ArtikelHari Besar Islam

Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Dalam Perspektif Gerakan Ahmadiyah

Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa perjalanan Nabi Suci Muhammad saw. pada suatu malam, dari Masjid Suci di Makkah ke masjid yang jauh di Yerusalem, kemudian naik ke Sidratul Muntaha. Peristiwa ini terjadi menjelang akhir periode Makkah (sekitar tahun 620 M), beberapa bulan sebelum hijrah ke Madinah. Allah berfirman sebagai berikut:

“Maha-Suci Dia yang menjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjid Suci ke Masjid yang jauh, yang sekelilingnya Kami berkahi, Kami perlihatkan kepadanya  sebagai pertanda Kami. Sesungguhnya Dia Yang Maha Mendengar, Yang Maha-Melihat.” (QS 17:1)

Peristiwa ini terjadi ketika Nabi Suci dalam keadaan yang hampir-hampir tak berdaya. Berbagai masalah yang menimpa beliau, seakan-akan telah berada di luar batas kemampuan beliau menanggungnya. Betapa tidak. Siti Khadijah, satu-satunya istri beliau, pada waktu itu, yang telah mengorbankan apa saja yang dimiliki untuk mendukung aktivitas dakwah beliau, telah berpulang ke rahmatullah. Tidak lama berselang disusul Abu Thalib, paman beliau yang dengan keteguhan hatinya mati-matian membela dan melindungi beliau.

Dua kejadian itu begitu dalam menggores hati beliau, hingga mengakibatkan kesedihan yang mendalam, sampai-sampai tahun ini disebut Tahun Duka Cita. Tetapi kesedihan beliau bukan semata-mata karena kehilangan dua orang pelindung dunia itu, melainkan lebih pada persoalan umat: orang-orang kafir semakin brutal dalam usahanya membasmi Islam; penganiayaan semakin menjadi-jadi, bahkan orang-orang kafirpun berencana membunuh Nabi Suci Saw. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan beliau mengalami kesedihan yang amat dalam, dan membuat beliau tak berdaya.

Akan tetapi Allah Yang Maha-kasih berkenan menghibur dan sekaligus memberi semangat kepada beliau, melalui perjalanan Isra’dan Mi’raj.

Informasi tentang perjalanan Isra’ dan Mi’raj itu sebenarnya sudah beliau terima sekitar lima tahun sebelumnya, tetapi baru beliau alami pada waktu itu. Pengalaman ini mengisyaratkan kemuliaan yang beliau capai dan kebesaran yang akan dicapai oleh Agama Islam di kemudian Hari.

Beliau adalah orang yang telah mencapai kesempurnaan, sehingga berada pada cakrawala yang paling tinggi, jarak yang sangat dekat dan semakin dekat lagi sampai hanya berjarak antara dua busur atau bahkan lebih dekat lagi. Dalam posisi seperti itulah Allah berkenan menyampaikan firman-firma-Nya (QS 53:1-10).

Jadi Isra’ Dan Mi’raj  bukan hanya cerita tentang suatu peristiwa, melainkan isyarat tentang keadaan, yakni keadaan Nabi Suci Muhammad Saw. Oleh karena itu peristiwa semacam ini, kendati dengan bentuk dan corak yang berbeda, dialami pula oleh para Nabi lainya. Bahkan dalam kadar yang lebih rendah, dialami pula oleh orang-orang tulus yang bukan nabi.

 

Pengalaman ruhani

Isra’ dan Mi’raj Nabi Suci Muhammad Saw. adalah pengalaman ruhaniyah dalam bentuk ru’yah (visiun) sebagaimana dijelaskan dalam QS 17:60: “Dan kami tidak membuat impian yang kami perlihatkan kepada engkau…”.

Kecuali pernyataan Qur’an yang jelas mengatakan sebagai ru’yah, ada beberapa kenyataan lain yang mendukung keyakinan bahwa Isra’ Mi’raj Nabi Suci Muhammad Saw. adalah peristiwa ruhaniah, misalnya:

  1. Pada waktu peristiwa Isra’ dan Mi’raj berlangsung, Masjid Aqsha, secara fisik, tidak ada. Memang di Yerusalem pernah berdiri Bait Allah, yang mula-mula dibangun oleh Nabi Sulaiman, tetapi dihancurkan oleh Nebukadnezar sebelum 597 SM, dan baru dibangun kembali pada 539 SM. Tetapi pada 70 M, tempat itu dihancurkan kembali oleh Titus, Gubernur Romawi yang memerintah di Yerusalem ketika itu. Kebencian Titus yang beragama Kristen terhadap tempat ibadah kaum Yahudi sedemikian besarnya, hingga tempat itu benar-benar diratakan dengan tanah, bahkan konon dipakai untuk pembuangan sampah. Masjid Aqsha yang sekarang ini, baru dimulai pembangunanya pada 690 M oleh Abdul Malik bin Marwan, dan selesai sekitar sepuluh tahun kemudian. Masjid itu kemudian dinamakan Masjidil Aqsho, Karena mengambil nama seperti yang tercantum dalam  QS 17:1 Memang, tidak jauh dari tempat itu, Khalifah Umar telah membangun masjid pada tahun 638 M, menyusul penaklukan Yerusalem dua tahun sebelumnya.
  2. Berbagai kejadian yang disaksikan oleh Nabi Suci Saw. hanya peristiwa ruhani, bukan kejadian sunguh-sunguh. Misalnya Beliau menjadi imam shalat bagi para nabi dan malaikat. Semua mengetahui bahwa malaikat adalah makhluk niskala, sedangkan para nabi sebelum beliau sudah wafat Kejadian ini hanya mengisyaratkan bahwa beliau memiliki kedudukan yang paling tinggi di antara para nabi, bahkan lebih tinggi dari malaikat.
  3. Sejumlah hadits mengatakan bahwa beliau mengalami peristiwa itu di antara tidur dan jaga, mata beliau memang nampak tidur, tetapi hati beliau tetap terjaga.

 

Kewajiban Shalat

Perintah shalat telah diundangkan Allah sejak tahun-tahun awal kenabian. Surat Al-Muzammil, yang turun tahun- tahun permulaan kenabian, telah membuat perintah shalat sejak itu pula, Nabi Suci Saw sudah biasa mengerjakan Sholat, hanya saja agaknya, ketika itu sholat belum dilembagakan sebagai bentuk ibadah yang wajib dikerjakan oleh kaum muslimin.

Sholat dengan demikian sebagai sarana bagi pengembangan ruhani manusia hingga mencapai kedudukan paling tinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad Saw bersabda  bahwa sholat adalah Mi’rajnya orang-orang mukmin.

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here