AkademikaSejarah

Jejak Tafsir Al-Qur’an Kaum Ahmadiyah di Indonesia

Mungkin tidak ada yang tahu atau mungkin jarang yang tahu, bahwa tafsir karya para penganut Ahmadiyah sejak era sebelum Indonesia merdeka hingga beberapa saat setelahnya, pernah berjaya dan turut mempengaruhi pemikiran dan dinamika pemuda kaum pergerakan Indonesia, terutama pergerakan kaum muslim Indonesia. Hal ini menarik untuk ditulis sejarahnya terutama karena pada kenyataannya kaum Ahmadiyah sekarang menjadi kaum minoritas yang terpinggirkan dan dianggap aliran sesat. Dari kajian ini kita bisa sedikit melacak asal muasal munculnya gerakan Ahmadiyah dan mengenal tokoh-tokohnya di Indonesia dan sejauh apa pengaruhnya.

Tulisan berikut ini adalah kajian sejarah belaka, tidak ada maksud untuk mencitrakan seorang tokoh dengan sentimen tertentu. Artikel ini menyadur dari 2 sumber media, yaitu majalah Tempo dan web historia.id. Di kalangan pecinta sejarah, kedua media tersebut dinilai kredibel dalam menyajikan fakta sejarah karena berimbang dan berdasarkan sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Semoga kajian sejarah berikut dapat menumbuhkan kecintaan akan sejarah dan memperluas wawasan kita semua.

Jejak Tjokro di Ahmadiyah

Tahunnya 1928. Partai Sarekat Islam di ambang perpecahan. Majelis ulama’ organisasi ini sampai harus menyelenggarakan kongres dua kali dalam setahun. Salah satu pemicunya adalah niat Hadji Oemar Said Tjokroaminoto menerjemahkan tafsir Al-Qur’an yang fenomenal, The Holy Quran, karya Maulana Muhammad Ali, tokoh dan pendiri Ahmadiyah Lahore .

Kongres pertama berlangsung di Pakualaman, Yogyakarta, 26 – 29 Januari 1928. Sejak dibuka, suasana langsung panas. Mr. A.K. Pringgodigdo, dalam bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, mengisahkan bahwa para ulama SI menilai kitab yang diterjemahkan Tjokro merupakan saduran dari tafsir Ahmadiyah Lahore.

Agoes Salim tampil melerai. Kepada peserta kongres dia berusaha meyakinkan, dari segala jenis tafsir Al-Quran, tafsir Ahmadiyah Lahore yang paling baik menjadi bacaan kaum muda terpelajar di pergerakan Indonesia. ” Saya sudah setahun lebih kenal dan mempelajari kitab itu, ” kata Agoes Salim.

Namun peserta yang sebagian besar orang Muhammadiyah itu makin ribut. Tibatiba Tjokro naik ke atas meja. Dengan lantang dia berseru, ” Ini Tjokroaminoto, keturunan ksatria ! Mau ribut, coba ribut ! ” . Perdebatan reda setelah diambil keputusan menunda penerbitan sampai Majelis Ulama’ mengambil ketentuan.

Pada Juli 1928, Muhammadiyah menggelar kongres. Salah satu hasilnya, sidang tidak bisa membenarkan penerjemahan tafsir Al-Qur’an karangan Maulana Muhammad Ali tersebut. Alasannya, tidak cocok dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Majelisi Ulama’ PSI menggelar kongres kedua pada September 1928 di Kediri, Jawa Timur. Di depan peserta, Mirza Wali Ahmad Baiq, mubaligh Ahmadiyah Lahore, tampil membantu Tjokro mempertahankan pendiriannya tentang proses penerjemahan The Holy Quran . Mirza, yang datang ke kongres bareng Tjokro, berhasil meyakinkan majelis ulama . Kongres memutuskan terjemahan boleh diteruskan asalkan di bawah pengawasan majelis.

Tafsir itu akhirnya terbit pada tahun itu juga, meski tak selesai seluruhnya. Agoes Salim memberi kata pengantar. “Terjemahannya baru juz ammanya saja, karena berhenti setelah muncul protes dari ulama ortodoks, ” kata Sekretaris Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) Lahore, Mulyono Akhir Juli 2011.

