikian yang dikabulkan oleh Allah apakah  bukan ucapan  Syekh Tsanaullah yang juga dipublikasikan pada tgl. 26 April 1907 dalam majalah Ahli Hadits itu?

Penggenapan profetik-eskatologik

Kelakuan para alim ulama seperti  yang  dipresentasikan oleh Syekh Tsanaullah itu selain merupakan manifestasi dari pernyataan Ilahi dalam ayat 36:30 di atas, juga mengingatkan  orang-orang  tulus akan perbuatan orang-orang beriman di akhir zaman, bahwa mereka dinasehati agar menyesuaikan perbuatannya dengan ucapannya (61:2-3), jangan seperti ”orang-orang yang dibebani Taurat, lalu mereka tak memperhatikan itu” lukisannya ”ibarat keledai  yang mengangkut kitab-kitab;” Allah tegaskan

”Buruk  sekali perumpamaan orang-orang  yang mendustakan  ayat-ayat Allah. Dan Allah  tak memberi petunjuk kepada kaum yang lalim.” (62:5).

Lebih lanjut  Allah menjelaskan :

”Katakanlah: Wahai orang – orang Yahudi, jika kamu  mengira bahwa kamu adalah kekasih Allah dengan mengecualikan manusia yang lainya, maka mohonlah kematian jika kamu orang yang benar,”(62:6)

lalu Allah  memberi tahu hamba-hambaNya yang tulus:

”tetapi mereka pasti tak akan mohon  diberi itu karena apa yang dilakukan  oleh tangan mereka dahulu. Dan Allah itu Yang Maha-mengetahui akan kaum yang lalim” (62:7).

Akhirnya hamba-hamba yang tulus dianjurkan agar menyatakan:

”Sesungguhnya kematian yang kamu melarikan diri dari  padanya, itulah sesungguhnya yang akan menjumpai engkau; lalu  kamu akan  dikembalikan kepada Tuhan Yang Maha –mengetahui barang gaib dan barang yang kelihatan, lalu ia akan memberitahukan kepada kau apa yang kamu kerjakan” (62:8).

Di akhir zaman ini orang-orang  dianugerahi Allah dengan karunia yang besar (62:4) adalah kaum Ahmadi, karena merekalah yang dikaruniai hidayah Ilahi lewat seorang utusan dari bangsa lain yang belum  pernah menggabungkan diri dengan bangsa Ummi (62:3), beliau adalah  mazhar sempurna Nabi Suci Muhammad saw. seorang Utusan dari bangsa Ummi (62:2).  Mereka adalah orang yang telah mendengar seruan seorang Munadi  (Penyeru) yang menyeru kepada  iman dan mereka beriman (3:193). Sedang  yang dimaksud ”Yahudi”  yang menganggap sebagai kekasih Allah, tetapi takut menghadap-Nya adalah para alim ulama Islam yang diwakilkan oleh Syekh Tsanaullah, karena seperti diterangkan di muka ia tak berani bermubahalah dengan H.M. Ghulam Ahmad hanya karena takut mati, sebagaimana diisyaratkan  dalam ayat 62: 6-7. Mereka memperolok-olokan orang  yang diutus Tuhan (36:30) karena merasa dirinya benar.

Sejarah pun memberi kesaksian, seandainya terjadi mubahalah tentu Tsanaaullah mati sebelum tgl. 26 April 1908, tatkala H.M. Ghulam Ahmad masih hidup, sebab beliau wafat pada tanggal 26 Mei 1908. Karena tak terjadi mubahalah maka yang terjadi adalah ucapan Syekh Tsanaullah sendiri ”bahwa Alah SWT akan memberi umur panjang kepada orang dusta, orang yang  mufsid dan orang yang melawan hukum Allah.” Bagaimana  kehidupan Tsanaullah pasca 1907? Dalam usianya yang panjang ia menyaksikan, kegagalan jihadnya  membinasakan Ahmadiyah. Karena  Gerakan Ahmadiyah terus berkembang, bukan  hanya di India-Pakistan saja, melainkan juga di seluruh dunia. Sedang  perjuangan  dirinya terus melemah, dan akhirnya  lenyap tanpa bekas,  tak ada  penerus.

Tatkala  terjadi  huru-hara pada tahun 1947 di anak benua India, anak tunggalnya (laki-laki) dicincang  oleh orang-orang Sikh dihadapan matanya sendiri. Sesudah  itu rumahnya dibakar, isinya a.l. ribuan buku kebanggaannya dibakar  hangus oleh orang-orang Sikh itu. Dia dan istrinya harus angkat kaki dari Amritsar mencari perlindungan baru di negeri baru, Pakistan. Dia tinggal, di pondok kecil  di sudut kota Sargodha. Di sinilah dia kembali kepada Tuhannya tanpa  meninggalkan anak, murid, nama dan pengaruh. Hanya   preman berjubah saja yang mengagungkan  dia. Sebaliknya, H.M. Ghulam Ahmad,  pengikutnya terus bertambah dan berjuang menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia. Pusat – pusat dakwah  dan tabliqh  dibuka di kota-kota besar dunia. Tafsir Quran  dan buku-buku  agama ditulis dalam berbagai bahasa dunia hanya demi li i’la’i kalimatillah tanpa gunakan pedang, sesuai dengan profetik-eskatologik tentang patahnya salib dan terbitnya matahari dari barat, karena memang penggenapannya.

 

Penulis: K.H. S. Ali Yasir

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here