ArtikelEdisi KemerdekaanTokoh

Islam Progresif Tjokroaminoto

Islam melandasi bangunan pemikiran dan perjuangannya melawan penjajahan. Pemikiran Islamnya progresif dan sempat tuai kontroversi.

tjokro-api-islam-juli-65Tjokroaminoto adalah mahaguru bangsa dan induk semang para pendiri negeri ini. Dari yang nasionalis, Islamis hingga komunis.

Ia mentor yang mengkader founding fathers republik ini. Melapangkan jalan bagi tumbuhnya tokoh bangsa anti-penjajahan dan pejuang kemerdekaan. Juga meletakkan fondasi bangunan Indonesia.

Bapak pergerakan Indonesia ini rela “bunuh diri kelas.” Sebagai ningrat Tjokro ‘anak emas’ yang diuntungkan pemerintah kolonial Belanda. Priyayi terpandang yang dikader menjadi pejabat pemerintahan.

Pahlawan nasional yang dijuluki Raja Jawa Tanpa Mahkota ini lebih memilih jadi anak jadah alih-alih antek Belanda di negeri sendiri. Posisi basah, empuk, dan sejahtera ia tanggalkan untuk berjuang melawan struktur sosial-politik yang menindas.

Melalui sebuah organisasi Islam terbesar di awal abad 20, Sarekat Islam (SI), Tjokro menyebarkan berbagai gagasannya tentang Islam yang anti-penindasan, penjajahan, dan kekerasan. Ia merangkul dan menggerakkan ribuan massa untuk mununtut kesetaraan, kemandirian, dan kemerdekaan bangsa dari pemerintah kolonial.

Tjokro mengorbankan jiwa dan raganya untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Bumiputera untuk naik kelas. Dari warga jajahan kelas dua menjadi setara dengan semua bangsa lain. Perintis kemerdekaan ini menghendaki pemerintahan mandiri yang dijalankan sendiri kalangan Bumiputera.

Para muridnya meneruskan perjuangan Tjokro. Di antara mereka adalah Soekarno, Kartosoewirjo, Semaoen, Alimin, Musso. Mereka adalah para siswa yang pernah indekos di rumah Tjokro.

Di sebuah jalan tak lebar, Gang Paneleh VII No. 29-31, di tepi Sungai Kalimas, Surabaya, Jawa Timur, rumah Tjokro itu terdiri dari 10 kamar kecil. Mereka mondok dan menyerap berbagai ilmu yang mengalir dari Tjokro. Mereka kerap diajak Tjokro ke berbagai pertemuan SI.

Kendati satu guru dan punya cita-cita sama, para muridnya itu berseberangan pandangan dan ideologi satu sama lain, bahkan dengan Tjokro sendiri. Dinamika perdebatan dan pertarungan ideologi hingga perjuangan politik mereka membentuk formasi Indonesia kini.

Kesadaran Nasionalisme

Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, biasa disingkat H.O.S Tjokroaminoto, lahir di Desa Bukur, Kabupaten Ponorogo, Keresidenan Madiun, Jawa Timur, pada 16 Agustus 1882. Anak kedua dari 12 bersaudara ini berasal dari keluarga priyayi dan santri. Ibu Tjokro, Raden Ajeng Soeharsikin, menurut asal-usulnya, keturunan Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangkir di Madiun.

Ayahnya, Raden Mas Tjokroamiseno seorang pejabat pemerintahaan saat itu. Kakek buyut dari jalur ayahnya adalah Kiai Bagoes Kasan Besari, ulama berpengaruh dan kepala desa Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur. Kakek Tjokro, anak Kasan Besari, Raden Mas Tjokronegoro, juga pernah menjabat sebagai Bupati Ponorogo.