Menurut Mulyono, jejak ketertarikan Tjokro pada Ahmadiyah memang tak bisa ditemukan dalam bentuk dokumen. Termasuk kabar bahwa Tjokro merupakan orang pertama Indonesia yang dibaiat menjadi anggota Ahmadiyah Lahore. “Kami tak punya dokumen tertulisnya, ” kata Sulardi, ketua GAI.

Dari beberapa pemikiran yang disampaikan, baik melalui pidato maupun buku, Mulyono dan Sulardi yakin Tjokro banya terinspirasi ajaran Ahmadiyah. Tjokro, misalnya, menerjemahkan buku Da’watul Amal, yang temanya mirip dengan Gospel of Action, yang menekankan pentingnya kaum muslim mengambil tindakan untuk mengubah nasibnya.

Gospel of Action, menurut Mulyono, berisi ceramah Khawaja Kamaludin dalam satu acara Maulid Nabi di Surabaya. Khawaja Kamaludin adalah imam Masjid Woking Shah Jehan, London, sekaligus tokoh Ahmadiyah Lahore. Kalangan Ahmadiyah Lahore meyakini Khawaja Kamaludin datang ke Surabaya atas undangan Tjokroaminoto.

Pemikiran Tjokro, yang sebagian di pengaruhi oleh ajaran Ahmadiyah, kemudian dia tularkan kepada salah satu anak didiknya, Soekarno. Ketika bekas menantunya itu ditahan Belanda di Ende, Flores, Tjokro mengiriminya buku Ahmadiyah, antara lain The Holy Quran, Mohammad the Prophet dari Mohammad Ali, Inleiding tot de studie van den heiligen Qoer’an juga dari Muhammad Ali, dan Het evangelie van den daad dari Khawadja Kamaloedin.

Tjokro juga dikenal dekat dengan Mirza Wali Ahmad Baiq, yang menetap di Indonesia hingga 1937. Dia tinggal di rumah Haji Hilal di Jalan Gerjen, tak jatjh dari Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Yogyakarta. Haji Hilal adalah menantu KH Ahmad Dahlan dan pengusaha batik paling kaya di kawasan Kauman masa itu.

Karya Terjemahan Muhammad Ali, Dicerca Namun Jadi Rujukan

RUMAH tinggal Mirza Wali Ahmad Baig, mubaliq Ahmadiyah Lahore, menjadi tempat bertemu orang-orang Muhammadiyah, khususnya anak-anak muda. Mereka terutama belajar bahasa Inggris. Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan para anggota Sarekat Islam (SI) juga kerap datang. Hubungan SI dan Muhammadiyah masih akur.

Tjokro tak sekadar belajar bahasa Inggris. Diam-diam dia menterjemahkan karya Maulana Muhammad Ali, presiden Ahmadiyah Lahore, berjudul The Holy Qur’an, ke dalam bahasa Melayu. Dia mendapat dukungan dari Ahmad Baig. “Dia bahkan mengerjakannya di kapal ketika dia, sebagai wakil SI, bersama Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah berangkat ke Mekah untuk Mu’tamar ‘Alam Islami,” tulis Tempo, 21 September 1974, merujuk Kongres Islam Internasional (biasa disebut Kongres Mekkah), upaya membangun institusi pan-Islami baru setelah Mustafa Kemal Pasha menghapus sistem khilafah dan mendirikan Republik Turki pada 1924.

Tjokro dan Mas Mansur terpilih sebagai utusan dalam Kongres Al-Islam kelima pada Februari 1926 di Bandung. Kongres Al-Islam sendiri merupakan badan yang didirikan di Garut pada Mei 1924, bertujuan memperluas pengajaran agama dan menganjurkan pendirian Majelis Ulama untuk memutuskan perselisihan-perselisihan antara kaum ulama.

Muhammadiyah punya hubungan dekat dengan Ahmadiyah, bahkan memberi bantuan ketika Ahmadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1925. “Namun, setelah debat publik antara Ahmad Baig dan pemimpin reformis-radikal Sumatra –juga pemuja Rasyid Ridha– Haji Rasul (Abd Al-Karim Amr Allah), Muhammadiyah berbalik melawan Ahmadiyah. Dan, sebagai konsekuensinya, Muhammadiyah memveto proyek penerjemahan Tjokroaminoto, dan memprotes dalam kongres Sarekat Islam pada 1927,” tulis Moch Nur Ichwan dalam “Differing Responses to an Ahmadi Translation and Exegesis”, yang dimuat di jurnal Archipel, 2001.

