Artikel

Kaderisasi GAI: Sebuah Keniscayaan

Sebagai sebuah organisasi, GAI sebenarnya memiliki cukup modal untuk segera menambal kebocoran kapalnya sebelum benar-benar tenggelam. Akan tetapi, upaya kaderisasi agaknya kurang diperhatikan sehingga keadaannya seolah menjadi semakin parah. Kalau hal ini dibiarkan terus-menerus, tidak tertutup kemungkinan bahwa visi “Menegakkan Kedaulatan Tuhan” itu hanya akan menjadi slogan yang lapuk dimakan zaman.

Oleh : Muslim, S.Fil.I | AMAI Yogyakarta

kapal karamGerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) adalah sebuah kapal yang sedang berlayar menuju kerajaan Tuhan. Perjalanan yang teramat mulia ini tentu membutuhkan perjuangan keras agar selamat sampai tujuan. Perjalanan panjang selama kurun waktu lebih dari setengah abad sejak 1928 sampai sekarang cukup membuktikan bahwa untuk mencapai titik tujuan tersebut diperlukan segala daya dan upaya agar kapal ini bisa sukses berlabuh.

Tetapi, di tengah perjalanannya, kapal ini hampir tenggelam dengan berbagai problemnya, oleh karena berbagai kebocoran di sana-sini. Jumlah kebocoran terlalu banyak dan tidak berbanding lurus dengan jumlah pekerjanya. Lantas, siapa yang akan menutupi kebocoran itu? Tambalan apakah yang akan dipergunakan?

Karena itu, dibutuhkan para kader dakwah yang akan bekerja menutupi kebocoran kapal organisasi ini, dengan tambalan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itulah peran kaderisasi, sebagai upaya memperbanyak jumlah para pekerja dakwah, menjadi begitu penting. Sehingga dengan itu, GAI bisa dengan cepat menutupi semua persoalannya.

Tanpa adanya proses kaderisasi, rasanya sulit membayangkan sebuah organisasi mampu bergerak maju dan dinamis. Sebagaimana hukum alam, ada suatu siklus dimana semua proses pasti akan terus berulang dan terus berganti.
Kaderisasi bisa diibaratkan sebagi jantungnya sebuah organisasi. Karena, proses kaderisasi dapat menciptakan embrio-embrio baru yang nantinya akan memegang tongkat estafet perjuangan. Kaderisasi tidak hanya berusaha menciptakan kader yang bukan hanya hebat dalam mengerjakan program, tapi lebih dari itu. Kaderisasi haruslah mampu menciptakan kader yang memiliki jiwa pemimpin, memiliki emosi yang terkontrol, kreatif, dan mampu menjadi pemberi solusi untuk setiap permasalahan. Dan yang terpenting, seorang kader harus mampu dan pantas menjadi seorang teladan bagi yang lain.

Karena itu, kaderisasi merupakan kebutuhan internal yang harus dilakukan demi keberlangsungan GAI. Namun, tentu perlu difikirkan format dan mekanisme yang komprehensif dan mapan, guna memunculkan kader-kader yang tidak hanya mempunyai kemampuan di bidang manajemen organisasi, tapi yang lebih penting adalah tetap berpegang pada komitmen gerakan dengan segala dimensinya.

Sukses atau tidaknya GAI sebagai sebuah organisasi, dapat diukur dari kesuksesannya dalam proses kaderisasi internal yang dikembangkannya. Sebab, wujud dari keberlanjutan GAI adalah munculnya kader-kader yang memiliki kapasitas dan komitmen terhadap dinamika organisasi, untuk masa depan Islam.

Kaderisasi di tubuh GAI tentu saja tidak dimaksud untuk memenuhi kepentingan kelompok  semata, tetapi lebih sebagai upaya memasok sumber daya manusia yang berguna bagi Islam pada umumnya. Sebab, GAI adalah gerakan di dalam Islam yang menjunjung spirit menegakkan kedaulatan Tuhan.

Karena itu, GAI sudah selayaknya memikirkan estafet kepemimpinan, yang bisa menjalankan amanah organisasi dengan baik, dan memiliki semangat juang di segala aspek kehidupan. Hal ini menjadi sangat penting dan harus dilakukan, mengingat tantangan dakwah GAI saat ini dan ke depan jauh akan lebih sulit dan kompleks. Kader-kader dari berbagai disiplin ilmu akan diperlukan, dan diharapkan mampu menjawab berbagai macam tantangan zaman. Sehingga dengan itu GAI bisa dengan konsisten ber-layar menuju kerajaan Tuhan.

