Di abad Materialisme ini, Tuhan praktis tidak diakui lagi adanya. Kalaupun masih diakui, tempat-Nya berada di bawah sekali. Sehingga dalam praktek, agama diperkuda. Apa yang disebut agama hanya serangkaian upacara lahir, sedangkan batinnya kosong dari perasaan takut kepada Allah.
Ketidakjujuran, kepalsuan, penipuan, kemaksiatan, merupakan kebiasaan sehari-hari. Semakin maju lapangan ilmu pengetahuan, orang semakin lalim dan angkara murka. Untuk memperoleh kekayaan duniawi, orang menggunakan tipu daya selicin-licinnya, hingga orang yang paling jahat di dunia pun dipandangnya sebagai yang terpandai dan tercakap.
Manusia mulai menyadari bahwa kemajuan materiil dan penaklukan alam yang dikiranya membikin kebahagiaan hidup, ternyata menimbulkan bencana besar berupa Perang Dunia.
Sebenarnya, kemajuan materiil dan penaklukan alam itu hanya akan membawa kebahagiaan manusia, apabila dilandasi dengan Iman yang kuat kepada Allah. Hanya Keesaan Allah dan kesatuan manusia sajalah yang menjamin adanya perdamaian, baik lahiriah maupun batiniah. Dan landasan ini hanya ada di dalam Islam.
Seorang orientalis H.A.R. Gibb menulis sebagai berikut: “Eropa tidak dapat mengembangkan kebudayaan sehebat-hebatnya, tanpa menggunakan kekuatan dan daya kemampuan kehidupan sosial yang digariskan Islam” (Wither Islam, 1932, hal. 378).
Seorang penulis modern, John Hopkins Denison, yang mempelajari bermacam-macam sistem agama dan pengaruhnya terhadap peradaban, mengambil kesimpulan sebagai berikut:
“Pada abad kelima dan keenam Masehi, peradaban dunia hampir-hampir mengalami keruntuhan. … Peradaban yang telah dibangun selama empat ribu tahun itu, hampir-hampir mengalami kehancuran. Manusia seakan-akan kembali menjadi biadab, saling bunuh satu, dan tak lagi mengenal hukum dan tata tertib. … Sanksi-sanksi yang diciptakan dunia Kristen tak menciptakan persatuan dan ketertiban, sebaliknya malah menyebabkan perpecahan dan kehancuran. … Peradaban yang diibaratkan pohon raksasa, yang daunnya menaungi dunia itu, kini hampir roboh karena lapuk batang intinya. … Dalam keadaan demikian itu, lahirlah sosok itu (Nabi Suci Muhammad saw.), sosok yang dapat mempersatukan dunia yang dikenal pada masa itu.” (Emotion as the Basis of Civilization, 1928).
Islam menaklukkan dunia bukan dengan kekuatan fisik, melainkan dengan kekuatan rohaniah. Bacalah buku “The Preaching of Islam” karya Thomas W. Arnold yang membahas perihal ini.
Atau kita bisa baca dalam buku “The New World of Islam” (1922) karya Lothrop Stoddard sebagai berikut :
“Bangkitnya Islam adalah barangkali peristiwa yang paling mengagumkan dalam sejarah manusia. … Dengan perjuangan yang cukup berat, agama-agama lain memperoleh kemenangan sedikit demi sedikit, sampai akhirnya kemenangan itu diperoleh dengan bantuan raja-raja besar yang memeluk agama itu. Agama Kristen dengan Constantin, agama Buddha dengan Asoka, agama Zaratustra dengan Cyrus, masing-masing meminjamkan kuasa duniawinya kepada agama yang dipeluknya.
Tidak demikian halnya dengan Islam. Islam muncul dari wilayah padang pasir yang didiami sedikit bangsa pengembara yang tak dilenal sebelumnya dalam sejarah manusia. Tetapi dengan keberanian yang luar biasa, dan hanya didukung oleh beberapa gelintir manusia, mereka menyerbu ke daerah-daerah yang jauh lebih besar kekuatan materialnya. Dan Islam memperoleh kemenangan gilang-gemilang.”
Sekarang ini, dunia di satu sisi tengah dibanjiri oleh paham Kekristenan dan Kapitalisme Eropa/Amerika, atau dalam khazanah Islam disebut “Dajjal, Yakjuj dan Makjuj.” Di sisi lain, umat Islam pada umumnya dalam keadaan lumpuh, baik lahiriah maupun batiniah.
Tiga belas abad sejak lahirnya Nabi Suci Muhammad saw., Islam berkuasa dan mengalami kejayaan duniawi. Akan tetapi pada akhir abad 13 Hijriyah ini, kekuasaan itu hampir lenyap sama sekali.
Selama 13 abad itu, para mujaddid (pembaharu) dibangkitkan untuk memperbaiki kerusakan di lingkungan umat (kerusakan internal). Akan tetapi Mujaddid abad 14 Hijriyah ini, kecuali untuk memperbaiki kerusakan intern, harus menghadapi pula ancaman luar (ekstern) berupa Dajjal, Yakjuj dan Makjuj itu.
Negara Kristen menyerang negara Islam, dan menaklukkannya dengan perlawanan sengit. Beribu-ribu putra Islam meninggalkan agama Tauhid dan memeluk agama Trinitas, atau tak beragama sama sekali.
Di Indonesia banyak putra-putra Islam yang miskin dan lemah imannya, meninggalkan agama nenek moyangnya (Islam), karena terpikat oleh jaminan hidup yang sengaja dibagi-bagikan dengan cuma-cuma kepada barangsiapa suka menerima agama Trinitas.
Alangkah tepatnya keadaan sekarang dengan nubuat Rasulullah saw. empat belas abad lampau: “Dajjal akan datang dengan membawa sorga dan neraka; kemudian apa yang ia sebut sorga, itu sebenarnya neraka” (HR Muslim). Juga sabdanya yang lain, “Dajjal akan membawa gunung roti dan sungai susu.” (Kanzul ‘Ummal).
Sekarang bagaimana caranya Mujaddid abad 14 H memperbaiki kerusakan internal dan menanggulangi ancaman eksternal itu?
Yang pertama dan utama, beliau mengingatkan kaum Muslimin akan ampuhnya kekuatan Al-Qur’an, sebagaimana terang dalam firman Allah: “Apabila Kami menurunkan Qur’an ini di atas gunung, engkau pasti melihat (gunung) itu hancur berantakan karena takut kepada Allah” (QS 59:21).
Memang sudah lama kaum Muslimin kehilangan kepercayaan akan kuasanya ruh Qur’an Suci menaklukkan dunia. Padahal Qur’an Suci sendiri menjamin bahwa ruh Qur’an Suci itu kuasa menaklukkan dunia, sebagaimana terang dalam firmal Allah:
”Dia ialah yang mengutus Utusan-Nya dengan petunjuk (Qur’an) dan agama yang benar, untuk mengalahkan sekalian agama, sekalipun orang-orang musyrik tak suka” (61:9).
Oleh sebab itu, Mujaddid abad 14 H menegaskan bahwa syarat mutlak untuk memenangkan Islam kembali itu tak ada jalan lain selain mengajarkan Al-Qur’an ke seluruh dunia. Hal ini telah dibuktikan sendiri oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya.
Akan tetapi semenjak kaum Muslimin meninggalkan prinsip ini, bahkan menutup pintu ijtihad, martabat umat Islam terus-menerus merosot, tertindas tiada semena-mena.
Dakwah Islam, sekali lagi dakwah Islam dengan Al-Qur’an ini sajalah yang dikerjakan dan dimintakan perhatian oleh Mujaddid abad 14 H. Hingga akhir hayatnya, beliau mengabdikan hidupnya untuk menanamkan ruh Qur’an Suci di seluruh dunia.[]
Dinukil dari “Tafsir Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia,” hlm. 139-145
Comment here