ArtikelEdisi KemerdekaanKliping

Jong Islamieten Bond (JIB) dan Peran Gerakan Ahmadiyah di dalamnya

JONG ISLAMIETEN BOND (JIB) adalah Organisasi nasional intelektual muda Islam yang didirikan di Jakarta pada tanggal 1 Januari 1925 oleh R. Samsurizal (Raden Sam), sekaligus sebagai Ketua JIB yang pertama (1924-1926). Berturut-turut yang menjadi Ketua JIB sesudahnya adalah Wiwoho Purbohadijoyo (1926-1929), Kasman Singodimejo (1929-1936), M. Arifaini (1935-1936) dan Sunarya Mangunpuspito (1936-1942).

Atas perintah Pemerintah fasis Jepang, di tahun 1943 semua organisasi dibekukan, termasuk JIB. Baru pasca kemerdekaan Indonesia, tepatnya 5 Mei 1947, JIB bangkit kembali dengan nama Pelajar Islam Indonesia (PII), dideklarasikan oleh Yusdi Ghozali di Yogyakarta.

Asas dan tujuan JIB dapat dilihat dari isi pidato Raden Sam pada Kongres JIB yang pertama. Dalam pidatonya, Raden Sam antara lain menyatakan, “Allah SWT mewajibkan kami tidak hanya berjuang untuk bangsa dan negara kita, tetapi juga untuk umat Islam di seluruh dunia. Hanya, hendaknya di samping aliran-aliran Islam, kita selalu memberi tempat kepada aliran-aliran nasionalistis. Selain kewajiban yang utama ini, kami wajib berjuang untuk umat Islam seluruhnya, sebab kami orang Islam adalah hamba Allah SWT. dan kami hanya mengabdi kepada-Nya, Yang Maha-kuasa, Maha-arif, Maha-tahu, Raja alam semesta. Inilah prisip yang menjiwai JIB.”

Di akhir pidatonya itu, Raden Sam menyitir sikap politik JIB, “Pada kursus-kursus, ceramah-ceramah dan debat-debat yang kami selenggarakan, akan diusahakan sejauh mungkin meningkatkan pengertian tentang politik, terutama dari sudut pandang Islam. Tetapi JIB tidak akan ikut aksi politik. Pun anggota-anggota kami tidak akan terjun dalam politik atas nama organisasi. Tetapi tidak melarang para anggotanya yang secara sah dapat ikut dalam gelanggang politik, dengan harapan, mereka tidak berbuat berlebih-lebihan atau menonjol sebelum waktunya”. (Ridwan Saidi, 1984:31).

Organisasi Nasionalis Religius
Jong Islamieten Bond amat signifikan dalam memperjuangkan Kemerdekaan RI. Tetapi, tampaknya tak banyak generasi muda Indonesia kini yang mengenalnya. Terlebih, tidak sedikit buku yang menerangkan eksistensi JIB secara tidak proporsional.

Sebagai misal, kita bisa membacanya dalam buku Sejarah Perjuangan Indonesia yang disusun oleh “Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen P.D.&K”, di bawah Kementerian P.D.& K yang dikepalai oleh Prof. Dr. Prijono. Di halaman 47 buku itu JIB sedikit disinggung, antara lain tertulis, “Dalam perkembangan organisasi pemuda pada tingkat pertama ini, juga berlangsung proses penggolongan berdasarkan aliran agama. Pemuda yang beragama Islam yang semula bergabung dalam Jong Java merasa dirinya lebih tepat kalau mendirikan organisasinya sendiri”.

Lalu, di halaman 195-196 dari buku Sejarah Nasional Indonesia jilid V, yang disusun oleh Sartono Kartodirjo, Marwati D. Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, yang diterbitkan oleh Depdikbud (1975), antara lain tertulis:

“Perkembangan gerakan politik ternyata juga menyeret Jong Java, sehingga masalah ini menjadi hangat dalam Konggres VII tahun 1924. Ada usul supaya Jong Java tetap tidak dijadikan perkumpulan politik, tetapi kepada anggota yang sudah dewasa diberi kebebasan berpolitik … Usul ini ditolak, yang setuju berpolitik kemudian mendirikan JIB dengan Agama Islam sebagai dasar perjuangan.”

Jadi, menurut buku yang pertama, motif berdirinya JIB itu sektarianis, karena didasari oleh agama. Sedangkan menurut buku yang kedua, motif berdirinya JIB terbilang politis. Padahal, pada kenyataannya, JIB tidaklah bersifat sektarian, tidak juga politis.

Faktanya, Jong Java saat itu anggotanya adalah pemuda Jawa terpelajar berpendidikan Barat. Meski mengaku Muslim, tetapi mereka acapkali meremehkan Islam. Sebabnya di sekolah, baik di tingkat SLTP (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs disingkat MULO) maupun SLTA (Algemune Middelbare School disingkat AMS), mereka tidak mendapatkan pelajaran Agama Islam. Bahkan, guru-guru Belanda di muka kelas suka menyindir-nyindir dan memburuk-burukkan ajaran Islam, Nabi Suci Muhammad dan Quran Suci. Dan ini seringkali membuat murid-murid yang beragama Islam sakit hati. Di samping itu, anggota Jong Java yang beragama Kristen atau Katolik, diberi kesempatan untuk mengikuti kursus agama yang diselenggarakan oleh sekolah.

Oleh karena itu, ketika Samsurizal terpilih sebagai ketua Jong Java pada Konggres VI (1923), ia lantas mengusulkan agar murid-murid beragama Islam juga diberi kursus agama Islam. Usul itu ia nyatakan kembali dalam Konggres VII (1924). Ada yang setuju terhadap usul itu, tapi ada juga yang tak setuju. Yang tidak setuju berasalan karena Jong Java bukan organisasi agama. Akhirnya, melalui voting, usul Samsurizal pun ditolak.

Penolakan itu kemudian menjadi latar belakang lahirnya JIB. Tetapi sekali lagi, JIB bukanlah organisasi sektarian dan bukan pula organisasi politik. JIB adalah organisasi intelektual muda Islam yang bersifat nasionalis-religius pertama di Nusantara. JIB bahkan berbeda dengan organisasi pemuda sebelumnya, yang bersifat lokal atau kesukuan, seperti Tri Koro Dharmo (1915) yang bertansformasi menjadi Jong Java (1918), dan juga Jong Celebes, Jong Sumatran en Bond, Jong Ambon, dan lain-lain.

Bahkan Boedi Oetomo sekalipun, yang hari lahirnya (20 Mei 1908) dimasyhurkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, faktanya tidak lain adalah Perkumpulan Orang-Orang Suku Jawa. Sebabnya, para pengurus dan anggota Boedi Oetomo hanya terdiri dari orang-orang Jawa saja.

Sikap nasionalis-religiuss dan non sekterian dari JIB secara implisit tampak dalam asas dan tujuannya. Hal ini tercantum dalam Anggaran Dasar (statuten) pertama JIB, yang berbunyi “mempelajari agama Islam dan menganjurkan pengamalannya” dan “menumbuhkan simpati umat Islam dan pengikutnya, di samping toleransi positif terhadap orang-orang yang berlainan agama”.

Lalu, secara eksplisit, sikap JIB itu tampak pula dalam organisasi kepanduannya yang disebut “Nasional Indonesche Panvinderij” (Natipij). Natipij didirikan pada tahun 1926, dan terbilang sebagai organisasi pandu pertama yang memakai nama Indonesia, istilah yang belum lazim dipakai saat itu. Tokoh Natipij antara lain Kasman Singodimejo dan Mohammad Roem.

Peran Gerakan Ahmadiyah dalam JIB
Dalam rubrik tanya jawab di halaman 17 Majalah Al-Lisan, majalah yang diterbitkan oleh Persatuan Islam (PERSIS), ada dialog singkat berikut, “Soal: Perkumpulan JIB itu perkumpulan Ahmadiyah atau bukan? Jawab: JIB bukan Ahmadiyah, tetapi sebagian lid-lid-nya atau bestuur-nya ada yang menjadi Ahmadiyah.”

Pertanyaan itu muncul karena hadirnya Mirza Wali Ahmad Baig, mubaligh Ahmadiyah Lahore, dalam beberapa Konggres JIB, bahkan ikut memberikan ceramah atau pidato di dalamnya. Di samping itu, peran para tokoh pendahulu Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dalam JIB sangat signifikan, karena mereka banyak menjadi pengurus dan anggota JIB.

Dalam periode kepengurusan Raden Sam, Muhammad Kusban telah duduk sebagai komisaris di kepengurusan pusat JIB. Lalu pada bulan Juni 1925, ia juga dipercaya sebagai Seksi Usaha. Di samping itu, banyak juga tokoh pendiri Gerakan Ahmadiyah yang menjadi anggota Pandu Natipij, gerakan pandu yang berada di bawah naungan JIB.

Majalah berbahasa Belanda yang diterbitkan JIB bertajuk An-Nur (Het Licht), yang boleh dikata menjadi majalah cendekiawan Muslim pertama di Indonesia, sejak terbit pertama kali pada Maret 1925, banyak diisi oleh Soedewo Partoadi Kusumo, yang di kemudian hari dikenal sebagai tokoh penulis yang produktif di tubuh Gerakan Ahmadiyah Indonesi (GAI).

Tidak sedikit juga tokoh JIB yang bersimpati dan berhubungan baik dengan Gerakan Ahmadiyah. Haji Agus Salim misalnya, yang dikenal sebagai Bapak Spiritual JIB, memuji-muji tafsir Quran Maulana Muhammad Ali sebagai “suatu karangan yang sepadan dengan pengetahuan dan pengertian kaum terpelajar zaman ini.”

Muhammad Natsir, salah satu anggota JIB yang di kemudian hari menjadi tokoh negeri ini, dalam bukunya Komt Tot Het Gebed (Marilah Shalat) banyak mengutip karya Maulvi Sadruddin B.A. (hal 14), Maulvi Muhammad Ali (hal 16), Prof. Al-Hajj Khawaja Kamaluddin (hal 98), dan lain-lain. Ia bertutur: “Kalau ke rumah tuan A. Hasan, saya selalu menyatakan suatu persoalan. Lalu diskusi. Dari situ saya dikasih buku-buku. Seperti buku Tafsir The Holy Quran arya Muhammad Ali” (M. Natsir, “Politik Melalui Jalur Dakwah” TEMPO, 2 Desember 1989, p. 52).

Demikian pula dengan Bung Karno, kandidat Ketua JIB yang dikalahkan oleh Wiwoho dalam Konggres JIB tahun 1926, menyatakan, “Kepada Ahmadiyah pun saya wajib berterima kasih karena banyak faedah yang didapatkan”.

Demikian pula halnya dengan Muhammad Roem, Yusuf Wibisono, Kasman Singodimejo, dan tokok JIB yang lain, mereka tidaklah asing dengan Gerakan Ahmadiyah.[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here