Generasi yang akan melanjutkan kiprah dakwah para sesepuh GAI sekarang ini harus dipersiapkan sejak dini. Untuk itulah GAI harus melakukan program kaderisasi ini baik secara formal maupun informal, sehingga diharapkan akan lahir kader-kader dakwah yang mampu berkiprah serta melanjutkan misi dakwah Islam di masyarakat.

Sebagai sebuah organisasi, GAI sebenarnya memiliki cukup modal untuk segera menambal kebocoran kapalnya sebelum benar-benar tenggelam. Akan tetapi, upaya kaderisasi agaknya kurang diperhatikan sehingga keadaannya seolah menjadi semakin parah. Kalau hal ini dibiarkan terus-menerus, tidak tertutup kemungkinan bahwa visi “Menegakkan Kedaulatan Tuhan” itu hanya akan menjadi slogan yang lapuk dimakan zaman.

***

Alkisah, ada seorang raja, yang dalam satu kesempatan perjalanan plesirannya, melihat seorang kakek renta menanam pohon kurma. Karena penasaran, sang raja bertanya pada sang kakek, tentang alasan dia menanam pohon kurma itu. Sebab sang raja tahu, pohon kurma itu tidak akan berbuah kecuali setelah beberapa tahun. Karena itu, mana mungkin sang kakek dapat menikmati buah dari pohon yang ditanamnya itu.

Ketika ditanya soal itu, sang kakek menjawab dengan bijak, “Hari ini, kita menikmati buah kurma yang pohonnya ditanam orang-orang sebelum kita. Apakah salah jika kita mengikuti jejak mereka, dengan menanam pohon kurma saat ini, supaya generasi setelah kita dapat menikmati buahnya kelak di kemudian hari?”

Begitu perhatiannya sang kakek terhadap keberlangsungan kehidupan generasi yang akan datang. Dia tidak ingin generasi berikutnya tertimpa masalah, mengalami kemunduran hingga akhirnya menghilang tanpa jejak.
Pada dasarnya ini jugalah kiranya yang menjadi alasan mengapa Minhadjurrahman Djojosugito mendirikan sekolah-sekolah PIRI beberapa tahun setelah mendeklarasikan  GAI.

Djojosugito, mudah-mudahan AllahSWT menerima segala amal baik dan mengampuni dosanya, tidak menghendaki terputusnya upaya kaderisasi di tubuh GAI, yang pada akhirnya melahirkan dosa sejarah. Oleh sebab itu, beliau merintis sekolah PIRI, yang diharapkan menjadi hulu cikal bakal tersebarnya Islam melalui GAI. Bukan hanya itu, beliau juga bercita-cita mendirikan pondok pesantren sebagai ladang dakwah Islam, sekalipun sampai saat ini belum terwujud.

Karena itu, penyelenggaraan sekolah-sekolah PIRI dari TK sampai Perguruan Tinggi, seyogyanya dikembalikan ke khithah semula, yakni sebagai sarana dakwah Islam melalui GAI. Karena, PIRI adalah ladang persemaian kader-kader GAI. Bukan seperti sekarang ini, yang seolah-olah memisahkan antara GAI dengan PIRI, sebagaimana tersirat dalam maklumat No. 071/G/PP/2011.2 Meskipun, maklumat itu mungkin hanya “trik politik” organisasi dalam menghadapi situasi yang genting pada waktu itu.

Akan tetapi phobia yang berlebihan itu menurut saya tidak penting. Karena pada dasarnya GAI memang tidak bermasalah dan tak ingin punya masalah dengan siapa pun dan kelompok mana pun, selaras dengan perwujudan dari sifat jamali Nabi Muham-madsaw yang selalu ingin menyiarkan Islam melalui cara-cara yang ma’ruf, sehingga tercipta suasana “salam”.

Seandainya GAI dengan PIRI sebagai “anak tunggal”-nya bisa bersinergi secara positif, niscaya GAI bisa terus melanjutkan perjalanan, sekalipun tantangan senantiasa menghadang. Wallahu a’lam.[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »