Isra’ Mi’raj, adalah perjalanan Nabiyulah Rasulullah Muhammad saw. yang terjadi dalam satu malam, dari Masjidil-Haram di Mekkah ke Masjidil-Aqsa di Al-Quds, dan/atau perjalanan ke Sidratul Muntaha, yang diperjalankan oleh Allah SWT. dengan menembus langit hingga batas yang tidak terjangkau oleh cerapan inderawi, pengetahuan manusia, malaikat maupun jin.
Perjalanan yang merupakan anugerah yang terindah yang diterima Nabi Suci sepanjang hayatnya, dimana Nabi Suci dapat bertemu dengan Allah SWT sekaligus menerima perintah untuk menunaikan kewajiban Shalat lima kali dalam sehari semalam.
Isra’ dan Mi’raj sebenarnya merupakan rangkaian peristiwa yang berbeda, baik waktu maupun tempat tujuan. Di dalam Isra, Nabi Suci diperjalankan Allah SWT dari Masjiidilharam ke Masjidil-Aqsa. Sedang di dalam Mi’raj, Nabi Suci diperjalankan ke Sidratul Muntaha. Dimana beliau mendapat anugerah berupa perintah menjalankan Shalat lima kali (waktu) dalam sehari semalam.
Dikisahkan. Meski sebelum peristiwa Mi’raj, Jibril pernah bertemu dengan Nabi Suci, namun perintah Shalat tidak dapat disampaikan. Dan Allah memanggil Nabi Suci untuk datang ke Sidratul Muntaha. Pada saat pertemuan, Nabi Suci tidak kuasa memandang, beliau hanya dapat mengucapkan “At-tahiyatu lillah wash-sholatu wath-thayyibat” –Segala kebaktian yang dilakukan dengan ucapan, perbuatan dan pengorbanan harta adalah kepunyaan Allah. Inilah shalawat Nabi Suci kepada Allah. Dan jawaban Allah “As-salamu alaika ayyuhan-nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh” –Damai atas engkau wahai Nabi, dan Rakhmat Allah dan berkah-Nya. Pada saat itu pula Nabi Suci ingat kepada umatnya, lalu beliau mengucapkan “Assalamu’alaina wa ‘ala ‘ibadillahish-sholihin” –Damai atas kami dan atas hamba yang saleh.
Ketika malaikat yang menjaga Arsy mendengar percakapan tersebut, maka serentak mereka mengucapkan dua kalimah syahadat : “Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warasuluh”–Aku berdiri saksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu Utusan Allah.
Sehingga, suasana arsyil-adhim bergetar sebagai tanda terima kasih kepada Nabi Suci. Dan Nabi Suci pun mengajarkan shalawat “ Allahumma shallli ‘ala Muhammad wa ala ali Muhammad” –Wahai Allah, muliakanlah Nabi Muhammad dan umat Muhammad. Dan terakhir Nabi Suci mengajarkan Salawat kepada umatnya “Assalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh” –Semoga damai atas kamu dan rakhmat Allah dan berkah-Nya.
Peristiwa yang dimaknai sebagai perjalanan Spiritual atau Supranatural itu membuktikan adanya “Satu Daya” atau “Enerzi” yang disebut Daya Pimpin Ilahi untuk mewujudkan Kehendak-Nya dalam merealisasikan dan memanivestasikan Kasih Sayang-Nya Yang Maha Rahman dan Yang Maha Rahim dalam segala aspek.
Peristiwa tersebut juga membuktikan, bahwa Ilmu dan Kodrat Ilahi mengatas dari hal yang terbatas sampai yang tidak terbatas dan melampaui cerapan inderawi, sehingga penjelasan tentang peristiwa tersebut hanya dapat dilakukan secara spikulatif-subyektif dan hanya dapat dipahami sebagai gambaran atau metafora. Selanjutnya apabila peristiwa tersebut diangkat dalam penjelasan atau risalah yang diskriptif rasional, maka pemaknaannya akan dipengaruhi kerangka berfikir pengamatnya.
Penggambaran yang mengada-ada atau berlebihan justru akan membingungkan. Bisa jadi akan menciptakan effek yang kurang baik. Meski harus dipahami, bahwa Al Qur’an mengandung makna Al Imdad Al Ghaiby yang sarat dengan segala macam hal-hal yang “Supra”.