Sejak kecil Tjokro belajar agama dan mengaji di rumah dan juga mendapat pendidikan agama dari guru-guru di sekitar Madiun sampai Magelang. Ia melanjutkan studinya di Opleidingsschool voor Inlandsch Ambtenaren (OSVIA) di Magelang. Sekolah yang didirikan untuk mencetak pamong praja pemerintah kolonial, terutama bagi anak-anak priyayi. Ia tamat tahun 1902.

Kesadaran nasionalisme Tjokro terus tumbuh dan berkembang saat ia mengenyam pendidikan di sekolah itu. Berbagai laku diskriminatif antara orang Belanda dan pribumi (inlander) terjadi. Sentimen rasial begitu kuat saat itu. Salah satunya saat bertemu orang Belanda harus menunduk dan tak boleh melipat satu kaki di atas paha saat duduk. Tjokro, seperti kata sejarawan Anhar Gonggong, salah satu yang berani melawan tabu itu.

Setelah lulus, ia bekerja sebagai juru tulis di Kepatihan Ngawi (1902-1905). Alih-alih meniti karier sebagai pejabat pemerintahan, ia berhenti dan bekerja serabutan di beberapa kota. Ia memilih jalan yang berbeda dengan orangtua dan mertuanya. Bahkan Tjokro sempat terpisah dengan istrinya lantaran tak mau mengikuti karier mertuanya.

Di Semarang ia bekerja sebagai kuli di pelabuhan. Di Surabaya ia bekerja di sebuah Firma Kooy & Co. Antara tahun 1907-1910, sambil kerja ia melanjutkan pendidikannya di sekolah sipil malam: Burgerlijke Avond School (BAS). Lulus dari BAS, ia keluar dari firma dan bekerja sebagai pembantu bagian mesin dan ahli kimia di pabrik gula (1911-1912).

Tjokro juga punya minat di dunia jurnalistik. Ia pernah bekerja pada surat kabar Bintang/Soeara Soerabaya (Surabaya). Saat memimpin Sarekat Islam ia juga menyebarkan gagasannya melalui koran, tabloid, dan majalah internal SI, yaitu Oetoesan Hindia (Surabaya), Fajar Asia (Jakarta), dan Majalah Al-Jihad.

Kesadaran nasionalisme Tjokro kian menguat setelah bekerja serabutan itu. Ia melihat langsung bagaimana kondisi kuli dan buruh di lapangan yang tertindas dan terengut hak-haknya oleh pemerintah kolonial.

Penggerak Mesin

Di tahun yang sama, setelah keluar dari pabrik gula, ia bergabung di SI pimpinan H. Samanhoedi. Dari sinilah kiprah Tjokro mulai menancapkan taringnya. Dari pembantu bagian mesin di pabrik menjadi penggerak mesin kekuatan Islam dan kalangan Bumiputera.

Tjokro kemudian menjadi ketua cabang SI Surabaya. Kariernya pun kian menanjak di S1. Pada kongres pertama di Surakarta, 23 Maret 1913, Tjokro ditunjuk sebagai wakil ketua SI dan redaktur pelaksana harian Oetoesan Hindia. Di Kongres kedua SI di Yogyakarta, April 1914, Tjokro menjadi pemimpin tertinggi SI menggantikan H. Samanhoedi.

Di tangan Tjokro konsep pergerakan SI berubah. Selain mengubah nama dari Sarekat Dagang Islam (SDI) ke SI hingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonsia, ia juga memperluas haluan gerakan. Tak hanya soal perdagangan dan ekonomi, tapi merambah ke pergerakan nasional yang berorientasi sosial-politik.

Pada kepemimpinan Tjokro, SI menjadi organisasi pergerakan pertama yang berskala nasional dengan anggota berjumlah 2,5 juta. Organisasi berbasis Islam ini mampu memobilisasi puluhan hingga ratusan ribu massa dari berbagai daerah saat mengadakan pertemuan.

Selain sebagai orator ulung dengan suara bariton yang berat, Tjokro juga piawai sebagai negosiator. Melalui lobi-lobinya, SI berhasil memperoleh status hukum dan mengubah wilayah administratif pemerintah kolonial (afdeling) menjadi SI lokal. SI juga berhasil peroleh izin membentuk kepengurusan pusat: Central Sarekat Islam (CSI).