Kongres SI di Pekalongan itu sendiri hanya membahas secara singkat proyek Tjokro dan tak ada keputusan dibuat. Satu keputusan penting justru mengenai pemecatan anggota Muhammadiyah yang juga menjadi anggota SI –sebaliknya dilakukan Muhammadiyah setahun kemudian.

Pada Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada 26-29 Januari 1928, Tjokro memberikan alasan penterjemahan Alquran dan komentar karya Muhammad Ali. Menurutnya, dia tahu terjemahan Alquran beserta komentar karya Muhammad Ali, dari Ahmad Baig, yang juga memperkenalkannya kepada para pemimpin Muhammadiyah. Tjokro berargumen sudah mendapat persetujuan dari para pemimpin Muhammadiyah, Fachruddin dan Kiai Mas Mansur, pada 1925. Bahkan Fachruddin berkontribusi atas terjemahan komentar Muhammad Ali. Namun dia tetap diserang dengan sengit.

Menurut A.K. Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Agus Salim tampil dan mengatakan dengan lantang bahwa dari segala tafsir, tafsir Ahmadiyah Lahore yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia terpelajar.

Menurut Herman L. Beck dalam “The Rupture between the Muhammadiyah and the Ahmadiyah“, dimuat jurnal Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, Muslim ortodoks maupun modernis menyalahkan Tjokro karena kurangnya pengetahuan tentang Islam dan dia, menurut opini mereka, sepenuhnya tergantung pada Ahmad Baig.

Baik Tjokro maupun Ahmad Baig mampu melawan kritik-kritik itu. Namun, beberapa hari setelah Kongres Al-Islam, Tjokro menyiarkan keluhannya di media Islam berkala Fadjar Asia –media ini juga menerbitkan sebagian terjemahan Tjokro. Antara lain dia menduga beberapa pengkritiknya khawatir tersaingi dengan terjemahannya, karena mereka juga sedang mengerjakan terjemahan Alquran mereka sendiri.

Dua minggu setelah Kongres Al-Islam, Muhammadiyah menggelar kongres ke-17 yang berlangsung 12-20 Februari 1928 di Yogyakarta. Pada kongres ini, Yunus Anis, sekretaris pertama Dewan Pusat yang baru, mengatakan bahwa Muhammadiyah menyesalkan keputusan SI mendisiplinkan anggota Muhammadiyah. Dia juga mengatakan, dengan menyesal Muhammadiyah tak bisa menyetujui proyek Tjokro. Alasannya: tak cocok dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Tekanan lain datang dari Muhammad Rashid Ridha, salah seorang ulama dan ahli hukum paling pengaruh dari generasinya serta murid Muhammad Abduh paling menonjol. Melalui majalah Al-Manar, dia menyampaikan metode-metode pembaruan ke penjuru negara Muslim. Beberapa anggota Muhamadiyah punya hubungan dekat dengan Ridha dan Al-Manar. Rida juga punya pengaruh kuat di Indonesia.

Menurut Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci dan Politik”, termuat dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia karya Henri Chambert-Loir, dalam fatwanya, menanggapi Syaikh Muhammad Basyuni Imran, Maharaja Imam dari Kesultanan Sambas di Borneo (Kalimantan), Ridha menolak proyek Tjokroaminoto karena menganggap terjemahan (dan tafsir) Alquran yang ditulis Muhammad Ali menyimpang dari ajaran Islam yang baku.

Karena perlawanan masih keras, penerbitan tafsir itu ditunda sampai Majelis Ulama mengambil ketentuan. Dalam kongres di Kediri pada 27-30 September 1928, SI membentuk Majelis Ulama sendiri –karena Muhammadiyah tak mau terlibat– yang bersidang saat itu juga. Majelis memutuskan bahwa terjemahan itu boleh diteruskan, asal dilakukan dengan pengawasan Majelis.

Pada tahun itu juga tiga bagian pertama terjemahan Tjokro terbit dengan judulQoer’an Soetji, disertai Salinan dan Keterangan dalam Bahasa Melajoe.

“Fatwa Rashid Ridha mengenai karya eksegetik Muhammad Ali, The Holy Qur’an, tidak memperoleh tanggapan karena karya itu kemudian diterjemahkan, tidak saja ke dalam bahasa Melayu dan Indonesia, tetapi juga ke dalam bahasa Belanda dan Jawa,” tulis Nur Ichwan.

Terjemahan bahasa Belanda dilakukan Sudewo Partokusumo Kertohadinegoro, guru HIS Muhammadiyah, dengan judul de Heilige Qoern. Karya ini terbit pada 1935 beriringan dengan pengantarnya “Inleiding tot de Studie van Den Heilige Qoer’an”. Sementara dalam bahasa Jawa, Qur’an Suci Jarwa Jawi, dikerjakan R. Ng. H. Minhadjurrahman Djajasugita dan M. Mufti Sharif, diterbitkan di Yogyakarta pada 1958. Djajasugita adalah ketua Muhammmadiyah cabang Purwokerto yang memilih mundur dari Muhammadiyah dan bersama Muh Husni (sekretaris jenderal PB Muhammadiyah) mendirikan Indonesische Ahmadiyah Beweging atau sekarang dikenal sebagai Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia (GAI).

Beberapa tahun kemudian, pada 1979, terbit pula terjemahan dalam bahasa Indonesia, Qur’an Suci: Teks Arab, Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia, oleh H.M. Bachrun –setelah sebelumnya A. Aziz melakukannya tapi tak jadi terbit pada 1939.

“Terjemahan dalam bahasa Jawa dan Indonesia bahkan disetujui dan disahkan oleh Departemen Agama. Pada tingkat tertentu, ini merupakan indikasi dukungan berkelanjutan atas terjemahan karya Muhammad Ali di satu sisi, dan tak signifikannya pengaruh fatwa Rasyid Ridha di sisi lain,” tulis Nur Ichwan dalam jurnal Archipel.

Terjemahan Tjokro memang tak terkenal, selain juga tak selesai dan hanya merupakan dokumentasi di museum. Tapi terjemahan Sudewo –bersama pengantarnya– terdapat di hampir semua rumah tokoh-tokoh intelektual Islam angkatan sebelum perang. “Boleh dipastikan mereka menyimpan kitab itu,” tulis Tempo, 21 September 1974.

Menariknya, edisi pertama Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan Departemen Agama memakai rujukan The Holy Qur’an oleh Muhammad Ali dan terjemahannya dalam bahasa Belanda oleh Sudewo, serta tafsir Ahmadiyah Qadiyan The Holy Qur’an oleh Maulvi Sher Ali. Edisi pertama diterbitkan dalam tiga volume pada 1965, 1967, dan 1969. Edisi ini diterbitkan Yayasan Mu’awanah Nahdlatul Ulama (Yamunu), sehingga kerap disebut “Edisi Yamunu”.

Edisi kedua, yang merupakan revisi, menyisipkan tafsir Ahmadiyah Qadiyan lainnya, The Holy Quraan oleh Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad. Edisi ini diterbitkan pada 1974, kerap disebut “Edisi Mukti Ali”, merujuk nama menteri agama kala itu yang juga menulis kata pengantar. Lembaga yang terlibat masih sama, tapi diubah menjadi Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahan Al-Qur’an.

Tapi edisi ketiga, karya-karya tafsir Ahmadiyah Lahore dan Qadiyan hilang dan digantikan karya Mohammed Marmaduke Pickthall The Meaning of the Glorious Koran, yang tak disebutkan pada edisi-edisi sebelumnya.

“Penggantian ini mungkin dibuat atas anjuran pemerintah Saudi, karena mereka menganggap Ahmadiyah menyimpang dari ajaran-ajaran ortodoks,” tulis Nur Ichwan.

Edisi ketiga ini kerap disebut “Edisi Saudi” karena diterbitkan atas kerjasama Departemen Agama dan pemerintah Saudi. Ia diterbitkan di Madinah oleh percetakan resmi pemerintah Saudi (Mujamma’ Khadim al-Haramayn al-Sharifayn al-Malik Fahd li al-Taba’at al-Mushaf al-Sharif) pada 1990.

Karya tokoh-tokoh Ahmadiyah, yang mempengaruhi dan menjadi rujukan kaum intelektual Islam Indonesia dari Soekarno hingga AA Navis, meredup karena persoalan politik.

Sumber: fahmialinh.wordpress.com

Yuk Bagikan Artikel Ini!
Translate »