Ilmu pengetahuan membuktikan secara empiris dan rasional bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dari sebuah benda itu berbeda-beda. Perjalanan benda padat untuk mencapai tujuan membutuhkan waktu lebih lama dari suara. Dan suara membutuhkan waktu lebih lama dari cahaya.
Namun bagaimana mungkin kecepatan yang melampaui batas continum empat dimensi itu bisa terjadi. Bagaimana mungkin panas yang timbul akibat gesekan luar biasa hebat tidak merusak partikel yang ada pada diri Nabi Suci. Dan bagaimana mungkin partikel yang ada pada diri Nabi Suci dapat melepaskan diri dari gaya tarik bumi.
Dengan demikian rasanya akan lebih bermakna apabila kita lebih mencermati rahasia yang ada dibalik peristiwa monumental yang demikian hebat itu.
Karena peristiwa Supranatural tidak akan dapat dicermati secara gamblang oleh sistem berfikir manusia. Akhirnya kita berkata bahwa “Ada sesuatu yang tidak membutuhkan dimensi waktu maupun dimensi ruang untuk mencapai tujuan”. Sebagaimana di jelaskan didalam Al Qur’anul Karim dalam Surat Al Qamar (54:49-50) “Dan sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran, dan perintah-Ku hanyalah satu kali, bagaikan sekejap mata”.
Kalimat “hanyalah satu kali, bagaikan sekejap mata” mengandung arti, bahwa apa yang dikehendaki Tuhan hanyalah “satu kali” saja. Berbeda dengan ilmu pengetahuan. Pruduk ilmu pengetahuan adalah hasil trial and eror atau coba-coba dan dilakukan secara berulang-ulang.
Selan itu, produk ilmu pengetahuan terlebih dulu harus menjalani penelitian dan pengkajian atau test ilmiah sebelum diterima sebagai temuan. Sedang Kehendak Tuhan diterima tanpa melalui penelitian ataupun pengkajian dan tidak dapat dibantah karena merupakan dalil yang pasti atau aksioma.
Menurut para ilmuwan ataupun dalam aturan hukum, demikian juga sesuai Al Qur’an sendiri, bahwa terjadinya “musabab” harus didahului atau bersama-sama dengan “sebab”. Namun apakah hanya sebab yang dapat mewujudkannya. Jawabnya adalah “Tidak”. Karena Tuhan Maha Pencipta “dari tiada menjadi ada”. Hal tersebut dinyatakan dengan jelas didalam Surat Ya Sin (36:82), “Perintah-Nya, jika la menghendaki sesuau, hanyalah berfirman kepadanya, “Kun Fayakun” –Jadi, maka jadilah.
Adanya energi non metrix yang tidak dapat dipahami, menjadikan Kierkegard, tokoh filsafat eksistensialisme mengatakan bahwa seseorang harus percaya bukan karena ia tahu melainkan karena ia tidak tahu. Bahkan Immanuel Kant seorang ilmuwan terpaksa harus menghentikan penyelidikan ilmiahnya demi menyediakan waktu bagi hatinya untuk percaya.
Oleh karenanya, peristiwa ini dapat kita maknai sebagai Mu’jizat Imani. Artinya Mu’jizat yang diberikan Allah kepada hamba yang tulus dan rasa ke-Iman-an dalam frekwensi yang tinggi serta konsisten yang dipelihara dengan baik.
Beranjak dari sini, kita dapat memaknai Isra Mi’raj dari segi konsep maupun muatannya, karena di sinilah sebenarnya kita akan mengetahui kebenaran, kebesaran maupun kehebatan Islam.
Nabi Muhammad adalah sosok manusia biasa sebagaimana kita. Baik dalam struktur badaniyah ataupun fungsi lahiriyahnya. Beliau juga dilahirkan sesuai fitrahnya, yaitu dipandang cakap dalam mencermati kebenaran melalui akal dan hatinya. Namun karena Nabi Suci memiliki kepribadian, keteladanan, ilmu pengetahuan, ketulusan maupun kemuliaan yang dapat membuka cakrawala baru bagi kehidupan manusia, maka beliau dipilih Tuhan menjadi Rasul-Nya.
Di dalam sejarah tertera, sebelum terjadi peristiwa Supranatural ini, Nabi Suci mengalami kedukaan yang sangat dalam. Beliau ditinggal untuk selamanya oleh isteri tercinta, Siti Khadijah yang selalu menemani dan menghibur serta memberi kasih sayangnya di kala Nabi masih mendapatkan tekanan atau cemoohan.
Kemudian beliau ditinggal pamannya, Abu Tholib. Meski belum masuk Islam, namun Abu Tholib adalah seorang yang memberi support yang luar biasa dan melindungi segala aktivitas Nabi Suci.
Selain itu dimasa prolog Isra’ maupun Mi’raj terjadi banyak peristiwa yang menekan dan menyudutkan diri Nabi Suci, antara lain kaum kafir Quraisy yang menuntut pembuktian tentang kenabian beliau. Sebagaimana di dalam surat Bani Irsrail (17:90-93), “Dan mereka berkata : Kami tak akan beriman kepada engkau, sampai engkau mendatangkan kepada kami sebuah sumber yang memancarkan (air) dari bumi. Atau engkau mempunyai kebun korma dan anggur yang di tengah-tengahnya engkau alirkan sungai yang mengalir dengan melimpah-limpah. Atau engkau jatuhkan langit berkeping-keping di atas kami, seperti engkau bayangkan atau engkau datangkan Allah dan malaikat berhadapan muka (dengan kami). Atau engkau mempunyai rumah dari emas, atau engkau naik kelangit. Dan kami tidak akan beriman atas kenaikan dikau (ke langit), sampai engkau menurunkan kepada kami satu Kitab yang kami dapat membacanya. Katakanlah : Maha Suci Tuhanku. Bukankah aku ini hanya manusia (biasa) yang menjadi utusan.”
Mau tidak mau, tekanan-tekanan seperti itu berpengaruh pada kejiwaan Nabi Suci. Namun karena rasa ke-Iman-an yang sangat kuat dan keyakinan akan “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang maknanya tiada lain adalah keyakinan terhadap bekerjanya Tangan Tuhan. Tekanan demi tekanan beliau hadapi dengan “Kesabaran” dan dengan cara mempertalikan serta menyerahkan diri kepada Tuhan.
Kesabaran dijadikan “solusi” bagi Nabi Suci dalam menghadapi segala cobaan. Hal tersebut sesuai dengan keinginan Allah sebagaimana Sabda-Nya dalam Surat An Nahl (16:127) “Dan bersabarlah, dan kesabaran dikau tiada lain hanyalah karena (pertolongan) Allah, dan janganlah engkau berduka cita tentang mereka, dan jangan pula engkau merasa khawatir tentang apa yang mereka rencanakan”
Satu hal yang perlu mendapat perhatian, bahwa penempatan ayat yang mengandung makna kesabaran justru terletak di dalam surat An Nahl atau “Lebah”. Ilustrasi kehidupan lebah menjadi preambul ayat yang menjelaskan tentang kesabaran.
Seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch pernah mengadakan penelitian tentang lebah. Di mana lebah adalah binatang yang memiliki keajaiban, memiliki keluhuran dan falsafah hidup yang mulia. Binatang ini memiliki sifat sangat perfect atau perfectionis. Mereka mengambil makanannya dari sari bunga atau zat-zat yang terbaik.
Rumahnya dibangun segi enam yang mencitrakan efektifitas dan efisiensi di dalam segala hal. Selaput dindingnya sangat halus, dibuat sedemikian rupa yang dipergunakan sebagai tirai. Baik dalam menghadapi terpaan angin atau penyusupan bakteri. Dinding rumahnya mengandung lilin yang bisa dimanfaatkan sebagai lentera.
Madu dan sengatannya sangat mujarab untuk pengobatan. Bahasa tubuh dan cara berkomunikasi antara sesamanya sangat halus dan saling hormat menghormati. Mereka baru mau menyengat bila kehidupannya diusik.
Sistem kehidupannya penuh dedikasi, disiplin di bawah pengendalian seekor “ratu”, sebagaimana ibu yang mengendalikan rumah tangganya. Sang Ratu memiliki rasa malu yang sangat tinggi dan konsisten dalam berkehidupan serta tidak mau bertindak hal-hal yang tidak terpuji atau gegabah, seperti berselingkuh, meski disekitarnya banyak pria lebah yang jumlahnya dalam satu sarang bisa mencapai 30.000 ekor bahkan bisa lebih.
Subhanallah, ternyata lebah memiliki sifat yang sangat luhur dan mulia dalam menghadapi dinamika kehidupan, meski dinamika kehidupannya itu didasari insting atau naluri.
Apabila akhlak dirumuskan sebagai nilai yang ada pada diri manusia, maka insting atau naluri merupakan daya pendorong lahirnya perbuatan-perbuatan spontan yang dirasakan memiliki arti atau nilai bagi dirinya.
Di sini, insting atau naluri itu pada dasarnya adalah Daya Pimpin Ilahi, berupa petunjuk-petunjuk yang diberikan Tuhan, yakni apa yang dikatakan dengan Wahyu Ilahi. Karena dan sebagaimana kita ketahui, bahwa “Manusia akan memiliki Keluhuran Akhlak atau Keagungan Ruhani apabila dipimpin oleh Wahyu Ilahi”.
Sebagaimana diketahui, bahwa inti dari pada Mi’raj tersebut, adalah pemberian anugerah yang sangat indah dari Allah berupa perintah untuk menunaikan Shalat lima kali (waktu) dalam sehari semalam.
Shalat adalah cara untuk meniti tangga menuju ketinggian rohani, cara mempertalikan diri kepada Tuhan, agar dalam perjalanan hidupnya manusia terhindar salah jalan. Bahkan bisa jadi akan terperosok di lembah sunyi dan miskin nilai. Demikian pentingnya Shalat sehingga perintah Shalat diulang-ulang di dalam Al-Qur’an.
“Peliharalah shalat dan pula shalat yang paling utama, dan berdirilah dengan patuh kepada Allah”. (Al-Baqarah [2]:238)
“Dan tegakkanlah Shalat pada dua ujung hari dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan baik itu melenyapkan perbuatan buruk. Ini adalah peringatan bagi orang-orang yang penuh perhatian”. (Hud [11]:114)
“Tegakkanlah Shalat mulai condong matahari, hingga gelapnya malam dan bacaan Qur’an pada waktu fajar. Sesungguhnya bacaan Qur’an diwaktu fajar itu disasikan”. (Bani Israil [17]:78)
“Bacalah apa yang diwahyukan kepada engkau tentang Kitab dan tegakkanlah Shalat. Sesungguhnya Shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan buruk dan sesungguhnya ingat kepada Allah itu (kekuatan) yang paling besar. Dan Allah tahu apa yang kamu lakukan” (Al-Ankabut [29]:45)
Apabila dicermati lebih jauh, bahwa peristiwa Mi’raj itu adalah ilustrasi sebuah konsep dimana di dalamnya terdapat dua kandungan pokok yaitu Sabar dan Shalat.
Meski Sabar dan Shalat berdiri sendiri atau independen, namun antara Shalat dan sabar saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu terhadap yang lain. Dan keduanya pada dasarnya merupakan dasar-dasar pembentukan kwalitas rohani manusia.
Peristiwa Mi’raj yang dialami Nabi Suci itu adalah sebuah pencerminan adanya rasa ke-Iman-an yang sangat kuat yang beliau letakkan di atas kepastian dari sebuah kebenaran.
Oleh karenanya, apa yang dilakukan Nabi Suci tersebut dapat kiranya kita jadikan sebagai motivasi kita dalam rangka membangun rasa ke-Iman-an pada diri kita dalam meraih kemuliaan dan derajat rohani yang tinggi. Sehingga kebahagiaan paripurna yaitu kebahagiaan yang hakiki berupa Cinta dan Kasih Sayang Allah bisa kita dapatkan.
Atas dasar hal itu Mi’raj bukan lagi hanya sebagai kenangan yang kita peringati setiap tanggal 27 Rajab. Namun akan menjadi bukti kebenaran, kebesaran dan kehebatan Islam melalui diri kita, Amin. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman ”Katakanlah: Berimanlah kepada itu atau tidak beriman. Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelum itu, bila itu dibacakan kepada mereka, mereka merebahkan mukanya sambil bersujud”. (Bani Israil [17]:107).
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.
Walauhualamm bisahawab
Fathurrahman Irshad
Comment here