Setelah berhasil mendesak pemerintah untuk membentuk sebuah parlemen, Tjokro bersama petinggi SI Abdul Moeis bersedia duduk di Dewan Rakyat (Volksraad) di masa Politik Etis Belanda. Saat itu ia masih bersikap kooperatif dengan pemerintah.

Menurut Takashi Shiraisi (1977), Tjokro belum melihat perlu kemerdekaan pemerintahan sendiri, tapi lebih pada kebebasan untuk memerintah dan mengurus negerinya sendiri seperti halnya pemerintahan serikat yang tetap bernaung di bawah induknya: Belanda.

Dalam pidatonya, Tjokro pernah berkata: ”..bersama-sama pemerintah dan menyokong pemerintah menuju arah yang betul. Tujuan kita adalah mempersatukan Hindia dengan Nederland, dan untuk menjadi rakyat ’Negara Hindia’ yang berpemerintahan sendiri.”

Pernyataan itu, bagi Safrizal Rambe (2008) adalah taktik untuk mengamankan posisi SI di mata pemerintah sambil memberikan keyakinan pada masyarakat bahwa pribumi bisa memerintah dirinya sendiri.

Tjokro mengakhiri sikap kooperatifnya dengan pemerintah setelah ia keluar penjara. Dengan tuduhan memberikan persetujuan secara diam-diam terhadap SI Seksi B yang orientasinya membunuh orang Eropa dan Cina. Tujuannya mengambil alih pemerintahan. Para anggota SI Seksi B ini yang diduga menimbulkan kerusuhan dalam peristiwa Garut pada 1919.

Ada indikasi kuat kerusuhan itu hasil rekayasa pemerintah yang ingin mempertahankan tanam paksa di Jawa Barat. Lantaran tak ada bukti yang kuat, setelah sembilan bulan dibui, ia bebas. Sikap politik Tjokro berubah setelah keluar bui. Ia mengakhiri sikap kooperatifnya pada pemerintah.

Islam Progresif

Era Tjokro ditandai dengan pertarungan ideologi antara Islam (Pan-Islamisme), nasionalisme sekuler, demokrasi, sosialisme, komunisme, imperialisme, kapitalisme. Wacana ini tak hanya menjangkiti Indonesia tapi juga seantero dunia.

Tjokro melandaskan bangunan pemikiran dan perjuangannya melawan penjajahan dari ajaran Islam. Tjokro mengikuti perkembangan berbagai ideologi itu dan juga mempengaruhi pemikirannya.

Ia melihat bahwa Islam memiliki kesamaan dengan sosialisme. Dalam buku Islam dan Sosialisme (1924), Tjokro menulis: “Bagi kita, orang Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa “isme” lain-lainnya yang lebih baik, lebih elok dan lebih mulia, melainkan sosialisme yang berdasar Islam itulah saja.”

Islam dan sosialisme, baginya, memiliki tiga anasir penting yang sama: kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Dalam buku itu, ia banyak mengutip ayat, hadis, dan perilaku Nabi dan para sahabat yang memperkuat tiga anasir itu.

Menurut Tjokro, saat Nabi Muhammad menetapkan model pemerintahannya, peraturan yang beliau buat sesuai dengan garis-garis sosialistis. Dengan mengutip, Amir Ali dan Haidar Riza, Tjokro berkesimpulan, tak ada agama selain Islam yang menanamkan dan menjalankan cita-cita persaudaran, persamaan, dan kemerdekaan hingga begitu dalam.

Islam, tulisnya, tak mempunyai kasta yang berdasarkan kelahiran dan kelas sosial dari ukuran harta benda. Islam juga tak membedakan imam (priest) dengan hak berlebih-lebihan yang berbeda dengan umat lainnya. Imam tak lain guru yang mengajar agama dan penuntun dalam menjalankan ibadah bersama-sama.

Cita-cita agama dan politik Islam, lanjutnya, tidak sempit. Islam tidak bermusuhan malah mengindahkan kepercayaan-kepercayaan lain. Juga mengindahkan hak-hak serta kemerdekaan pikiran orang dari agama lain.

“Tidak ada kekuasaan agama atau politik yang bersifat dan bertabiat seperti Islam,” tegasnya.

Tjokro memberikan contohnya pendirian “Republik Islam” di Madinah oleh Nabi Muhammad. Misalnya, ia memberi kepada penduduk agama lain seperti Yahudi segala hak kebebasan dalam menjalankan agamanya.

“Nabi kita yang suci bukan hanya seorang juru mengajar, tapi dalam fahamnya tentang hak-hak penduduk dan hak-hak rakyat yang satu terhadap yang lainnya. Ia satu makhluk tertinggi di zamannya dan juga segala yang lewat dan akan datang,” tulisnya.

Di akhir bukunya, ia mengajak kaum muslim untuk masuk dan menjadi anggota SI. Agar SI lebih mudah menjalankan tujuannya, yaitu mencapai keselamatan dan kemerdekaan yang sejati bagi kaum muslim dan segenap rakyat Hindia Belanda, iaalah daya upaya pertama untuk mencapai sosialisme yang sejati untuk mencapai Pan-Islamisme.

Mahaguru

Sebagai kalangan terdidik, Tjokro melahap berbagai bacaan dari beragam ideologi dan mazhab. Di antara yang cukup masyhur adalah dari kalangan Ahmadiyah. Tjokro bahkan menerjemahkan sebagian karya Presiden Ahmadiyah Lahore, Maulana Muhammad Ali, berjudulThe Holy Qur’an ke dalam bahasa Melayu yang sempat menimbulkan kontroversi. Termasuk dari kalangan Muhammadiyah.

Terjemahan itu, kata Syu’bah Asa (Tempo, 21 September 1974), bahkan ia kerjakan di kapal saat berangkat ke Makkah, Saudi Arabia, untuk menghadiri Mu’tamar ‘Alam Islami. Bersama Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah, Tjokro terpilih sebagai utusan pada kongres kelima organisasi itu pada Februari 1926 di Bandung.

Warisan keilmuan Tjokro dan keuletan membuka cakrawala pikiran lintas ideologi dan mazhab juga menurun pada para muridnya. Percikan pikiran Tjokro di tangan para muridnya ditangkap dengan beragam.

Kendati sebagian besar mereka anggota SI yang juga ikut dibesarkan Tjokro, tapi pada perkembangannya mereka memiliki gagasan dan pegangan ideologi masing-masing. Pemisahan diri para murid Tjokro dengan SI salah satunya karena Tjokro dianggap kompromistis dengan pemerintah kolonial. Walau Tjokro sudah mengubah sikap politik kompomisnya, mereka tetap jalan dengan arah perjuangannya masing-masing.

Percikan pikiran Tjokro mengental di masing-masing muridnya. Soekarno dengan nasionalisme sekulernya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan kemudian menjadi Presiden Indonesia pertama. Semaoen, Alimin, dan Musso jadi tokoh-tokoh utama Partai Komunis Indonesia (PKI). Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Walau berbeda pandangan, ideologi, dan sikap politik, Tjokro tak mengkafirkan dan menyesatkan para muridnya itu. Apalagi melakukan aksi kekerasan terhadap mereka.

Warisan Tjokro bukan hanya nama jalan, film, Yayasan HOS Tjokroaminoto, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY), dan rumahnya yang dijadikan museum. Tapi yang terpenting adalah laku dan gagasannya tentang Islam yang progresif: pro-kemerdekaan, kesetaraan, persaudaraan, dan anti-penindasan, penjajahan, kekerasan.**

(Achmad Rifki | www.madinaonline.id)

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »